Pelurusan Keempat :
الجهة
Syaikh Murad Syukri tidak menolak
adanya ucapan Ibnu Taimiyyah tentang arah bagi Allah bahkan hal ini menjadi
bagian akidah wahabi. Akan tetapi ia menolak pemahaman Allah diliputi dengan
makhluk-Nya yang diisukan kepada Ibnu Taimiyyah.
Jawaban :
Ucapan Ibnu Taimiyyah bahwa Allah
berarah sangatlah masyhur, namun sedikit sekali yang paham apa sebenarnya yang
dimaksud berarah dalam pandangan dan pemahaman Ibnu Taimiyyah sendiri. Di sini
kita akan menjelaskan dan membuktikan faktanya..
Sebelumnya kita pahami dulu makna
jihah. Dalam kamus bermakna Nahiyah (sisi/arah). Jihah dan wijhah bermakna satu
yaitu setiap tempat yang kau mengarah padanya. Jika kita perhatikan makna jihah
dalam bahasa, maka tidaklah digunakan kecuali untuk sesuatu yang memiliki
tempat dan batasan yang menghadap pada sesuatu lainnya yang juga memiliki
tempat dan batasan. Maka jihah dalam bahasa tidaklah dinisbatkan kecuali pada
sesuatu yang berjisim.
Dan apakah yang dimaksud jihah (arah)
oleh Ibnu Taimiyyah?
Ibnu Taimiyyah mengatakan
: “ Tidak diragukan lagi bahwa jihah itu adalah di antara perkara-perkara
yang memiliki nisbat dan sandaran. Dikatakan : Ini Jihah (arah)-nya ini dan
batasnya. Makna jihah aslinya adalah arah dimana sesuatu menghadap kepadanya “.
[1]
Kemudian Ibnu Taimiyyah mengatakan : “
Jika demikian, maka terkadang jihah (arah) itu disandarkan kepada tempat arah
sebagaimana boleh dikatakan bagi manusia memiliki enam arah. Karena baginya mampu menghadap kepada
enam arah khusus tadi yang menjadi arahnya. Orang yang sholat melakukan sholat
ke satu arah dari beberapa arah karena pada waktu itu ia menghadap padanya.
Dari sini jihah bermakna sesuatu yang menghadap pada apa yang disandarkan. Dan
terkadang jihah bermakna sandaran yang mengarah darinya, sebagaimana seseorang
berkata ketika menghadap ka’bah “ ini arah ka’bah “, ketika dia berda di Makkah,
ia berkata “ ini arah Syam, ini arah Yaman, ini arah Timur, ini arah Barat.
Sebagaimana dikatakan ini sisi Syam, Ini sisi Yaman, maka yang dimaksud adalah
arah dan sisi di mana penduduk Syam dan Yaman menghadap padanya. “,.
Kemudian ia berkata : “ Jika ini
sudah ma’ruf dari lafadz jihah dan haiz pada makhluk yang wujud, maka kita
katakan “ Jika ditanya ; “ Allah berada di suatu arah “, maka terkadang ia
bermkasud di suatu arah bagi Allah dan suatu arah bagi makhluk-Nya “. Jika
Allah berada di suatu arah bagi-Nya, maka adakalanya jihah darinya dan jihah
yang mengarah pada-Nya. Dari dua kemungkinan ini, maka tidaklah ada sesuatu di
atas alam ini kecuali Dzat Allah. Itu adalah jihah Allah yang tidak berarah
pada sesuatu yang wujud di luar alam dan juga tidak dari arah sesuatu yang
wujud di luar alam. Di sana tidak ada sesuatu yang wujud selain Allah sendiri
yang berarah padanya dan darinya “.
Penjelasan :
Dari keterangan Ibnu Taimiyyah di atas,
dapat dipahami bahwa Allah itu berada di luar alam dari arah atas dari alam. Yang
dinafikan (ditiadakan) oleh Ibnu Taimiyyah hanyalah Allah wujud dari sesuatu di
luar alam. Itu sajalah yang ditolak Ibnu Taimiyyah, namun ia tetap berkeyakinan
bahwa Allah berarah. Artinya jika Allah ingin mengarah, bergerak dan berpindah ke
alam, maka jihah (arah) yang Allah bergerak darinya merupakan Dzat Allah
sendiri. Dan yang berpindah darinya adalah dzat alam.
Ibnu Taimiyyah berkata :
فيقال
لمن نفى الجهة: أريد بالجهة أنها شيء موجود مخلوق؟ فالله ليس داخلا في المخلوقات،
أم تريد بالجهة ما وراء العالم؟ فلا ريب أن الله فوق العالم مباين للمخلوقات
“ Maka dikatakan kepada orang yang
menafikan jihah (arah) : yang dimaksud dengan jihah adalah sesuatu yang wujud
dan makhluk? Maka Allah bukan di dalam makhluk-makhluk-Nya. Atau kamu bermaksud
dengan jihah adalah sesuatu di luar alam? Maka tidak diragukan lagi bahwa Allah
di atas alam terpisah dari makhluk-Nya “.[2]
Ia juga berkata dalam Minhaj Sunnahnya
:
وإن أريد بالجهة
أمر عدمي وهو ما فوق العالم فليس هناك إلا الله وحده
“ Jika dimaksud dengan jihah (arah)
adalah perkara yang bersifat tidak ada yaitu apa yang ada di atas alam, maka
tidaklah ada di sana kecuali Allah semata “.[3]
Menurut anggapan Ibnu Taimiyyah jihah
‘adamiyyah (arah yang abstrak) ada di atas alam, dan di sanalah Allah berada.
Walaupun Allah dibatasi dengan arah itu, namun arah itu tidaklah wujud sebab
arah ‘adamiyyah (yang bersifat tidak ada). Maka konsekuensinya atas dasar ini
ada sesuatu yang kekal selain Allah yaitu arah ‘adamiyyah di mana Allah berada.
Subhanallah ‘amaa yashifuun…
Ajaran Ahlus sunnah mengatakan bahwa
Allah Maha Luhur dan Tinggi, namun keluhuran Allah dan Ketinggian-Nya adalah
keagungan Dzat Allah bukan ketinggian dalam arah (jihah) dan jarak.
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan :
وكذلك
الكلام في لفظ الجهة فإن مسمى لفظ الجهة يراد به أمر وجودي كالفلك الأعلى، ويراد
به أمر عدمي كما وراء العالم، فإذا أريد الثاني أن يقال كل جسم في جهة، وإذا أريد
الأول امتنع أن يكون كل جسم في جسم آخر، فمن قال: الباري في جهة
وأراد بالجهة أمرا موجودا فكل ما سواه مخلوق له في جهة بهذا التفسير فهو مخطئ، وإن
أراد بالجهة أمرا عدميا وهو ما فوق العالم، وقال: إن الله فوق العالم فقد أصاب،
وليس فوق العالم موجود غيره فلا يكون سبحانه في شيء من الموجودات
“ Demikian juga persoalan tentang
lafadz jihah (arah), apa yang disebut dengan jihah maka ada dua pengertian
terkadang yang dimaksud adalah perkara yang wujud seperti falak yang tinggi
(ufuk) dan juga terkadang yang dimaksud adalah perkara yang adami (bersifat
tidak wujud) seperti apa yang diluar alam. Jika yang dimaksud yang kedua ini,
maka maka bisa dikatakan setiap jisim di dalam jihah. Dan Jika yang dimaksud
yang pertama, maka setiap jisim tidak akan menyatu dalam jisim yang lain. Maka
barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah ada di suatu arah, jika ia bermaksud
dengan perkara yang wujud, maka semua selain Allah adalah makhluk-Nya yang di
dalam arah dengan penafsiran ini, maka dia telah salah. Jika dia bermaksud
dengan perkara yang tidak wujud (amrun ‘adamiyyun) yaitu apa yang di atas alam
dan berkata bahwa Allah di atas alam, maka ia benar. Dan tidaklah ada sesuatu
yang wujud di atas alam selain Allah Ta’alaa, maka tidaklah Allah berada di
dalam sesuatu pun dari yang wujud “. [4]
Penjelasan :
Dari ucapan Ibnu Taimiyyah dapat
dipahami bahwa dengan jelas ia mengatakan Allah berada di arah ‘adamiyyah (arah
yang tidak wujud). Yang ia maksud dengan jihah adamiyyah tidak ada lain adalah
Dzat Allah sendiri. Pembagian ini (jihah wujud dan jihah a’damiyyah) tidak
membuahkan faedah sama sekali, sebab makna asal jihah adalah idhofi
(bergantung) sedangkan makna bergantung pada Dzat Allah tidaklah ada. Missal
jika kita berkata “ arah “, maka kita maksudkan adalah penisbatan tempat yang
kita bergerak menuju ke arah tempat permulaan bergerak, dan tidak akan
ditemukan makna selain ini. Maka tidak boleh kita katakan bahwa jihah (arah)
adalah dzat jisim itu sendiri yang ada di tempat itu, karena jika kita berkata
“ aku pergi ke arah
Ka’bah “, maka tidak bisa dikatakan bahwa arah itu adalah ka’bah itu sendiri,
justru Ka’bah adalah perkara yang didapati dari arah. Maka apa yang
disitilahkan Ibnu Taimiyyah sangatlah tidak logis.
No comments: