Abul Jauza mengatakan :
An-Nis-yaan (النِّسْيَانُ) dalam lisan bahasa
Arab yang sering kita ucapkan sering diartikan ‘lupa’. Padahal,an-nis-yaan merupakan
shifat fi’liyyah khabariyyah yang tsaabit bagi Allah berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebelum kita bahas apa makna an-nis-yaan,
mari kita cermati dalil-dalil yang ada dalam kedua sumber tersebut :
Dalil Al-Qur’an
Allah ta’ala berfirman :
الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا
وَلَعِبًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ
يَوْمِهِمْ هَذَا وَمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ
“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka
sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu
mereka". Maka pada hari (kiamat) ini, Kamimelupakan mereka sebagaimana
mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka
selalu mengingkari ayat-ayat Kami” [QS. Al-A’raaf : 51].
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ
مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ
أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ
فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ
هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian
dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang mungkar dan
melarang berbuat yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka
telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang
munafik itulah orang-orang yang fasik” [QS. At-Taubah : 67].
فَذُوقُوا بِمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ
هَذَا إِنَّا نَسِينَاكُمْ وَذُوقُوا عَذَابَ
الْخُلْدِ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Maka rasailah olehmu (siksa ini) disebabkan kamu
melupakan akan pertemuan dengan harimu ini (Hari Kiamat);
sesungguhnya Kami telah melupakan kamu (pula) dan rasakanlah siksa
yang kekal, disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan" [QS. As-Sajdah : 14].
وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنْسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ
يَوْمِكُمْ هَذَا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Dan dikatakan (kepada mereka): "Pada hari
ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan
(dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali
tidak memperoleh penolong” [QS.
Al-Jaatsiyyah : 34].
Dalil As-Sunnah
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ
الزُّهْرِيُّ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ سُعَيْرٍ أَبُو مُحَمَّدٍ
التَّمِيمِيُّ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يُؤْتَى بِالْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيَقُولُ
اللَّهُ لَهُ: أَلَمْ أَجْعَلْ لَكَ سَمْعًا وَبَصَرًا وَمَالًا وَوَلَدًا
وَسَخَّرْتُ لَكَ الْأَنْعَامَ وَالْحَرْثَ وَتَرَكْتُكَ تَرْأَسُ وَتَرْبَعُ،
فَكُنْتَ تَظُنُّ أَنَّكَ مُلَاقِي يَوْمَكَ هَذَا؟ قَالَ: فَيَقُولُ: لَا،
فَيَقُولُ لَهُ: الْيَوْمَ أَنْسَاكَ كَمَا نَسِيتَنِي "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad
Az-Zuhriy Al-Bashriy : Telah menceritakan kepada kami Maalik bin Su’air Abu
Muhammad At-Tamiimiy Al-Bashriy : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy,
dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’iid, mereka berdua berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Akan
didatangkan seorang hamba pada hari kiamat, lalu Allah berkata kepadanya :
‘Tidakkah Aku telah memberikan bagimu pendengaran, penglihatan, harta, dan
anak. Dan Aku telah menundukkan bagimu hewan ternak dan tanaman, serta Aku
tinggalkan bagimu menjadi pemimpin dan mendapatkan seperempat (bagian harta
rampasan). Dan (apakah) dulu engkau mengira bahwa engkau akan menemui-Ku pada
hari ini ?’. Ia menjawab : ‘Tidak’. Allah berkata kepadanya : ‘Pada hari
ini Aku telah melupakanmu sebagaimana engkau telah melupakan-Ku”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 4/224 no. 2428, dan ia berkata : ‘shahih ghariib’].
Makna An-Nis-yaan
At-Tirmidziy rahimahullah setelah
membawakan hadits di atas berkata :
وَقَدْ فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ
هَذِهِ الْآيَةَ فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ، قَالُوا: إِنَّمَا مَعْنَاهُ الْيَوْمَ
نَتْرُكُهُمْ فِي الْعَذَابِ
“Sebagian ulama telah menafsirkan ayat ini : ‘Maka
pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka’ (QS. Al-A’raaf : 51), mereka
berkata : ‘Maknanya adalah : Pada hari Kami tinggalkan/biarkan mereka
dalam siksaan” [Sunan At-Tirmidziy, 4/225].
Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata :
أما قوله : (فَالْيَوْمَ نَنْسَاكُمْ كَمَا
نَسَيْتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا)؛ يقول : نترككم في النار؛ (كَمَا
نَسَيْتُمِ)؛ كما تركتم العمل للقاء يومكم هذا
“Adapun firman-Nya : ‘Pada hari ini Kami melupakan
kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini’ (QS.
Al-Jaatsiyyah : 34); yaitu : Kamitinggalkan/biarkan mereka dalam
neraka. Firman-Nya : ‘Sebagaimana kamu telah melupakan’; yaitu
sebagaimana kalian meninggalkan ‘amal (shalih) untuk
perjumpaan (dengan Allah) pada hari ini” [Ar-Radd ‘alaz-Zanaadiqah
wal-Jahmiyyah, hal. 21].
Ibnu Faaris rahimahullah berkata :
النسيان : الترك، قال الله جل وعز : (نَسُوا
اللهَ فَنَسِيَهُمْ).
“An-Nis-yaan maknanya adalah at-tark (meninggalkan/membiarkan),
sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Mereka telah
lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka’ (QS. At-Taubah : 67)” [Mujmalul-Lughah,
hal. 866].
Ath-Thabariy rahimahullah saat
menafsirkan ‘Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka’
(QS. At-Taubah : 67), berkata :
معناه : تركوا اللهَ أن يطيعوه ويتبعوا أمره،
فتركهم اللهُ من توفيقه وهدايته ورحمته، وقد دللنا فيما مضى على أن معنى النسيان :
الترك....
“Maknanya adalah : mereka meninggalkan Allah untuk
taat kepada-Nya dan mengikuti perintah-Nya. Maka Allah pun meninggalkan mereka
dari taufiq, hidayah, dan rahmat-Nya. Dan telah kami tunjukkan pada bahasan
yang lalu bahwa makna an-nis-yaan adalahat-tark (meninggalkan)…”
[Tafsiir Ath-Thabariy, 14/339].
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah pernah
ditanya : “Apakah Allah itu disifati dengan nis-yaan ?”. Maka
beliau menjawab :
((للنِّسْيَان
معنيان :
أحدهما : الذهول عن شيء معلوم ؛ مثل قوله
تعالى : { رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا } )) -وضرب
مجموعة من الأمثلة لذلك- ثم قال : ((وعلى هذا؛ فلا يجوز وصف الله بالنِّسْيَان
بهذا المعنى على كل حال.
والمعنى الثاني للنِّسْيَان : الترك عن علم
وعمد ؛ مثل قوله تعالى : { فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا
عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ } الآية ، ومثل قوله تعالى : { وَلَقَدْ
عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا } ؛ على
أحد القولين ، ومثل قوله صلى الله عليه وسلم في أقسام أهل الخيل : ((ورجل ربطها
تغنياً وتعففاً ، ولم ينس حق الله في رقابها وظهورها ؛ فهي له كذلك ستر)). وهذا
المعنى من النِّسْيَان ثابت لله تعالى عَزَّ وجَلَّ ؛ قال الله تعالى : {
فَذُوقُوا بِمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا إِنَّا نَسِينَاكُمْ } ، وقال
تعالى في المنافقين : { نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ } . وفي ((صحيح مسلم)) في (كتاب الزهد والرقائق) عن أبي هريرة رضي
الله عنه ؛ قال : قالوا : يا رسول الله! هل نرى ربنا يوم القيامة؟ (فذكر الحديث ،
وفيه : ((أنَّ الله تعالى يلقى العبد ، فيقول : أفظننت أنك ملاقي؟ فيقول : لا.
فيقول : فإني أنساك كما نسيتني)).
وتركُه سبحانه للشيء صفةً من صفاته الفعلية
الواقعة بمشيئته التابعة لحكمته ؛ قال الله تعالى : { وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ
لا يُبْصِرُونَ } ، وقال تعالى : { وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي
بَعْضٍ } ، وقال: { وَلَقَد تَرَكْنَا مِنْهَا آيَةً بَيِّنَةً } والنصوص في ثبوت
الترك وغيره من أفعاله المتعلقة بمشيئته كثيرة معلومة وهي دالة على كمال قدرته
وسلطانه.
وقيام هذه الأفعال به سبحانه لا يماثل قيامها
بالمخلوقين ، وإن شاركه في أصل المعنى ؛ كما هو معلوم عند أهل السنة)).هـ
“An-Nis-yaan itu mempunyai dua
makna. Pertama, maknanya adalah adz-dzuhuul (lupa)
dari sesuatu yang telah diketahui sebelumnya, seperti firman-Nya ta’ala : ‘Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah’ (QS.
Al-Baqarah : 286)” – kemudian beliau (Ibnu ‘Utsaimiin) menyebutkan beberapa
ayat yang mempunyai makna tersebut, lalu beliau berkata : “Oleh karena itu,
tidak diperbolehkan menyifati Allah dengan an-nis-yaan pada
makna ini. Kedua, maknanya adalah at-tark(meninggalkan/membiarkan)
dengan ilmu dengan kesengajaan. Seperti firman-Nya : ‘Maka tatkala mereka
melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan
semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka’ (QS. Al-An’aam : 44). Dan
juga seperti firman-Nya : ‘Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan
kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati
padanya kemauan yang kuat’ (QS. Thaha : 115) – berdasarkan salah satu
dari dua pendapat. Dan juga seperti sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dalam pembagian pasukan berkuda : ‘Dan seorang yang
menjadikan kudanya sebagai alat untuk mencari kebutuhan hidup, namun dia tidak
melupakan hak Allah pada leher dan punggung kudanya, maka kuda itu menjadi
pelindung baginya’ (HR. Al-Bukhaariy, An-Nasaa’iy, Maalik, dan yang
lainnya). Makna nis-yaan dalam hal ini adalah tsaabit (tetap)
bagi Allah ta’ala ‘azza wa jalla. Allahta’ala berfirman
: ‘Maka rasailah olehmu (siksa ini) disebabkan kamu melupakan akan pertemuan
dengan harimu ini (Hari Kiamat); sesungguhnya Kami telah melupakan kamu (pula)’ (QS.
As-Sajdah : 14). Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang
munafiq : ‘Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik’ (QS.
At-Taubah : 67). Dan dalam Shahiih Muslim pada kitab Az-Zuhd
war-Raqaaiq, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata
: Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah kami akan melihat Rabb kami pada
hari kiamat ?’. Lalu beliau menyebutkan haditsnya yang didalamnya terdapat
sabda beliau : ‘Bahwasannya Allah ta’ala akan menemui hamba-Nya dan
berfirman : ‘Apakah kalian pernah menyangka bahwa kalian akan bertemu dengan-Ku
?’. Ia (si hamba) berkata : ‘Tidak’. Allah berfirman : ‘Sesungguhnya Aku telah
melupakanmu sebagaimana engkau telah melupakan-Ku’.
Dan meninggalkannya Allah subhaanahu wa
ta’ala terhadap sesuatu merupakan shifatfi’liyyah yang
berkaitan dengan kehendak-Nya yang menyertai hikmah-Nya. Allah ta’alaberfirman
: ‘Dan Allah membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat’ (QS.
Al-Baqarah : 17). ‘Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk
antara satu dengan yang lain’ (QS. Al-Kahfi : 99). ‘Dan
sesungguhnya Kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata’ (QS.
Al-Ankabuut : 35). Dan nash-nash yang menetapkan (shifat) at-tark (meninggalkan)
dan perbuatan-perbuatan-Nya yang lainnya yang berkaitan dengan kehendak-Nya,
banyak sekali. Nash-nash tersebut menunjukkan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
Dan keberadaan perbuatan-perbuatan tersebut pada
Allah subhaanahu wa ta’ala tidaklah sama dengan keberadaan
perbuatan-perbuatan pada makhluk-makhluk-Nya; meskipun berkumpul pada asal
makna yang sama, sebagaimana telah ma’lum menurut Ahlus-Sunnah” [Majmuu’
Fataawaa wa Rasaail, 3/54-56 no. 354].
Jadi kesimpulannya makna shifat an-nis-yaan yang
disandarkan kepada Allah adalah at-tark (meninggalkan).
Jawaban dan tanggapan :
Ada banyak kerancuan dan
kebingungan yang dilakukan Abul Jauza dalam artikelnya itu. Dan bukti Abul Jauza
dan kaum wahabi lainnya tidak konsekuen dengan kaedah yang mereka ciptakan
sendiri dalam masalah ini. Bahkan Abul Jauza mengalami kontradiksi dengan kaedahnya tersebut. Kita buktikan...
