Select Menu

clean-5

Wisata

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» » Kesesatan Amalan Mutaah Menurut Kitab-Kitab Syiah Dengan Menggunakan Kaedah Syiah- Bahagian I



 Segala puji bagi Allah yang telah mensyariatkan perkahwinan, dan mengharamkan perzinahan. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rosul, Muhammad beserta keluarganya, dan seluruh sahabat-sahabatnya dan siapa-siapa yang mengikuti jejak petunjuk mereka dengan baik.

Betapa islam memuliakan perempuan, Islam mengajarkan kepada kita tata cara / adab bermuasyarah dengan perempuan, memuliakan perempuan dari sejak ia dilahirkan hingga ia meninggal dunia. Islam benar-benar telah mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dan memuliakannya dengan kemuliaan yang belum pernah dilakukan oleh agama lain.

Perkahwinan adalah wujud kecintaan Allah S.W.T pada mahkluk-NYa untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara terhormat dan baik. Oleh karena itu Allah memberi batasan-batasan supaya menjadi acuan dalam kehidupan. Menikah akan meninggikan harkat dan martabat manusia. Lihatlah bagaimana kehidupan manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya dengan hewan yang selama hidupnya hanya berusaha memuaskan nafsu. Menikah dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarganya.

Allah s.w.t berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (٢)وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (٣)وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (٤)وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (٥)إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (٦)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (٧(
“[1]Sesungguhnya berjayalah orang-orang yang beriman,[2]Iaitu mereka yang khusyuk dalam sembahyangnya;[3]Dan mereka yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia;[4]Dan mereka yang berusaha membersihkan hartanya (dengan menunaikan zakat harta itu);[5]Dan mereka yang menjaga kehormatannya,[6]Kecuali kepada isterinya atau hamba sahayanya maka sesungguhnya mereka tidak tercela:[7]Kemudian, sesiapa yang mengingini selain dari yang demikian, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas; “ (Q.S. Al mukminun; 1-7).
Dalam tiga ayat terakhir dijelaskan bahwa orang-orang beriman yang berjaya adalah yang menjaga kehormatannya, kecuali kepada dua wanita saja iaitu istrinya dan hamba sahayanya. Dan Allah S.W.T menjadikan orang-orang yang mengingini selain dari yang telah ditentukan termasuk kedalam orang-orang yang melampaui batas (celaka).

Perempuan pelaku mut’ah bukan termasuk salah satu dari dua perempuan yang disebutkan dalam ayat diatas. Fakta bahwa perempuan yang dimut’ah sangat jauh berbeda dengan istri dari perkahwinan sahih, dan tidak pula dianggap sebagai hamba sahaya. Bila dikatakan bahwa perempuan pelaku mut’ah adalah istri dari pasangannya, itu berarti hukum-hukum seorang istri harus berlaku padanya. Namun apakah perempuan yang dimut’ah diperlakukan atau memiliki hak-hak yang sama seperti seorang istri dari perkahwinan yang sahih (bahkan dalam perspektif syi’ah)? Bila ya, maka dia adalah seorang istri, tapi bila tidak, maka dia bukanlah sorang istri tentunya. Penjelasan untuk ini akan menyusul, insya Allah.

Allah S.W.T berfirman :

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَ‌اءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ‌ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَ‌هُنَّ فَرِ‌يضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَ‌اضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِ‌يضَةِ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا.
“Dan (diharamkan juga kamu berkahwin dengan) perempuan-perempuan isteri orang, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki. (Haramnya segala yang tersebut itu) ialah suatu ketetapan hukum Allah (yang diwajibkan) atas kamu. Dan (sebaliknya) dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan yang lain daripada yang tersebut itu, untuk kamu mencari (isteri) dengan harta kamu secara bernikah, bukan secara berzina. Kemudian mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya (setelah ia menjadi isteri kamu), maka berikanlah kepada mereka maskahwinnya (dengan sempurna), sebagai suatu ketetapan (yang diwajibkan oleh Allah). Dan tiadalah kamu berdosa mengenai sesuatu persetujuan yang telah dicapai bersama oleh kamu (suami isteri), sesudah ditetapkan maskahwin itu (tentang cara dan kadar pembayarannya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.”(Q.S An-nisa’ 24)

Ayat diatas menjelaskan kepada kita tentang nikah sahih (bukan mut’ah), Al ujur disitu bermakna Mahar (maskahwin) sebagai ganti/imbangan dari istimta’ (percampuran/jima’), kata-kata مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ  inilah yang menjadi qorinah (petunjuk) jelas, bahwa maksud nikah sahih adalah Al ihshon (menjaga/membentengi) dari perbuatan keji (seperti zina), membangun rumah tangga, menjalin hubungan kekeluargaan yang harmonis, saling mewarisi, semua ini tidaklah diperoleh dari mut’ah, karena dalam prakteknya mut’ah hanyalah pelampiasan nafsu sementara.

"Mutah" dalam bahasa Arab bila diterjemahkan secara harfiah memiliki makna "kesenangan". Dalam konteks Syiah, Mutah mengacu pada "pernikahan sementara." Seorang pria membayar wanita sejumlah uang (iaitu apa yang disebut "mahar") dan dia dapat melakukan hubungan seksual dengannya untuk seberapa lama mereka sepakati. Periode waktu Mutah dapat sesedikit satu malam, atau bahkan satu jam cukup waktu bagi pria untuk melakukan tindakan seksual.

Dalil-dalil kehalalan mut’ah menurut syi’ah.

(Dalil pertama):
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَ‌هُنَّ فَرِ‌يضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَ‌اضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِ‌يضَةِ .

Ayat ini adalah dalil soriih (jelas) tentang dihalalkannya mut’ah, (menurut perspektif syi’ah) kata “istamta’a” itu berarti mut’ah, dan ujur berarti imbalan sebagai ganti dari istimta’yang diperoleh laki-laki dari pasangan mut’ahnya.

Jawab :
Telah berlalu penjelasan saya, bahwa ayat tersebut sama sekali tidak menjelaskan tentang mut’ah. Sebenarnya tidak ada satupun ayat dalam Al-qur’an menjelaskan tentang Mut’ah. Memang, mut’ah pernah dihalalkan, namun dalilnya bukan dari Al-qur’an akan tetapi Hadist, dan pada akhirnya diharamkan untuk selamanya, pembahasan untuk mula kehalalan mut’ah akan menyusul insya Allah.

kata-kata مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ  inilah yang menjadi qorinah (petunjuk) jelas, bahwa ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk mut’ah. Seorang yang telah beristri/bersuami bila melakukan perzinahan maka dia dikatakan sebagai “zani muhson” dan berhak menerima rajam, tetapi seorang (tidak punya istri/suami) walaupun memiliki pasangan mut’ah apabila berzina maka dia tidak dirajam. Inilah yang dijelaskan dalam kitab Al kafi, karya Al kulayni, juz.7.

“Abu Ali Al as’ariy dari Muhammad bin Abdul jabir dari shofwan dari ishaq bin ‘Ammar berkata : aku bertanya kepada Abu Ibrahim a.s. tentang seorang laki-laki bila dia berzina sedang dia memiliki perempuan hamba sahaya yang dapat dia “campuri”, apakah hamba sahaya tersebut menjadikannya (laki-laki) muhson[1]?. Abu Ibrahim berkata : ya, karena dia sudah memiliki sesuatu yang dapat mencukupinya (dari zina). Aku berkata : apabila dia memiliki perempuan hamba sahaya tapi dia mengaku tidak mencampurinya?. Abu Ibrahim menjawab : tidak dipercaya, ; aku berkata : apabila dia memiliki pasangan mut’ah, apakah perempuan pasangan mut’ahnya itu menjadikan (dia laki-laki) muhson?, Abu Ibrahim berkata : tidak, seorang laki-laki dikatakan muhson apabila memiliki hubungan yang daim (tetap)”.

Dari Ali dari Muhammad bin Isa dari Yunus dari Ishak bin Ammar berkata : aku berkata kepada Abu Ibrahim a.s. : seorang laki-laki yang memilki perempuan hamba sahaya apakah menjadikannya Muhson? Beliau berkata : ya, sesungguhnya seseorang menjadi muhson bila memilki sesuatu yang mencukupinya. Aku berkata : dan perempuan yang mut’ah (apakah demikian)? Beliau berkata : tidak, sesungguhnya muhson itu diperoleh dari hubungan yang daim (tetap). Aku berkata : (bagaimana) bila laki-laki tersebut mengaku tidak pernah mencampuri hamba sahayanya?. Abu Ibrahim berkata : tidak dipercaya, laki-laki tersebut tetap dikatakan muhson karena dia memilikinya”.

As syaikh Al majlisiy dalam kitabnya Mir’atul ‘Uquul, juz.23 menilai kedua riwayat tersebut diatas (riwayat pertama dan keenam) muwattsaq (terpercaya). Jadi kesimpulannya ayat 24 dari surat An nisa tidak boleh dijadikan dalil kehalalan mut’ah, karena bagaimana mungkin riwayat yang terpercaya dapat bertentangan dengan Al qur’an?

Boleh mut’ah dengan lebih dari empat perempuan

Allah s.w.t berfirman :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا (3(
“Dan jika kamu takut tidak berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (apabila kamu berkahwin dengan mereka), maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu bimbang tidak akan berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu) maka (berkahwinlah dengan) seorang sahaja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman”. [3]

Dari ayat diatas kita mengetahui bahwa seorang Muslim tidak diperkenankan memiliki lebih dari empat istri,  itupun dengan syarat harus dapat berlaku adil. Akan tetapi tidak demikian halnya dalam mut’ah, tidak ada batasan untuk memiliki pasangan mut’ah. sebagaimana keterangan dalam kitab Al kafi, karya Al kulayni, juz.5

1. Ali bin Ibrahim dari ayahnya, dari Ibn Abi Umair, dari Umar bin Udzaiynah, dari Abu Abdillah a.s. berkata : Aku berkata : berapakah (batasan) yang diperbolehkan dari mut’ah?; berkata Abu Abdillah : Mereka (perempuan yang dimut’ah) kedudukannya sama seperti hamba sahaya.[2]

2. Alhusain bin Muhammad, dari Ahmad bin Ishak Al asy’ariy, dari bakr bin Muhammad Al azdiy, berkata : aku bertanya kepada Abu Hasan a.s. tentang (perempuan) mut’ah? apakah dia termasuk dari empat[3]?; berkata Abu Abdillah : tidak.

3. Muhammad bin yahya, dari Ahmad bin Muhammad, dari Ibn Mahbub, dari Ibn riab, dari Zurarah bin A’yan, berkata: aku berkata: berapakah yang dihalalkan dari mut’ah?; berkata Abu Abdillah: berapapun yang kamu inginkan.

 Sedangkan kedudukan sanad ketiga riwayat tersebut menurut Al majlisiy, dalam kitabnya Miratul ‘Uqul, hadist pertama hasan, kedua dan ketiga sahih. Dijelaskan pula bahwa menurut pendapat yang masyhur tidak ada batasan jumlah perempuan yang boleh dimut’ah, kecuali pendapat Ibn Al barraj, tapi tidak ada dalil yang jelas yang mendukung pendapatnya.


Bersambung ke bahagian kedua...

Ditulis oleh: Ibnu Syaikh Al Saggaf
[1] “muhson/muhsonah” maksudnya laki-laki/perempuan yang berhak dirajam bila berzina.
[2] “seperti hamba sahaya” maksudnya; ialah seorang laki-laki boleh memilki pasangan mut’ah sebanyak yang dia inginkan.
[3] “termasuk dari empat” maksudnya; tergolong istri yang terbatas sampai empat, seperti yang dimaksud dalam surat An nsia ayat 4.

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Kerajaan