Ibnu Umar r.a dan Bidaah Hasanah: Meluruskan Pemahaman Abul Jauzaa
Berbagai upaya dilakukan oleh kaum wahabi-salafi untuk menghilangkan pemahaman adanya bid’ah hasanah atau bid’ah secara bahasa. Termasuk apa yang dilakukan Abul jauza ini di dalam mentawkil-takwil ucapan Abdullah bin Umar yang mengucapkan sebaik-baik bid’ah dalam sholat dhuha. Dia tidak mampu memamahami dengan cermat apa yang dimaksud bid’ah oleh Abdullah bin Umar, sholat dhuhahnya kah, atau sifat dan cara sholat dhuhahnya kah yang dikatakan bid’ah oleh beliau ?? Abul Jauza semakin jauh menyimpang dari pemahaman yang dimaksudkan oleh Abdullah bin Umar.
Yang ironisnya (ajibnya), Abul Jauza ingin menolak ucapan bid’ah yang dikatakan oleh Abdullah bin Umar, tapi malah ia semakin menguatkan hujjah Ahlus sunnah wal Jam’ah (Aswaja) tentang fakta adanya bid’ah yang diterima yaitu bid’ah yang berdasarkan asal dalam syare’at. Dari sudut mana pun, tetap Abul Jauza tidak bisa lari dan tidak bisa menghindari bahwa bid’ah hasanah itu memang ada. Kalau bahasa film Dono adalah maju kena, mundur pun kena. Selamat membaca keunikan dan kelucuan Abul Jauza dalam berargumentasi..
Abul Jauza mengatakan : Telah masyhur bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berpendapat tentang bid’ahnya shalat Dluhaa.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ: ثَنَا حَاجِبُ بْنُ عُمَرَ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى؟ فَقَالَ: " بِدْعَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haajib bin ‘Umar, dari Al-Hakam bin Al-A’raj, ia berkata : Aku pernah bertanya kepafa Ibnu ‘Umar tentang shalat Dluhaa, ia menjawab : “Bid’ah” [idem, 2/406 no. 7866].
Sanadnya shahih.
Sebagian orang ada yang mengambil riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa di atas sebagai dalil keabsahan bid’ah hasanah dan menganggap Ibnu ‘Umar sebagai sosok penganut paham eksistensi bid’ah hasanah.
Saya jawab :
Benar kami juga menggunakan hadits Ibnu Umar sebagai dalil adanya bid’ah Hasanah. Akan tetapi dari sudut Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, bukan dari sudur anda wahai Abul Jauza. Dan benar kami juag meyakini bahwa Ibnu Umar penganut paham eksistensi bid’ah hasanah sebagaimana pemahaman Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, imam Abu Hanifah, al-Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal yang meyakini adanya bid’ah hasanah.
Abul Jauza mengatakan : Pendalilan mereka tertolak dalam beberapa segi dengan urutan berpikir sebagai berikut :
1. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu membid’ahkan shalat Dluhaa dikarenakan ia tidak mengetahui mengetahui adanya perintah atau perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mendasarinya.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ تَوْبَةَ، عَنْ مُوَرِّقٍ، قَالَ: " قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَتُصَلِّي الضُّحَى؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَعُمَرُ؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَأَبُو بَكْرٍ؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا إِخَالُهُ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Syu’bah, dari Taubah, dari Muwarriq, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : “Apakah engkau melakukan shalat Dluhaa ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Bagaimana dengan ‘Umar ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Abu Bakr ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Aku kira tidak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1175].
Saya jawab :
Yang benar adalah Ibnu Umar mengetahui bahwa sholat dhuha itu sunnah, akan tetapi beliau mengatakan sholat itu bid’ah tertuju pada sholat yang dilakukan sebagian orang saat itu yang melazimi sholat dhuha, melakukannya selalu dalam masjid dan melakukannya dengan berjama’ah bukan menilai pada sholat dhuhahnya itu sendiri.
Dalam Fathul Bari dikatakan :
أو الذي نفاه صفة مخصوصة كما سيأتي نحوه في الكلام على حديث عائشة . قال عياض وغيره : إنما أنكر ابن عمر ملازمتها وإظهارها في المساجد وصلاتها جماعة ، لا أنها مخالفة للسنة . ويؤيده ما رواه ابن أبي شيبة ، عن ابن مسعود أنه رأى قوما يصلونها فأنكر عليهم ، وقال : إن كان ولا بد ففي بيوتكم
“ Atau yang dinafikan (oleh Ibnu Umar) adalah sifat dengan cara tertentunya sebagaimana akan datang penjelasannya dalam hadits Aisyah. Imam Iyadh dan selainnya mengatakan, “ Sesungguhnya yang diingkari oleh Ibnu Umar adalah hanyalah melazimkannya, menampakkannya di masjid-masjid dan melakukan sholat dhuha dengan berjama’ah “, argumentasi ini dikuatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Ma’ud bahwasanya beliau melihat satu kaum yang melakukan sholat itu, lalu beliau mengingkarinya dan berkata “ Jika tetap mau melakukannya, hendaknya melakukannya di rumah-rumah kalian “.
Sholat dhuha adalah sunnah bukan bid’ah. Yang dianggap bid’ah oleh Ibnu Umar dalam sholat dhuha itu adalah bahwasanya pada masa khilafah Utsman bin ‘Affan, banyak dari orang-orang yang membiasakan diri datang ke masjid-masjid saat waktu karohah (kemakruhan melakukan sholat) itu keluar, lalu mereka melakukan sholat dhuha. Tradisi ini menjadi kental dan dikenal oleh orang banyak saat itu, sehingga tidaklah dikenal sholat dhuha kecuali adalah sholat yang dilakukan di dalam masjid setelah keluarnya waktu isyraq. Padahal Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya setelah terangkatnya matahari seukuran tombak dalam pandangan mata.
Perhatikan komentar imam Ibnu Juraij berikut ini :
أول من صلاها أهل البوادي ، يدخلون المسجد إذا فرغوا من أسواقهم
“ Orang pertama yang melakukan sholat (dhuha seperti) itu adalah penduduk dusun Arab, mereka masuk masjid jika telah selesai dari pasar mereka “[1]
Imam ath-Thawus juga mengatakan:
إن أول من صلاها الأعراب ، إذا باع أحدهم بضاعة يأتي المسجد فيكبر ويسجد
“ Sesungguhnya orang pertama yang melakukan sholat (dhuha seperti) itu adalah kaum baduwi Arab, jika mereka telah selesai menjual satu barang, maka mereka mendatangi masjid bertakbir dan sujud “. [2]
Ini juga dikuatkan dengan hadits Ibnu Mas’ud berikut :
فقد قال مسروق بن الأجدع : كنا نقعد في المسجد فنثبّت الناس في القراءة بعد قيام ابن مسعود , ثم نقوم فنصلي الضحى , فبلغ ذلك ابنَ مسعود , فقال : عبادَ الله , لا نحمّلوا عباد الله ما لم يحملهم الله , إن كنتم لا بد فاعلين ففي بيوتكم
“ Masruq bin al-Ajda’ berkata “ Ketika kami duduk di dalam masjid, maka kami tetapkan orang-orang dalam membaca al-Quran setelah berdirinya (pulangnya) Ibnu Mas’ud, kami beridri mengerjakan sholat dhuha, maka hal ini didengar oleh Ibnu Mas’ud, lalu beliau berkata, “ wahai hamba Allah, jangan engkau beratkan hamba-hamba Allah dengan apa yang tidak Allah beratkan, jika kamu tetap mau melakukan sholat itu, maka lakukanlah di rumah-rumah kalian “.[3]
Maka dari sudut inilah Ibnu Umar mengatakan Abu Bakar, Umar dan Nabi tidak pernah melakukan sholat dhuha dengan sifat tertentu atau istilah tertentu seperti di atas. Maka ketika Ibnu Umar ditanya tentang sholat dhuha lalu beliau menjawabnya bid’ah, adalah dari sudut ini yaitu istilah yang saat itu dikenal yakni sholat dengan menentukan tempat dan waktu khusus yang tidak pernah ditentukan oleh syare’at.
