**Dapatkan
buku kami untuk menjawab hujjah-hujjah selanjutnya
Pelurusan Ketujuh
كلام الله
Allah Berkata-Kata
Banyak dari pengikut Ibnu taimiyyah
yang tidak memahami pemahaman Ibnu Taimiyyah sendiri dalam bab ini. Sehingga
menimbulkan tuduhan kepada kelompok penentang Ibnu Taimiyyah dengan tuduhan
yang mereka anggap sebagai fitnah padahal faktanya memang Ibnu
Taimiyyah mengatakannya.
Jawaban :
Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa kalam
Allah Ta’alaa adalah berbentuk suara dan huruf yang berkesinambungan sejak
azal. Setiap suara dan huruf berlalu dan habis kemudian muncul suara dan huruf
lainnya dalam Dzat Allah Ta’alaa dan demikian seterusnya. Maka kalam Allah
bersifat qadim dari sisi nau’nya (macamnya) tapi bersifat baru dari sisi materi
dan satuannya. Inilah keyakinan Ibnu Taimiyyah yang sebenarnya berkaitan kalam
Allah sebagaimana akan kita ketahui sebentar lagi.
Keyakinan yang disepakati oleh
asy’ariyyah dan mujassimah adalah : Allah Maha Berbicara (bercakap-cakap), dan
kalam Allah salah satu sifat Allah yang berdiri pada Dzat Allah dan bukanlah
makhluk. Akan tetapi kaum Mujassimah terutama Ibnu Taimiyyah menambahi
(bid’ah)-nya yaitu kalam Allah memiliki suara dan huruf.
Sebenarnya masalah ini masih terkait
erat dengan pembahasan sebelumnya tentang keyakinan Ibnu Taimiyyah terhadap
hulul hawadits atau af’al ikhtiariyyah di mana Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa
af’al ikhtiriyyah seperti bergerak, datang, turun dan semisalnya berdiri
sendiri pada Dzat Allah Ta’alaa. Demikian juga kalam Allah adalah sifat Allah
yang memunculkan suara dan huruf yang berdiri pada Dzat Allah. Huruf dan suara
ini bersifat baru (hawadits) yang berdiri pada Dzat Allah dalam artian
perbuatan-perbuatan baru yang Allah ciptakan dengan sifat kehendak Allah dalam
Dzat-Nya.
فتبين أن الرب لم يزل ولا يزال موصوفا بصفات الكمال
منعوتا بنعوت الجلال ; ومن أجلها الكلام .
فلم يزل متكلما إذا شاء ولا يزال كذلك وهو يتكلم إذا شاء بالعربية كما تكلم بالقرآن العربي وما تكلم الله به فهو قائم به ليس مخلوقا منفصلا عنه فلا تكون الحروف التي هي مباني أسماء الله الحسنى وكتبه المنزلة مخلوقة لأن الله تكلم بها
فلم يزل متكلما إذا شاء ولا يزال كذلك وهو يتكلم إذا شاء بالعربية كما تكلم بالقرآن العربي وما تكلم الله به فهو قائم به ليس مخلوقا منفصلا عنه فلا تكون الحروف التي هي مباني أسماء الله الحسنى وكتبه المنزلة مخلوقة لأن الله تكلم بها
“ Maka menjadi
jelas bahwa Allah senantiasa bersifat dengan sifat yang sempurna dan agung, di
antaranya bersifat kalam, Allah senantiasa berbicara jika berkehendak dan
senantiasa demikian. Dia berbicara dengan bahasa Arab jika berkehendak
sebagaimana berbicara dengan Quran berbahasa Arab. Apa yang Allah bicarakan
maka itu berdiri dengan Dzat Allah sendiri bukanlah makhluk yang terpisah
dari-Nya, maka setiap huruf yang merupakan dasar Asmaul Husna dan kitab-kitab
yang diturunkan bukanlah makhluk karena Allah berbicara dengannya “.[1]
Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa kalam
Allah bergantung dengan kehendak dan qudrah-Nya. Konsekuensinya setiap kalimat tersebut
bersifat baru, karena apa yang berhubungan dengan qudrah dan iradah Allah
bersifat baru. Setiap yang baru harus adanya permulaan dan pengakhiran. Setiap
yang baru pasti bersifat makhluk (tercipta). Karena Setiap yang baru adalah
makhluk dan setiap makhluk adalah baru.
