MUHAMMAD
ASRIE BIN SOBRI
mengatakan :
Ahli
Sunnah wal Jamaah menetapkan bagi Allah Taala sifat-sifat yang sabit dalam
al-Quran dan al-Sunnah tanpa menyamakan dengan makhluk dan tidak juga
mentakwilnya. Mereka memahami nas-nas sifat sesuai dengan makna zahirnya tanpa
melakukan takwil sama ada ijmali (tafwid) atau tafsili.
Saya jawab :
Penyimpulan yang terburu-buru nafsu. Dan kedustaan
atas nama Ahlus sunnah waljama’ah.
Tidak ada satupun ulama salaf yang memahami nas-nas
sifat sesuai dengan makna zahirnya, ini merupakan hasil pemahaman kaum wahabi
yang salah dan bodoh dari hakekat sikap-sikap ulama salaf terhadap ayat-ayat
shifat Allah Subhanahu wa Ta’aala.
Perhatikan ucapan imam Al-Hafidz Ibnu Hajar
al-Atsqalani berikut ini :
“
Tangan dimaknai dengan nimat, kebaikan dan semisalnya “ Ucapan : “ Paling panjang tangannya “ maknanya
paling dermawan. Penyebutan tangan yang disandrkan kepada Allah dalam al-Quran
dan hadits juga terjadi, dan Ahlus sunnah waljama’ah sepakat bahwa yang
dimaksud dengan tangan bukanlah tangan secara jarihah (anggota tubuh tertentu)
yang merupakan sifat makhluk. Ahlus sunnah waljama’ah menetapkan apa yang
datang dari hal itu dan mengimaninya. Di antara mereka ada yang diam dan tidak
berani mentakwil. Di antara mereka ada juga yang membawa setiap lafadz kepada
makna yang jelas, demikianlah para ulama Ahlus sunnah mengamalkan hal semacam
itu “ [1]
Bahkan para ulama
salaf dan kholaf telah berijma’ / bersepakat bahwa zahir nas dari ayat shifat
bukanlah yang dimaksud sebagaimana dinukil oleh imam al-Baijuri dalam kitab
Jauharut Tauhidnya sebagai berikut :
كَمَا ظَهَرَ أَنَّ السَّلَفَ وَالْخَلَفَ مُجْمِعُوْنَ عَلىَ
أَنَّ ظَوَاهِرَ هَذِهِ النُّصُوْصِ غَيْرُ مَرَادَةٍ، وَأَنَّهَا مَصْرُوْفَةٌ
عَنْ هَذِهِ الظَّوَاهِرِ إِلاَّ أَنَّ السَّلَفَ لاَ يُعَيِّنُوْنَ اْلمَعْنىَ
اْلمُرَادَ وَأَمَّا اْلخَلَفَ فَيُعَيِّنُوْنَهُ، وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ قَالَ
كَثِيْرٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ إِنَّ السَّلَفَ يُؤَوِّلُوْنَ تَأْوِيْلاً
إِجْمَالِياًّ، وَالْخَلَفَ يُؤَوِّلُوْنَ تَأْوِيْلاً تَفْصِيْلِيّاً
“
Sebagaimana telah jelas, bahwa ulama salaf dan kholaf sepakat bahwa nash-nash
tersebut bukanlah makna literal yang dimaksud. Dan sepakat bahwa maknanya
dipalingkan dari makna literalnya. Akan tetapi ulama salaf tidak menjelaskan
maknanya sedangkan ulama kholaf menjelaskan maknanya. Oleh sebab itu banyak
para ulama mengatakan sesungguhnya ulama salaf mentakwil tapi mentakwil secara
ijmali (umum) sedangkan ulama salaf mentakwil secara tafsili (terperinci) “
Imam
Ahmad Ar-Rifa’i (W 578 H) berkata :
صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ اْلكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَاِنَّ ذَالِكَ مِنْ اُصُوْلِ اْلكُفْرِ
“
Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada dhahir ayat al-Qur'an dan
hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal
ini merupakan salah satu pangkal kekufuran ".
(Burhan al-Muayyad)
Dari penjelasan para ulama ini saja sudah jelas bahwa
tak ada satupun ulama salaf yang memahami nas sifat dengan zahirnya. Maka klaim
wahabi tersebut adalah klaim dusta dan asumsi yang salah.
MUHAMMAD
ASRIE BIN SOBRI
mengatakan :
Dasar
yang menjadi pegangan akidah Ahli Sunnah wal Jamaah adalah firman Allah Taala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maksudnya:
“tiada sesuatupun yang sebanding dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan
pentadbiranNya) dan Dia lah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.” [al-Syura:
11].
Dalam
ayat ini Allah Taala menetapkan bahawa diriNya tidak menyamai dengan sesuatu
pun daripada makhluk dan pada akhir ayat ini Allah Taala menetapkan bagi zatNya
sifat mendengar dan melihat. Maka al-Quran dalam masalah sifat Allah Taala
mengambil jalan pertengahan antara manhaj Mu’attilah dan Nufat yang menafikan
bagi Allah Taala sifat dan Manhaj Musyabbihah dan Mumassilah yang menyamakan
antara Allah dan makhluk atau makhluk dengan Allah Taala.
Saya Jawab :
Benar sekali ucapan Asrie yang ini, namun realita dari
ajarannya sangat bertolak belakang dengan ucapannya. Alias ucapan dan praktek
bertentangan, ini disebut plin-plan atau munafiq.
Allah mendahulukan
kalimat TANZIH sblom mnyebutkan SIFAT. Agar kita terlebih dahulu menyucikan
Allah dr sgla hal yg baru dan sgla sifat makhluk-Nya.
Kemudian Allah mnyebutkan
sifat-sifatnya tersebut, supaya manusia mengerti
bahwa Allah memiliki sifat. Dan sifatnya tanpa TAKYIF dan TASYBIIH.
Sebagaimana Allah juga menetapkan sifat-sifat lainya
sprti HIDUP, BERKEHENDAK, MAMPU dan lainnya dalam al-Quran. Namun smua
sifat tsb adalah sifat maknawi
(bukan indrawi) yang sempurna dan layak bagi Allah.
Maka sebagai umat muslim kita
sangat dilarang menyerupakan
Allah dengan segala HAL YANG BARU dan segala SIFAT MANUSIA sekcil
apapun.
Dan kita dilarang
MENAFIKAN (TA'THIL) sifat-sifat Allah sebab Allah sendiri menetapkannya.
Inilah manhaj ULAMA
SALAF.
Sangat berbeda
dengan manhaj kaum Wahabi, mereka pada dasarnya memang menetapkan sifat-sifat
Allah, tapi pada akhirnya menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dengan
menetapkan adanya jisim bagi Allah dan menetapkan adanya kaifiyyah dari
sifat-sifat Allah.
MUHAMMAD
ASRIE BIN SOBRI
mengatakan :
Imam
Nuaim bin Hammad r.h berkata:
من شبه الله بشيء من خلقه فقد كفر،ومن أنكر ما وصف الله به نفسه فقد
كفر، وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه
Maksudnya:
“Sesiapa yang menyamakan Allah dengan sesuatu daripada makhlukNya maka dia
telah kafir, dan sesiapa yang mengingkari suatu sifat yang Allah sifatkan
kepada diriNya maka dia telah kafir, dan tidak ada dalam perkara yang Allah dan
RasulNya sifatkan kepada diriNya itu tasybih (penyamaan dengan makhluk)”.
[Syarah al-Tahawaih, Ibn Abil Izz
al-Hanafi, m.s 117 & 118, cet. Darul Salam].
Pernyataan
Guru Imam al-Bukhari r.h ini jelas menunjukkan bahawa antara iktiqad salaf juga
mereka sama sekali tidak pernah melihat atau berpandangan ayat-ayat dan nas-nas
sifat merupakan nas yang mengandungi tasybih pada zahirnya.
Saya
jawab :
Memang benar apa
yang diucapkan Imam Nu’aim bin Hammad tersebut, semua sifat Allah tidak
mengandung tasybiih jika disikapi dengan sikap yang sesuai Allah perintahkan
yaitu menyikapinya dengan sikap tafwidhul makna wal kaifiyyah atau mentakwilnya
sesuai takwil yang benar yang mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya. Namun
apa yang dilakukan kaum wahabi justru sifat-sifat Allah menjadi tasybih kepada
makhluk-Nya yaitu dengan menuruti makna zahirnya. Kaum wahabi justru memaknai
ayat-ayat shifat Allah dengan apa yang terlintas dalam pikiran mereka seperti
memaknai istiwa dengan bersemayam dan duduk.
Inilah makna
sebenarnya dari ucapan imam Nu’aim bin Hammad tersebut. Sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dan menjadi pukulan berat bagi kaum wahabi
:
والظاهر
المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله لا يشبهه شيء من خلقه
“
Lafadz zahir yang terlintas di dalam pikiran musyabbihah (kaum yang
menyerupakan Allah dengan makhluk) dinafikan dari Allah Ta’ala yang tidak ada
sesuatu apapun yang menyerupai Allah “.
Oleh sebab itu
Allah Ta’aala berfirman :
فَلاَ
تَضْرِبُوا لِلَّهِ اْلأَمْثَالَ
“ Maka jangan kamu
jadikan amtsal bagi Allah “ (QS. An-Nahl : 74)
Artinya jangan buat
penyerupaan dan persamaan Allah dengan makhluk-Nya, karena sesungguhnya Allah
tidak ada yang menyerupainya sama sekali, Dzatnya tidak serupa dengan Dzat
lainnya dan sifat-Nya tidak serupa dengan sifat lain-Nya.
Rasulullah shallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
كَانَ
اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىْءٌ غَيْرُهُ
“ Allah ada (sejak
azali) dan belum ada sesuatupun selain-Nya “ (HR. Bukhari)
Artinya Allah
selalu Ada pada azali dan tidak ada sesuatupun bersama-Nya sebelum menciptakan
sesuatu, tidak ada air, udara, bumi, langit, kursi, Arsy, manusia, jin,
malaikat, masa dan tempat. Allah sejak azali telah ada sebelum mencipakan
tempat dan Dia-lah yang menciptakan tempat tidak akan butuh terhadapnya.
Imam Ali Ra berkata
:
سَيَرْجِعُ
قَوْمٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عِنْدَ إِقْتِرَابِ السَّاعَةِ كُفَّارًا
يُنْكِرُونَ خَالِقَهُمْ فَيَصِفُوْنَهُ بِاْلجِسْمِ وَاْلأَعْضَاءِ
“ Suatu kaum dari
umat ini mendekati kiamat akan kembali menjadi kafir, mereka mengingkari
Pencipta mereka, lalu mensifati-Nya dengan jisim dan anggota tubuh “.
(Diriwayatkan oleh
Ibnu al-Mu’allim dalam kitabnya Najm al-Muhtadi Rajm al-Mu’tadi : 588)
Dalam
Taqrib Tadmuriah dinyatakan:
الأصل الأول في الصفات وهو : أن يوصف الله بما وصف به نفسه وبما وصفته
به رسله إثباتا بلا تمثيل، وتنزيها بلا تعطيل كما جمع الله تعالى بينهما في قوله:
{ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }
Maksudnya:
“Asal pertama dalam masalah Sifat adalah: Hendaklah disifatkan Allah dengan apa
yang Dia sifatkan kepada diriNya dan dengan apa yang RasulNya sifatkan kepada
diriNya, penetapan yang tidak mengandungi padanya tamsil (penyamaan dengan
makhkluk), penyucian yang tidak pula membawa kepada ta’til (menafikan sifat)
seperti mana Allah Taala telah menghimpunkan antara keduanya dalam firmanNya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maksudnya:
“tiada sesuatupun yang sebanding dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan
pentadbiranNya) dan Dia lah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.” [al-Syura:
11].” [Taqrib al-Tadmuriah li Ibn Taimiah, Allamah Ibn Usaimin, Majmuk Fatawa
wa Rasil Ibn Usaimin, 4/112].
Saya jawab :
Benar
apa yang dinyatakan dalam kitab at-Tadmuriyyah tersebut, tapi justru kaum
wahabi bertentangan dengan kaedah mereka sendiri. Sikap
Wahhabi terhadap teks-teks mutasyabihat adalah mengimani dan menetapkan makna
literalnya tanpa takyif dan tasybiih. Yang mereka maksud dengan tanpa takyyif
adalah bukan meniadakan “ kaifiyyah ” (tatacara / gambaran) justru mereka
meyakini adanya kafiyyah dari shifat-shifat tersebut akan tetapi menyerahkan
pengetahuan kaifiyyahnya kepada Allah.
Ini merupakan
konsekuensi dari pemahaman mereka yang meyakini makna teks-teks mutasyabihat
secara literal, sehingga menimbulkan pemahaman bahwa Allah memiliki jarihah
(organ tubuh) dan memiliki kaifiyyahnya (tatacaranya). Sangat jelas dari sini
mereka sudah jatuh pada konsep tajsim (menjisimkan Allah).
Al-‘Allamah
ar-Raghib asl-Ashfihani mengatakan : “ Kaif (sebuah kalimat istifhâm untuk
menanyakan metode, tata cara, visualisasi) adalah lafadz yang digunakan untuk
menanyakan sesuatu yang serupa atau pun tidak seperti hitam dan putih, sakit
dan sehat, oleh sebab itu tidak pantas ditanyakan bagi Allah dengan ucapan kaif
(bagaimana) “ [2]
MUHAMMAD
ASRIE BIN SOBRI mengatakan :
Berkata
Imam Abu Usman Ismail al-Sabuni r.h:
وكذلك يقولون في جميع الصفات التي نزل بذكرها القرآن، ووردت بها
الأخبار الصحاح من السمع والبصر والعين والوجه والعلم والقوة والقدرة، والعزة
والعظمة والإرادة، والمشيئة والقول والكلام، والرضا والسخط والحياة، واليقظة
والفرح والضحك وغرها من غير تشبيه لشيء من ذلك بصفات المربوبين المخلوقين، بل
ينتهون فيها إلى ما قاله الله تعالى، وقاله رسوله صلى الله عليه وآله وسلم من غير
زيادة عليه ولا إضافة إليه، ولا تكييف له ولا تشبيه، ولا تحريف ولا تبديل ولا
تغيير، ولا إزالة للفظ الخبر عما تعرفه العرب، وتضعه عليه بتأويل منكر، ويجرونه
على الظاهر، ويكلون علمه إلى الله تعالى، ويقرون بأن تأويله لا يعلمه إلا الله،
كما أخبر الله عن الراسخين في العلم أنهم يقولونه في قوله تعالى: (والراسخون في
العلم يقولون: آمنا به، كل من عند ربنا. وما يذكر إلا أولو الألباب).
Maksudnya:
“dan demikian juga mereka beriman dengan semua sifat yang turun padanya
al-Quran membicarakan berkenaannya dan datang khabar yang sahih seperti mendengar, melihat, mata, wajah,
ilmu, kekuatan, kudrat, kemuliaan, kebesaran, kehendak, masyiah, perkataan dan
berkata-kata, reda, marah, hidup, jaga (tidur tidur), gembira, ketawa, dan
selainnya tanpa menyamakan dengan sesuatupun daripada sifat itu dengan makhluk
bahkan mereka berhenti setakat apa yang Allah katakan dan RasulNya sallallahu
alaihi wa ala Aalihi wa sallam katakan tanpa menambah, menyandarkannya kepada sesuatu,
memberi kaifiat, menyerupakan, mengubah, mengganti, dan merubah, dan tidak juga
menghilangkan lafaz khabar daripada apa yang diketahui (maknanya) di sisi orang
Arab dengan memberikan takwil yang munkar bahkan mereka melalukan atas zahirnya
dan menyandarkan ilmunya kepada Allah dan mengakui bahawa hakikat sebenar
(kaifiat) tidak diketahui siapa pun kecuali Allah seperti mana diberitakan
Allah berkenaan orang-orang yang kukuh dalam ilmu mereka berkata seperti dalam
firman Allah Taala (maksudnya): “dan orang-orang Yang tetap teguh serta
mendalam pengetahuannya Dalam ilmu-ilmu ugama, berkata:” Kami beriman
kepadaNya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami” dan tiadalah Yang
mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang Yang berfikiran”. [Ali
Imran: 7]”. [Akidah al-Salaf Ashabul Hadis, Abu Usman Al-Sabuni, m.s 3].
Pernyataan
beliau ini jelas bahawa Ulama Salaf memahami makna sifat sesuai dengan khitab
yang Allah Taala gunakan yang bahasa Arab yang Mubin (fasih), mereka tidak
melakukan takwil sama ada ijmali mahupun tafsili. Maka dakwaan kaum al-Asyairah
dan al-Maturidiah bahawa kaum Salaf melakukan takwil ijmali adalah tidak benar
sama sekali.
Saya
jawab :
Benar apa yang
dikatakan al-Sabuni, namun si Asrie memelintirkan makna yang sebenarnya yang
sesuai dengan pemahaman bathilnya. Bahkan si Asrie buta dari realita adanya
pemahaman tajsim oleh ulama-ulama wahabi.
Apa yang dikatakan
al-Sabuni memang manhaj jumhur ulama salaf yaitu tafwidhul makna dan kaifiyat.
Silakan perhatikan lagi poin yang diucapkan al-sabuni berikut :
Poin
pertama : al-Sabuni mengatakan :
من
غير زيادة عليه ولا إضافة إليه، ولا تكييف له ولا تشبيه، ولا تحريف ولا تبديل ولا
تغيير، ولا إزالة للفظ الخبر عما تعرفه العرب، وتضعه عليه بتأويل منكر
“...katakan
tanpa menambah, menyandarkannya kepada sesuatu, memberi kaifiat, menyerupakan,
mengubah, mengganti, dan merubah, dan tidak juga menghilangkan lafaz khabar
daripada apa yang diketahui (maknanya) di sisi orang Arab dengan memberikan
takwil yang munkar...”
Al-Sabuni
memberikan syarat tanzih (penyucian) Dzat Allah yaitu :
-
Tanpa menambahi ucapan Allah dan Rasul-Nya dan menyandarkannya. Berbda dengan
kaum wahabi yang suka menambahi ayat-ayat shifat yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya
seperti menambahi makna julus (duduk) pada sifat Istiwa Allah, padahal Allah
dan Rasul-Nya tidak menyebutkan lafadz julus sedikit pun.
Ibnu
Utsaimin mengatakan :
“
Adapun menafsirkan istiwa denagan duduk, maka telah menukil Ibnul Qayyim dalam
ash-Shawaaiq : 4/1303….Makna istiwa tidak ada lain hanyalah duduk “[3]
- tanpa memberi
kaifiat dan menyerupakan. Berbeda dengan kaum wahabi yang menetapkan adanya
kaifiat bagi sifat-sifat Allah Ta’alaa. Sebagaimana diakui oleh ulama mereka
sendiri seperti Ibnu Utsaimin dan bahkan menyerupakan Allah dengan sifat-sifat
makhluk-Nya. Ibnu Utsaimin mengatakan :
“
Oleh sebab itu pula berkata sebagian dari ulama salaf dengan jawaban yang bijak
: “ Sesungguhnya makna ucapan kami “ Tanpa takyif , maknanya bukan berarti kita
tidak boleh meyakini kafiyyah sifat Allah, bahkan kita menetapkan adanya
kaifiyyah pada sifat-sifat Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui kafiyyahnya
Allah; Sesungguhnya istiwa Allah di atas Arsy tidak diragukan lagi bahwa Allah
memiliki kaifiyyah (tatacara/bentuk), akan tetapi kamu tidak mengetahuinya. Karena tidaklah sesuatu
yang wujud terkecuali pasti memiliki kafiyyah (tatacara) akan tetapi terkadang
sifatnya diketahui dan terkadang tidak diketahui “.
(Syarh al-Aqidah
ath-Thahawiyyah : 1/99)
Di sini Ibnu
Utsaimin menetapkan adanya kaifiyyah pada ayat-ayat shifat Allah akan tetapi
kaifiyah tidak diketahui menurutnya. Bahkan dengan jelas Ibnu Utsaimin
mengkiyaskan wujud Allah dengan wujud makhluk-Nya yang pasti memiliki
kaifiyyah. Naudzu billahi min dzaalik...
- Tanpa mengubah, mengganti, dan merubah. Inilah
manhaj tafwidh para ulama salaf. Berbeda jauh dengan wahai yang berani
mentahrif, mengganti dan merubah ayat-ayat shifat. Mereka berani merubah Istiwa
dengan julus (duduk) atau istiqrar (bersemayam).
- Dan tidak juga
menghilangkan lafaz khabar daripada apa yang diketahui (maknanya) di sisi orang
Arab dengan memberikan takwil yang munkar. Wahabi tidak menyadari atau memang
mereka jahil, ucapan al-Sabuni justru memukul akidah mereka yang berani
memaknai lafadz-lafaz ayat shifat dengan makna yang menyimpang dan mungkar lagi
bathil.
Poin
Kedua : al-Sabuni mengatakan :
ويجرونه
على الظاهر، ويكلون علمه إلى الله تعالى، ويقرون بأن تأويله لا يعلمه إلا الله
“...bahkan mereka
melalukan atas zahirnya dan menyandarkan ilmunya kepada Allah dan mengakui
bahawa hakikat sebenar (kaifiat) tidak diketahui siapa pun kecuali Allah...”
Kalimat ijraa dalam
bahasa Arab juga bermakna imrar yakni melalui dan membiarkan. Maka kalimat “
mereka melalukan atas zahirnya “ bermakna mereka melalui dan membiarkan
zahirnya saja tanpa memaknai artinya. Cukup jelas setelahnya lebih diterangkan
dengan ucapan “ Menyandarkan ilmunya Allah dan mengakui bahwa hakikat takwilnya
tidak diketahui kecuali Allah. Sangat berbeda dengan kaum wahabi yang
mengotak-atik zahirnya dan membuahkan makna yang menyimpang dari sebenarnya.
Asrie mengatakan :
Pernyataan
beliau ini jelas bahawa Ulama Salaf memahami makna sifat sesuai dengan khitab
yang Allah Taala gunakan yang bahasa Arab yang Mubin (fasih), mereka tidak
melakukan takwil sama ada ijmali mahupun tafsili. Maka dakwaan kaum al-Asyairah
dan al-Maturidiah bahawa kaum Salaf melakukan takwil ijmali adalah tidak benar
sama sekali.
Saya jawab :
Ya jelas kesalah pahaman si wahabi ini dan jelas
sekali plintirannya. Para ulama salaf memang mentafwidh makna dan kaifiyat
ayat-ayat shifat, dan membiarkannya sesuai makna bahasa Arab yang dimaklumi
kaum Arab tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk inilah yang disebut
dengan takwil ijmali. Sangat berbeda dengan kaum wahabi yang berani mentakwil
dan menyimpangkan maknanya kepada takwilan dan makna yang mungkar bahkan
makna-makna yang benar-benar menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana
telah saya contohkan di atas dari ucapan Ibnu Utsaimin dan lainnya.
Nah berikut ini beberapa ulama salaf yang mentakwil
ayat-ayat mutasyabihat secara takwil tafshili sebagaimana banyak dilakukan oleh
ulama kholaf :
1.
Ibnu Abbas. Beliau mentakwil beberapa ayat shifat di
antaranya : beliau mentakwil saq (betis) (QS. 68 : 42) dengan kesusahan yang
sangat berat, telah disebutkan dalam kitab Fath al-Bari : 13/428 :
“
Adapun Saaq maka telah datang riwayat dari Ibnu Abbas tentang firman Allah “
Dihari Allah menyingkap betis “, Ibnu Abbas mengatakan “ Maksudnya kesusahan
yang sangat berat “, sedangkan orang Arab mengatakan “ Telah tegak peperangan
itu di atas betis maksudnya di atas kesusahan yang sangat berat, di antara
(syair mereka) adalah : “ Telah memulai
kawan-kawanmu dengan menghunuskan pedang ke leher-leher. Dan telah tegak pada
kami peperangan-peperangan di atas betis “. (Fath al-Bari : 13/428).
Juga
disebutkan dalam kitab Jaami’ul bayan fi Ta’wil al-Quran : 23/554. Dan beliau
juga mentakwil Kursi (QS. 2 : 255) dengan ilmunya Allah (Jaami’ al-Bayan fi
ta’wil al-Quran, Ibnu Jarir ath-Thabarai : 5/399). Mentakwil aydin (beberapa
tangan) dengan kekuatan dan kekuasaan Allah (al-Jami’ li ahkam al-Quran,
al-Qurthubi : 17/52) dan lain-lain
2.
Mujahid dan as-Suddi.
Al-imam
Mujahid dan as-Suddi, dua pakar tafsir dari generasi tabi’in juga mentakwil
lafadz janb (QS. 39 : 56) dengan perintah Allah. (Jami’ al-Bayan fi ta’wil
al-Quran : 21/314)
3.
Sufyan ast-Tsauri dan Ibnu Jarir ath-Thabari.
Al-Imam
Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan istiwa (QS. 2 :29) dengan memiliki dan
menguasai, bukan bergerak dan berpindah. (al-Jami’ li ahkam al-Quran,
al-Qurthubi : 1/430) Sedangkan imam Sufyan ats-Tsauri mentakwilnya dengan
berkehendak menciptakan langit. (Mirqat al-Mafatih syarh Misykat al-Mashabih,
Ali al-Qari : 2/17)
4.
Malik bin Anas.
Al-Imam
Malik bin Anas, juga mentakwil turunnya Tuhan dalam hadits sahih pada waktu
tengah malam dengan turunnya perintah-Nya, bukan bergerak dan berpindah dari
satu tempat ke tempat lain. Dalam kitab Siyar disebutkan :
فَقَوْلُنَا فِي ذَلِكَ وَبَابُهُ اْلإِقْرَارُ وَاْلإِمْرَارُ وَتَفْوِيْضُ مَعْنَاهُ إِلىَ قَائِلِهِ الصَّادِقِ اْلمَعْصُومِ وَقَالَ ابْنُ عَدِي حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ هَارُونَ بْنُ حِسَان حَدَّثَنَا صَالِحٌ بْنُ اَيُّوْبَ حَدَّثَنَا حَبِيْبٌ بْنُ أَبِي حَبِيْبٍ حَدَّثَنِي مَالِكٌ قَالَ يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالىَ أَمْرُهُ فَأَمَّا هُوَ فَدَائِمٌ لاَ يَزُوْلُ
“
Maka pendapat kami dalam hal itu adalah mengakuinya dan membiarkannya serta
menyerahkan maknanya kepada pengucapnya yang jujur lagi ma’shum, Berkata Ibnu
Adi, telah menceritakan pada kami Muhammad bin Harun bin Hassan, telah
menceritakan pada kami Shaleh bin Ayyub, telah menceritakan pada kami Habib bin
Abi Habib, telah menceritakan padaku imam Malik ia berkata “ Allah Ta’aala
turun “ maksudnya perintah-Nya adapun Allah sendiri maka Dzat yang maha ada dan
tak pernah musnah “. [4]
5.
Ahmad bin Hanbal.
Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali melakukan takwil terhadap beberapa
tesk yang mutasyabihat, antara lain ayat tentang datangnya Tuhan (QS. 89 : 22)
beliau takwil dengan datangnya pahala Tuhan, bukan datang dalam arti bergerak
dan berpindah. Berikut redaksi yang disampaikan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir yang
diriwayatkan oleh imam Baihaqi :
رَوَى اْلبَيْهَقِي عَنِ اْلحَاكِمِ عَنْ أَبِي عَمْرٍو ابْنِ
السَّمَّاكِ عَنْ حَنْبَلَ أَنََّ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلَ تَأَوَّلَ قَوْلَهُ
تَعَالىَ: (( وَجَاءَ رَبّكَ )) أَنََّهُ جَاءَ ثَوَابُهُ ، ثمََُّّ قَالَ
اْلبَيْهَقِي : وَهَذَا إِسْنَادٌ لاَ غُبَارَ عَلَيْهِ
“ Al-Baihaqi
meriwayatkan dari al-Hakim dari Abi ‘Amr ibnu as-Sammaak dari Hanbal : “
Bahwasanya Ahmad bin Hanbal telah mentawil firman Allah Ta’ala : “ Dan telah datang Tuhanmu “, beliau
mentakwilnya dengan “ Telah datang pahala Tuhanmu “, kemudian imam Baihaqi
mengatakan “ Isnad ini tidak ada debu sama sekali atasnya (sangat jelas) “.
(al-Bidayah wa an-Nihayah juz 10 halaman 354).
Dan ulama salaf lainnya yang tidak disebutkan di sini.
Asrie bin Shobri mengatakan :
Imam Ibn
Abdil Barr r.h menyatakan setelah mendatangkan hadis-hadis berkenaan sifat
Allah Taala seperti Istiwa (bersemayam) dan nuzul (turun) dan perkataan salaf
berkenaannya:
أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة كلها في
القرآن والسنة والإيمان بها وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لا يكيفون
شيئا من ذلك ولا يحدون فيه صفة محصورة وأما أهل البدع والجهمية والمعتزلة كلها
والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل شيئا منها على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه
وهم عند من أثبتها نافون للمعبود والحق فيما قاله القائلون بما نطق به كتاب الله
وسنة رسوله وهم أئمة الجماعة والحمد لله
Maksudnya:
“Ahli Sunnah bersepakat untuk berikrar dengan sifat-sifat yang warid semuanya
dalam al-Quran dan al-Sunnah dan beriman dengannya dan membawanya kepada makna
hakiki bukan majazi tetapi mereka tidak memberikan kaifiat suatupun daripada
sifat itu, tidak menghadkan dalam bentuk tertentu, adapun Ahli Bidaah,
al-Jahmiah, dan al-Muktazilah semuanya dan al-Khawarij, kesemua mereka
mengingkarinya dan tidak membawanya kepada makna hakiki dan menyangka sesiapa
yang berikrar dengannya adalah musyabbihah sedangkan mereka ini di sisi kaum
yang menetapkanny (Ahli Sunnah) adalah kaum yang menafikan Tuhan dan yang benar
itu berada bersama mereka yang berpendapat sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah
RasulNya iaitulah Imam-imam al-Jamaah wal Hamudlillah”. [al-Tamhid lima fi
al-Muwatta’ minal Ma’ani wal Asanid, 7/145].
Saya
jawab :
Demikianlah akidah
ulama salaf yang lebih memilih tafwidh daripada takwil. Dan ini merupakan salah satu alternative dari akidah
Ahlus sunnah waljama’ah selain takwil. Para ulama salaf menyerahkan makna dan
kaifiyyah kepada Allah. Mereka membawakan maknanya kepada hakikatnya yang layak
/ pantas bagi keagungan Allah dan tidak mau memalingkan maknanya pada majaz.
Namun sangat
berbeda dengan akidah kaum wahabi, yang mengaku mengikuti metode salaf di atas,
namun pada kenyataannya justru menafsirkan maknanya. Maka berubahlah
konsistensi mereka yang tadinya mengaku menetapkan shifat dan menyerahkan
kaifiyahnya menjadi menetapkan makna dan menyerahkan kaifiyyahnya. Ini jelas
bertentangan dengan konsep ulama salaf.
Berikut salah satu contoh penafsiran ayat shifat oleh
syaikh Wahabi :
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (salah satu guru Ibnu
Utsaimin) berkata :
“
Demikian pula kami menetapkan bahwa Allah beristiwa di Arsy dengan istiwa yang
layak bagi keagungan Allah, baik istiwa itu ditafsirkan dengan ketinggian di
atas Arsy-Nya atau ditafsirkan dengan bersemayam atau duduk, semua tafsir ini
telah datang dari ulama salaf “.[5]
Syaikh
Abdul Aziz ar-Rajihi dengan kata pengantar syaikh
Shaleh ibnu al-Fauzan berkata :
“
Istiwa tidak ada lain hanyalah bermakna duduk. Ini adalah pendapat yang sahih;
tidak ada debu sedikitpun “[6]
Inilah
fakta penyimpangan wahabi dan kontradiksi akidah yang mereka pahami selama ini
dan menipu pengikutnya dengan doktrin-doktrin dusta dan bathilnya.
No comments: