Pelurusan Ketiga :
الحد
Allah Memiliki Batasan
Syaikh Murad Syukri dalam
artikelnya itu mengakui bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan Allah memiliki batasan,
namun Murad Syukri menolak makna batasan yang dimaksudkan oleh Ibnu Taimiyyah. Menurutnya
Ibnu Taimiyyah bukan bermaksud memberi batasan jisim pada Dzat Allah dan
bukanlah sebagai salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan ia berdalil
bahwa Ibnu Taimiyyah bukanlah orang pertama yang mengatakan Allah punya
batasan, akan tetapi ulama salaf dan Abdullah bin Mubarak pernah mengatakan hal
yang sama.
Jawaban :
Benarkah apa yang
dikatakan Syaikh Murad Syukri bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyyah adalah
bukan batasan jisim?? Mari
kita buktikan…
Dalam artikel bantahan Syaikh Murad
Syukri yang diterjemahkan oleh kumpulan ustadz wahabi Malaysia mengatakan :
……jika dia mengatakan:
“Sesungguhnya bagi Allah sifat batasan (al-Had)”, perkataan seumpama ini
tidak pernah diungkapkan oleh sesiapa pun, tidak juga oleh (orang yang
memiliki) akal (yang sihat). Kata-kata sebegini tiada memiliki kebenaran
langsung. Yang mana sifat (al-Had) ini tiada pada mana-mana sifat yang
disifatkan ia pada sesuatu seperti sifat Tangan dan Ilmu.[1]
Kami jawab :
Hanya ada beberapa kemungkinan dalam
argumentasi mereka ini :
Pertama : Syaikh Murad Syukri sengaja
tidak menjelaskan maksud Ibnu Taimiyyah yang sebenarnya yang begitu jelas dan
mudah dipahami. Atau dari pihak penterjemah yang memang sengaja melakukannya.
Kedua : Syaikh Murad Syukri sengaja
merahasiakan redaksi Ibnu Taimiyyah sebelumnya yang masih berkaitan erat dengan
redaksi yang dinukilnya secara sepotong. Atau dari pihak penterjemahnya yang
sengaja melakukannya.
Ketiga : Bodoh atau jahil di dalam
memahami subtansi dari ucapan Ibnu Taimiyyah tersebut, atau kebodohan dari
pihak penterjemahnya.
Sekarang kita tampilkan redaksi Ibnu
Taimiyyah sepenuhnya yang berkaitan erat dengan redaksi yang dinukil secara
sepotong oleh syaikh Murad Syukri :
Dalam kitab Talbis Jahmiyyah, Ibnu
Taimiyyah menuliskan bantahan kepada imam al-Khaththabi sebagai berikut :
أهل الإثبات المنازعون للخطابي وذويه يُجيبون عن هذا بوجوه:
أحدها: أن هذا الكلام الذي ذكره؛ إنّما يتوجه لو قالوا: إن له صفهً هي "الحدّ" كما توهّمه هذا الرادّ عليهم؛ وهذا لم يقله أحدٌ، ولا يقوله عاقلٌ؛ فإنّ هذا الكلام لا حقيقة له؛ إذ ليس في الصفات التي يوصف بها شيءٌ من الموصوفات - كما وُصِف: باليد، والعلم - صفةً مُعينّةً يُقال لها: (الحدّ)،وإنما الحدّ ما يَتميّز به الشيءُ عن غيره من صفته وقدره، كما هو المعروف في لفظ الحدِّ في الموجودات
أحدها: أن هذا الكلام الذي ذكره؛ إنّما يتوجه لو قالوا: إن له صفهً هي "الحدّ" كما توهّمه هذا الرادّ عليهم؛ وهذا لم يقله أحدٌ، ولا يقوله عاقلٌ؛ فإنّ هذا الكلام لا حقيقة له؛ إذ ليس في الصفات التي يوصف بها شيءٌ من الموصوفات - كما وُصِف: باليد، والعلم - صفةً مُعينّةً يُقال لها: (الحدّ)،وإنما الحدّ ما يَتميّز به الشيءُ عن غيره من صفته وقدره، كما هو المعروف في لفظ الحدِّ في الموجودات
“ Kelompok istbat yang menentang
al-Khaththabi dan kelompoknya menjawab (hujjah)nya dengan beberapa hujjah
berikut : Pertama : ucapan yang diucapkan al-Khathtabi itu seharusnya ditujukan
kepada mereka yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat yang disebut batasan
sebagaimana tanggapan sipenolak (al-Khaththabi) ini atas mereka. Dan ini tidak
seoranpun mengatakannya bahkan tidak seorang berakal pun yang mengatakan
seperti itu. Ucapan ini tidak benar sama sekali, karena tidak ada sifat
tertentu yang disebut batasan yang bisa disifatinya sebagaimana disifati dengan
tangan dan ilmu. Karena batasan itu adalah perkara yang bisa membedakan sesuatu
dari lainnya berupa sifat dan ukurannya sebagaimana telah ma’ruf di dalam
lafadz batasan pada sesuatu yang ada “.[2]
Penjelasan :
Pertama : Bantahan Ibnu Taimiyyah ini sebenarnya
tidak nyambung sama sekali dengan argumentasi imam al-Khaththabi, jika saya
boleh ibaratkan seperti orang yang bertanya pada temannya : “ Kenapa kamu tidak
minum teh ? lalu temannya menjawab : Tidak, karena temanku tidak datang “. Imam
Khaththabi berbicara tentang satu perkara, tapi Ibnu Taimiyyah menjawabnya
perkara lainnya, Karena yang ditolak
oleh imam al-Khathtabi adalah batasan yang membatasi dzat Allah dengan ujung
atau pinggiran. Apa yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak
terlintas di hati imam al-Khaththabi. Maka bantahan Ibnu Taimiyyah kepada
argumentasi yang diketengahkan imam Khaththabi sama sekali tidak nyambung.