Atas dasar pemahaman Ibnu Taimiyyah
ini, maka konsekuensinya adalah bahwa kalam Allah bersifat baru. Sedangkan kita
yakin bahwa al-Quran adalah kalam Allah. Maka menurut pemahaman Ibnu Taimiyyah
al-Quran adalah makhluk sebab kalam Allah bersifat baru. Oleh sebab itulah Ibnu
Taimiyyah berpendapat al-Quran tidak bersifat qadim :
والمقصود
هنا أن الامام أحمد ومن قبله من أئمة السنة ومن اتبعه كلهم بريئون من الاقوال
المبتدعة المخالفة للشرع والعقل ولم يقل أحد منهم أن القرآن قديم
“
Yang dimaksud di sini bahwasanya imam Ahmad dan ulama sebelumnya dari Ahlus
sunnah dan para pengikutnya, berlepas diri dari ucapan-ucapan bid’ah yang
menyelisihi syare’at dan aqal, dan tidak seorang pun dari mereka mengatakan
al-Quran itu bersifat qadim “.[2]
Ibnu Taimiyyah mengatakan dengan
menukil bahwa kalam Allah tidak bersifat qadim, karena ia berkeyakinan bahwa
kalam Allah bersifat baru dari sisi satuannya (haditsul afrad) dan bersifat
qadim dari sisi jenisnya.
Ibnu Taimiyyah beranggapan suara dan
huruf adalah sifat kesempurnaan, maka jika makhluk menjadi sempurna dengan
adanya suara dan huruf, demikian juga kalam Allah sangat layak disifati dengan
suara dan huruf. Ibnu Taimiyyah berkata :
إذ كل كمال
يثبت للمخلوق فالحق أولى به، لأن القديم الواجب الخالق أحق بالكمال من المحدث
الممكن المخلوق
“ Karena setiap kesempurnaan bagi
makhluk, maka bagi Allah lebih berhak, sebab Dzat yang Maha Dahulu, yang Maha
Wajib dan Pencipta lebih berhak dengan sifat kesempurnaa daripada makhluk-Nya
“.[3]
Ibnu Taimiyyah lupa bahwa Allah
bukanlah Makluk sehingga ia berani menyamakan haq Allah dengan Haq manusia. Ia
telah lupa bahwa sifat kesempurnaan yang layak bagi makhluk terkadang tidaklah
layak bagi Allah seperti anak dan istri. Ini suatu kesempurnaa bagi lelaki akan
tetapi suatu kekurangan / aib bagi Allah Ta’alaa. Demikian juga sebaliknya, tidak
semua sifat yang layak bagi Allah itu layak pula bagi makhluk-Nya. Semisal
sifat qudrah Allah yang mampu menciptakan dari yang tidak ada, maka ini tidak
layak bagi makhluk-Nya.
Tambahan :
Masalah lafadz
Kaum Mujassimah di dalam meyakini bahwa
Lafadz Quran, suara, dan kalimat yang dibaca kaum muslimin yang
tertulis di mushaf adalah bersifat qadim dan azali, sering membawakan dalil hadits yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya Af’aalul Ibad berikut :
ويذكر
عن جابر، عن عبد الله بن أنيس قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (يحشر
الله العباد، فيناديهم بصوت يسمعه مَنْ بَعُدَ كما يسمعه مَنْ قَرُبَ: أنا الملك،
أنا الديَّان).
ويذكر
عن جابر فينادى بصوت فيسمعه من بَعُدَ كما يسمعه من
قَرُبَ، أنا الملك أنا الديّان
“ Disebutkan
dari Jabir : “ Maka diserukan dengan suara maka didengarlah oleh oaran yang
jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat “ Akulah raja akulah yang
berkuasa “.
Jawaban :
Hadits
ini disebutkan oleh imam Bukhari dengan shighat tamridh )bentuk kata yang menunjukkan adanya cacat( bukan shighat jazm (bentuk kata yang
menunjukkan kesahihan hadits). Merupakan qaidah yang disepakati ulama adalah
setiap hadits yang disebutkan atau dita’liq oleh imam Bukhari dengan shighat
jazm, maka hadits tersebut adalah sahih, dan jika imam Bukjari menyebutnya
dengan shighat tamridh, maka hadits itu ada cacatnya.
Kita
lihat komentar al-Hafidz Ibnu Hajar :
ونظر البخاري أدق من أن يعترض عليه بمثل هذا فإنه حيث ذكر
الارتحال فقط جزم به لأنّ الإسناد حسن وقد اعتضد، وحيث ذكر طرفًا من المتن لم يجزم
به لأن لفظ الصوت مما يتوقف في إطلاق نسبته إلى الرب ويحتاج إلى تأويل، فلا يكفي
فيه مجيء الحديث من طريق مختلف- فيها ولو اعتضدت "
“
Pandangan al-Bukhari lebih lembut daripada menolaknya dengan semacam ini,
karena ketika beliau menyebutkan hadits yang ada lafadz irtihal saja (tanpa ada
lafadz shout/suara) beliau menyebutnya dengan shighat jazm, karena sanadnya
hasan dan kuat. Dan ketika beliau menyebutkan sisi dari matannya, maka beliau
tidak menyebutnya dengan shighat jazm, karena lafadz shout (suara) termasuk
perkara yang tawaqquf di dalam menisbatkannya kepada Allah Ta’ala dan
membutuhkan pada takwil. Maka tidak cukup datangnya hadits tersebut dari jalan
yang mukhtalaf (diperselisihkan) walaupun menjadi kuat “.[4]
Artinya
tidak cukup hal itu dalam masalah akidah walaupun imam Bukhari menyebutkan
awalnya di kitab al-Ilm dan menyebutkannya dengan shighat jazm sebab tidak ada
lafadz shout (suara), di situ beliau hanya menyebutkan lafadz rahala (berangkat) nya Jabir bin
Abdillah kepada Abdullah bin Unais dari Madinah ke Mesir.
Akidah Ahlus sunnah dalam masalah ini :
Imam
Abu Hanifah (150 H) Mengatakan :
وصفاته في الأزل غير محدَثة ولا مخلوقة فمن قال إنها مخلوقة أو
محدَثة أو وقف أو شكّ فهو كافر بالله تعالى والقرءان أي كلام الله تعالى في
المصاحف مكتوب وفي القلوب محفوظ وعلى الألسن مقروء وعلى النبي عليه الصلاة والسلام
منزل ولفظنا بالقرءان مخلوق وكتابتنا له مخلوقة وقراءتنا مخلوقة والقرءان غير
مخلوق
“
Sifat-sifat Allah di Azali tidaklah baru dan bukan makhluk (tercipta),
barangsiapa yang mengatakan itu makhluk atau baru, atau dia diam (tidak
berkomentar), atau dia ragu maka dia dihukumi kafir kepada Allah. Al-Quran
yakni Kalamullah tertulis di mushaf-mushaf, terjaga dalam hati, terbaca dalam
lisan dan diturunkan kepada Nabi Saw. Dan lafadz kami dengan al-Quran adalah
makhluk, penulisan kami kepada Al-Quran adalah makhluk, bacaan kami
dengannya adalah makhluk sedangkan al-Quran bukanlah makhluk “.
Kemudian
imam Abu Hanifah melanjutkan :
ونحن
نتكلم بالآلات والحروف والله تعالى يتكلم بلا ءالة ولا حروف والحروف مخلوقة وكلام
الله تعالى غير مخلوق
“
Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa
alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “.
(Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim
dan lainnya)
Penjelasan
:
Dengan
terang-terangan imam Abu Hanifah yang merupakan ulama salaf di awal kurun
seratus hijriyyah ini mengatakan lafadz Quran dan penulisan al-Quran adalah
makhluk sedangkan al-Quran kalamullah bukanlah makhluk.
Dari
sinilah berangkat ulama asy-Ariyyah dan Maturudiyyah bahwa definsi al-Quran
terbagi menjadi dua sebagaimana pendapat imam Abu Hanifah di atas. Yakni Jika
yang dimaksudkan adalah kalam Allah, maka dia adalah kalam yang qadim dan azali
yang suci dari alat, suara dan huruf, sedangkan jika yang dimaksudkan adalah
kalimat yang terlafadzkan dan terbukukan dalam kertas-kertas, maka dia adalah
kalimat-kalimat berhuruf dan bersuara yang baru dan mengibaratkan kepada kalam
Allah yang qadim dan azali tersebut.
Contoh
logikanya seperti ini : Jika seorang mengatakan “
ALLAH “, maka lafadz Allah ini menunjukkan kepada Dzat yang Maha Suci yang
tidak menyerupai sesuatu apapun, sedangkan huruf-huruf isim (Allah) tersebut
adalah makhluk yang menunjukkan kepada Allah yang berbicara tanpa alat, suara
dan huruf.
Kalau
huruf yang ada dalam mushaf yang dibaca itu qadim (maha dahulu), maka bagaimana
lafadz Allah dalam kalimat “ BISMILLAH “ didahului oleh huruf yang lain yatu
huruf mim, sin dan ba’? bukankah qadim itu bermakna maha dahulu yang awalnya
tidak ada permulaan ?? lalu kenapa laafdz Allah didahului dengan huruf mim?
Knapa huruf mim didahului dengan huruf sin? Kenapa huruf sin didahului huruf
ba’?? mana sifat keqadimannya ??
Al-Imam
al-Isfiraini (w 418 H) mengatakan :
وأن
تعلم أن كلام الله تعالى ليسى بحرف ولا صوت لأن الحرف والصوت يتضمنان جواز التقدم
والتأخر، وذلك مستحيل على القديم سبحانه
“
Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah
dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung bolehnya pendahuluan
dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “. (at-Tafsir
fiddin : 102)
Imam
Mula Ali al-Qari mengatakan :
ومبتدعة الحنابلة قالوا: كلامه حروف وأصوات تقوم بذاته وهو قديم،
وبالغ بعضهم جهلاً حتى قال: الجلد والقرطاس قديمان فضلاً عن الصحف، وهذا قول باطل
بالضرورة ومكابرة للحس للإحساس بتقدم الباء على السين في بسم الله ونحوه"
“
Para ahli bid’ah dari kalangan Hanabilah berkata : “ Kalam Allah berupa huruf
dan suara yang berdiri dalam Dzat-Nya dan itu qadim. Bahkan ada yang sampai
berlebihan kebodohan mereka dengan berkata : “ Jilid dan Kertas itu bersifat
qadim apalagi mushaf “, ini adalah ucapan BATHIL secara pasti dan sifat mukabarah…”
(Syarh al-Fiqh al-Akbar : 29-35)
Manipulasi kaum wahabi terhadap ucapan
imam Bukhari
Makna
ucapan imam Bukhari yang disalah pahami wahabi :
حركاتهم وأصواتهم واكتسابهم وكتابتهم مخلوقة فأما القرآن المتلو المبين
المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في القلوب فهو كلام الله ليس بخلق
Gerak,
suara, usaha dan tulisan adalah makhluk, adapun al-Quran yang dibaca, yang
ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang tertulis, yang ada di dalam dada maka
dia adalah kalam Allah bukanlah makhluk “.[5]
Kaum
wahabi-salafi memahami ucapan imam Bukhari dengan nafsu dan pemikirannya
sendiri sehingga menimbulkan pemahaman bahwa kalam Allah itu bersuara dan
berhuruf.
Jawaban :
Imam
Bukhari mengatakan :
حركاتهم وأصواتهم واكتسابهم وكتابتهم مخلوقة فأما القرآن المتلو المبين
المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في القلوب فهو كلام الله ليس بخلق
Gerak,
suara, usaha dan tulisan adalah makhluk, adapun al-Quran yang dibaca, yang
ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang tertulis, yang ada di dalam dada maka
dia adalah kalam Allah bukanlah makhluk “. (Khalqi
af’aalil ibaad : 47)
Poin
pertama dari kalam imam Bukhari :
حركاتهم وأصواتهم
واكتسابهم وكتابتهم مخلوقة
“ Gerak,
suara, usaha dan tulisan adalah makhluk “
Imam
Bukhari dengan jelas menyatakan gerakan, suara, usaha dan tulisan adalah
makhluk, karena semuanya bersifat baru dan ada permulaanya.
Pengertiannya
adalah bahwa segala perbuatan, suara dan huruf yang berasal dari manusia adalah
makhluk. Dan lebih jelas beliau mengatakan
sebagaimana sering dinukil oleh ulama wahabi (tanpa mau memahaminya) berikut :
ما زلت أسمع أصحابنايقولون
أفعال العباد مخلوقة
“
Aku senantiasa mendengar para ashab kami mengatakan bahwa perbuatan hamba
adalah makhluk “.
Poin
kedua dari kalam imam Bukhari :
فأما القرآن المتلو المبين المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في
القلوب فهو كلام الله ليس بخلق
“
Adapun al-Quran yang dibaca, yang ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang
tertulis, yang ada di dalam dada maka dia adalah kalam Allah bukanlah makhluk
“.
Lafadz
al-Quran (فأما القرآن) di atas dalam ilmu nahwu kedudukannya menjadi mubtada’, tentu
mubtada’ selalu membutuhkan khobarnya. Mana khobarnya ? khobarnya adalah lafadz
fahuwa kalamullah (فهو كلام الله), sedangkan kalimat : al-Matluu al-Mubin, al-Mutsbat dan
seterusnya adalah menjadi na’at yakni shifat.
Artinya
adalah : al-Quran adalah kalamullah, dan al-Quran yang yang dibaca, yang
ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang tertulis, yang ada di dalam dada adalah
kalam Allah bukan makhluk.
Ada
dua pengertian dalam kalam imam Bukhari tersebut yaitu :
1.
al-Quran yang dibaca, yang ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang
tertulis, yang ada di dalam dada, jika dinisbatkan kepada kalam Allah adalah
bukanlah makhluk.
2.
al-Quran yang ditulis dan dibaca dengan suara dan huruf oleh manusia, maka imam
Bukhari menjwab : “perbuatan hamba adalah makhluk (أفعال العباد مخلوقة) “.
Manhaj
imam Bukhari inilah yang diikuti oleh para ulama Asyaa’irah bahwa : definsi
al-Quran terbagi menjadi dua Yakni Jika yang dimaksudkan adalah kalam Allah,
maka dia adalah sifat kalam yang qadim dan azali yang suci dari alat, suara dan
huruf, sedangkan jika yang dimaksudkan adalah kalimat yang terlafadzkan oleh
lisan manusia dan terbukukan dalam kertas-kertas, maka dia adalah
kalimat-kalimat berhuruf dan bersuara yang baru dan mengibaratkan kepada kalam
Allah yang qadim dan azali tersebut.
Ditulis Oleh : Ustaz Ibnu Abdillah Al-Katibiy
No comments: