Pelurusan kelima :
التجسم
Allah Berjisim
Apa yang dijelaskan panjang lebar oleh
syaikh Murad Syukri berkaitan tajsim ini dalam menghujjai ay’ariyyah
mutakallimin, sangatlah lah jauh dari sasaran. Yang dibahas dan dipertentangkan
bukanlah apa yang dijelaskan oleh syaikh Murad Syukri.
Jawaban :
Asy’ariyyah menemukan fakta bahwa Ibnu
Taimiyyah memiliki kaidah dalam bab tajsim bahkan kaidah itu ia langgar
sendiri.
Kaidah Ibnu Taimiyyah : Bahwa
menetapkan lafadz jisim pada Allah adalah bid’ah dan tak seorangpun yang
mengatakan seperti itu dari kalangan ulama salaf. Demikian juga meniadakan
lafadz jisim pada Allah juga bid’ah tidak seorang ulama salaf pun yang
mengatakannya.
Ibnu Taimiyyah berkata :
وإثبات
لفظ الجسم ونفيه بدعة لا أصل لها في الكتاب والسنة، ولم يتكلم به أحد من السلف
والأئمة، وأهل السنة والجماعة لا يطلقون هذا اللفظ لا نفيًا ولا إثباتًا، كما أنهم
لم يثبتوا لفظ التحيز ولا نفوه ولا لفظ الجهة ولا نفوه، ولكن أثبتوا الصفات التي
جاء بها الكتاب والسنة، ونفوا مماثلة المخلوقات
“ Menetapkan lafadz jisim dan
menafikannya adalah bid’ah tidak ada asalnya dalam Quran dan Sunnah, dan tak
seorang ulama salaf pun yang berkata seperti itu. Ahlus sunnah tidak memuthlakkan
lafadz jisim ini baik meniadakan atau menetapkan. Sebagaimana mereka tidak
menetapkan lafadz berbatas (haiz) dan tidak pula menafikannya. Demikan juga lafdz jihah (arah) mereka tidak
menetapkan juga tidak menafikan. Akan tetapi menetapkan sifat-sifat yang dating
dari al-Quran dan Sunnah dan menafikan penyerupaan makhluk “. [1]
Pada alinea lainnya Ibnu Taimiyyah
berkata :
فاتبع الإمام
أحمد طريقة سلفه من أئمة السنة
والجماعة المعتصمين بالكتاب والسنة المتبعين ما
أنزل [ الله ] إليهم من ربهم وذلك أن ننظر فما وجدنا الرب قد أثبته لنفسه في كتابه
أثبتناه وما وجدناه قد نفاه عن نفسه نفيناه وكل لفظ وجد في الكتاب والسنة بالإثبات
أثبت ذلك اللفظ وكل لفظ وجد منفيا نفي ذلك اللفظ وأما الألفاظ التي لا توجد في
الكتاب والسنة بل ولا في كلام الصحابة والتابعين لهم بإحسان وسائر أئمة المسلمين
لا إثباتها ولا نفيها . وقد تنازع فيها الناس فهذه
الألفاظ لا تثبت ولا تنفى إلا بعد الاستفسار عن معانيها فإن وجدت معانيها مما
أثبته الرب لنفسه أثبتت وإن وجدت مما نفاه الرب عن نفسه نفيت وإن وجدنا اللفظ أثبت
به حق وباطل أو نفي به حق وباطل أو كان مجملا يراد به حق وباطل وصاحبه أراد به
بعضها لكنه عند الإطلاق يوهم الناس أو يفهمهم ما أراد وغير ما أراد فهذه الألفاظ
لا يطلق إثباتها ولا نفيها كلفظ الجوهر والجسم والتحيز والجهة ونحو ذلك من الألفاظ
التي تدخل في هذا المعنى فقل من تكلم بها نفيا أو إثباتا إلا وأدخل فيها باطلا وإن
أراد بها حقا
“ Imam Ahmad mengikuti metode salafnya
dari kalangan imam ahlus sunnah waljama’ah yang berpegang teguh dengan kitab
dan sunnah, yang selalu mengikuti apa yang Allah turunkan pada mereka, caranya
yaitu dengan kita memperhatikan ; apa yang kita temukan bahwa Allah menetapkan
untuk Dzatnya di dalam kitabnya, maka kami tetapkan. Dan apa yang dinafikan
oleh-Nya, maka kami nafikan. Setiap lafadz yang ditemukan dalam kitab dan
sunnah telah ditetapkan, maka kami tetapkan lafadz itu. Dan setiap lafadz yang
kami temukan dinafikan maka kami nafikan lafadz tersebut. Adapun lafadz-lafadz
yang tidak ditemukan di dalam kitab bahkan di dalam ucapan para sahabat dan
tabi’in dan semua para imam kaum muslimin tentang penetepannya atau
penafiannya, sedangkan para ulama berselisih tentang ini, maka lafadz-lafadz
ini tidak ditetapkan dan tidak dinafikan kecuali setelah mencari tahu
makna-maknanya. Maka jika makna ditemukan sesuai dengan apa yang Allah
tetapkan, kita tetapkan dan jika sesuai dengan yang Allah nafikan, maka kita