Kedua : sebagaimana ucapan Ibnu
Taimiyyah di atas tentang makna had (batasan), menunjukkan pemahaman makna had
di sisi Ibnu Taimiyyah sendiri. Ia mengatakan :
وإنما الحدّ ما يَتميّز به الشيءُ عن غيره
من صفته وقدره، كما هو المعروف في لفظ الحدِّ في الموجودات
Karena batasan (hadd) itu adalah
perkara yang bisa membedakan sesuatu dari lainnya berupa sifat dan ukurannya
sebagaimana telah ma’ruf di dalam lafadz batasan pada sesuatu yang ada “.[3]
Dari definisi Ibnu Taimiyyah ini maka
membuahkan :
Bahwa batasan menurut Ibnu Taimiyyah
ada dua makna ; pertama : berupa sifat khusus (ash-shifah), kedua; berupa kadar
(al-qadr). Kadar menurut Ibnu Taimiyyah adalah bentuk dan jarak sedangkan had
berupa batas akhir. Sebagaimana kelanjutan ucapan Ibnu Taimiyyah berikut ini :
فيقال حد الإنسان وحد كذا وهي من الصفات المميزة له ويقال حد
الدار والبستان وهي جهاته وجوانبه المميزة له ولفظ الحد في هذا أشهر في اللغة
والعرف العام ونحو ذلك
“ Maka dikatakan batasan manusia dan
batasan ini itu. Ini merupakan sifat-sifat yang membedakan untuknya. Missal
dikatakan “ Batasan rumah dan kebun, yang dimaksud adalah arah-arah dan
pinggir-pinggirannya yang membedakan baginya. Lafadz had (batasan) dalam hal
ini sangat masyhur dalam bahasa dan urf umumnya dan semisalnya “.[4]
Dari keterangan Ibnu Taimiyyah ini
dapat dipahami bahwa had menurutnya memiliki dua makna yaitu sifat khusus
sesuatu dan arah dan pinggir yang membedakan yakni pinggir dan batas akhir.
Maka jika Ibnu Taimiyyah menetapkan had (batasan) untuk Allah, maka yang ia
maksudkan sesuai argumentasinya adalah dua makna ini dalam haq Allah walaupun
Ibnu Taimiyyah menolak makna yang pertama. Dengan jelas Ibnu Taimiyyah lebih
bermaksud pada makna yang kedua, karena makna yang kedua ini spontanitas
dipahami dalam bahasa.
Kemudian Ibnu Taimiyyah mengatakan :
و لما كان الجهمية يقولون ما مضمونه إن الخالق لا يتميز عن الخلق
فيجحدون صفاته التي تميز بها ويجحدون قدره
“ Ketika jahmiyyah mengatakan yang
intinya bahwa Allah tidak ada perbedaan dengan makhluk, maka mereka mengingkari
sifat-sifat-Nya yang membedakan-Nya dengan makhluk-Nya dan mengingkari kadar
(ukuran) Allah “.[5]
Penjelasan :
Jika demikian, kaum jahmiyyah menurut
Ibnu Taimiyyah jatuh pada dua kesesatan :
Yang pertama ; Meniadakan sifat-sifat
Allah
Yang kedua : Meniadakan kadar (ukuran)
Allah.
Dengan ucapannya ini, membuktikan pada
kita bahwa Ibnu Taimiyyah bermaksud dengan lafadz Qadr (ukuran) tidak ada lain
adalah makna bentuk ukuran dan batasan arah. Bahkan Ibnu Taimiyyah membatasi
Allah dari enam arah (kanan, kiri, atas, bawah, depan dan belakang) dengan
batasan yang tidak diketahuinya kecuali Allah sendiri. Ibaratnya ; Si Fulan
memiliki sungai tertentu di tempat tertentu dan di arah tertentu, akan tetapi tidak
terbatas bahkan melebar ke sungai-sungai lainnya.
Ibnu Taimiyyah mengklaim ulama salaf
mengatakan Allah memiliki had di antaranya Abdullah bin Mubarak. Berikut
redaksinya :
سألت عبدالله بن
المبارك؛ قلت: كيف نعرف ربنا؟ قال: في السماء السابعة على عرشه. قلت: فإن الجهمية
تقول: هو هذا. قال: إنا لا نقول كما قالت الجهمية، نقول: هو هو. قلت: بحد؟ قال: إي
والله بحد
“ Aku bertanya kepada Abdullah bin
Mubarak : “ Bagaimana kami mengenal Tuhan kami? Beliau menjawab : “ Di langit
ketujuh di atas Arsy”. Aku bertanya lagi : “ Jahmiyyah juga mengatakan
demikian. Maka beliau menjawab : “ Kita tidak mengatakan apa yang dikatakan
Jahmiyyah, kami katakana Dia adalah Dia “. Aku bertanya lagi : “ Dengan batasan
? “ beliau menjawab : Ya dengan batasan “.
Imam Baihaqi mengomentari atsar ini
sebagai berikut :
إنما أراد عبدالله بالحد : حد السمع وهو أن خبر الصادق ورد بأنه
على العرش استوى، فهو على عرشه كما أخبر، وقصد بذلك تكذيب الجهمية فيما زعموا بأنه
بكل مكان وحكايته تدل على مراده، والله أعلم
“ Sesungguhnya yang dimaksukan oleh
Abdullah bin Mubarak adalah batasan pendengaran, yaitu bahwa hadits Nabi telah
menceritakan bahwa Allah beristiwa di atas Arsy, maka Allah di atas Arsynya
sebagaimana khabar-Nya. Beliau berkata demikian bermaksud mendustakan pemahaman
jahmiyyah yang mengaku bahwa Allah di setiap tempat, maka kisahnya itu
menunjukkan atas maksudnya. Wa Allahu A’lam. “ [6]
Penjelasan :
Imam Baihaqi menjelaskan pada kita
bahwa yang dimaksud hadd (batasan ) oleh Abdullah bin Mubarak adalah dalil
bahwa Dzat Allah tidak ada nihayah (batasan arah dan ujung) sebagaimana
dipahami oleh kaum mujassimah. Maka Apa yang dipahami oleh Abdullah bin Mubarak
bukanlah seperti yang dipahami Ibnu Taimiyyah.
Bagaimana Ibnu Taimiyyah mengklaim
ucapan satu orang yakni Abdullah bin Mubarak sebagai ucapan seluruh ulama
salaf? Sejak kapan pendapat satu orang menjadi hujjah bagi ushul agama jika
kita tetapkan makna atsar Ibnu Mubarak sebagaimana pemahaman Ibnu Taimiyyah ?
kecuali jika Ibnu Taimiyyah meyakini Abdullah bin Mubarak bersifat ma’shum.
[1] Bayan Talbis al-Jahmiyyah fi Ta’sis
Bid‘ihim al-Kalamiyyah (tahqiq: Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Qasim;
Mathaba‘ah al-Hukumah, Mekah, 1392H), jld. 1, ms. 442
[2] Bayan Talbis al-Jahmiyyah fi Ta’sis Bid‘ihim al-Kalamiyyah (tahqiq:
Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Qasim; Mathaba‘ah al-Hukumah, Mekah, 1392H),
jld. 1, ms. 442
[3] Bayan Talbis al-Jahmiyyah fi Ta’sis Bid‘ihim al-Kalamiyyah (tahqiq:
Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Qasim; Mathaba‘ah al-Hukumah, Mekah, 1392H),
jld. 1, ms. 443.
[5] Bayan Talbis al-Jahmiyyah fi Ta’sis Bid‘ihim al-Kalamiyyah (tahqiq:
Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Qasim; Mathaba‘ah al-Hukumah, Mekah, 1392H),
jld. 1, ms. 444
Ditulis Oleh: Ustaz Ibnu Abdillah Al-Katibiy
facebook: https://www.facebook.com/ibnu.alkatibiy
facebook: https://www.facebook.com/ibnu.alkatibiy
No comments: