Select Menu

clean-5

Wisata

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

Ibnu Umar r.a dan Bidaah Hasanah: Meluruskan Pemahaman Abul Jauzaa



Berbagai upaya dilakukan oleh kaum wahabi-salafi untuk menghilangkan pemahaman adanya bid’ah hasanah atau bid’ah secara bahasa. Termasuk apa yang dilakukan Abul jauza ini di dalam mentawkil-takwil ucapan Abdullah bin Umar yang mengucapkan sebaik-baik bid’ah dalam sholat dhuha. Dia tidak mampu memamahami dengan cermat apa yang dimaksud bid’ah oleh Abdullah bin Umar, sholat dhuhahnya kah, atau sifat dan cara sholat dhuhahnya kah yang dikatakan bid’ah oleh beliau ?? Abul Jauza semakin jauh menyimpang dari pemahaman yang dimaksudkan oleh Abdullah bin Umar.


Yang ironisnya (ajibnya), Abul Jauza ingin menolak ucapan bid’ah yang dikatakan oleh Abdullah bin Umar, tapi malah ia semakin menguatkan hujjah Ahlus sunnah wal Jam’ah (Aswaja) tentang fakta adanya bid’ah yang diterima yaitu bid’ah yang berdasarkan asal dalam syare’at. Dari sudut mana pun, tetap Abul Jauza tidak bisa lari dan tidak bisa menghindari bahwa bid’ah hasanah itu memang ada. Kalau bahasa film Dono adalah maju kena, mundur pun kena. Selamat membaca keunikan dan kelucuan Abul Jauza dalam berargumentasi..


Abul Jauza mengatakan : Telah masyhur bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berpendapat tentang bid’ahnya shalat Dluhaa.

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ: ثَنَا حَاجِبُ بْنُ عُمَرَ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى؟ فَقَالَ: " بِدْعَةٌ "

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haajib bin ‘Umar, dari Al-Hakam bin Al-A’raj, ia berkata : Aku pernah bertanya kepafa Ibnu ‘Umar tentang shalat Dluhaa, ia menjawab : “Bid’ah” [idem, 2/406 no. 7866].
Sanadnya shahih.

Sebagian orang ada yang mengambil riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa di atas sebagai dalil keabsahan bid’ah hasanah dan menganggap Ibnu ‘Umar sebagai sosok penganut paham eksistensi bid’ah hasanah.


Saya jawab :

Benar kami juga menggunakan hadits Ibnu Umar sebagai dalil adanya bid’ah Hasanah. Akan tetapi dari sudut Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, bukan dari sudur anda wahai Abul Jauza. Dan benar kami juag meyakini bahwa Ibnu Umar penganut paham eksistensi bid’ah hasanah sebagaimana pemahaman Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, imam Abu Hanifah, al-Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal yang meyakini adanya bid’ah hasanah.


Abul Jauza mengatakan : Pendalilan mereka tertolak dalam beberapa segi dengan urutan berpikir sebagai berikut :

1.     Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu membid’ahkan shalat Dluhaa dikarenakan ia tidak mengetahui mengetahui adanya perintah atau perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mendasarinya.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ تَوْبَةَ، عَنْ مُوَرِّقٍ، قَالَ: " قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَتُصَلِّي الضُّحَى؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَعُمَرُ؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَأَبُو بَكْرٍ؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا إِخَالُهُ "

Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Syu’bah, dari Taubah, dari Muwarriq, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : “Apakah engkau melakukan shalat Dluhaa ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Bagaimana dengan ‘Umar ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Abu Bakr ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Aku kira tidak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1175].



Saya jawab :


Yang benar adalah Ibnu Umar mengetahui bahwa sholat dhuha itu sunnah, akan tetapi beliau mengatakan sholat itu bid’ah tertuju pada sholat yang dilakukan sebagian orang saat itu yang melazimi sholat dhuha, melakukannya selalu dalam masjid dan melakukannya dengan berjama’ah bukan menilai pada sholat dhuhahnya itu sendiri.


Dalam Fathul Bari dikatakan :

أو الذي نفاه صفة مخصوصة كما سيأتي نحوه في الكلام على حديث عائشة . قال عياض وغيره : إنما أنكر ابن عمر ملازمتها وإظهارها في المساجد وصلاتها جماعة ، لا أنها مخالفة للسنة . ويؤيده ما رواه ابن أبي شيبة ، عن ابن مسعود أنه رأى قوما يصلونها فأنكر عليهم ، وقال : إن كان ولا بد ففي بيوتكم

“ Atau yang dinafikan (oleh Ibnu Umar) adalah sifat dengan cara tertentunya sebagaimana akan datang penjelasannya dalam hadits Aisyah. Imam Iyadh dan selainnya mengatakan, “ Sesungguhnya yang diingkari oleh Ibnu Umar adalah hanyalah melazimkannya, menampakkannya di masjid-masjid dan melakukan sholat dhuha dengan berjama’ah “, argumentasi ini dikuatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Ma’ud bahwasanya beliau melihat satu kaum yang melakukan sholat itu, lalu beliau mengingkarinya dan berkata “ Jika tetap mau melakukannya, hendaknya melakukannya di rumah-rumah kalian “.


Sholat dhuha adalah sunnah bukan bid’ah. Yang dianggap bid’ah oleh Ibnu Umar dalam sholat dhuha itu adalah bahwasanya pada masa khilafah Utsman bin ‘Affan, banyak dari orang-orang yang membiasakan diri datang ke masjid-masjid saat waktu karohah (kemakruhan melakukan sholat) itu keluar, lalu mereka melakukan sholat dhuha. Tradisi ini menjadi kental dan dikenal oleh orang banyak saat itu, sehingga tidaklah dikenal sholat dhuha kecuali adalah sholat yang dilakukan di dalam masjid setelah keluarnya waktu isyraq. Padahal Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya setelah terangkatnya matahari seukuran tombak dalam pandangan mata.

Perhatikan komentar imam Ibnu Juraij berikut ini :

أول من صلاها أهل البوادي ، يدخلون المسجد إذا فرغوا من أسواقهم

“ Orang pertama yang melakukan sholat (dhuha seperti) itu adalah penduduk dusun Arab, mereka masuk masjid jika telah selesai dari pasar mereka “[1]

Imam ath-Thawus juga mengatakan:

 إن أول من صلاها الأعراب ، إذا باع أحدهم بضاعة يأتي المسجد فيكبر ويسجد

“ Sesungguhnya orang pertama yang melakukan sholat (dhuha seperti) itu adalah kaum baduwi Arab, jika mereka telah selesai menjual satu barang, maka mereka mendatangi masjid bertakbir dan sujud “. [2]

Ini juga dikuatkan dengan hadits Ibnu Mas’ud berikut :

فقد قال مسروق بن الأجدع : كنا نقعد في المسجد فنثبّت الناس في القراءة بعد قيام ابن مسعود , ثم نقوم فنصلي الضحى , فبلغ ذلك ابنَ مسعود , فقال : عبادَ الله , لا نحمّلوا عباد الله ما لم يحملهم الله , إن كنتم لا بد فاعلين ففي بيوتكم

“ Masruq bin al-Ajda’ berkata “ Ketika kami duduk di dalam masjid, maka kami tetapkan orang-orang dalam membaca al-Quran setelah berdirinya (pulangnya) Ibnu Mas’ud, kami beridri mengerjakan sholat dhuha, maka hal ini didengar oleh Ibnu Mas’ud, lalu beliau berkata, “ wahai hamba Allah, jangan engkau beratkan hamba-hamba Allah dengan apa yang tidak Allah beratkan, jika kamu tetap mau melakukan sholat itu, maka lakukanlah di rumah-rumah kalian “.[3]


Maka dari sudut inilah Ibnu Umar mengatakan Abu Bakar, Umar dan Nabi tidak pernah melakukan sholat dhuha dengan sifat tertentu atau istilah tertentu seperti di atas. Maka ketika Ibnu Umar ditanya tentang sholat dhuha lalu beliau menjawabnya bid’ah, adalah dari sudut ini yaitu istilah yang saat itu dikenal yakni sholat dengan menentukan tempat dan waktu khusus yang tidak pernah ditentukan oleh syare’at.


Abul Jauza mengatakan : Padahal, ada riwayat shahih bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan dan memerintahkan shalat Dluhaa.

حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى، يَقُولُ: " مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ، أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى غَيْرُ أُمِّ هَانِئٍ، فَإِنَّهَا قَالَتْ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ، فَلَمْ أَرَ صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ "

Telah menceritakan kepada kami Aadam : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Murrah, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa berkata : “Tidak ada seorang pun yang menceritakan kepadaku bahwa ia melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dluhaa kecuali Ummu Haani’. Sesungguhnya ia pernah berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahnya pada hari Fathu makkah, lalu beliau mandi dan melakukan shalat delapan raka’at. Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan daripada itu, namun beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1176].

حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي الرِّشْكَ، حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ، أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، " كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى ؟ قَالَتْ: أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ "

Telah menceritakan kepada kami Syaibaan bin Farruukh : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Ar-Risyk : Telah menceritakan kepadaku Mu’aadzah, bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Berapa raka’at Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Dluhaa ?”. ‘Aaisyah menjawab : “Empat raka’at, dan beliau menambah sebanyak yang Allah kehendaki” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 719].

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، أَخبرنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، سَمِعَ عَاصِمَ بْنَ ضَمْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى "

Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, ia mendengar ‘Aashim bin Dlamrah meriwayatkan dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Dluhaa” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/89; Al-Arna’uth berkata : “sanadnya qawiy (kuat)”].

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ، حَدَّثَنَا مَهْدِيٌّ وَهُوَ ابْنُ مَيْمُونٍ، حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ الدُّؤَلِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Asmaa’ Adl-Dluba’iy : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Maimuun : Telah menceritakan kepada kami Waashil maulaa Abi ‘Uyainah, dari Yahyaa bin ‘Uqail, dari Yahyaa bin Ya’mar, dari Abul-Aswad Ad-Dualiy, dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Pada setiap pagi, setiap sendi tubuh Bani Adam harus bersedekah. Setiap tasbih bisa menjadi sedekah. Setiap tahmid bisa menjadi sedekah. Setiap tahlil bisa menjadi sedekah. Setiap takbir bisa menjadi sedekah. Setiap amar ma’ruf nahi munkar juga bisa menjadi sedekah. Semua itu dapat digantikan dengan raka’at yang dilakukan pada waktu Dluha” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 720].

Orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui.

Saya jawab :

Anda tidak cermat dan kurang teliti melihat persoalan ini wahai Abul Jauza, Ibnu Umar sama sekali tidak mengingkari sholat dhuha yang dilakukan Nabi, bahkan beliau pun pernah melakukannya.  Yang beliau katakan bid’ah dalam sholat dhuha adalah sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, yaitu sholat dhuha dengan menentukan tempat dan waktu tertentu.


Ada empat tabi’in yang meriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan sholat dhuha (dengan cara, waktu dan tempat tertentu) adalah bid’ah. Yaitu dari Mujahid, al-Hakam bin alA’raj, asy-Sya’bi, Salim bin Abdullah bin Umar dan


Dari Mujahid :

عن مجاهد ، قال : دخلت أنا وعروة بن الزبير المسجد فإذا عبد الله بن عمر جالس إلى حجرة عائشة وإذا أُناس يصلّون في المسجد صلاة الضحى . قال : فسألناه عن صلاتهم ، فقال : بدعة

“ Dari Mujahid, ia berkata, “ Aku bersama Urwah bin Zubair masuk ke masjid, dan ternyata ada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma sedang bermajlis ke kamar Aisyah, tiba-tiba orang-orang sedang melakukan sholat dhuha di dalam masjid. Ia berkata, “ Lalu kira Tanya kepada Ibnu Umar, maka beliau menjawab “ Itu adalah bid’ah “.[4]

Dalam riwayat yang lain :

عن ابن عمر أنه قال : إنها محدثة ، وإنها لمن أحسن ما أحدثو

“ Dari Ibnu Umar bahwasanya ia bekata “ Sholat dhuha (semacam itu) adalah bid’ah. Dan sesungguhnya ia adalah perkara baru yang baik “[5]


Dari al-Hakam al-A’raj :

قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى، وَهُوَ مُسْنِدٌ ظَهْرَهُ إِلَى حُجْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: بِدْعَةٌ، وَنِعْمَتِ الْبِدْعَةُ

“ Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : “Apakah engkau melakukan shalat Dluhaa ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Bagaimana dengan ‘Umar ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Abu Bakr ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Aku kira tidak” [6]


Salim bin Abdullah bin Umar :

فقد روى عن أبيه أنه قال : لقد قتل عثمان وما أحد يسبحها ، وإنها لمن أحب ما أحدث الناس إليّ

“ Sungguh telah meriwayatkan dari ayahnya bahwasanya ia berkata. “ Sunnnguh Utsman telah terbunuh, dan tak ada seorang pun yang melakukan sholat dhuha, sesungguhnya sholat itu adalah perkara baru yang dilakukan manusia yang paling aku cintai “[7]

Sa’id bin ‘Amr bin Sa’id bin al-‘Ash al-Amri :

أَتْبعني أبي عبدَ الله بن عمر لأتعلم منه ، فما رأيته يصلي السبحة ، وكان إذا رآهم يصلونها قال : من أحسن ما أحدثوا سبحتهم هذه

“ Ayahku mengajak aku kepada Abdullah bin Umar untuk aku belajar darinya. Aku tidak pernah melihat ia sholat dhuha, dan beliau jika melihat orang-orang sholat dhuha, maka beliau mengatakan : “ Di antara perkara baru yang mereka lakukan yang lebih bagus adalah solat mereka ini “.[8]


عن الشعبي قال : سمعت ابن عمر يقول : ما ابتدع المسلمون أفضل من صلاة الضحى

“ Dari Sya’bi ia berkata, “ Aku telah mendengar Ibnu Umar mengatakan “ Tidak ada perkara baru (bid’ah) yang dilakukan kaum muslimin yang lebih utama dari sholat dhuha “[9]

وخلاصة الأمر أن الناس أحدثوا أمراً جديدا في صلاة الضحى ، وهو التزامهم بأداء هذه العبادة في أول وقتها في المسجد ، وأن ابن عمر يحكم على فعلهم هذا بأنه بدعة ومحدثة ، وأنه هو ما كان يصليها كما يصليها الناس ، ومع ذلك فقد أثنى على ما يفعلونه بأنه نعمت البدعة ، وأنه من أحسن ما أحدثوا . ولعل ذلك لما رأى من نشاط الناس لأداء هذه العبادة في المسجد ، ولتوقعه أن كثيراً منهم لو حُذِّروا من أدائها في المسـاجد وأُلزموا أن يفعلوها في البيوت لأصابهم الفتور ، ومن ههنا تحققت الخيرية لما ألزم الناس أنفسهم به

Intinya adalah, Abdullah bin Umar melihat orang-orang melakukan sholat dhuha dengan model yang baru yaitu melazimkan ibadah tersebut dengan waktu tertentu, melazimkannya (merutinkan) di dalam masjid. Dari sudut inilah yang disebut bid’ah oleh Abdullah bin Umar radhiallhu ‘anhuma.


Ibnul Qayyim memiliki pandangan yang unik dan berbeda :

ومن تأمل الأحاديث المرفوعة وآثارَ الصحابة، وجدها لا تدل إلا على هذا القول، وأما أحاديثُ الترغيب فيها، والوصيةُ بها، فالصحيح منها كحديث أبي هريرة وأبي ذر لايدل على أنها سنة راتبة لكل أحد، وإنما أوصى أبا هريرة بذلك، لأنه قد روي أن أبا هريرة كان يختار درس الحديث بالليل على الصلاة، فأمره بالضحى بدلاً من قيام الليل، ولهذا أمره ألا ينام حتى يوتر، ولم يأمر بذلك أبا بكر وعمر وسائر الصحابة

“ Barangsiapa yang merenungi hadits-hadits marfu’ dan astar sahabat ini, maka ia akan menemukan bahwa semua menunjukkan kecuali atas ucapan ini. Adapaun hadits targhib (motivasi untuk melakukan dhuha) dan wasiat seperti hadits Abu Hurairah dan Abu Dzar, maka yang sahih adalah hal itu tidak menunjukkan atas sholat dhuha yang sunnah secara ratib (rutin) bagi setiap orang, beliau mewasiatkan Abu Haurairah demikian karena diriwayatkan bahwa Abu Hurairah konon memilih belajar haditd di malam hari dengan sholat, maka Nabi memerintahkannya di waktu dhuha sebagai ganti di malam hari, oleh sebab itu beliau memerintahkannya sholat witir sbelum tidur namun beliau tidak memerintahkan hal itu kepada Abu Bakar, Umar dan semua para sahabatnya “.[10]


Abul Jauza mengatakan :  Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidaklah menafikkan shalat Dluhaa secara mutlak. Shalat tersebut masyru’ dilakukan jika baru datang dari bepergian.

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الصَّوَّافُ، نَا سَالِمُ بْنُ نُوحٍ الْعَطَّارُ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي الضُّحَى إِلا أَنْ يَقْدَمَ مِنْ غَيْبَةٍ "

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Ash-Shawwaaf : Telah menceritakan kepada kami Saalim bin Nuuh Al-‘Aththaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat Dluhaa kecuali jika baru datang dari bepergian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 2/230-231 no. 1229; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam ta’liq Shahih Ibni Khuzaimah].



Saya jawab :


Pertama : Apa yang dilakukan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Ummi Hani tersebut memanglah sholat dhuha yang Nabi lakukan artinya berbeda dengsn sholat dhuha yang dilakukan setelah beliau pada masa Abdullah bin Umar yang dilakukan dengan melazimkannya (menetapkannya) di awal waktu dan di dalam masjid.  Menurut ulama dilakukannya secara berjama’ah. Inilah yang disinggung bid’ah yang baik oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu.

kedua : sholat yang dilakukan oleh Nabi dalam riawayat di atas, dilakukan setelah Nabi datang dari bepergian, maka ada ihtimal (kemungkinan) sholat yang Nabi lakukan itu adalah sholat sunnah ketika baru datang dari bepergian. Bagaimana anda menyikapi komentar Ibnul Qayyim tentang ucapan siti Aisyah yang sama dengan hadits tersebut? Ibnul Qayyim mengatakan :

وأما قولُ عائشة: لم يكن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم يُصلي الضحى إلا أن يَقْدَمَ مِنْ مغيبه، فهذا من أبين الأمور أن صلاته لها إنما كانت لسبب، فإنه صلى الله عليه وسلم كان إذا قَدِمَ من سفر، بدأ بالمسجد، فصلى فيه ركعتين

“ Adapun ucapan Aisyah bahwa Nabi sahllahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan sholat dhuha kecuali ketika datang dari bepergian, ini adalah perkara yang paling menjelaskan bahwa sholat dhuha beliau kalau ada sebabnya saja, akrena Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam jika datang  dari bepergian, beliau masuk terlebih dahulu ke masjid dan melakukan sholat dua roka’at “.[11]


Sepertinya anda sengaja menyembunyikan hal ini wahai Abul Jauza…


Abul Jauza mengatakan :      Bersamaan dengan itu, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa juga pernah mengerjakannya.

ثَنَا لَيْثٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، كَانَ يُسْأَلُ عَنْ صَلاةِ الضُّحَى فَلا يَنْهَى وَلا يَأْمُرُ بِهَا، وَيَقُولُ: " إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ، وَلَكِنْ لا تُصَلُّوا عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَلا عِنْدَ غُرُوبِهَا "

Telah menceritakan kepada kami Laits, dari Naafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia pernah ditanya tentang shalat Dluhaa, maka ia tidak melarangnya dan tidak pula memerintahkannya. Ia berkata : “Aku hanyalah melakukannya sebagaimana aku lihat para shahabatku melakukannya. Akan tetapi janganlah kalian mengerjakannya ketika matahari terbit dan tenggelamnya" [Diriwayatkan oleh Abu Jahm Al-Baghdaadiy dalam Juz-nya no. 17; sanadnya shahih].



Saya jawab :


Hadits ini merupakan hujjah bagi saya untuk anda wahai Abul Jauza. Hadits ini semakin menguatkan hujjah saya bahwa apa yang dilkakukan orang-orang dalam melakukan sholat dhuha berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar dalam sholat dhuha. Dan beliau lebih mempertegas lagi, bahwa jangan melakukan sholat itu ketika matahari terbit atau tenggelam. Karena sholat dhuha yang dilakukan Nabi adalah setelah matahari naik seukuran tombak dalam pandangan mata.


Jelasnya lagi dalam riwayat :

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ هُوَ الدَّوْرَقِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ، أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ لَا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إِلَّا فِي يَوْمَيْنِ يَوْمَ يَقْدَمُ بِمَكَّةَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَقْدَمُهَا ضُحًى فَيَطُوفُ بِالْبَيْتِ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَلْفَ الْمَقَامِ، وَيَوْمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَرِهَ أَنْ يَخْرُجَ مِنْهُ حَتَّى يُصَلِّيَ فِيهِ، قَالَ: وَكَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَزُورُهُ رَاكِبًا وَمَاشِيًا، قَالَ: وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ، وَلَا أَمْنَعُ أَحَدًا أَنْ يُصَلِّيَ فِي أَيِّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، غَيْرَ أَنْ لَا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا غُرُوبَهَا

Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim Ad-Dauraqiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah : Telah mengkhabarkan kepada kami Ayyuub, dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak pernah mengerjakan shalat Dhuha kecuali pada dua kali, yaitu hari ketika dia mengunjungi Makkah saat dia memasuki kota Makkah di waktu Dhuha lalu dia melakukan thawaf di Ka’bah kemudian shalat dua raka'at di belakang maqaam (Ibraahiim). Dan yang lain adalah saat ia mengunjungi masjid Qubaa', yang ia mendatanginya pada hari Sabtu. Bila ia telah memasukinya, maka ia enggan untuk keluar darinya hingga ia shalat terlebih dahulu di dalamnya. Berkata Nafi' : "Dan Ibnu'Umar radliallaahu 'anhumaa menceritakan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mengunjungi (masjid Qubaa') baik dengan berkendaraan ataupun berjalan kaki". Berkata Nafi' : Dan Ibnu 'Umar radliallaahu 'anhumaa berkata : "Sesungguhnya aku mengerjakan yang demikian seperti aku melihat para sahabatku melakukannya, namun aku tidak melarang seseorangpun untuk mengerjakan shalat pada waktu kapanpun yang ia suka baik di waktu malam maupun siang hari, asalkan tidak bersamaan waktunya saat terbitnya matahari atau saat tenggelam" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1192].

Dari sini terdapat sedikit kejelasan bahwa ‘sebaik-baik bid’ah’ yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah terkait shalat sunnah mutlak yang dilakukan oleh seorang muslim pada waktu malam dan siang, dan kemudian orang-orang banyak melakukannya pada waktu Dluhaa. Di satu sisi Ibnu ‘Umar mengetahui bahwa shalat sunnah mutlak siang dan malam itu adalah masyru’, namun di sisi lain ia tidak mengetahui adanya dalil pendawaman shalat Dluhaa secara khusus di luar waktu ketika tiba dari bepergian.


Dengan kata lain, perkataan sebaik-baik bid’ah yang diucapkan Ibnu ‘Umar tadi terkait dengan shalat sunnah mutlak yang banyak dikerjakan kaum muslimin pada waktu Dluhaa, bukan pada shalat Dluhaa-nya itu sendiri.


Saya jawab :

wahai Abul jauza ini semakin menguatkan hujjah kami bahwa apa yang dilakukan oleh kaum muslimin saat itu, bukanlah sholat dhuha melainkan sholat baru yang belum ada contoh sebelumnya, sehingga beliau menyebutnya bid’ah yang baik.

Bagaimana dengab komentar Ibnul Qayyim berikut ini tentang hadits dia atas :

وفِعل الصحابة رضي اللّه عنهم يدل على هذا، فإن ابن عباس كان يُصليها يوماً، ويدعها عشرة، وكان ابنُ عمر لا يصليها، فإذا أتى مسجد قُباء، صلاها، وكان يأتيه كلَّ سبت وقال سفيان، عن منصور: كانوا يكرهون أن يُحافظوا عليها، كالمكتوبة، ويصلون ويَدعون

“ Dan perbuatan sahabat radhiallahu ‘anhum menunjukkan atas hal ini (sholat dhuha dengan jarang) karena Ibnu Abbas melakukan sholat ini suatu hari dan meninglkannya sepuluh hari. Ibnu Umar tidak melakukannya, jika beliau datang  ke masjid Quba, maka beliau baru melakukannya, dan beliau datang ke sana setiap hari sabtu. Sufyan berkata dari Manshur “ Mereka tidak suka meritinkan sholat dhuha seprti sholat wajib, mereka sholat dan kadang meninggalkannya “[12]


Hadits-hadits yang telah saya sebutkan sebelumnya yang menjelaskan bid’ahnya sholat dhuha sudah cukup bukti bahwa apa yang dimaksudkan oleh Ibnu Umar adalah sholat dhuha dengan sifat yang berbeda yaitu dengan meruntinkannya di awal waktu, dan merutinkannya di dalam masjid, da yang mengatakan mereka melakukannya dengan berjama’ah. Inilah yang dianggap bid’ah yang baik oleh Abdullah bin Umar.



Abul Jauza mengatakan : Oleh karena itu, bid’ah dalam perkataan ‘sebaik-baik bid’ah’ dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah bid’ah secara bahasa (lughawiy). Bukan bid’ah secara istilah. Telah masyhur perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tentang penafikan eksistensi bid’ah hasanah sebagaimana riwayat :

أَخْبَرَنَا أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمُنَادِي، ثنا شَبَابَةُ، ثنا هِشَامُ بْنُ الْغَازِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid Al-Munaadiy : Telah menceritakan kepada kami Syabaabah : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Al-Ghaar, dari Naafi, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah) [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
Dan inilah praktek Ibnu ‘Umar dalam penafikan bid’ah hasanah :

حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا حَضْرَمِيٌّ مَوْلَى آلِ الْجَارُودِ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ "

Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ar-Rabii’ : Telah menceritakan kepada kami Hadlramiy maulaa aali Al-Jaarud, dari Naafi’ : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillaah (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasulullah)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan aku mengatakan : alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami untuk mengucapkan (ketika bersin) : ‘Alhamdulillah ‘alaa kulli haal’ (Alhamdulillah dalam segala kondisi)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2738].

Seluruh perawinya tsiqaat, kecuali Hadlramiy, seorang yang maqbuul. Ia mempunyai mutaba’ah dari Sulaimaan bin Muusaa sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 1/186 no. 323. Oleh karena itu riwayat ini adalah hasan.

Kembali ke awal pembicaraan. Tidak ada petunjuk yang shahih dan sharih dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tentang pelegalan eksistensi bid’ah hasanah. Seandainya ada yang tetap keukeuh menganggap Ibnu ‘Umar mendukung bid’ah hasanah, maka hakekatnya ia hanya mengambil satu riwayat dan membutakan diri terhadap riwayat-riwayat lainnya, serta enggan melakukan pengkompromian untuk menghasilkan satu pemahaman komprehensif madzhab Ibnu ‘Umar dalam masalah bid’ah.
Wallaahu a’lam.



Saya jawab :


seandainya kita katakan bid’ah dalam segi lughawi, lantas apakah anda Ibnu Umar menafikan perkara baru yang baik ?? wahai Abul Jauza, Ibnu Umar sama sekali tidak menolak perkara baru (bid’ah) yang baik, bahkan beliau memujinya sebagaimana hadits yang telah saya sampaikan di atas. Jika seandainya beliau membenci semua perkara baru (bid’ah) sudah pasti beliau tidak akan memujinya.  Tapi faktanya beliau malah memuji dan tidak melarang orang yang melakukan bid’ah tersebut. Ini bukti nyata bahwa Ibnu Umar adalah salah satu sahabat yang mendukung adanya bid’ah hasanah yang berlandaskan syare’at.


Adapun ucapan beliau “ Setiap bid’ah itu sesat, walaupun manusia menganggapnya itu baik “, maka yang dimaksud oleh beliau adalah bid’ah dalam syare’at yaitu bid’ah yang bertentangan dengan asal syare’at. Jika anda menggeneralisir ucapan beliau ini sebagai pengakuan beliau bahwa semua bid’ah itu sesat, maka jelas bertentangan dengan fakta dan realita pengakuan beliau adanya bid’ah baik yang diterima.


Meskipun ucapan bid’ah yang diterima beliau anda takwil dengan sholat muthlaq bukan sholat dhuha atau anda takwil dengan bid’ah secara bahasa, tetap saja anda tidak akan bisa menghilangkan subtansi yang dimaksud oleh Abdullah bin Umar yaitu penerimaan beliau terhadap perkara baru yang tidak betrtentangan dengan syare’at alias bid’ah hasanah jika dilihat dalam pandangan kami Ahlus sunnah wal –Jama’ah.



[1] Mushannaf Abdirrazzaq : 3/79
[2] Mushannaf Abdirrazzaq : 3/79-80
[3] Mushaanaf Ibnu Abi Syaibah : 2/405 dengan sanad yang sahih.
[4] Sahih Bukhari bab Umrah No. 1775
[5] Fathul Bari : 4/84
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1175
[7] Mushaanaf Abudrazzaq : 3/78
[8] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah : 2/408
[9] Zadul Ma’aad : 1/118
[10] Zadul Ma’aad Fi hadyi Khiril Ibad, Ibnul Qayyim : 1/120
[11] Zadul Ma’aad Fi hadyi Khiril Ibad, Ibnul Qayyim : 1/120
[12] Zadul Ma’aad Fi hadyi Khiril Ibad, Ibnul Qayyim : 1/121A

Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang Disalah Fahami Bab 3 (Bahagian I)

Argumentasi Dr MAZA dalam bab 3 ini, menyebabkan ia juga menuduh para imamnya (seperti Muhamamad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyyah) sebagai orang yang tidak memahami makna bid’ah, bahkan telah menyesatkan mereka tanpa ia sadari. Dalam bantahan kami ini, pembaca akan membuktikannya dan melihat kerancuan syubhat yang dilontarkan Dr Maza..





Dr Maza mengatakan :
Sesetengah pihak cuba berdalil dalam membolehkan bid‘ah dengan menyatakan bahawa Saiyyidina ‘Umar radhiallahu 'anh turut telah membuat bid‘ah. Mereka berkata, pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada Solat Tarawih berjamaah lalu ‘Umar melakukannya dan menyatakannya sebagai: “Sebaik-baik bid‘ah” (نعمت البدعة هذه).

Yang mereka maksudkan ialah apa yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahihnya dan al-Imam Malik dalam al-Muwattha’:

عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ. فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ. قَالَ عُمَرُ: نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنِ الَّتِي يَقُومُونَ.  يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ.

Daripada ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Qari, katanya: Pada satu malam di bulan Ramadan aku keluar bersama dengan ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh ke masjid. Di dapati orang ramai berselerakan. Ada yang solat bersendirian, ada pula yang bersolat dan sekumpulan (datang) mengikutinya.

 ‘Umar berkata: “Jika aku himpunkan mereka pada seorang imam adalah lebih baik.” Kemudian beliau melaksanakannya maka dihimpunkan mereka dengan (diimamkan oleh) Ubai bin Ka‘ab. Kemudian aku keluar pada malam yang lain, orang ramai bersolat dengan imam mereka (Ubai bin Ka‘ab).

Berkata ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perkara ini, sedangkan yang mereka tidur (solat pada akhir malam) lebih dari apa yang mereka bangun (awal malam).”[1]

Berdasarkan riwayat di atas, ada yang tersalah sangka dengan menganggap ‘Umar bin al-Khattab adalah orang yang pertama memulakan Solat Tarawih secara berjamaah. Maka dirumuskan bahawa ia adalah satu perbuatan bid‘ah yang dianggap baik oleh ‘Umar. Justeru boleh membuat bid‘ah di dalam ibadah asalkan ia dilakukan dengan niat yang baik.


Kami jawab :


Entah dari mana Dr Maza menyimpulkan bahwa kami (pembela bid’ah hasanah) mengatakan boleh membuat bid’ah di dalam ibadah asalkan ia dilakukan dengan niat baik ?? ini merupakan suatu tuduhan bodoh yang tidak berdasar sama sekali dan fitnah yang pelakunya wajib bertaubat.


Dari mulai artikel kami yang pertama, kedua, ketiga dan keempat sangat begitu jelas bid’ah hasanah dalam pandangan kami yakni perkara baru baik dalam urusan dunia maupun agama yang berlandaskan syare’at. Dan kami telah tampilkan dalil serta bukti dari para ulama salaf maupun kholaf yang mengakui adanya bid’ah hasanah. Meskipun disitilahkan oleh asy-Syathibi, Ibn Rajab atau lainnya sebagai bid’ah secara bahasa atau lughatan, namun mereka pun mengakui bahwa ini hanyalah perbezaan dalam lafaz saja, adapun makna dan subtansinya sama dan sepakat yaitu sama-sama menerima perkara baru yang berlandaskan syare’at.


Bila Dr Maza masih tidak puas dengan keterangan kami sebelumnya, maka kali ini kami akan bawakan bukti hujjah dari Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri puak wahabi) yang mengakui dan membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah yang tidak berlandaskan sayre;at dan bid’ah yang berlandaskan syare’at :


Ibnu Abdil Wahhab mengatakan :

 والمقصود بيان ما نحن عليه من الدين وأنه عبادة الله وحده لا شريك له فيها بخلع جميع الشرك، ومتابعة الرسول فيها نخلع جميع البدع إلا بدعة لها أصل في الشرع كجمع المصحف في كتاب واحد وجمع عمر رضي الله عنه الصحابة على التراويح جماعة وجمع ابن مسعود أصحابه عل القصص كل خميس ونحو ذلك خميس ونحو ذلك فهذا حسن والله أعلم

“ Maksudnya adalah menejlaskan apa yang kami lakukan dari agama dan yang merupakan ibadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, di dalamnya melepas semua bentuk kesyirikan dan mengikuti Rasul di dalamnya, kami melepas semua bentuk bid’ah kecuali bid’ah yang memiliki asal dalam syare’at seperti mengumpulkan mushaf dalam satu kitab dan pengumpulan Umar radhiallahu ‘anhu kepada para sahabat atas sholat tarawih dengan berjama’ah, dan pengumpulan Ibnu Mas’ud kepada para sahabatnya atas majlis kisah-kisah setiap hari kamis dan semisalnya, semua ini adalah baik wa Allahu A’lam “[1]


Perhatikan wahai Doctor, dengan jelas Ibnu Adbil Wahhab membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah yang bercanggah dengan syare’at dan bid’ah yang berdasarkan asal dalam syare’at, bid’ah kedua ini beliau terima. Bahkan beliau memberikan contoh-contoh bid’ah yang berdasarkan syare’at di antaranya : Pengumpulan mushaf dalam satu kitab, pengumpulan Umar trhadap para sahabat untuk sholat tarawih dengan berjama’ah dan majlis Ibnu Mas’ud setiap hari kamis. Semua ini beliau anggap bid’ah dan dianggap baik karena berlandaskan asal dalam syare’at.  Sebenarnya ini sudah cukup membantah dan meruntuhkan ketidak pahaman anda dalam memahami konsep bid’ah hasanah wahai Dr Mohd Asri…


Ibnu Taimiyyah juga mengatakan ;

ومن هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا أو اعتقادا زعم أن الايمان لا يتم الا به مع العلم بأن الرسول لم يذكره وما خالف النصوص فهو بدعة باتفاق المسلمين وما لم يعلم أنه خالفها فقد لا يسمى بدعة قال الشافعي رحمه الله البدعة بدعتان بدعة خالفت كتابا وسنة وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله صلى الله عله وسلم فهذه بدعه ضلاله وبدعه لم تخالف شيئا من ذلك فهذه قد تكون حسنة لقول عمر نعمت البدعة هذه هذا الكلام أو نحوه رواه البيهقي باسنادة الصحيح فى المدخل ويروى عن مالك رحمه الله أنه قال إذا قل العلم ظهر الجفا وإذا قلت الآثار كثرت الأهواء

“ Dari sini dapat diketahui kesesatan yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasusmsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-imam Syafi’i rahimahullahu berkata : “ Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma dan Atsar sebagian sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, ini disebut bid’ah dholalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut, ini terkadng disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “ Inilah sbeaik-baik bid’ah. “ Pernyataan Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang sahih. “[2]


Ibnu Taimiyyah sama seperti Muhammad bin Abdul Wahhab yang membagi bid’ah menjadi dua dengan menggunakan hujjah ucapan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu. Ini artinya beliau berdua mengakui bahwa ada perkara baru yang diterima dalam agama jika berdasarkan asal dalam syare’at. Dan mereka berdua dengan jelas menyebutnya dengan BID’AH.


Apa pendapat anda wahai doctor dari fakta ini ?? apakah anda akan mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab tidak mengerti maslaah bid’ah ?? atau mereka berdua tersalah sangka dengan ucapan Umar bin Khaththab ?? Renungkan ini wahai doctor..


Dr Mohd Asri mengatakan :

Sebenarnya rumusan seperti ini muncul kerana kurang membaca hadith-hadith Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan Solat Tarawih secara berjamaah dan ini jelas tertera dalam kitab-kitab hadith, seperti dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hadith yang dimaksudkan berasal daripada ‘Aisyah radhiallahu 'anha:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ. فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا. فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ. فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا. فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ. فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ. فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ .

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar pada suatu pertengahan malam. Baginda solat di masjid (Masjid Nabi). Beberapa orang mengikut solat baginda (menjadi makmum). Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenainya. Maka berkumpullah lebih ramai lagi orang (pada malam kedua). Baginda bersolat dan mereka ikut solat bersama. Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenainya. Maka bertambah ramai ahli masjid pada malam ketiga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar bersolat dan mereka ikut solat bersama.

Apabila malam keempat, masjid menjadi tidak muat dengan ahli. (Baginda tidak keluar) sehingga pada waktu solat subuh. Selesai solat subuh, baginda mengadap orang ramai, bersyahadah seraya bersabda: “Amma ba’d, sesungguhnya bukan aku tidak tahu penantian kalian (di masjid pada malam tadi) tetapi aku bimbang difardukan (Solat Tarawih) ke atas kalian lalu kalian tidak mampu.[2] Hal sebegini berlaku sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat.[3]

Dalam sebahagian riwayat al-Bukhari dan Muslim disebut: “…yang demikian berlaku pada bulan Ramadhan.” (وذلك في رمضان)   s[4]

Hadith ini dengan jelas menunjukkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah yang pertama memulakan Solat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam. Walau bagaimanapun baginda tidak melakukannya secara berterusan, bukan kerana ia perbuatan yang salah tetapi kerana bimbang ia menjadi satu kewajipan. Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, kebimbangan ini tidak wujud lagi, maka dengan itu ‘Umar meneruskan semula Solat Tarawih secara berjamaah. Justeru ‘Umar al-Khattab bukanlah orang yang pertama memulakannya secara berjamaah.


Kami jawab :


Justru sebenarnya anda taqlid buta dengan tulisan-tulsan syaikh-syaikh wahabi yang menolak adanya bid’ah hasanah dan salah memahami konsep pembagian bid’ah yang dijelaskan oleh mayoritas ulama Ahlus sunnah. Sehingga anda ikut-ikutan menulis hal yang sama tanpa mau meneliti dan mengkaji lebih dalam lagi persoalan ini. Anda hanya menambah keburukan di atas keburukan dan bid’ah di atas bid’ah..


Sebenarnya dua hujjah dari Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyyah di atas sudah cukup membatalkan hujjah anda, kerana mereka berdua mengatakan dengan jelas bahwa apa yang dilakukan Umar adalah bid’ah namun bid’ah yang memiliki asal dalam syare’at. Seandainya apa yang dilakukan Umar bin Khaththab bukan bid’ah melainkan sunnah, maka sudah pasti mereka berdua tidak akan berhujjah dengan ucapan Umar tersebut. Buat apa berhujjah masalah bid’ah yang berlandaskan asal dalam syare’at dengan perbuatan Umar, jika ternyata perbuatan Umar adalah sunnah ?? dan sudah pasti Umar bin Khaththab akan mengatakan “ Sebaik-baik sunnah “ bukan “ sebaik-baik bid’ah “. Menolak kenyataan ini hanyalah orang yang sombong dan buta dari kebenaran yang begitu terang bagaikan sinar matahari yang terang di siang hari. Namun anda berusaha menutupi sinar terang benderang matahari itu dengan sekepelan genggam tangan kecil anda…


Pernyataan doctor Maza bahwa apa yang dilakukan Umar bin Khaththab bukanlah bid’ah akan tetapi sunnah yang telah ada contohnya dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, maka pernyataan ini sangat bertentangan dengan pernyataan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Muhammad bin Abdul Wahhab dan mayoritas ulama Ahlus sunnah.


Berkata Ibnu Taimiyyah :
أكثر ما في هذا تسمية عمر تلك : بدعة ، مع حسنها ، وهذه تسمية لغوية ، لا تسمية شرعية ، وذلك أن البدعة في اللغة تعم كل ما فعل ابتداء من غير مثال سابق .وأما البدعة الشرعية : فما لم يدل عليه دليل شرعي
“Kebanyakkan orang pada penamaan Umar itu (nikmatnya bid’ah adalah ini) dijadikan untuk dalil adanya bid’ah hasanah, penamaan ini adalah (hanya) penamaan secara bahasa bukan penamaan secara syar’i, padahal penamaan bid’ah secara bahasa umum segala sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada contohnya yang mendahuluinya. Adapun bid’ah secara syar’i, adalah setiap yang tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan atasnya.”[3]
Berkata al-Hafidz Ibnu Katsir :


والبدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون بدعة لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه.
“Bid’ah dibagi menjadi dua: adakalanya bid’ah secara syar’i (bid’ah menurut agama -ed) seperti perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan adakalanya bid’ah bermakna bahasa seperti perkataan Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab tentang perkumpulan mereka untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah dan dilakukan demikian seterusnya, nikmatnya bid’ah ini.” [4]
Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Katsir sepakat mengatakan bahwa apa yang dilakukan Umar bin Khaththab adalah bid’ah dalam sudut bahasa, yaitu “ Segala sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada contoh yang mendahuluinya “.

Seandainya Dr Maza mengatakan bahwa apa yang dilakukan Umar sudah ada contohnya dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini kontradiksi dengan makna bid’ah secara bahasa. Bagaimana dikatakan bid’ah secara bahasa jika ternyata ada contoh yang mendahuluinya ?? renungi hal ini wahai doctor..


Dr Maza mengatakan :
al-Imam al-Syatibi rahimahullah menegaskan:

“ Renungi hadith ini. Ia menunjukkan kedudukan Solat Tarawih adalah sunat. Sesungguhnya solat baginda pada peringkat awal menjadi dalil menunjukkan kesahihan menunaikannya di masjid secara berjamaah pada bulan Ramadan. Baginda tidak keluar selepas itu adalah kerana bimbang ia difardukan. Ini tidak menunjukkan ia dilarang secara mutlak kerana zaman baginda ialah zaman wahyu dan tasyri’ (perundangan) (sehingga) ada kemungkinan akan diwahyukan kepada baginda sebagai satu kewajipan jika manusia mengamalkannya. Apabila telah hilang ‘illah al-tasyri’[5] dengan wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka ia kembali kepada asalnya.”


Kami jawab :


Ada bebrapa kelemahan dari argumentasi yang diutarakan imam asy-Syathibi rahumahullah, yaitu :


Pertama : Di awal asy-Syathibi mengatakan bahwa ucapan Umar bin Khaththab “ Sebaik-baik bid’ah adalah ini “ adalah bid’ah dari sudut bahasa :

وصار من القائلين بالمصالح المرسلة، وسماها بدعاً في اللفظ، كما سمى عمر رضي الله عنه الجمع في قيام رمضان في المسجد بدعة

“ Dan ia (Ibnu Abdissalam) termasuk orang yang mengatakan dengan masalah mursalah dan ia menamakannya bid’ah secara bahasa, sebagaimana Umar radhiallahu ‘anhu menamakan kumpulan dalam sholat tarawih di bulan Ramadhan dengan bid’ah “[5]


Kemudian asy-Syathibi mengatakan :

فتأملوا ففي هذا الحديث ما يدل على كونه سنه فان قيامه اولا بهم دليل على صحة القيام في المسجد جماعة في رمضان وامتناعه بعد ذلك من الخروج خشية الافتراض لا يدل على امتناعه مطلقا لان زمانه كان زمان وحي وتشريع فيمكن ان يوحى اليه اذا عمل به الناس وبالالزام فلما زالت علة التشريع بموت رسول الله صلى الله عليه وسلم رجع الامر إلى اصله

“ Renungi hadith ini. Ia menunjukkan kedudukan Solat Tarawih adalah sunat. Sesungguhnya solat baginda pada peringkat awal menjadi dalil menunjukkan kesahihan menunaikannya di masjid secara berjamaah pada bulan Ramadan. Baginda tidak keluar selepas itu adalah kerana bimbang ia difardukan. Ini tidak menunjukkan ia dilarang secara mutlak kerana zaman baginda ialah zaman wahyu dan tasyri’ (perundangan) (sehingga) ada kemungkinan akan diwahyukan kepada baginda sebagai satu kewajipan jika manusia mengamalkannya. Apabila telah hilang ‘illah al-tasyri’[5] dengan wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka ia kembali kepada asalnya.”[6]


Dua pernyataan asy-Syathibi di atas saling betentangan (bercanggah). Kerana bid’ah secara bahasa adalah : “ Segala sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada contoh yang mendahuluinya “. Lalu bagaimana sholat Tarawih berjama’ah dikatakan bid’ah jika ternyata ada contoh sebelumnya dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ? jika sholat tarawih berjama’ah sudah dicontohkan oleh Nabi, maka sayyidina Umar tidak akan menyebutnya sebagai bid’ah, beliau akan mengatakan bahwa itu sunnah.


Kedua : pernyataan beliau bertentangan (bercanggah) dengan pernyataan mayoritas ulama yang mengatakan bahwa sholat tarawih berjama’ah adalah bid’ah dari sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu, dalam artian bid’ah yang baik, atau bid’ah dari sudut bahasa atau boleh juga disebut maslahah mursalah bukan sunnah Nabi. Berikut pembuktiannya :


Al-Imam Badruddin al-‘Aini mengatakan :


وذلك عندما جمع الناس في التراويح خلف قارىءٍ وكانوا قبل ذلك يصلون أوزاعًا متفرقين والبدعة في الأصل إحداث أمر لم يكن في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم البدعة على نوعين، إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة

“ Yang demikian itu karena ketika beliau mengumpulkan manusia dalam sholat tarawih di belakang satu imam, maka sebelumnya mereka sholat dengan berpisah-pisah. Dan bid’ah makna asalnya adalah perkara baru yang tidak ada di masa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bid’ah itu ada dua macam, jika perkara baru itu berpacu dalam naungan baik dalam syare’at, maka disebut bid’ah hasanah, dan jika berpacu dalam naungan yang buruk dalam syare’at, maka disebut bid’ah yang buruk “.[7]


Imam Az-Zarqani al-Maliki mengatakan :

فسماها بدعة لأنه صلى اللّه عليه وسلم لم يسنّ الاجتماع لها ولا كانت في زمان الصديق، وهي لغة ما أُحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعًا على مقابل السنة وهي ما لم يكن في عهده صلى اللّه عليه وسلم

“ Beliau menamakannya bid’ah kerana Nabi shallahu ‘alaihi wa slalam tidak mensyare’atkan jama’ah untuk sholat tarawih, dan juga karena tidak ada di masa Abu Bakar ash-Shiddiq. Bid’ah secara bahasa adalah perkara baru yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Dan secara syare’at adalah lawan dari sunnah yaitu yang tidak ada di masa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam “.[8]


Imam Ibnul Atsir mengatakan :

ومن هذا النوع قولُ عمر رضي اللّه عنه: نِعْمَت البدعة هذه. لمـَّا كانت من أفعال الخير وداخلة في حيز المدح سماها بدعة ومدَحها؛ لأن النبي صلى اللّه عليه وسلم لم يَسَنَّها لهم، وإنما صلاّها لَياليَ ثم تَركَها ولم يحافظ عليها، ولا جَمع الناسَ لها، ولا كانت في زمن أبي بكر، وإنما عمر رضي اللّه عنه جمع الناس عليها ونَدَبـهم إليها، فبهذا سمّاها بدعة، وهي على الحقيقة سُنَّة، لقوله صلى اللّه عليه وسلم: عليكم بسُنَّتي وسنَّة الخلفاء الراشِدين من بعْدي، وقوله: اقتدُوا باللذين من بعدي أبي بكر وعمر، وعَلَى هذا التأويل يُحمل الحديث الآخر: كل مُحْدَثة بدعةٌ، إنما يريد ما خالف أصول الشريعة ولم يوافق السُّنَّة

“ Dari macam ini adalah ucapan Umar radhiallahu ‘anhu : Sebaik-baik bid’ah adalah ini “, ketika sholat tarawih ini termasuk perbuatan baik,  dan masuk dalam batas terpuji maka beliau menyebutnya bid’ah dan memujinya, karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyare’atkannya pada mereka, beliau melakukannya hanya beberapa malam kemudian meninggalkannya dan tidak merutinkannya, tidak pula mengumpulkan manusia untuk melakukannya, tidka pula ada di masa Abu Bakar As-Shdiddiq. Hanya Umar radhiallahu ‘anhu lah yang mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih dan menganjurkannya, dengan inilah beliau menyebutnya bid’ah, pada hakikatnya adalag sunnah[9] karena Nabi bersabda “ Ikutilah orang yang setelahku yaitu Abu Bakar dan Umar. Atas dasar takwil ini, maka hadits yang lain ini “ Setiap yang baru adalah bid’ah “ ditakwilkan maknanya adalah yang dimaksud adalah perkara baru yang menyalahi asal-asal syare’at dan tidak sesuai sunnah “.[10]


Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan :

قوله: «فتوفي رسول الله (صلي الله عليه وآله) والناس علي ذلك، ثم كان الأمر علي ذلك في خلافة أبي بكر» فقد فسّره الشراح بقولهم: أي علي ترك الجماعة في التراويح، ولم يكن رسول الله (صلي الله عليه وآله) جمع الناس علي القيام

“ ucapan “ Maka Nabi wafat dan manusia tetap dalam keadaan seperti itu, kemudian tetap seperti itu di masa khilafa Abu Bakar “, maka sungguh para pensyarah telah menasfirkan bahwa keadaan itu adalah keadaan di dalam meninggalkan sholat tarawih, dan Rasulullah sahllahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengumpulkan manusia untuk melakukan qiyam (sholat malam) “[11]


Al-Imam al-Ghazali mengatakan :

فكم من محدث حسن كما قيل في إقامة الجماعات في التراويح إنها من محدثات عمر رضي الله عنه وأنها بدعة حسنة

“ Berapa banyak perkara baru itu (dinilai) baik sebagaimana dikatakan tentang mendirikan jama’ah dalam sholat tarawih, karena ia termasuk perkara baru yang dilakukan Umar radhiallahu ‘anhu, dan ia adalah bid’ah hasanah “.[12]


Dan masih banyak lagi ulama lainnya yang mengatakan seprti itu. Ini merupakan bukti bahwa apa yang dilakukan sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu dari melakukan sholat tarawih berjama’ah dengan satu imam, mengumpulkan manusia untuk melakukannya adalah bid’ah yang baik. Atau dalam pandangan asy-Syathibi adalah bid’ah dalam sudut bahasa atau maslahah mursalah. Dengan ini jelas, bahwa semua ini adalah bukan sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam melainkan kreatifasi dari Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘anhu.


Dr Maza mengatakan :
Timbul persoalan seterusnya, mengapakah Abu Bakr radhiallahu 'anh tidak menghimpunkan orang ramai untuk melakukan Solat Tarawih secara berjamaah? Untuk mengetahui jawapannya, kita merujuk sekali lagi kepada penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah:

Adapun (sebab) Abu Bakr tidak mendirikannya adalah kerana salah satu daripada berikut, sama ada (pertama) dia berpendapat solat orang ramai pada akhir (malam) lebih afdal padanya dari dihimpunkan mereka dengan satu imam pada awal malam. Ini disebut oleh al-Turtusyi (الطرطشي) ataupun (kedua) disebabkan kesempitan waktu pemerintahannya[7] untuk melihat perkara-perkara cabang seperti ini sedangkan beliau sibuk dengan golongan murtad dan selainnya yang mana lebih utama daripada Solat Tarawih


Kami jawab :


Argumentasi ini tidak kuat, sebab makna bid’ah secara bahasa “ Tidak ada contoh sebelumnya “ tidak bisa diruntuhkan dengan adanya tidak dilakukan sementara waktu. Seandainya ini diterapkan maka akan menjadi rancu, contoh : Rasulullah shallau ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sholat istisqa, kemudian setelah wafat beliau selama 20 tahun baru ada yang melakukannya kembali, apakah kita akan mengatakan bahwa sholat istisqa ini bid’ah?? Dan bid’ah secara bahasa ??


Dan pendapat mayoritas ulama yang telah kami sebutkan di atas tentang bid’ah (yang baik) yang dilakukan sayyidina Umar adalah cukup melemahkan argumentasi asy-Syathibi rahimahullah.



Bersambung ke bab 3 bahagian II..




[1] Ar-Rasail asy-Syahsyiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab jilid 5 risalah yang keenam belas halaman : 103
[2] Majmu al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah : 20/163
[3] Iqtidha Shirathal Mustaqim: 2/95
[4] Tafsir Ibnu Katsir pada surat al-Baqarah ayat 117
[5] al-I’tishom, m.s. 145-146
[6] al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 147
[7] Umdatul Qari fi Syarh sahih al-Bukhari : 11/126
[8] Syarh al-Muwaththa’, az-Zaraqani : 1/238
[9] Sunnah dalam artian secara bahasa yaitu jalan maksudnya adalah mengikuti perintah Nabi untuk mengikuti jalan khalifah Rasyidin. Ketika khaliah Rasyidin melakukan bid’ah hasanah seperti sayyidina Umar maka kita mengikutinya.. karena tasyri’ bukanlah dari para sahabat melainkan dari Nabi yang didatangkan oleh Allah.
[10] An-Nihayah fi Ghraibil Hadits : 1/106-107
[11] Fathul Bari : 4/203
[12] Ihya ‘Ulumuddin : 1/276

Melafadzkan Niat Ketika Akan Melaksanakan Sholat Menurut Para Imam Madzhibul Arba’ah Bukanlah Bid’ah Dholalah

 
HUKUM MELAFADZKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA WAHABI
Sebagaimana kita kita ketahui bahwasanya para ulama Wahabi memvonis dan memfatwakan bid’ah dholalah (karena mereka hanya mengenal sebutan bid’ah itu hanya untuk satu macam saja, yaitu bid’ah dholalah, yang pelakunya di ancam masuk ke dalam neraka) kepada kaum muslimin yang dalam praktek sholatnya melafadzkan niat ketika akan melakukan Takbirotul ihram. Fatwa- Fatwa yg membabi buta ini diantaranya dapat kita lihat di bawah ini :

FATWA LAJNAH DAIMAH YANG DIKETUAI OLEH SYEKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZZ :

فتاوى اللجنة الدائمة - المجموعة الأولى - (ج 6 / ص 319)
السؤال الثاني من الفتوى رقم ( 2444 )
س2: ما حكم التلفظ بالنية مثل قوله: (نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح)؟
ج2: الصلاة عبادة، والعبادات توقيفية لا يشرع فيها إلا ما دل عليه القرآن الكريم أو السنة الصحيحة المطهرة، ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه تلفظ في صلاة فرضا كانت أم نافلة بالنية، ولو وقع ذلك منه لنقله أصحابه رضي الله عنهم وعملوا به، لكن لم يحصل ذلك فكان التلفظ بالنية في الصلاة مطلقا بدعة، وقد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: « من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد » (1) وقال: « وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة » (2) . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Link : http://alifta.com/Fatawa/FatawaSubjects.aspx?languagename=ar&View=Page&HajjEntryID=0&HajjEntryName=&RamadanEntryID=0&RamadanEntryName=&NodeID=647&PageID=2087&SectionID=3&SubjectPageTitlesID=23518&MarkIndex=2&0

Terjemah :

Soal : “Apa hukum mengucapkan niat seperti  mengucapkan :

نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح
“Aku berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah Ta’ala dan mengharap wajah-Nya yang mulia.”

Jawab: Shalat termasuk perkara ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah (tata caranya ditentukan oleh syariat, harus berdasarkan dalil). Tidak ada satupun aturan dalam shalat kecuali harus berdasarkan Al Quran dan Hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam yang suci. Sementara tidak ada hadits shahih dari Nabi shalallaahu ’alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau mengucapkan niat shalat, baik shalat sunnah maupun shalat wajib. Seandainya beliau melakukan hal ini, pastilah para sahabat meriwayatkan dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam dan tentu merekalah (orang pertama) yang mengamalkannya. Akan tetapi semua ini tidak kita dapati riwayatnya. Oleh karena itu mengucapkan niat dihukumi bid’ah secara mutlak. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan kami ini yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.”

Beliau shallallaahu’alaihi wa sallam juga bersabda :

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Wajib bagi kalian menjauhi perkara-perkara baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”

Wabillaahittaufiq wa shallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta 6/478, Maktabah Asy Syamilah)

MENURUT IBNU UTSAIMIN :

Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat niat ada di hati dan bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui orang yang berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat yang Maha mengetahui apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya engkau tidak bermaksud untuk berdiri di hadapan dzat yang bodoh sehingga engkau harus mengucapkan apa yang engkau niatkan namun engkau berdiri karena takut kepadaNya karena Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang akan membalikkan hatimu. Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu ’anhum bahwasanya mereka melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik dengan suara lirih maupun keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)

Link : http://muslimah.or.id/.../serba-serbi-niat-shalat-1...

MENURUT ALBANI :

تلخيص صفة الصلاة – (ص 13)
وأما التلفظ بها بلسانه فبدعة مخالفة للسنة ولم يقل بها أحد من متبوعي المقلدين من الأئمة
“Adapun melafadzkan niat dengan lisannya maka hal tersebut adalah Bid’ah, menyelisihi sunnah dan tidak ada seorangpun dari pengikut orang-orang yang taqlid kepada para imam yang mengucapkannya. (Talkhisu Shifati Shalatinnabiyyi hal.13, Maktabah Syamilah )
Link : http://islamport.com/w/alb/Web/381/13.htm

HUKUM MELALAFADZKAN NIAT MENURUT PARA IMAM MADZAHIBUL  ARBA’AH

Ada beberapa keterangan yg bisa di baca kitab Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah Az Zuhailiy :

الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 137)
محل النية باتفاق الفقهاء وفي كل موضع: القلب وجوباً، ولا تكفي باللسان قطعاً، ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها، ليكون النطق عوناً على التذكر، والأولى عند المالكية: ترك التلفظ بها (2) ؛ لأنه لم ينقل عن النبي صلّى الله عليه وسلم وأصحابه التلفظ بالنية، وكذا لم ينقل عن الأئمة الأربعة.
Tempatnya niat menurut kesepakatan para ulama fiqh dan di semua tempat secara wajib adalah di dalam hati, maka secara pasti tidak cukup dan tidak disyaratkan menggunakan lisan. Tetapi menurut jumhur ulama, selain golongan Malikiyyah hukumnya adalah disunnahkan mengucapkan niat, untuk membantu hati untuk menghadirkannya, agar pengucapannya bisa menolong untuk berdzikir (mengingat). Sedang yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat, karena hal tersebut tidak pernah di nukil dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, demikian juga tidak dinukil dari para imam yg empat.

Di halaman lain :

الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 331)
والأولى عند المالكية ترك التلفظ بالنية، ويسن عند الشافعية والحنابلة: التلفظ بها، إلا أن المذهب عند الحنابلة أنه يستحب التلفظ بها سراً، ويكره الجهر بها وتكرارها.
Yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat. Dan menurut Ulama Syafi’iyyah dan Hambaliyyah disunnahkan untuk melafadzkan niat, hanya saja menurut qoul madzhab Hanabilah disunnahkan melafadzkannya dengan pelan, dimakruhkan membaca dengan keras dan mengulang-ulangi niat.

Di halaman lain :

الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 682)
ويندب عند الجمهور غير المالكية التلفظ بالنية، وقال المالكية: يجوز التلفظ بالنية،والأولى تركه في صلاة أو غيرها.
.
Menurut Jumhur ulama selain Malikiyyah, disunnahkan melafadzkan niyat. Menurut Ulama Malikiyyah boleh mengucapkannya akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya, baik di dalam sholat atau selainnya.

Yg ini tambahan menurut madzhab Maliki :

الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 684)
والأولى ترك التلفظ بها، إلا الموسوس فيستحب له التلفظ ليذهب عنه اللبس
Yang lebih utama adalah meninggalkan melafadzkan niat, kecuali bagi orang yang was-was, maka disunnahkan melafadzkannya agar terhindar dari kesamaran.

Memang terdapat keterangan dari ulama Hanafiyyah yang mengatakan bid’ah melafadzkan niat sebagaimana keterangan di bawah ini :

Ibnu Najim Al Mishry Al Hanafi di dalam kitab Al Bahrur Roiq juz 3 hal 92-93, Maktabah Syamilah :

البحر الرائق - (ج 3 / ص 92-93)
وَقَدْ اخْتَلَفَ كَلَامُ الْمَشَايِخِ فِي التَّلَفُّظِ بِاللِّسَانِ فَذَكَرَهُ فِي مُنْيَةِ الْمُصَلِّي أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ وَصَحَّحَهُ فِي الْمُجْتَبَى وَفِي الْهِدَايَةِ وَالْكَافِي وَالتَّبْيِينِ أَنَّهُ يَحْسُنُ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ وَفِي الِاخْتِيَارِ مَعْزِيًّا إلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ سُنَّةٌ وَهَكَذَا فِي الْمُحِيطِ وَ الْبَدَائِعِ وَفِي الْقُنْيَةِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ إلَّا أَنْ لَا يُمْكِنَهُ إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ فَحِينَئِذٍ يُبَاحُ وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِهِمْ أَنَّ السُّنَّةَ الِاقْتِصَارُ عَلَى نِيَّةِ الْقَلْبِ ، فَإِنْ عَبَّرَ عَنْهُ بِلِسَانِهِ جَازَ وَنُقِلَ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ عَنْ بَعْضِهِمْ الْكَرَاهَةُ وَظَاهِرُ مَا فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ اخْتِيَارُ أَنَّهُ بِدْعَةٌ فَإِنَّهُ قَالَ : قَالَ بَعْضُ الْحُفَّاظِ : لَمْ يَثْبُتْ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ طَرِيقٍ صَحِيحٍ وَلَا ضَعِيفٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ عِنْدَ الِافْتِتَاحِ أُصَلِّي كَذَا وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ بَلْ الْمَنْقُولُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { كَانَ إذَا قَامَ إلَى الصَّلَاةِ كَبَّرَ } وَهَذِهِ بِدْعَةٌ .
ا هـ .
وَقَدْ يُفْهَمُ مِنْ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ أَنَّهُ لَا يَحْسُنُ لِغَيْرِ هَذَا الْقَصْدِ وَهَذَا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ قَدْ يَغْلِبُ عَلَيْهِ تَفَرُّقُ خَاطِرِهِ فَإِذَا ذَكَرَ بِلِسَانِهِ كَانَ عَوْنًا عَلَى جَمْعِهِ ، ثُمَّ رَأَيْته فِي التَّجْنِيسِ قَالَ وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ ؛ لِأَنَّهُ عَمَلُهُ وَالتَّكَلُّمُ لَا مُعْتَبَرَ بِهِ وَمَنْ اخْتَارَهُ اخْتَارَهُ لِتَجْتَمِعَ عَزِيمَتُهُ .
ا هـ .
“Para Masyayikh berbeda pendapat mengenai melafadzkan niat dengan menggunakan lisan. Di terangkan dalam kitab Munyatul Musholli, hukumnya adalah Mustahab (di sunahkan), demikian ini adalah qoul yang terpilih dan di shohihkkan di dalalm kitab Al Mujtaba, Al Hidayah,Al Kafi dan At Tabyiin, hal tersebut dianggap bagus karena bisa mengumpulkan Azimah (niat). Dan di dalam kitab Ikhtiyar ma’ziyyan yg (disandarkan penukilannya) kepada Muhammad bin al Hasan, bahwasanya hal tersebut adalah Sunnah, demikkian juga keterangan di dalam kitab Al Mabsuth dan Badai’. Sedangkan di dlam kitab al Qunyah hal tersebut adalah Bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan baginya untuk menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara mengucapkannya dengan lisan, maka menjadi mubah. Dan di nukil dari sebagian ulama yang disunnahkan adalah meringkas niat di dalam hati, apabila di ucapkan di lisannya maka boleh. Dan di nukil dari syarah Al Munyah dari sebagaian ulama bahwasanya hal tersebuat adalah makruh. Dan dhohirnya keterangan yanga ada di kitab Fathul Qodir bahwasanya hal tersebut adalah bid’ah, tidak tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaii wa sallam baik dari jalur shahih maupun dhoif bahwasanya beliau ketika mengawali sholat mengucapkan : Usholli kadza (Saya akan sholat begini), juga tidak pernah tsabit riwayat dari sahabat maupun tabi’in, akan tetapi penukilan yang ada adalah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri untuk melaksanakkan sholat, beliau bertakbir, maka permasalahan ini adalah bid’ah. Selesai (pembahasan).

Namun apakah yang di maksud dengan ucapan bid’ah dan sunnah dalam ibarat diatas menurut ulama Hanafiyyah ??? Bisa dibaca disini :

البحر الرائق - (ج 3 / ص 93)
وَزَادَ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ أَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَيْضًا فَتَحَرَّرَ مِنْ هَذَا أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ عِنْدَ قَصْدِ جَمْعِ الْعَزِيمَةِ ، وَقَدْ اسْتَفَاضَ ظُهُورُ الْعَمَلِ بِذَلِكَ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَعْصَارِ فِي عَامَّةِ الْأَمْصَارِ فَلَعَلَّ الْقَائِلَ بِالسُّنِّيَّةِ أَرَادَ بِهَا الطَّرِيقَةَ الْحَسَنَةَ لَا طَرِيقَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَقِيَ الْكَلَامُ فِي كَيْفِيَّةِ التَّلَفُّظِ بِهَا
Dan terdapat keterangan tambahan dalam kitab Syarhul Munyah bahwasanya hal tersebut (melafadzkan niat) itu tidak di nukil dari para imam yang empat juga. Maka beliau memeriksa lagi dari keterangan ini bahwasanya hal tersebut adalah bid’ah hasanah ketika bermaksud untuk mengumpulkan niat. Dan telah tersiar luas mengenai pengamalan hal tersebut pada banyak masa di umumnya semua tempat, maka barangkali ulama yang mengucapkan sunnah, yang di maksud adalah Thoriqoh hasanah (cara yang baik) bukan cara (yang pernah di lakukan) nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pembicaraan di dalam tata cara melafadzkan niat.

KESIMPULAN DARI IBARAT-IBARAT DIATAS :

Tidak ada satupun dari ulama Madzhibul Arba’ah yang memfatwakan Bid’ah Dholalah bagi orang yang melafadzkan niat ketika akan sholat. Menurut penjelasan ulama Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir hukumnya boleh namun menyelisihi keutamaan (Khilaful Aula, tidak sampai Makruh), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat hukumnya adalah sunnah.
Sedang menurut Jumhur ulama dan kesepakatan para pengikut madzhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) hukumnya adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum Takbiratul Ihram itu dapat membantu untuk menghadirkan dan mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Sedang mengenai ucapan bid’ah di dalam istilah sebagian ulama Hanafiyyah juga sama sekali tidak diarahkan kepada bid’ah dholalah.

TUJUAN MELAFADZANKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA
Mari kita baca keterangan para ulama di bawah ini :

Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 :

فتح المعين - (ص 16)
( و ) سن ( نطق بمنوي ) قبل التكبير ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati dan untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :

نهاية المحتاج -
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ ،
“Disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati , agar terhindar dari was-was serta menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.

Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :

فتح الوهاب -
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati."

Diperjelas di dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal :

حاشية الجمل –
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ .
"Dan sebuah ibarat dari Syarah Imam Romli, agar lisan dapat membantu hati, karena hal tsb dapat lebih jauh (selamat) dari was-was, serta untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Selesai (pembahasannya)."

Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) :

مغني المحتاج -
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ
"Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati, karena hal tsb dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "

Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat :

ويندب النطق قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب
"Dan disunnahkan mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati"

Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] :

إعانة الطالبين –
 ( قوله وسن نطق بمنوي ) أي ولا يجب فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر إذ العبرة بما في القلب
 ( قوله ليساعد اللسان القلب ) أي ولأنه أبعد من الوسواس وقوله وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[Ucapan muallif : Disunnahkan mengucapkan niat] maksudnya tidak wajib, maka apabila hatinya berniat shalat Dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat Asar, maka tidak masalah, karena yang dianggap adalah apa yang ada didalam hati. [Ucapan muallif : Agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was dan menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, maksudnya mengucapkan niat.”

Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :

( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ .
“Dan disunnahkan mengucapkan niat sesaat sebelum takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Di dalam Kitab Matan Al-Minhaj li Syaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i :

منهج الطلاب -
ونطق قبيل التكبير
"(Disunnahkan) mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram)"

Di dalam kitab Safinatun Naja karya  Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Sumair Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :

النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya. Tempatnya niat adalah di dalam hati, sedangkan melafadzkan niat dengan menggunakan lisan hukumnya adalah sunnah"

Di dalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz)  :

أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
"Adapun melafadzkan niat, maka hukumnya adalah sunnah agar lisan dapat membantu hati"

Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, di dalam kitab Minhajul Qawim (1/191) :

فصل في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك
"Fashal di dalam menerangkan sunnah-sunnah shalat. Sunnah-sunnah shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram di dalam sholat fardhu dan sunnah, agar lisan dapat membantu hati, serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"

Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i, Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon :

قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
"Ucapan muallif : (Tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan melafadzkan niat di dalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"

Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" :

ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"Dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan karena hal tersebut dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "

Di dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1 :

ومحل النية القلب؛ فلا يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"Dan tempatnya niat adalah hati, maka tiada disyaratkan melafadzkannya, tetapi disunnahkan (melafadzkan niat) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkannya"
Hawasyi Asy-Syarwaniy karya Abdul Hamid Al Makkiy Asy Syarwaniy (1/240) :

حواشي الشرواني والعبادي - (ج 1 / ص 240)
ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
"Termasuk diantara kesunahan sholat adalah melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"

Abdurrahman Muhammad AL Hanafiy yang di kenal dengan Syaikhiy Zaadah dalam kitab Majma’al Anhar juz 1 hal 232 :

مجمع الأنهر - (ج 1 / ص -233232)
( وَضَمُّ التَّلَفُّظِ إلَى الْقَصْدِ أَفْضَلُ ) لِمَا فِيهِ مِنْ اسْتِحْضَارِ الْقَلْبِ لِاجْتِمَاعِ الْعَزِيمَةِ بِهِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ : النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَلُ .
وَفِي الْقُنْيَةِ أَنَّهَا بِدْعَةٌ إلَّا إذَا كَانَ لَا يُمْكِنُهُ إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ فَحِينَئِذٍ تُبَاحُ
“(Mengumpulkan melafadzkan niat kepada Qoshdu (niat) itu lebih utama) karena hal tersebut bisa menghadirkan hati untuk mengumpulkan Azimah (niat). Muhammad bin Al Hasan berkata : Niat dengan hati itu wajib dan menyebutknya dengan lisan itu sunnah, sedangkan mengumpulkan keduanya (hati dan lisan) adalah Afdhol (lebih utama). Namun di dalam kitab Qunyah hal tersebut adalah bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan baginya untuk menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara mengucapkannya dengan lisan maka menjadi mubah.

Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat Juz 1 hal. 393, Makktabah Syamilah :

شرح منتهى الإرادات - (ج 1 / ص 393)
 وَتَلَفُّظُهُ بِمَا نَوَاهُ تَأْكِيدٌ
"Sedangkan pelafadz-an seseorang dengan apa yang diniatkannya adalah merupakan ta'kid (penguat)."

Berkata Ibnu Qudamah Al Maqdisiy  Al Hambaliy di dalam kitab Al Mughniy :

المغني - (ج 2 / ص 319)
وَإِنْ لَفَظَ بِمَا نَوَاهُ ، كَانَ تَأْكِيدًا .
Apabila seseorang yang sholat melafadzkan apa yang diniatinya, maka hal tersebut menjadi Ta’kid (penguat)  (Al Mughniy Juz 2 hal 319, Maktabah Syamilah).

KESIMPULAN DARI SEMUA KETERANGAN ULAMA DIATAS :

Tujuan dari melafadzkan niat adalah agar lisan dapat menghadirkan dan mengingatkan hati, yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat adalah dipergunakan untuk ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.


ISTINBATH HUKUM DARI ULAMA YANG MENYUNAHKAN MELAFDZKAN NIAT

Ulama yang menyunahkan melafadzkan niat kketika akan sholat menqiyaskan dengan melafadzkan niat dalam ibadah Haji, sebagaimana kita ketahui dalam hadis, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam melafadzkan niat ketika menunaikan ibadah Haji :

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم(
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)

Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551, Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan :

نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ
“Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”

Redaksinya begini :

فقه السنة - (ج 1 / ص 654(
روى واحد منهم: أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول: " نويت العمرة، أو نويت الحج ".

CATATAN : Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat diatas ketika beliau menjalankan ibadah haji, namun sebagian ulama berpendapat bahwa ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah (melafadzkan niyat) ketika akan mengerjakan sholat.

Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh Al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) :

تحفة المحتاج في شرح المنهاج -
( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ الْمُنْدَفِعِ بِهِ التَّشْنِيعُ بِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sesaat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syadz ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji yang bisa digunakan untuk menolak adanya celaan bahwa kesunahan ini tidak di nukil (dari hadis) ”

Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan :

نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
"Ya, disunnahkan mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, karena sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wa Sallam mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka kami menqiyaskannya ke dalam Ibadah-ibadah yang lain, sedangkan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaan terjadinya"

Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam kitab Mu'jam beliau (336) :

معجم ابن المقرئ -
317 - أخبرنا ابن خزيمة ، ثنا الربيع قال : « كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة قال : بسم الله ، موجها لبيت الله مؤديا لفرض الله عز وجل الله أكبر »
"Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam Syafi'i ketika akan masuk dalam Shalat berkata : “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah, menunaikkan kewajiban kepada Allah. Allahu Akbar.”

Perlu diketahui bahwa Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,

Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :

واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah :

أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
“Selamanya seseorang tidak boleh mengatakan di dalam sesuatu, baik hukum halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”

قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Aku (Imam Syafi'i berkata) :  Jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya di dalam Al-Qur'an maka ini adalah hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya di dalam as-Sunnah maka ini hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).

Jadi maksud perkataan Imam Syafi'i diatas adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya secara shorih di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?

Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum Takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat shalat tetaplah sah, sedang melafadzkan niat saja tanpa meniatkan dalam hati maka tidak mencukupi (tidak sah sholatnya), karena tempatnya niat adalah di dalam hati. Maka melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat (karena dilakukan sebelum mengerjakan sholat, yaitu Takkbirotul Ihram) sebagaimana keterangan para ulama di bawah ini :

Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :

فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“Apabila dia berniat dengan hati tanpa lisannya, maka hal tersebut sudah mencukupi”

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, di dalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة) hal 101, Maktabah Syamilah :

كفاية الأخيار - (101)
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان مع غفلة القلب
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah di i’tibar dengan hati, maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan bersamaan dengan lupanya hati”
Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة  dalam kitab Fiqhus Sunnah Juz 1 hal 133, Maktabah Syamilah :

فقه السنة - (ج 1 / ص 133)
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“Tempatnya niat adalah di dalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”

Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat :

)النِّيَةُ) وَهِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Namun anehnya, nash-nash ibarat diatas ini sering di salah fahami oleh para wahabi mengenai tidak diperbolehkannya melafadzkan niat. Mana ada kata atau kalimat yang melarang melafadzkan niat dalam ibarat-ibarat diatas ?

Dari semua paparan diatas, kita bisa mengetahui bagaimana perbedaan pandangan ulama-ulama salaf dan ulama- ulama Wahabi mengenai permasalahan melafadzkan niat ketika akan melaksanakan sholat. Padahal selama ini kita sering mendengar klaim dan slogan Wahabi yang selalu mengataskan madzhab dan manhaj mereka adalah mengikuti Salafush Sholih. Pertanyaan : Lalu Salafus Sholih manakah yang diikuti oleh Wahabi dalam permasalahan ini ?

Wallohu A’lam

Ditulis oleh : Dodi El Hasyimi dari berbagai sumber

Kesesatan Amalan Mutaah Menurut Kitab-Kitab Syiah Dengan Menggunakan Kaedah Syiah- Bahagian I



 Segala puji bagi Allah yang telah mensyariatkan perkahwinan, dan mengharamkan perzinahan. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rosul, Muhammad beserta keluarganya, dan seluruh sahabat-sahabatnya dan siapa-siapa yang mengikuti jejak petunjuk mereka dengan baik.

Betapa islam memuliakan perempuan, Islam mengajarkan kepada kita tata cara / adab bermuasyarah dengan perempuan, memuliakan perempuan dari sejak ia dilahirkan hingga ia meninggal dunia. Islam benar-benar telah mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dan memuliakannya dengan kemuliaan yang belum pernah dilakukan oleh agama lain.

Perkahwinan adalah wujud kecintaan Allah S.W.T pada mahkluk-NYa untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara terhormat dan baik. Oleh karena itu Allah memberi batasan-batasan supaya menjadi acuan dalam kehidupan. Menikah akan meninggikan harkat dan martabat manusia. Lihatlah bagaimana kehidupan manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya dengan hewan yang selama hidupnya hanya berusaha memuaskan nafsu. Menikah dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarganya.

Allah s.w.t berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (٢)وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (٣)وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (٤)وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (٥)إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (٦)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (٧(
“[1]Sesungguhnya berjayalah orang-orang yang beriman,[2]Iaitu mereka yang khusyuk dalam sembahyangnya;[3]Dan mereka yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia;[4]Dan mereka yang berusaha membersihkan hartanya (dengan menunaikan zakat harta itu);[5]Dan mereka yang menjaga kehormatannya,[6]Kecuali kepada isterinya atau hamba sahayanya maka sesungguhnya mereka tidak tercela:[7]Kemudian, sesiapa yang mengingini selain dari yang demikian, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas; “ (Q.S. Al mukminun; 1-7).
Dalam tiga ayat terakhir dijelaskan bahwa orang-orang beriman yang berjaya adalah yang menjaga kehormatannya, kecuali kepada dua wanita saja iaitu istrinya dan hamba sahayanya. Dan Allah S.W.T menjadikan orang-orang yang mengingini selain dari yang telah ditentukan termasuk kedalam orang-orang yang melampaui batas (celaka).

Perempuan pelaku mut’ah bukan termasuk salah satu dari dua perempuan yang disebutkan dalam ayat diatas. Fakta bahwa perempuan yang dimut’ah sangat jauh berbeda dengan istri dari perkahwinan sahih, dan tidak pula dianggap sebagai hamba sahaya. Bila dikatakan bahwa perempuan pelaku mut’ah adalah istri dari pasangannya, itu berarti hukum-hukum seorang istri harus berlaku padanya. Namun apakah perempuan yang dimut’ah diperlakukan atau memiliki hak-hak yang sama seperti seorang istri dari perkahwinan yang sahih (bahkan dalam perspektif syi’ah)? Bila ya, maka dia adalah seorang istri, tapi bila tidak, maka dia bukanlah sorang istri tentunya. Penjelasan untuk ini akan menyusul, insya Allah.

Allah S.W.T berfirman :

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَ‌اءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ‌ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَ‌هُنَّ فَرِ‌يضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَ‌اضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِ‌يضَةِ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا.
“Dan (diharamkan juga kamu berkahwin dengan) perempuan-perempuan isteri orang, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki. (Haramnya segala yang tersebut itu) ialah suatu ketetapan hukum Allah (yang diwajibkan) atas kamu. Dan (sebaliknya) dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan yang lain daripada yang tersebut itu, untuk kamu mencari (isteri) dengan harta kamu secara bernikah, bukan secara berzina. Kemudian mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya (setelah ia menjadi isteri kamu), maka berikanlah kepada mereka maskahwinnya (dengan sempurna), sebagai suatu ketetapan (yang diwajibkan oleh Allah). Dan tiadalah kamu berdosa mengenai sesuatu persetujuan yang telah dicapai bersama oleh kamu (suami isteri), sesudah ditetapkan maskahwin itu (tentang cara dan kadar pembayarannya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.”(Q.S An-nisa’ 24)

Ayat diatas menjelaskan kepada kita tentang nikah sahih (bukan mut’ah), Al ujur disitu bermakna Mahar (maskahwin) sebagai ganti/imbangan dari istimta’ (percampuran/jima’), kata-kata مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ  inilah yang menjadi qorinah (petunjuk) jelas, bahwa maksud nikah sahih adalah Al ihshon (menjaga/membentengi) dari perbuatan keji (seperti zina), membangun rumah tangga, menjalin hubungan kekeluargaan yang harmonis, saling mewarisi, semua ini tidaklah diperoleh dari mut’ah, karena dalam prakteknya mut’ah hanyalah pelampiasan nafsu sementara.

"Mutah" dalam bahasa Arab bila diterjemahkan secara harfiah memiliki makna "kesenangan". Dalam konteks Syiah, Mutah mengacu pada "pernikahan sementara." Seorang pria membayar wanita sejumlah uang (iaitu apa yang disebut "mahar") dan dia dapat melakukan hubungan seksual dengannya untuk seberapa lama mereka sepakati. Periode waktu Mutah dapat sesedikit satu malam, atau bahkan satu jam cukup waktu bagi pria untuk melakukan tindakan seksual.

Dalil-dalil kehalalan mut’ah menurut syi’ah.

(Dalil pertama):
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَ‌هُنَّ فَرِ‌يضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَ‌اضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِ‌يضَةِ .

Ayat ini adalah dalil soriih (jelas) tentang dihalalkannya mut’ah, (menurut perspektif syi’ah) kata “istamta’a” itu berarti mut’ah, dan ujur berarti imbalan sebagai ganti dari istimta’yang diperoleh laki-laki dari pasangan mut’ahnya.

Jawab :
Telah berlalu penjelasan saya, bahwa ayat tersebut sama sekali tidak menjelaskan tentang mut’ah. Sebenarnya tidak ada satupun ayat dalam Al-qur’an menjelaskan tentang Mut’ah. Memang, mut’ah pernah dihalalkan, namun dalilnya bukan dari Al-qur’an akan tetapi Hadist, dan pada akhirnya diharamkan untuk selamanya, pembahasan untuk mula kehalalan mut’ah akan menyusul insya Allah.

kata-kata مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ  inilah yang menjadi qorinah (petunjuk) jelas, bahwa ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk mut’ah. Seorang yang telah beristri/bersuami bila melakukan perzinahan maka dia dikatakan sebagai “zani muhson” dan berhak menerima rajam, tetapi seorang (tidak punya istri/suami) walaupun memiliki pasangan mut’ah apabila berzina maka dia tidak dirajam. Inilah yang dijelaskan dalam kitab Al kafi, karya Al kulayni, juz.7.

“Abu Ali Al as’ariy dari Muhammad bin Abdul jabir dari shofwan dari ishaq bin ‘Ammar berkata : aku bertanya kepada Abu Ibrahim a.s. tentang seorang laki-laki bila dia berzina sedang dia memiliki perempuan hamba sahaya yang dapat dia “campuri”, apakah hamba sahaya tersebut menjadikannya (laki-laki) muhson[1]?. Abu Ibrahim berkata : ya, karena dia sudah memiliki sesuatu yang dapat mencukupinya (dari zina). Aku berkata : apabila dia memiliki perempuan hamba sahaya tapi dia mengaku tidak mencampurinya?. Abu Ibrahim menjawab : tidak dipercaya, ; aku berkata : apabila dia memiliki pasangan mut’ah, apakah perempuan pasangan mut’ahnya itu menjadikan (dia laki-laki) muhson?, Abu Ibrahim berkata : tidak, seorang laki-laki dikatakan muhson apabila memiliki hubungan yang daim (tetap)”.

Dari Ali dari Muhammad bin Isa dari Yunus dari Ishak bin Ammar berkata : aku berkata kepada Abu Ibrahim a.s. : seorang laki-laki yang memilki perempuan hamba sahaya apakah menjadikannya Muhson? Beliau berkata : ya, sesungguhnya seseorang menjadi muhson bila memilki sesuatu yang mencukupinya. Aku berkata : dan perempuan yang mut’ah (apakah demikian)? Beliau berkata : tidak, sesungguhnya muhson itu diperoleh dari hubungan yang daim (tetap). Aku berkata : (bagaimana) bila laki-laki tersebut mengaku tidak pernah mencampuri hamba sahayanya?. Abu Ibrahim berkata : tidak dipercaya, laki-laki tersebut tetap dikatakan muhson karena dia memilikinya”.

As syaikh Al majlisiy dalam kitabnya Mir’atul ‘Uquul, juz.23 menilai kedua riwayat tersebut diatas (riwayat pertama dan keenam) muwattsaq (terpercaya). Jadi kesimpulannya ayat 24 dari surat An nisa tidak boleh dijadikan dalil kehalalan mut’ah, karena bagaimana mungkin riwayat yang terpercaya dapat bertentangan dengan Al qur’an?

Boleh mut’ah dengan lebih dari empat perempuan

Allah s.w.t berfirman :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا (3(
“Dan jika kamu takut tidak berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (apabila kamu berkahwin dengan mereka), maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu bimbang tidak akan berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu) maka (berkahwinlah dengan) seorang sahaja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman”. [3]

Dari ayat diatas kita mengetahui bahwa seorang Muslim tidak diperkenankan memiliki lebih dari empat istri,  itupun dengan syarat harus dapat berlaku adil. Akan tetapi tidak demikian halnya dalam mut’ah, tidak ada batasan untuk memiliki pasangan mut’ah. sebagaimana keterangan dalam kitab Al kafi, karya Al kulayni, juz.5

1. Ali bin Ibrahim dari ayahnya, dari Ibn Abi Umair, dari Umar bin Udzaiynah, dari Abu Abdillah a.s. berkata : Aku berkata : berapakah (batasan) yang diperbolehkan dari mut’ah?; berkata Abu Abdillah : Mereka (perempuan yang dimut’ah) kedudukannya sama seperti hamba sahaya.[2]

2. Alhusain bin Muhammad, dari Ahmad bin Ishak Al asy’ariy, dari bakr bin Muhammad Al azdiy, berkata : aku bertanya kepada Abu Hasan a.s. tentang (perempuan) mut’ah? apakah dia termasuk dari empat[3]?; berkata Abu Abdillah : tidak.

3. Muhammad bin yahya, dari Ahmad bin Muhammad, dari Ibn Mahbub, dari Ibn riab, dari Zurarah bin A’yan, berkata: aku berkata: berapakah yang dihalalkan dari mut’ah?; berkata Abu Abdillah: berapapun yang kamu inginkan.

 Sedangkan kedudukan sanad ketiga riwayat tersebut menurut Al majlisiy, dalam kitabnya Miratul ‘Uqul, hadist pertama hasan, kedua dan ketiga sahih. Dijelaskan pula bahwa menurut pendapat yang masyhur tidak ada batasan jumlah perempuan yang boleh dimut’ah, kecuali pendapat Ibn Al barraj, tapi tidak ada dalil yang jelas yang mendukung pendapatnya.


Bersambung ke bahagian kedua...

Ditulis oleh: Ibnu Syaikh Al Saggaf
[1] “muhson/muhsonah” maksudnya laki-laki/perempuan yang berhak dirajam bila berzina.
[2] “seperti hamba sahaya” maksudnya; ialah seorang laki-laki boleh memilki pasangan mut’ah sebanyak yang dia inginkan.
[3] “termasuk dari empat” maksudnya; tergolong istri yang terbatas sampai empat, seperti yang dimaksud dalam surat An nsia ayat 4.

Kerajaan