Abul Jauza mengatakan : Padahal, ada riwayat shahih bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan dan memerintahkan shalat Dluhaa.
حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى، يَقُولُ: " مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ، أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى غَيْرُ أُمِّ هَانِئٍ، فَإِنَّهَا قَالَتْ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ، فَلَمْ أَرَ صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ "
Telah menceritakan kepada kami Aadam : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Murrah, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa berkata : “Tidak ada seorang pun yang menceritakan kepadaku bahwa ia melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dluhaa kecuali Ummu Haani’. Sesungguhnya ia pernah berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahnya pada hari Fathu makkah, lalu beliau mandi dan melakukan shalat delapan raka’at. Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan daripada itu, namun beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1176].
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي الرِّشْكَ، حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ، أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، " كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى ؟ قَالَتْ: أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ "
Telah menceritakan kepada kami Syaibaan bin Farruukh : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Ar-Risyk : Telah menceritakan kepadaku Mu’aadzah, bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Berapa raka’at Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Dluhaa ?”. ‘Aaisyah menjawab : “Empat raka’at, dan beliau menambah sebanyak yang Allah kehendaki” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 719].
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، أَخبرنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، سَمِعَ عَاصِمَ بْنَ ضَمْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى "
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, ia mendengar ‘Aashim bin Dlamrah meriwayatkan dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Dluhaa” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/89; Al-Arna’uth berkata : “sanadnya qawiy (kuat)”].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ، حَدَّثَنَا مَهْدِيٌّ وَهُوَ ابْنُ مَيْمُونٍ، حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ الدُّؤَلِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Asmaa’ Adl-Dluba’iy : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Maimuun : Telah menceritakan kepada kami Waashil maulaa Abi ‘Uyainah, dari Yahyaa bin ‘Uqail, dari Yahyaa bin Ya’mar, dari Abul-Aswad Ad-Dualiy, dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Pada setiap pagi, setiap sendi tubuh Bani Adam harus bersedekah. Setiap tasbih bisa menjadi sedekah. Setiap tahmid bisa menjadi sedekah. Setiap tahlil bisa menjadi sedekah. Setiap takbir bisa menjadi sedekah. Setiap amar ma’ruf nahi munkar juga bisa menjadi sedekah. Semua itu dapat digantikan dengan raka’at yang dilakukan pada waktu Dluha” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 720].
Orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui.
Saya jawab :
Anda tidak cermat dan kurang teliti melihat persoalan ini wahai Abul Jauza, Ibnu Umar sama sekali tidak mengingkari sholat dhuha yang dilakukan Nabi, bahkan beliau pun pernah melakukannya. Yang beliau katakan bid’ah dalam sholat dhuha adalah sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, yaitu sholat dhuha dengan menentukan tempat dan waktu tertentu.
Ada empat tabi’in yang meriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan sholat dhuha (dengan cara, waktu dan tempat tertentu) adalah bid’ah. Yaitu dari Mujahid, al-Hakam bin alA’raj, asy-Sya’bi, Salim bin Abdullah bin Umar dan
Dari Mujahid :
عن مجاهد ، قال : دخلت أنا وعروة بن الزبير المسجد فإذا عبد الله بن عمر جالس إلى حجرة عائشة وإذا أُناس يصلّون في المسجد صلاة الضحى . قال : فسألناه عن صلاتهم ، فقال : بدعة
“ Dari Mujahid, ia berkata, “ Aku bersama Urwah bin Zubair masuk ke masjid, dan ternyata ada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma sedang bermajlis ke kamar Aisyah, tiba-tiba orang-orang sedang melakukan sholat dhuha di dalam masjid. Ia berkata, “ Lalu kira Tanya kepada Ibnu Umar, maka beliau menjawab “ Itu adalah bid’ah “.[4]
Dalam riwayat yang lain :
عن ابن عمر أنه قال : إنها محدثة ، وإنها لمن أحسن ما أحدثو
“ Dari Ibnu Umar bahwasanya ia bekata “ Sholat dhuha (semacam itu) adalah bid’ah. Dan sesungguhnya ia adalah perkara baru yang baik “[5]
Dari al-Hakam al-A’raj :
قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى، وَهُوَ مُسْنِدٌ ظَهْرَهُ إِلَى حُجْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: بِدْعَةٌ، وَنِعْمَتِ الْبِدْعَةُ
“ Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : “Apakah engkau melakukan shalat Dluhaa ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Bagaimana dengan ‘Umar ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Abu Bakr ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Aku kira tidak” [6]
Salim bin Abdullah bin Umar :
فقد روى عن أبيه أنه قال : لقد قتل عثمان وما أحد يسبحها ، وإنها لمن أحب ما أحدث الناس إليّ
“ Sungguh telah meriwayatkan dari ayahnya bahwasanya ia berkata. “ Sunnnguh Utsman telah terbunuh, dan tak ada seorang pun yang melakukan sholat dhuha, sesungguhnya sholat itu adalah perkara baru yang dilakukan manusia yang paling aku cintai “[7]
Sa’id bin ‘Amr bin Sa’id bin al-‘Ash al-Amri :
أَتْبعني أبي عبدَ الله بن عمر لأتعلم منه ، فما رأيته يصلي السبحة ، وكان إذا رآهم يصلونها قال : من أحسن ما أحدثوا سبحتهم هذه
“ Ayahku mengajak aku kepada Abdullah bin Umar untuk aku belajar darinya. Aku tidak pernah melihat ia sholat dhuha, dan beliau jika melihat orang-orang sholat dhuha, maka beliau mengatakan : “ Di antara perkara baru yang mereka lakukan yang lebih bagus adalah solat mereka ini “.[8]
عن الشعبي قال : سمعت ابن عمر يقول : ما ابتدع المسلمون أفضل من صلاة الضحى
“ Dari Sya’bi ia berkata, “ Aku telah mendengar Ibnu Umar mengatakan “ Tidak ada perkara baru (bid’ah) yang dilakukan kaum muslimin yang lebih utama dari sholat dhuha “[9]
وخلاصة الأمر أن الناس أحدثوا أمراً جديدا في صلاة الضحى ، وهو التزامهم بأداء هذه العبادة في أول وقتها في المسجد ، وأن ابن عمر يحكم على فعلهم هذا بأنه بدعة ومحدثة ، وأنه هو ما كان يصليها كما يصليها الناس ، ومع ذلك فقد أثنى على ما يفعلونه بأنه نعمت البدعة ، وأنه من أحسن ما أحدثوا . ولعل ذلك لما رأى من نشاط الناس لأداء هذه العبادة في المسجد ، ولتوقعه أن كثيراً منهم لو حُذِّروا من أدائها في المسـاجد وأُلزموا أن يفعلوها في البيوت لأصابهم الفتور ، ومن ههنا تحققت الخيرية لما ألزم الناس أنفسهم به
Intinya adalah, Abdullah bin Umar melihat orang-orang melakukan sholat dhuha dengan model yang baru yaitu melazimkan ibadah tersebut dengan waktu tertentu, melazimkannya (merutinkan) di dalam masjid. Dari sudut inilah yang disebut bid’ah oleh Abdullah bin Umar radhiallhu ‘anhuma.
Ibnul Qayyim memiliki pandangan yang unik dan berbeda :
ومن تأمل الأحاديث المرفوعة وآثارَ الصحابة، وجدها لا تدل إلا على هذا القول، وأما أحاديثُ الترغيب فيها، والوصيةُ بها، فالصحيح منها كحديث أبي هريرة وأبي ذر لايدل على أنها سنة راتبة لكل أحد، وإنما أوصى أبا هريرة بذلك، لأنه قد روي أن أبا هريرة كان يختار درس الحديث بالليل على الصلاة، فأمره بالضحى بدلاً من قيام الليل، ولهذا أمره ألا ينام حتى يوتر، ولم يأمر بذلك أبا بكر وعمر وسائر الصحابة
“ Barangsiapa yang merenungi hadits-hadits marfu’ dan astar sahabat ini, maka ia akan menemukan bahwa semua menunjukkan kecuali atas ucapan ini. Adapaun hadits targhib (motivasi untuk melakukan dhuha) dan wasiat seperti hadits Abu Hurairah dan Abu Dzar, maka yang sahih adalah hal itu tidak menunjukkan atas sholat dhuha yang sunnah secara ratib (rutin) bagi setiap orang, beliau mewasiatkan Abu Haurairah demikian karena diriwayatkan bahwa Abu Hurairah konon memilih belajar haditd di malam hari dengan sholat, maka Nabi memerintahkannya di waktu dhuha sebagai ganti di malam hari, oleh sebab itu beliau memerintahkannya sholat witir sbelum tidur namun beliau tidak memerintahkan hal itu kepada Abu Bakar, Umar dan semua para sahabatnya “.[10]
Abul Jauza mengatakan : Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidaklah menafikkan shalat Dluhaa secara mutlak. Shalat tersebut masyru’ dilakukan jika baru datang dari bepergian.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الصَّوَّافُ، نَا سَالِمُ بْنُ نُوحٍ الْعَطَّارُ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي الضُّحَى إِلا أَنْ يَقْدَمَ مِنْ غَيْبَةٍ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Ash-Shawwaaf : Telah menceritakan kepada kami Saalim bin Nuuh Al-‘Aththaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat Dluhaa kecuali jika baru datang dari bepergian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 2/230-231 no. 1229; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam ta’liq Shahih Ibni Khuzaimah].
Saya jawab :
Pertama : Apa yang dilakukan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Ummi Hani tersebut memanglah sholat dhuha yang Nabi lakukan artinya berbeda dengsn sholat dhuha yang dilakukan setelah beliau pada masa Abdullah bin Umar yang dilakukan dengan melazimkannya (menetapkannya) di awal waktu dan di dalam masjid. Menurut ulama dilakukannya secara berjama’ah. Inilah yang disinggung bid’ah yang baik oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu.
kedua : sholat yang dilakukan oleh Nabi dalam riawayat di atas, dilakukan setelah Nabi datang dari bepergian, maka ada ihtimal (kemungkinan) sholat yang Nabi lakukan itu adalah sholat sunnah ketika baru datang dari bepergian. Bagaimana anda menyikapi komentar Ibnul Qayyim tentang ucapan siti Aisyah yang sama dengan hadits tersebut? Ibnul Qayyim mengatakan :
وأما قولُ عائشة: لم يكن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم يُصلي الضحى إلا أن يَقْدَمَ مِنْ مغيبه، فهذا من أبين الأمور أن صلاته لها إنما كانت لسبب، فإنه صلى الله عليه وسلم كان إذا قَدِمَ من سفر، بدأ بالمسجد، فصلى فيه ركعتين
“ Adapun ucapan Aisyah bahwa Nabi sahllahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan sholat dhuha kecuali ketika datang dari bepergian, ini adalah perkara yang paling menjelaskan bahwa sholat dhuha beliau kalau ada sebabnya saja, akrena Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam jika datang dari bepergian, beliau masuk terlebih dahulu ke masjid dan melakukan sholat dua roka’at “.[11]
Sepertinya anda sengaja menyembunyikan hal ini wahai Abul Jauza…
Abul Jauza mengatakan : Bersamaan dengan itu, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa juga pernah mengerjakannya.
ثَنَا لَيْثٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، كَانَ يُسْأَلُ عَنْ صَلاةِ الضُّحَى فَلا يَنْهَى وَلا يَأْمُرُ بِهَا، وَيَقُولُ: " إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ، وَلَكِنْ لا تُصَلُّوا عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَلا عِنْدَ غُرُوبِهَا "
Telah menceritakan kepada kami Laits, dari Naafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia pernah ditanya tentang shalat Dluhaa, maka ia tidak melarangnya dan tidak pula memerintahkannya. Ia berkata : “Aku hanyalah melakukannya sebagaimana aku lihat para shahabatku melakukannya. Akan tetapi janganlah kalian mengerjakannya ketika matahari terbit dan tenggelamnya" [Diriwayatkan oleh Abu Jahm Al-Baghdaadiy dalam Juz-nya no. 17; sanadnya shahih].
Saya jawab :
Hadits ini merupakan hujjah bagi saya untuk anda wahai Abul Jauza. Hadits ini semakin menguatkan hujjah saya bahwa apa yang dilkakukan orang-orang dalam melakukan sholat dhuha berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar dalam sholat dhuha. Dan beliau lebih mempertegas lagi, bahwa jangan melakukan sholat itu ketika matahari terbit atau tenggelam. Karena sholat dhuha yang dilakukan Nabi adalah setelah matahari naik seukuran tombak dalam pandangan mata.
Jelasnya lagi dalam riwayat :
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ هُوَ الدَّوْرَقِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ، أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ لَا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إِلَّا فِي يَوْمَيْنِ يَوْمَ يَقْدَمُ بِمَكَّةَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَقْدَمُهَا ضُحًى فَيَطُوفُ بِالْبَيْتِ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَلْفَ الْمَقَامِ، وَيَوْمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَرِهَ أَنْ يَخْرُجَ مِنْهُ حَتَّى يُصَلِّيَ فِيهِ، قَالَ: وَكَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَزُورُهُ رَاكِبًا وَمَاشِيًا، قَالَ: وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ، وَلَا أَمْنَعُ أَحَدًا أَنْ يُصَلِّيَ فِي أَيِّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، غَيْرَ أَنْ لَا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا غُرُوبَهَا
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim Ad-Dauraqiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah : Telah mengkhabarkan kepada kami Ayyuub, dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak pernah mengerjakan shalat Dhuha kecuali pada dua kali, yaitu hari ketika dia mengunjungi Makkah saat dia memasuki kota Makkah di waktu Dhuha lalu dia melakukan thawaf di Ka’bah kemudian shalat dua raka'at di belakang maqaam (Ibraahiim). Dan yang lain adalah saat ia mengunjungi masjid Qubaa', yang ia mendatanginya pada hari Sabtu. Bila ia telah memasukinya, maka ia enggan untuk keluar darinya hingga ia shalat terlebih dahulu di dalamnya. Berkata Nafi' : "Dan Ibnu'Umar radliallaahu 'anhumaa menceritakan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mengunjungi (masjid Qubaa') baik dengan berkendaraan ataupun berjalan kaki". Berkata Nafi' : Dan Ibnu 'Umar radliallaahu 'anhumaa berkata : "Sesungguhnya aku mengerjakan yang demikian seperti aku melihat para sahabatku melakukannya, namun aku tidak melarang seseorangpun untuk mengerjakan shalat pada waktu kapanpun yang ia suka baik di waktu malam maupun siang hari, asalkan tidak bersamaan waktunya saat terbitnya matahari atau saat tenggelam" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1192].
Dari sini terdapat sedikit kejelasan bahwa ‘sebaik-baik bid’ah’ yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah terkait shalat sunnah mutlak yang dilakukan oleh seorang muslim pada waktu malam dan siang, dan kemudian orang-orang banyak melakukannya pada waktu Dluhaa. Di satu sisi Ibnu ‘Umar mengetahui bahwa shalat sunnah mutlak siang dan malam itu adalah masyru’, namun di sisi lain ia tidak mengetahui adanya dalil pendawaman shalat Dluhaa secara khusus di luar waktu ketika tiba dari bepergian.
Dengan kata lain, perkataan sebaik-baik bid’ah yang diucapkan Ibnu ‘Umar tadi terkait dengan shalat sunnah mutlak yang banyak dikerjakan kaum muslimin pada waktu Dluhaa, bukan pada shalat Dluhaa-nya itu sendiri.
Saya jawab :
wahai Abul jauza ini semakin menguatkan hujjah kami bahwa apa yang dilakukan oleh kaum muslimin saat itu, bukanlah sholat dhuha melainkan sholat baru yang belum ada contoh sebelumnya, sehingga beliau menyebutnya bid’ah yang baik.
Bagaimana dengab komentar Ibnul Qayyim berikut ini tentang hadits dia atas :
وفِعل الصحابة رضي اللّه عنهم يدل على هذا، فإن ابن عباس كان يُصليها يوماً، ويدعها عشرة، وكان ابنُ عمر لا يصليها، فإذا أتى مسجد قُباء، صلاها، وكان يأتيه كلَّ سبت وقال سفيان، عن منصور: كانوا يكرهون أن يُحافظوا عليها، كالمكتوبة، ويصلون ويَدعون
“ Dan perbuatan sahabat radhiallahu ‘anhum menunjukkan atas hal ini (sholat dhuha dengan jarang) karena Ibnu Abbas melakukan sholat ini suatu hari dan meninglkannya sepuluh hari. Ibnu Umar tidak melakukannya, jika beliau datang ke masjid Quba, maka beliau baru melakukannya, dan beliau datang ke sana setiap hari sabtu. Sufyan berkata dari Manshur “ Mereka tidak suka meritinkan sholat dhuha seprti sholat wajib, mereka sholat dan kadang meninggalkannya “[12]
Hadits-hadits yang telah saya sebutkan sebelumnya yang menjelaskan bid’ahnya sholat dhuha sudah cukup bukti bahwa apa yang dimaksudkan oleh Ibnu Umar adalah sholat dhuha dengan sifat yang berbeda yaitu dengan meruntinkannya di awal waktu, dan merutinkannya di dalam masjid, da yang mengatakan mereka melakukannya dengan berjama’ah. Inilah yang dianggap bid’ah yang baik oleh Abdullah bin Umar.
Abul Jauza mengatakan : Oleh karena itu, bid’ah dalam perkataan ‘sebaik-baik bid’ah’ dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah bid’ah secara bahasa (lughawiy). Bukan bid’ah secara istilah. Telah masyhur perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tentang penafikan eksistensi bid’ah hasanah sebagaimana riwayat :
أَخْبَرَنَا أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمُنَادِي، ثنا شَبَابَةُ، ثنا هِشَامُ بْنُ الْغَازِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid Al-Munaadiy : Telah menceritakan kepada kami Syabaabah : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Al-Ghaar, dari Naafi, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah) [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
Dan inilah praktek Ibnu ‘Umar dalam penafikan bid’ah hasanah :
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا حَضْرَمِيٌّ مَوْلَى آلِ الْجَارُودِ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ "
Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ar-Rabii’ : Telah menceritakan kepada kami Hadlramiy maulaa aali Al-Jaarud, dari Naafi’ : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillaah (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasulullah)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan aku mengatakan : alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami untuk mengucapkan (ketika bersin) : ‘Alhamdulillah ‘alaa kulli haal’ (Alhamdulillah dalam segala kondisi)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2738].
Seluruh perawinya tsiqaat, kecuali Hadlramiy, seorang yang maqbuul. Ia mempunyai mutaba’ah dari Sulaimaan bin Muusaa sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 1/186 no. 323. Oleh karena itu riwayat ini adalah hasan.
Kembali ke awal pembicaraan. Tidak ada petunjuk yang shahih dan sharih dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tentang pelegalan eksistensi bid’ah hasanah. Seandainya ada yang tetap keukeuh menganggap Ibnu ‘Umar mendukung bid’ah hasanah, maka hakekatnya ia hanya mengambil satu riwayat dan membutakan diri terhadap riwayat-riwayat lainnya, serta enggan melakukan pengkompromian untuk menghasilkan satu pemahaman komprehensif madzhab Ibnu ‘Umar dalam masalah bid’ah.
Wallaahu a’lam.
Saya jawab :
seandainya kita katakan bid’ah dalam segi lughawi, lantas apakah anda Ibnu Umar menafikan perkara baru yang baik ?? wahai Abul Jauza, Ibnu Umar sama sekali tidak menolak perkara baru (bid’ah) yang baik, bahkan beliau memujinya sebagaimana hadits yang telah saya sampaikan di atas. Jika seandainya beliau membenci semua perkara baru (bid’ah) sudah pasti beliau tidak akan memujinya. Tapi faktanya beliau malah memuji dan tidak melarang orang yang melakukan bid’ah tersebut. Ini bukti nyata bahwa Ibnu Umar adalah salah satu sahabat yang mendukung adanya bid’ah hasanah yang berlandaskan syare’at.
Adapun ucapan beliau “ Setiap bid’ah itu sesat, walaupun manusia menganggapnya itu baik “, maka yang dimaksud oleh beliau adalah bid’ah dalam syare’at yaitu bid’ah yang bertentangan dengan asal syare’at. Jika anda menggeneralisir ucapan beliau ini sebagai pengakuan beliau bahwa semua bid’ah itu sesat, maka jelas bertentangan dengan fakta dan realita pengakuan beliau adanya bid’ah baik yang diterima.
Meskipun ucapan bid’ah yang diterima beliau anda takwil dengan sholat muthlaq bukan sholat dhuha atau anda takwil dengan bid’ah secara bahasa, tetap saja anda tidak akan bisa menghilangkan subtansi yang dimaksud oleh Abdullah bin Umar yaitu penerimaan beliau terhadap perkara baru yang tidak betrtentangan dengan syare’at alias bid’ah hasanah jika dilihat dalam pandangan kami Ahlus sunnah wal –Jama’ah.
[1] Mushannaf Abdirrazzaq : 3/79
[2] Mushannaf Abdirrazzaq : 3/79-80
[3] Mushaanaf Ibnu Abi Syaibah : 2/405 dengan sanad yang sahih.
[4] Sahih Bukhari bab Umrah No. 1775
[5] Fathul Bari : 4/84
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1175
[7] Mushaanaf Abudrazzaq : 3/78
[8] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah : 2/408
[9] Zadul Ma’aad : 1/118
[10] Zadul Ma’aad Fi hadyi Khiril Ibad, Ibnul Qayyim : 1/120
[11] Zadul Ma’aad Fi hadyi Khiril Ibad, Ibnul Qayyim : 1/120
[12] Zadul Ma’aad Fi hadyi Khiril Ibad, Ibnul Qayyim : 1/121A
Yang ironisnya (ajibnya), Abul Jauza ingin menolak ucapan bid’ah yang dikatakan oleh Abdullah bin Umar, tapi malah ia semakin menguatkan hujjah Ahlus sunnah wal Jam’ah (Aswaja) tentang fakta adanya bid’ah yang diterima yaitu bid’ah yang berdasarkan asal dalam syare’at. Dari sudut mana pun, tetap Abul Jauza tidak bisa lari dan tidak bisa menghindari bahwa bid’ah hasanah itu memang ada. Kalau bahasa film Dono adalah maju kena, mundur pun kena. Selamat membaca keunikan dan kelucuan Abul Jauza dalam berargumentasi..
Abul Jauza mengatakan : Telah masyhur bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berpendapat tentang bid’ahnya shalat Dluhaa.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ: ثَنَا حَاجِبُ بْنُ عُمَرَ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى؟ فَقَالَ: " بِدْعَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haajib bin ‘Umar, dari Al-Hakam bin Al-A’raj, ia berkata : Aku pernah bertanya kepafa Ibnu ‘Umar tentang shalat Dluhaa, ia menjawab : “Bid’ah” [idem, 2/406 no. 7866].
Sanadnya shahih.
Sebagian orang ada yang mengambil riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa di atas sebagai dalil keabsahan bid’ah hasanah dan menganggap Ibnu ‘Umar sebagai sosok penganut paham eksistensi bid’ah hasanah.
Saya jawab :
Benar kami juga menggunakan hadits Ibnu Umar sebagai dalil adanya bid’ah Hasanah. Akan tetapi dari sudut Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, bukan dari sudur anda wahai Abul Jauza. Dan benar kami juag meyakini bahwa Ibnu Umar penganut paham eksistensi bid’ah hasanah sebagaimana pemahaman Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, imam Abu Hanifah, al-Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal yang meyakini adanya bid’ah hasanah.
Abul Jauza mengatakan : Pendalilan mereka tertolak dalam beberapa segi dengan urutan berpikir sebagai berikut :
1. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu membid’ahkan shalat Dluhaa dikarenakan ia tidak mengetahui mengetahui adanya perintah atau perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mendasarinya.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ تَوْبَةَ، عَنْ مُوَرِّقٍ، قَالَ: " قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَتُصَلِّي الضُّحَى؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَعُمَرُ؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَأَبُو بَكْرٍ؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا إِخَالُهُ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Syu’bah, dari Taubah, dari Muwarriq, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : “Apakah engkau melakukan shalat Dluhaa ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Bagaimana dengan ‘Umar ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Abu Bakr ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Aku kira tidak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1175].
Saya jawab :
Yang benar adalah Ibnu Umar mengetahui bahwa sholat dhuha itu sunnah, akan tetapi beliau mengatakan sholat itu bid’ah tertuju pada sholat yang dilakukan sebagian orang saat itu yang melazimi sholat dhuha, melakukannya selalu dalam masjid dan melakukannya dengan berjama’ah bukan menilai pada sholat dhuhahnya itu sendiri.
Dalam Fathul Bari dikatakan :
أو الذي نفاه صفة مخصوصة كما سيأتي نحوه في الكلام على حديث عائشة . قال عياض وغيره : إنما أنكر ابن عمر ملازمتها وإظهارها في المساجد وصلاتها جماعة ، لا أنها مخالفة للسنة . ويؤيده ما رواه ابن أبي شيبة ، عن ابن مسعود أنه رأى قوما يصلونها فأنكر عليهم ، وقال : إن كان ولا بد ففي بيوتكم
“ Atau yang dinafikan (oleh Ibnu Umar) adalah sifat dengan cara tertentunya sebagaimana akan datang penjelasannya dalam hadits Aisyah. Imam Iyadh dan selainnya mengatakan, “ Sesungguhnya yang diingkari oleh Ibnu Umar adalah hanyalah melazimkannya, menampakkannya di masjid-masjid dan melakukan sholat dhuha dengan berjama’ah “, argumentasi ini dikuatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Ma’ud bahwasanya beliau melihat satu kaum yang melakukan sholat itu, lalu beliau mengingkarinya dan berkata “ Jika tetap mau melakukannya, hendaknya melakukannya di rumah-rumah kalian “.
Sholat dhuha adalah sunnah bukan bid’ah. Yang dianggap bid’ah oleh Ibnu Umar dalam sholat dhuha itu adalah bahwasanya pada masa khilafah Utsman bin ‘Affan, banyak dari orang-orang yang membiasakan diri datang ke masjid-masjid saat waktu karohah (kemakruhan melakukan sholat) itu keluar, lalu mereka melakukan sholat dhuha. Tradisi ini menjadi kental dan dikenal oleh orang banyak saat itu, sehingga tidaklah dikenal sholat dhuha kecuali adalah sholat yang dilakukan di dalam masjid setelah keluarnya waktu isyraq. Padahal Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya setelah terangkatnya matahari seukuran tombak dalam pandangan mata.
Perhatikan komentar imam Ibnu Juraij berikut ini :
أول من صلاها أهل البوادي ، يدخلون المسجد إذا فرغوا من أسواقهم
“ Orang pertama yang melakukan sholat (dhuha seperti) itu adalah penduduk dusun Arab, mereka masuk masjid jika telah selesai dari pasar mereka “[1]
Imam ath-Thawus juga mengatakan:
إن أول من صلاها الأعراب ، إذا باع أحدهم بضاعة يأتي المسجد فيكبر ويسجد
“ Sesungguhnya orang pertama yang melakukan sholat (dhuha seperti) itu adalah kaum baduwi Arab, jika mereka telah selesai menjual satu barang, maka mereka mendatangi masjid bertakbir dan sujud “. [2]
Ini juga dikuatkan dengan hadits Ibnu Mas’ud berikut :
فقد قال مسروق بن الأجدع : كنا نقعد في المسجد فنثبّت الناس في القراءة بعد قيام ابن مسعود , ثم نقوم فنصلي الضحى , فبلغ ذلك ابنَ مسعود , فقال : عبادَ الله , لا نحمّلوا عباد الله ما لم يحملهم الله , إن كنتم لا بد فاعلين ففي بيوتكم
“ Masruq bin al-Ajda’ berkata “ Ketika kami duduk di dalam masjid, maka kami tetapkan orang-orang dalam membaca al-Quran setelah berdirinya (pulangnya) Ibnu Mas’ud, kami beridri mengerjakan sholat dhuha, maka hal ini didengar oleh Ibnu Mas’ud, lalu beliau berkata, “ wahai hamba Allah, jangan engkau beratkan hamba-hamba Allah dengan apa yang tidak Allah beratkan, jika kamu tetap mau melakukan sholat itu, maka lakukanlah di rumah-rumah kalian “.[3]
Maka dari sudut inilah Ibnu Umar mengatakan Abu Bakar, Umar dan Nabi tidak pernah melakukan sholat dhuha dengan sifat tertentu atau istilah tertentu seperti di atas. Maka ketika Ibnu Umar ditanya tentang sholat dhuha lalu beliau menjawabnya bid’ah, adalah dari sudut ini yaitu istilah yang saat itu dikenal yakni sholat dengan menentukan tempat dan waktu khusus yang tidak pernah ditentukan oleh syare’at.
Abul Jauza mengatakan : Padahal, ada riwayat shahih bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan dan memerintahkan shalat Dluhaa.
حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى، يَقُولُ: " مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ، أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى غَيْرُ أُمِّ هَانِئٍ، فَإِنَّهَا قَالَتْ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ، فَلَمْ أَرَ صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ "
Telah menceritakan kepada kami Aadam : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Murrah, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa berkata : “Tidak ada seorang pun yang menceritakan kepadaku bahwa ia melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dluhaa kecuali Ummu Haani’. Sesungguhnya ia pernah berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahnya pada hari Fathu makkah, lalu beliau mandi dan melakukan shalat delapan raka’at. Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan daripada itu, namun beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1176].
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي الرِّشْكَ، حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ، أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، " كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى ؟ قَالَتْ: أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ "
Telah menceritakan kepada kami Syaibaan bin Farruukh : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Ar-Risyk : Telah menceritakan kepadaku Mu’aadzah, bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Berapa raka’at Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Dluhaa ?”. ‘Aaisyah menjawab : “Empat raka’at, dan beliau menambah sebanyak yang Allah kehendaki” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 719].
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، أَخبرنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، سَمِعَ عَاصِمَ بْنَ ضَمْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى "
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, ia mendengar ‘Aashim bin Dlamrah meriwayatkan dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Dluhaa” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/89; Al-Arna’uth berkata : “sanadnya qawiy (kuat)”].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ، حَدَّثَنَا مَهْدِيٌّ وَهُوَ ابْنُ مَيْمُونٍ، حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ الدُّؤَلِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Asmaa’ Adl-Dluba’iy : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Maimuun : Telah menceritakan kepada kami Waashil maulaa Abi ‘Uyainah, dari Yahyaa bin ‘Uqail, dari Yahyaa bin Ya’mar, dari Abul-Aswad Ad-Dualiy, dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Pada setiap pagi, setiap sendi tubuh Bani Adam harus bersedekah. Setiap tasbih bisa menjadi sedekah. Setiap tahmid bisa menjadi sedekah. Setiap tahlil bisa menjadi sedekah. Setiap takbir bisa menjadi sedekah. Setiap amar ma’ruf nahi munkar juga bisa menjadi sedekah. Semua itu dapat digantikan dengan raka’at yang dilakukan pada waktu Dluha” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 720].
Orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui.
Saya jawab :
Anda tidak cermat dan kurang teliti melihat persoalan ini wahai Abul Jauza, Ibnu Umar sama sekali tidak mengingkari sholat dhuha yang dilakukan Nabi, bahkan beliau pun pernah melakukannya. Yang beliau katakan bid’ah dalam sholat dhuha adalah sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, yaitu sholat dhuha dengan menentukan tempat dan waktu tertentu.
Ada empat tabi’in yang meriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan sholat dhuha (dengan cara, waktu dan tempat tertentu) adalah bid’ah. Yaitu dari Mujahid, al-Hakam bin alA’raj, asy-Sya’bi, Salim bin Abdullah bin Umar dan
Dari Mujahid :
عن مجاهد ، قال : دخلت أنا وعروة بن الزبير المسجد فإذا عبد الله بن عمر جالس إلى حجرة عائشة وإذا أُناس يصلّون في المسجد صلاة الضحى . قال : فسألناه عن صلاتهم ، فقال : بدعة
“ Dari Mujahid, ia berkata, “ Aku bersama Urwah bin Zubair masuk ke masjid, dan ternyata ada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma sedang bermajlis ke kamar Aisyah, tiba-tiba orang-orang sedang melakukan sholat dhuha di dalam masjid. Ia berkata, “ Lalu kira Tanya kepada Ibnu Umar, maka beliau menjawab “ Itu adalah bid’ah “.[4]
Dalam riwayat yang lain :
عن ابن عمر أنه قال : إنها محدثة ، وإنها لمن أحسن ما أحدثو
“ Dari Ibnu Umar bahwasanya ia bekata “ Sholat dhuha (semacam itu) adalah bid’ah. Dan sesungguhnya ia adalah perkara baru yang baik “[5]
Dari al-Hakam al-A’raj :
قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى، وَهُوَ مُسْنِدٌ ظَهْرَهُ إِلَى حُجْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: بِدْعَةٌ، وَنِعْمَتِ الْبِدْعَةُ
“ Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : “Apakah engkau melakukan shalat Dluhaa ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Bagaimana dengan ‘Umar ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Abu Bakr ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Aku kira tidak” [6]
Salim bin Abdullah bin Umar :
فقد روى عن أبيه أنه قال : لقد قتل عثمان وما أحد يسبحها ، وإنها لمن أحب ما أحدث الناس إليّ
“ Sungguh telah meriwayatkan dari ayahnya bahwasanya ia berkata. “ Sunnnguh Utsman telah terbunuh, dan tak ada seorang pun yang melakukan sholat dhuha, sesungguhnya sholat itu adalah perkara baru yang dilakukan manusia yang paling aku cintai “[7]
Sa’id bin ‘Amr bin Sa’id bin al-‘Ash al-Amri :
أَتْبعني أبي عبدَ الله بن عمر لأتعلم منه ، فما رأيته يصلي السبحة ، وكان إذا رآهم يصلونها قال : من أحسن ما أحدثوا سبحتهم هذه
“ Ayahku mengajak aku kepada Abdullah bin Umar untuk aku belajar darinya. Aku tidak pernah melihat ia sholat dhuha, dan beliau jika melihat orang-orang sholat dhuha, maka beliau mengatakan : “ Di antara perkara baru yang mereka lakukan yang lebih bagus adalah solat mereka ini “.[8]
عن الشعبي قال : سمعت ابن عمر يقول : ما ابتدع المسلمون أفضل من صلاة الضحى
“ Dari Sya’bi ia berkata, “ Aku telah mendengar Ibnu Umar mengatakan “ Tidak ada perkara baru (bid’ah) yang dilakukan kaum muslimin yang lebih utama dari sholat dhuha “[9]
وخلاصة الأمر أن الناس أحدثوا أمراً جديدا في صلاة الضحى ، وهو التزامهم بأداء هذه العبادة في أول وقتها في المسجد ، وأن ابن عمر يحكم على فعلهم هذا بأنه بدعة ومحدثة ، وأنه هو ما كان يصليها كما يصليها الناس ، ومع ذلك فقد أثنى على ما يفعلونه بأنه نعمت البدعة ، وأنه من أحسن ما أحدثوا . ولعل ذلك لما رأى من نشاط الناس لأداء هذه العبادة في المسجد ، ولتوقعه أن كثيراً منهم لو حُذِّروا من أدائها في المسـاجد وأُلزموا أن يفعلوها في البيوت لأصابهم الفتور ، ومن ههنا تحققت الخيرية لما ألزم الناس أنفسهم به
Intinya adalah, Abdullah bin Umar melihat orang-orang melakukan sholat dhuha dengan model yang baru yaitu melazimkan ibadah tersebut dengan waktu tertentu, melazimkannya (merutinkan) di dalam masjid. Dari sudut inilah yang disebut bid’ah oleh Abdullah bin Umar radhiallhu ‘anhuma.
Ibnul Qayyim memiliki pandangan yang unik dan berbeda :
ومن تأمل الأحاديث المرفوعة وآثارَ الصحابة، وجدها لا تدل إلا على هذا القول، وأما أحاديثُ الترغيب فيها، والوصيةُ بها، فالصحيح منها كحديث أبي هريرة وأبي ذر لايدل على أنها سنة راتبة لكل أحد، وإنما أوصى أبا هريرة بذلك، لأنه قد روي أن أبا هريرة كان يختار درس الحديث بالليل على الصلاة، فأمره بالضحى بدلاً من قيام الليل، ولهذا أمره ألا ينام حتى يوتر، ولم يأمر بذلك أبا بكر وعمر وسائر الصحابة
“ Barangsiapa yang merenungi hadits-hadits marfu’ dan astar sahabat ini, maka ia akan menemukan bahwa semua menunjukkan kecuali atas ucapan ini. Adapaun hadits targhib (motivasi untuk melakukan dhuha) dan wasiat seperti hadits Abu Hurairah dan Abu Dzar, maka yang sahih adalah hal itu tidak menunjukkan atas sholat dhuha yang sunnah secara ratib (rutin) bagi setiap orang, beliau mewasiatkan Abu Haurairah demikian karena diriwayatkan bahwa Abu Hurairah konon memilih belajar haditd di malam hari dengan sholat, maka Nabi memerintahkannya di waktu dhuha sebagai ganti di malam hari, oleh sebab itu beliau memerintahkannya sholat witir sbelum tidur namun beliau tidak memerintahkan hal itu kepada Abu Bakar, Umar dan semua para sahabatnya “.[10]
Abul Jauza mengatakan : Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidaklah menafikkan shalat Dluhaa secara mutlak. Shalat tersebut masyru’ dilakukan jika baru datang dari bepergian.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الصَّوَّافُ، نَا سَالِمُ بْنُ نُوحٍ الْعَطَّارُ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي الضُّحَى إِلا أَنْ يَقْدَمَ مِنْ غَيْبَةٍ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Ash-Shawwaaf : Telah menceritakan kepada kami Saalim bin Nuuh Al-‘Aththaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat Dluhaa kecuali jika baru datang dari bepergian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 2/230-231 no. 1229; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam ta’liq Shahih Ibni Khuzaimah].
Saya jawab :
Pertama : Apa yang dilakukan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Ummi Hani tersebut memanglah sholat dhuha yang Nabi lakukan artinya berbeda dengsn sholat dhuha yang dilakukan setelah beliau pada masa Abdullah bin Umar yang dilakukan dengan melazimkannya (menetapkannya) di awal waktu dan di dalam masjid. Menurut ulama dilakukannya secara berjama’ah. Inilah yang disinggung bid’ah yang baik oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu.
kedua : sholat yang dilakukan oleh Nabi dalam riawayat di atas, dilakukan setelah Nabi datang dari bepergian, maka ada ihtimal (kemungkinan) sholat yang Nabi lakukan itu adalah sholat sunnah ketika baru datang dari bepergian. Bagaimana anda menyikapi komentar Ibnul Qayyim tentang ucapan siti Aisyah yang sama dengan hadits tersebut? Ibnul Qayyim mengatakan :
وأما قولُ عائشة: لم يكن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم يُصلي الضحى إلا أن يَقْدَمَ مِنْ مغيبه، فهذا من أبين الأمور أن صلاته لها إنما كانت لسبب، فإنه صلى الله عليه وسلم كان إذا قَدِمَ من سفر، بدأ بالمسجد، فصلى فيه ركعتين
“ Adapun ucapan Aisyah bahwa Nabi sahllahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan sholat dhuha kecuali ketika datang dari bepergian, ini adalah perkara yang paling menjelaskan bahwa sholat dhuha beliau kalau ada sebabnya saja, akrena Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam jika datang dari bepergian, beliau masuk terlebih dahulu ke masjid dan melakukan sholat dua roka’at “.[11]
Sepertinya anda sengaja menyembunyikan hal ini wahai Abul Jauza…
Abul Jauza mengatakan : Bersamaan dengan itu, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa juga pernah mengerjakannya.
ثَنَا لَيْثٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، كَانَ يُسْأَلُ عَنْ صَلاةِ الضُّحَى فَلا يَنْهَى وَلا يَأْمُرُ بِهَا، وَيَقُولُ: " إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ، وَلَكِنْ لا تُصَلُّوا عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَلا عِنْدَ غُرُوبِهَا "
Telah menceritakan kepada kami Laits, dari Naafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia pernah ditanya tentang shalat Dluhaa, maka ia tidak melarangnya dan tidak pula memerintahkannya. Ia berkata : “Aku hanyalah melakukannya sebagaimana aku lihat para shahabatku melakukannya. Akan tetapi janganlah kalian mengerjakannya ketika matahari terbit dan tenggelamnya" [Diriwayatkan oleh Abu Jahm Al-Baghdaadiy dalam Juz-nya no. 17; sanadnya shahih].
Saya jawab :
Hadits ini merupakan hujjah bagi saya untuk anda wahai Abul Jauza. Hadits ini semakin menguatkan hujjah saya bahwa apa yang dilkakukan orang-orang dalam melakukan sholat dhuha berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar dalam sholat dhuha. Dan beliau lebih mempertegas lagi, bahwa jangan melakukan sholat itu ketika matahari terbit atau tenggelam. Karena sholat dhuha yang dilakukan Nabi adalah setelah matahari naik seukuran tombak dalam pandangan mata.
Jelasnya lagi dalam riwayat :
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ هُوَ الدَّوْرَقِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ، أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ لَا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إِلَّا فِي يَوْمَيْنِ يَوْمَ يَقْدَمُ بِمَكَّةَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَقْدَمُهَا ضُحًى فَيَطُوفُ بِالْبَيْتِ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَلْفَ الْمَقَامِ، وَيَوْمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَرِهَ أَنْ يَخْرُجَ مِنْهُ حَتَّى يُصَلِّيَ فِيهِ، قَالَ: وَكَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَزُورُهُ رَاكِبًا وَمَاشِيًا، قَالَ: وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ، وَلَا أَمْنَعُ أَحَدًا أَنْ يُصَلِّيَ فِي أَيِّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، غَيْرَ أَنْ لَا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا غُرُوبَهَا
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim Ad-Dauraqiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah : Telah mengkhabarkan kepada kami Ayyuub, dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak pernah mengerjakan shalat Dhuha kecuali pada dua kali, yaitu hari ketika dia mengunjungi Makkah saat dia memasuki kota Makkah di waktu Dhuha lalu dia melakukan thawaf di Ka’bah kemudian shalat dua raka'at di belakang maqaam (Ibraahiim). Dan yang lain adalah saat ia mengunjungi masjid Qubaa', yang ia mendatanginya pada hari Sabtu. Bila ia telah memasukinya, maka ia enggan untuk keluar darinya hingga ia shalat terlebih dahulu di dalamnya. Berkata Nafi' : "Dan Ibnu'Umar radliallaahu 'anhumaa menceritakan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mengunjungi (masjid Qubaa') baik dengan berkendaraan ataupun berjalan kaki". Berkata Nafi' : Dan Ibnu 'Umar radliallaahu 'anhumaa berkata : "Sesungguhnya aku mengerjakan yang demikian seperti aku melihat para sahabatku melakukannya, namun aku tidak melarang seseorangpun untuk mengerjakan shalat pada waktu kapanpun yang ia suka baik di waktu malam maupun siang hari, asalkan tidak bersamaan waktunya saat terbitnya matahari atau saat tenggelam" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1192].
Dari sini terdapat sedikit kejelasan bahwa ‘sebaik-baik bid’ah’ yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah terkait shalat sunnah mutlak yang dilakukan oleh seorang muslim pada waktu malam dan siang, dan kemudian orang-orang banyak melakukannya pada waktu Dluhaa. Di satu sisi Ibnu ‘Umar mengetahui bahwa shalat sunnah mutlak siang dan malam itu adalah masyru’, namun di sisi lain ia tidak mengetahui adanya dalil pendawaman shalat Dluhaa secara khusus di luar waktu ketika tiba dari bepergian.
Dengan kata lain, perkataan sebaik-baik bid’ah yang diucapkan Ibnu ‘Umar tadi terkait dengan shalat sunnah mutlak yang banyak dikerjakan kaum muslimin pada waktu Dluhaa, bukan pada shalat Dluhaa-nya itu sendiri.
Saya jawab :
wahai Abul jauza ini semakin menguatkan hujjah kami bahwa apa yang dilakukan oleh kaum muslimin saat itu, bukanlah sholat dhuha melainkan sholat baru yang belum ada contoh sebelumnya, sehingga beliau menyebutnya bid’ah yang baik.
Bagaimana dengab komentar Ibnul Qayyim berikut ini tentang hadits dia atas :
وفِعل الصحابة رضي اللّه عنهم يدل على هذا، فإن ابن عباس كان يُصليها يوماً، ويدعها عشرة، وكان ابنُ عمر لا يصليها، فإذا أتى مسجد قُباء، صلاها، وكان يأتيه كلَّ سبت وقال سفيان، عن منصور: كانوا يكرهون أن يُحافظوا عليها، كالمكتوبة، ويصلون ويَدعون
“ Dan perbuatan sahabat radhiallahu ‘anhum menunjukkan atas hal ini (sholat dhuha dengan jarang) karena Ibnu Abbas melakukan sholat ini suatu hari dan meninglkannya sepuluh hari. Ibnu Umar tidak melakukannya, jika beliau datang ke masjid Quba, maka beliau baru melakukannya, dan beliau datang ke sana setiap hari sabtu. Sufyan berkata dari Manshur “ Mereka tidak suka meritinkan sholat dhuha seprti sholat wajib, mereka sholat dan kadang meninggalkannya “[12]
Hadits-hadits yang telah saya sebutkan sebelumnya yang menjelaskan bid’ahnya sholat dhuha sudah cukup bukti bahwa apa yang dimaksudkan oleh Ibnu Umar adalah sholat dhuha dengan sifat yang berbeda yaitu dengan meruntinkannya di awal waktu, dan merutinkannya di dalam masjid, da yang mengatakan mereka melakukannya dengan berjama’ah. Inilah yang dianggap bid’ah yang baik oleh Abdullah bin Umar.
Abul Jauza mengatakan : Oleh karena itu, bid’ah dalam perkataan ‘sebaik-baik bid’ah’ dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah bid’ah secara bahasa (lughawiy). Bukan bid’ah secara istilah. Telah masyhur perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tentang penafikan eksistensi bid’ah hasanah sebagaimana riwayat :
أَخْبَرَنَا أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمُنَادِي، ثنا شَبَابَةُ، ثنا هِشَامُ بْنُ الْغَازِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid Al-Munaadiy : Telah menceritakan kepada kami Syabaabah : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Al-Ghaar, dari Naafi, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah) [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
Dan inilah praktek Ibnu ‘Umar dalam penafikan bid’ah hasanah :
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا حَضْرَمِيٌّ مَوْلَى آلِ الْجَارُودِ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ "
Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ar-Rabii’ : Telah menceritakan kepada kami Hadlramiy maulaa aali Al-Jaarud, dari Naafi’ : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillaah (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasulullah)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan aku mengatakan : alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami untuk mengucapkan (ketika bersin) : ‘Alhamdulillah ‘alaa kulli haal’ (Alhamdulillah dalam segala kondisi)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2738].
Seluruh perawinya tsiqaat, kecuali Hadlramiy, seorang yang maqbuul. Ia mempunyai mutaba’ah dari Sulaimaan bin Muusaa sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 1/186 no. 323. Oleh karena itu riwayat ini adalah hasan.
Kembali ke awal pembicaraan. Tidak ada petunjuk yang shahih dan sharih dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tentang pelegalan eksistensi bid’ah hasanah. Seandainya ada yang tetap keukeuh menganggap Ibnu ‘Umar mendukung bid’ah hasanah, maka hakekatnya ia hanya mengambil satu riwayat dan membutakan diri terhadap riwayat-riwayat lainnya, serta enggan melakukan pengkompromian untuk menghasilkan satu pemahaman komprehensif madzhab Ibnu ‘Umar dalam masalah bid’ah.
Wallaahu a’lam.
Saya jawab :
seandainya kita katakan bid’ah dalam segi lughawi, lantas apakah anda Ibnu Umar menafikan perkara baru yang baik ?? wahai Abul Jauza, Ibnu Umar sama sekali tidak menolak perkara baru (bid’ah) yang baik, bahkan beliau memujinya sebagaimana hadits yang telah saya sampaikan di atas. Jika seandainya beliau membenci semua perkara baru (bid’ah) sudah pasti beliau tidak akan memujinya. Tapi faktanya beliau malah memuji dan tidak melarang orang yang melakukan bid’ah tersebut. Ini bukti nyata bahwa Ibnu Umar adalah salah satu sahabat yang mendukung adanya bid’ah hasanah yang berlandaskan syare’at.
Adapun ucapan beliau “ Setiap bid’ah itu sesat, walaupun manusia menganggapnya itu baik “, maka yang dimaksud oleh beliau adalah bid’ah dalam syare’at yaitu bid’ah yang bertentangan dengan asal syare’at. Jika anda menggeneralisir ucapan beliau ini sebagai pengakuan beliau bahwa semua bid’ah itu sesat, maka jelas bertentangan dengan fakta dan realita pengakuan beliau adanya bid’ah baik yang diterima.
Meskipun ucapan bid’ah yang diterima beliau anda takwil dengan sholat muthlaq bukan sholat dhuha atau anda takwil dengan bid’ah secara bahasa, tetap saja anda tidak akan bisa menghilangkan subtansi yang dimaksud oleh Abdullah bin Umar yaitu penerimaan beliau terhadap perkara baru yang tidak betrtentangan dengan syare’at alias bid’ah hasanah jika dilihat dalam pandangan kami Ahlus sunnah wal –Jama’ah.
[1] Mushannaf Abdirrazzaq : 3/79
[2] Mushannaf Abdirrazzaq : 3/79-80
[3] Mushaanaf Ibnu Abi Syaibah : 2/405 dengan sanad yang sahih.
[4] Sahih Bukhari bab Umrah No. 1775
[5] Fathul Bari : 4/84
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1175
[7] Mushaanaf Abudrazzaq : 3/78
[8] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah : 2/408
[9] Zadul Ma’aad : 1/118
[10] Zadul Ma’aad Fi hadyi Khiril Ibad, Ibnul Qayyim : 1/120
[11] Zadul Ma’aad Fi hadyi Khiril Ibad, Ibnul Qayyim : 1/120
[12] Zadul Ma’aad Fi hadyi Khiril Ibad, Ibnul Qayyim : 1/121A