nafikan. Dan jika kita temukan lafadznya ditetapkan bisa bermakna haq dan
bathil atau lafadznya dinafikan bisa bermakna haq dan bathil, atau datang
secara global yang dimaksud dengan haq dan bathil sedangkan pembicaranya
bermaksud sebagiannya saja akan tetapi ketika dimuthlakkan dapat membingungkan
manusia atau member pemahaman pada manusia dengan apa yang ia inginkan atau
tidak inginkan, maka lafadz seperti ini tidak boleh dimuthlakkan dalam
penetapannya atau penafiannya seperti lafadz jauhar (materi), jisim, haiz
(batasan) dan jihah (arah) dan yang semisalnya dari lafazd-lafazd yang tidak
masuk dalam makna ini, maka sedikit sekali orang yang berbicara dengannya
secara penetapan atau penafian kecuali akan dimasuki kebathilan walaupun ia
bermaksud kebenaran “.[2]
Penjelasan :
Kesimpulan apa yang dijelaskan oleh
Ibnu taimiyyah di sini adalah, misalnya lafadz jisim jika dimaksudkan adalah
sahih (menurut Ibnu Taimiyyah), maka boleh menggunakan lafadz jisim untuk
Allah. Jika tidak sahih, maka tidak boleh. Demikian lafadz-lafadz lainnya.
Maka konsekuensinya adalah boleh
menggunakan lafadz-lafadz tadi untuk Allah tanpa adanya nash, akan tetapi
semata-mata melalui penunjukkan makna sahihnya. Maka jelas menurut Ibnu
Taimiyyah bahwa ada sebagian lafadz-lafadz yang sah digunakan untuk Allah dan
ada sebagian yang tidak sah.
Di sini Ibnu Taimiyyah mengecualikan
lafadz-lafadz yang tidak ditemukan dalam nash al-Quran maupun hadits juga kalam
ulama salaf. Artinya Ibnu Taimiyyah tidak menetapkan jisim secara muthlaq dan
juga tidak menafikannya secara muthlaq. Jika ada lafadz yang sesuai makna
kandungan dalam nash, maka diterima dan jika tidak maka ditolak. Berbeda dengan asy’ariyyah yang menafikan
makna jisim secara muthlaq.
Makna Jisim menurut Ibnu Taimiyyah :
Secara singkat, Ibnu Taimiyyah memaknai
jisim secara bahasa adalah badan dan jasad. Ibnu taimiyyah juga menukil dari
yang lainnya bahwa makna jisim dalam bahasa adalah tambahnya tenaga dan besar
bentuknya.[3]
Sedangkan secara istilahi
sebagaimana kita jelaskan ucapan Ibnu Taimiyyah di atas, yakni jika lafadznya
menunjukkan makna yang sahih sesuai nash, maka lafadz itu bisa diterima, jika
tidak, maka lafadz itu tidak bisa diterima.
Sedangkan asy’ariyyah mengatakan bahwa
jisim adalah sesuatu yang berbatas dan menerima pembagian. Dan menolak semua
jisim bagi Allah Ta’aala.
Ibnu taimiyyah dalam kitab Radd asas
taqdisnya mengatakan : 1/5 : “ Ucapan bahwa kewujudan sesuatu yang wujud
tidak di dalam alam atau di luar alam, tidaklah diucapkan seorang yang berakal
pun bahwa itu perkara yang seharusnya dipahami. Demikian juga koensekuensi dari
uacapan itu seperti Allah tidak berjisim dan tidak ada haiz (batas) dan
semisalnya, tidak seorang pun yang berakal mengatakan demikian dan tidak
mengatakan bahwa penafian itu seharusnya dipahami. “
Kemudian ia juga mengatakan : “ Kaum
yang mengatakan bahwa Allah bukan jisim dan tidak ber-haiz (berbatas), mereka
setelahnya berselisih ; apakah Allah di atas alam atau bukan di atas alam? Maka
mereka menjadi beberapa kelompok :
- Kelompok mengatakan bahwa Allah di
atas alam bahkan di atas Arsy akan tetapi Allah tidak berjisim dan ber-haiz.
Ini diucapkan oleh kelompok kullabiyyah, karromiyyah, asy’ariyyah dan
sekelompok dari pengikut madzhab empat Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah,
Hanbaliyyah, ahli hadits dan shufiyyah. Dan ini yang dihikayatkan oleh Abul
Hasan al-Ays’ary dari ahli hadits dan sunnah.
- Kelompok lain mengatakan Allah tidak
di atas alam dan tidak ada sesuatu pun di atas alam. Ini ucapan Jahmiyyah dan
Mu’tazilah dan sekelompok dari generasi belakangan asy’ariyyah, ahli filsafah,
dan qaramithah. Atau mengatakan Allah berada di setiap tempat dengan Dzat-Nya
sebagaimana dikatakan oleh para ahli ibadah kelompok ini, dan mutakallimin,
shufiyyah dan kaum awamnya.
- kelompok dari mereka mengatakan bahwa
Allah bukan di dalam maupun di luar alam dan tidak bertempat di dalamnya dan
tidak disuatu tempat, mereka semua menafikan dua objek yang berlawanan, ini
pendapat dari ahli mutakallimin dan ahli nadzar. Objek pertama diucapkan oleh
mayoritas kaum awam, ahli ibadah, dan ahli ma’rifah dari mereka. Sedangkan
objek kedua dikatakan oleh ahli nadzar mereka, ahli kalam dan ahli peneliti
dari mereka juga ahli qiyas. Kebanyakan mereka menyatukan di antara dua ucapan
(objek), dan saat keadaan mengkaji dan membahasnya mereka mengatakan dengan
menafikan dua objek sekaligus, maka mereka mengatakan : “ Allah tidak di dalam
alam dan juga tidak di luar alam “, dan ketika mereka beribadah mereka
mengatakan “ Allah di setiap tempat dan Allah bukan dari tempat “. Dan semua
ucapan ini kerusakannya sudah diketahui (maklum) secara akal sehat walaupun
banyak diyakini oleh orang banyak “. [4]
Penjelasan :
Perhatikan ucapan Ibnu Taimiyyah di
atas, bagaimana ia menilai semua pendapat dan ucapan di atas salah dan
mengklaim bahwa kerusakan pendapat itu sudah maklum secara akal. Jika kita
perhatikan kenapa Ibnu Taimiyyah menolak semua ucapan dan pendapat di atas??
Tidak ada lain karena semua ucapan di atas, menafikan dan meniadakan sifat
jisim dan haiz bagi Allah Ta’alaa. Menafikan jisim dan haiz bagi Allah adalah
perkara yang sah, akan tetapi berbeda dengan Ibnu Taimiyyah yang tidak meridhai
keyakinan sahih ini.
Ibnu Taimiyyah menganggap orang yang
mengatakan bahwa Allah tidak berjisim, menurutnya mustahil untuk dikatakan
bahwa Allah di atas Alam dan di atas makhluk-makhluk-Nya. Anggapan ini sungguh
bathil karena sangat bisa kita katakan bahwa Allah di atas semua makhluk-Nya
dengan atas atau tinggi yang bukan bersifat tempat.
Pemimpin
Hanabilah Abul Fadhl at-Tamimi bahwasanya imam Ahmad bin Hanbal berkata
:
وَأَنْكَرَ – يَعْنيِ أَحْمَدَ-
عَلىَ مَنْ يَقُوْلُ بِاْلجِسْمِ وَقَالَ إِنَّ اْلأَسْمَاءَ مَأْخُوْذَةٌ مِنَ
الشَّرِيْعَةِ وَاللُّغَةِ ، وَأَهْلُ اللُّغَةِ وَضَعُوا هَذاَ اْلاِسْمِ عَلىَ ذِي
طُوْلٍ وَعَرْضٍ وَسَمْكٍ وَتَرْكِيْبٍ وَصُوْرَةٍ وَتَأْلِيْفٍ وَاللهُ تَعَالىَ
خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَمِّىَ جِسْمًا لِخُرُوْجِهِ
عَنْ مَعْنىَ اْلجِسْمِيَّةِ وَلَمْ يَجِئْ فيِ الشَّرِيْعَةِ ذَلِكَ فَبَطَلَ
“
Imam Ahmad mengingkari orang yang berpendapat Allah itu berjisim dan berkata :
“ Sesungguhnya nama-nama itu diambil dari Syare’at dan bahasa. Ulama ahli
bahasa meletakkan nama (jisim) ini kepada sesuatu yang memiliki ukuran panjang,
lebar, tinggi, bagian, gambar dan susunan sedangkan Allah keluar dari itu
semua, maka tidak boleh mengatakan Allah itu jisim karena mustahilnya Allah
dari makna kejisiman dan juga tidak ada sandaran dalam Sayare’at “.[5]
Kemudian menisbatkan ucapan di awal
tadi kepada kullabiyyah dan asy’ariyyah tidak
lah benar sama sekali. Karena jika sebagian mereka mengatakan bahwa Allah di
atas alam atau di atas Arsy, bukanlah
bermaksud atas atau tinggi secara tempat. Karena semua kullabiyyah dan
asy’ariyyah tidak meyakini bahwa Arsy adalah tempat bagi Allah. Berbeda dengan
aliran Karomiyyah yang mayoritas mereka mengatakan bahwa Arsy tempat bagi Allah
demikian juga dengan Ibnu Taimiyyah dan kaum wahabi.
mantap....teruskan usaha penerangan...
ReplyDeleteTerima Kasih, Sebarkan..
Delete