Pada artikel Abul Jauza yang
membahas Yad Allah, ia mengatakan :
(awal kutipan)
“ Nash-nash yang telah disebutkan di atas
merupakan dalil penetapan (sifat) dua tangan bagi Allah subhaanahu wa
ta’ala, tidak boleh di-ta’wil sedikitpun. Tidak
mungkin memahami dua tangan kecuali dengan (makna) hakekatnya. Barangsiapa
yang tidak membawa makna sifat dua tangan sesuai hakekatnya, maka ia
seorang mu’aththil (orang yang menafikkan sifat Allah)
terhadap sifat tersebut. Al-Imam Abu Haniifah rahimahullah secara
jelas mengatakan bahwa siapa saja yang tidak membawa nash-nash sesuai dengan
(makna) hakekatnya, serta men-ta’wil-kan sifat dua tangan dengan
kekuasaan (al-qudrah) atau nikmat (an-ni’mah), sungguh ia telah
mengingkari sifat itu sendiri. “
(akhir selesai).
Ketika Abul Jauza membahas sifat
Yad Allah, ia memberikan kesimpulan di atas yang pointnya adalah :
- Tidak boleh ditakwil sedikit
pun.
- Tidak mungkin memahami Yad
kecuali dengan makna hakekatnya.
- Yang tidak membawa makna Yad
sesuai hakekatnya, maka dia mu’aththil.
Kaedah ini juga disepakati oleh
kaum wahabi lainnya seperti seorang ustadz wahabi dari Malaysia yang benama Asrie
bin Shobrie yang mengatakan sebagai berikut dalam salah satu artikelnya :
(Awal kutipan) :
“ Adapun
Ahlus Sunnah wal Jamaah yang melazimi methode as-Salaf as-Soleh –radiallahu
‘anhum-, mereka beriman dengan sifat-sifat ALLAH ta’ala sesuai dengan kehendak
ALLAH ta’ala dan sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam iaitu:
- Beriman
dengan semua sifat yang tsabit dalam al-Quran dan as-Sunnah yang Sahih
mengikut zahirnya.
- Menafikan
segala sifat kekurangan dan ‘aib daripada ALLAH ta’ala.
- Mendiamkan
diri daripada bercakap dalam masalah sifat tanpa sandaran dalil yang sahih
daripada Naqal. “ (akhir kutipan)
Namun ketika Abul Jauza membahas
Nisyan yang dinisbatkan kepada Allah dalam artikelnya ini, dengan begitu
mudahnya ia melupakan dan melanggar kaedahnya sendiri.
Abul Jauza tidak lagi memaknai Nisyan dengan makna hakekatnya secara dhahir
sesuai kaedah yang diciptakan ulama wahabi itu. Akan tetapi Abul Jauza jatuh
pada takwil sebagaimana takwil yang dilakukan Ahlus sunnah khususnya
Asy’ariyyah yakni mentakwil makna Nisyan dengan makna lainnya yang bukan secara
hakekat yaitu at-Tark (meninggalkan). Sehingga Abul Jauza menyimpulkan :
“ Jadi kesimpulannya makna shifat an-nis-yaan yang
disandarkan kepada Allah adalah at-tark (meninggalkan). “
Inilah bukti kerancuan dan
kegoncangan akidah wahabi yang semakin menunjukkan kebathilan ajaran mereka.
Sikap Ahlus sunnah yang mentakwil
Nisyan dengan at-Tark, kerana mereka memahami bahwa sifat nisyan ini termasuk
sifat yang menimbulkan
kekurangan dan aib bagi kesucian Allah Ta’ala. Maka
Nisyan dalam ayat itu wajib ditakwil dengan makna yang layak bagi keagungan
Allah Ta’ala.
Imam asy-Syaukani mengatakan :
والنسيان
الترك: أي تركوا ما أمرهم به، فتركهم من رحمته وفضله، لأن النسيان الحقيقي لا يصح
إطلاقه على الله سبحانه، وإنما أطلق عليه هنا من باب المشاكلة المعروفة في علم
البيان
“ Dan Nisyan adalah
at-tark yakni “ Tinggalkan lah apa yang Allah perintahkan pada mereka, maka
Allah meninggakan mereka dari rahmat dan keutamaan-Nya. Karena Nisyan makna
secara hakekatnya tidaklah sah dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya
lafaz nisyan dinisbatkan atas Allah di sini hanyalah dari segi bab musyakalah
yang sudah ma’ruf dalam ilmu Bayan “. [1]
Imam Fath ar-Razi mengatakan :
نسوا
الله فنسيهم واعلم أن هدا الكلام لا يمكن إجراؤه على ظاهره لأنا لو حملناه على
النسيان على الحقيقة لما استحقوا عليه ذما، لأن النسيان ليس في وسع البشر، وأيضا
فهو في حق الله تعالى محال فلا بد من التأويل
“ Mereka lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka “
ketahuilah sesungguhnya ucapan ini tidak mungkin memberlakukannya secara
(makna) dhahirnya, kerana jika kita artikan Nisyan secara hakekatnya, maka
mereka tidak berhak mendapat celaan, sebab nisyan bagi manusia bukanlah perkara
yang dimaukan manusia, dan juga nisyan bagi Allah adalah mustahil, maka wajib
ditakwil “. [2]
Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn ‘Arabi mengatakan :
“ Hadits-hadits sahih dalam bab ini – yakni dalam bab shifat- terbagi
menjadi tiga tingkatan :
Pertama : Sifat yang lafaz-lafaznya datang dengan menunjukkan kesempurnaan
semata, tidak ada aib atau kekurangan. Maka ini wajib diyakini.
Kedua : Sifat yang lafaz-lafaznya ada kekurangan, maka ini tidak ada bagian
sedikitpun bagi Allah, tidak boleh disandarkan kepada-Nya kecuali ia terhalang
darinya dalam makna secara dharurat saja seperti firman-Nya, “ Wahai hambaku,
aku sakit kenapa tidak menjengukku “, dan semisalnya.
Yang ketiga : sifat yang lafaz-lafaznya ada kesempurnaan akan tetapi
mewahamkan taysbih “.[3]
Kemudian beliau melanjutkan :
“ Adapun sifat yang datang dengan kesempurnaan semata
seperti sifat wahdaniyyah, ilmu, qudrah, iradah, hayat, sama’, bahsar, ihathah,
taqdir dan tadbir, tidak ada sekurtu, maka tidak ada pembicaraan di antara
ulama dan tidak ada no coment. Adapun sifat yang lafaznya datang dengan
kekurangan semata seperti firman Allah Ta’ala “ Siapakah yang mau menghutangkan
Allah dengan hutang yang baik “ dan firman-Nya “ Aku lapar kenapa kamu tidak
memberikan aku makan “, maka semua orang baik yang alim maupun yang jahil
mengetahui bahwa hal itu adalah kinayah (sindiran), akan tetapi Allah
menyandarkan hal itu kepada dzat-Nya yang Mulia lagi Suci sebagai kemuliaan
kepada wali-Nya dan sebagai kehormatan dan pelembutan bagi hati...
Maka jika ada lafaz-lafaz yang muhtamal
(mengandung makna yang banyak) yang terkadang dari satu sisi datang untuk
kesempurnaan dan satu sisi lainnya kadang untuk kekurangan / aib, maka wajib
bagi setiap muslim yang cerdas untuk menjadikannya makna kinayah / sindiran
yang boleh atas-Nya, dan menafikan dari apa yang tidak boleh atas-Nya. Maka
ucapan di dalam tangan, pergelangan tangan dan jari adalah kalimat-kalimat
indah yang menunjukkan makna-makna mulia, karena kalimat saa’id (pergelangan
tangan) menurut orang Arab kadang terarahkan pada makna kekuatan dan
kesangatan, dan disandarkan kalimat saa’id kepada Allah kerana sesungguhnya
segala urusan milik Allah. Demikian juga ucapannya : “ Sesungguhnya sedekah itu
jatuh di telapak tangan Allah yang Maha Pengasih “, diibaratkan dengan kalimat
telapak tangan, dimaksudkan penjagaan orang miskin sebagai kemuliaan dan apa
yang dibalik dengan jari jari itu ebih mudah dan ringan dan lebih cepat “.[4]
Inilah sikap Ahlus
sunnah waljama’ah dalam bab ini. Maka jelas Abul Jauza dan juga syaikhnya; Ibnu
Utsaimin telah melanggar kaedah yang mereka ciptakan sendiri dan mengalami
kontradiksi. Seandainya meraka mau merendahkan hati, niscaya mereka tidak akan
mencela tafwidh makna dan tawkil yang keduanya dipraktekkan para ulama salaf
dan dilanjutkan oleh Ahlsus sunnah wal jama’ah dalam hal ini kaum Asy’ariyyah
dan Maturudiyyah.
Ditulis Oleh: Ust Ibnu Abdillah Al-Katibiy
No comments: