Select Menu

clean-5

Wisata

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» »Unlabelled » Jawaban Balik Kepada Atas Tanggapan Masalah Allah Duduk di Arsy - Bahagian 1



Tadi saya sempatkan membaca artikel tanggapan balik dari saudara Salman Ali yang merespon atas artikel saya yang pertama tentang masalah fitnah duduknya Allah di atas Arsy. Mohon maaf jika saya terlambat membalas jawaban baliknya, dikeranakan saya sibuk kerja di luar, dan ini pun saya sempatkan waktu sejenak untuk menulis bantahan.


Kesimpulan isi artikel bantahan dari saudara Salman Ali adalah bahwa saya :


1. salah fatal dalam menterjemahkan redaksi dari  tafsir ath-Thabari
2. Konteks yang salah dan kegagalan memahami teks at-tabari
3. Kegagalan memahami ikhtisar
4. Kurang melihat kepada kalam ulama lain 
5. Salah faham atas manhaj ibnu taimiyah
6. Tidak menterjemahkan bahagian yang penting



Baiklah saya akan menjawabnya secara tuntas dr semua hujjah saudara salman ali pada saya :


Komentar saudara salman ali yang mengatakan saya salah fatal dal menterjemahkan teks ath-thabari, maka saya jawab : Bukan salah fatal, akan tetapi sengaja saya ringkas untuk mempercepat tulisan, sehingga tulisannya tidak lengkap, namun maknanya tidak merubah subtansinya sama sekali.


Saudara Salman Ali mengatakan :


Sekali lagi Ustaz al-katibiy melakukan kesalahan yang serupa dalam menterjemah perkataan al-Tabari ini. Beliau menyebutkan :

“ Dan pendapat ini (maqam Mahmud bermakna syafa’at) adalah pendapat yang sahih, dalam menafsirkan ayat “ Semoga Allah membangkitkanmu dan memberikanmu maqam yang terpuji “ dari riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in, maka apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan Muhamamd Shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, asalah ucapan yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun pendapat “.

Sedangkan terjemahan yang sepatutnya adalah:

“ Dan pendapat ini (maqam Mahmud bermakna syafa’at) sekalipun ia adalah pendapat yang sahih, dalam menafsirkan ayat “ Semoga Allah membangkitkanmu dan memberikanmu maqam yang terpuji “ dari riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in,Maka sesungguhnya maka apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan Muhamamd Shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, adalah ucapan yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun pendapat “.

Saya jawab :

Tak ada yang salah dari makna terjemahan saya, hanya saja saya tidak menterjemahkannya secara lengkap dan sempurna sebagaimana terjemahan salman Ali.

Sekarang terlebih dahulu saya tampilkan makna dari ucapan ath-Thabari di atas, seupaya kita bisa memandang maksud terjemahannya, makna dari redaksi di atas adalah :

“ Sekalipun takwil maqam mahmud dengan syafa’at adalah pendapat yang sahih, akan tetapi apa yang dikatakan oleh Mujahid yaitu bahwa Allah mendudukkan Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, adalah pendapat yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun pendapat “.

Sekarang bandingkan dengan terjemahan saya di atas dan terjemahan salman ali...adakah terjemahan saya menyimpangkan dari makna yang sesungguhnya?? Tidak sama sekali, walaupun saya tidak menterjemahkannya secara lengkap (hanya global saja), namun sama sekali tidak menghilangkan subtansinya. Saya rasa, anak ibtida pun paham maksudnya.

Saudara Salman Ali mengatakan :

Maka perkataan al-Tabari tersebut sebenarnya beerti: Meskipun tafsiran yang benar adalah maqam mahmud beerti syafaat, namun ia tidaklah menolak tafsiran yang yang menyatakan maksudnya adalah Allah mendudukkan Muhammad diatas Arash-Nya kerana ini merupakan tafsiran tidak dibantah oleh khabar mahupun pendapat.

قول غَير مَدفوع صَحته، لَا مَن جَهة خَبر وَلا نَظر

Perkataan yang tidak tertolak kesahihannya samada disudut khabar (sanad dan matan) mahupun pandangan manusia.

Ayat ini tidaklah digunakan melainkan untuk menyebutkan tentang sesuatu yang sahih sanad dan matannya. Bukankah ini jelas menggambarkan pendirian al-Tabari yang tidak mendaifkan khabar dari Mujahid ini bahkan mensahihkannya melainkan bagi orang yang menghadapi masalah delusi sedangkan dia melihat pena lalu disangkanya pistol.

Saya jawab :

Pertama : Ucapan mujahid yang mengatakan Allah mendudukkan nabi Muhammad di atas Arsy-Nya, memang tidak ada satupun ulama yang menolaknya. Sebab berkaitan dengan fadhl Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak adanya nash yang memustahilkan terjadinya duduknya Nabi di atas Arsy. As’ariyyapun memahami hal ini, bahkan yang lebih dari ini sekalipun. Akan tetapi tidak berani menetapkannya, sebab tidak ada satu pun hadits sahih yang menyatakan hal itu (duduknya Nabi di atas Arsy).

Kedua : Ath-Thabari memang tidak mendhaifkan ucapan Mujahid, akan tetapi ia tidak mengambil ucapan itu melainkan lebih memilih ucapan jumhur ulama yang mentakwil dengan syafa’at.

Rupanya saudara Salman Ali tidak memahami metode tafsir imam ath-Thabari. Imam ath-Thabari di dalam menafsirkan suatu nash al-Quran, jika ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli takwil, maka beliau menyebutkannya secara global kemudian menyebutkan redaksi-redaksi ulama yang berbeda tersebut secara terperinci, atau terkadang sebaliknya. Kemudian jika sudah selesai menyebutkan ucapan-ucapan mereka, maka baru imam ath-Thabari mentarjih ucapan yang dianggapnya benar. Paling sering beliau mengucapkan :

والقول الذي هو عندي أولى بالصواب

“ Dan ucapan / pendapat yang menurutku lebih utama kebenarannya..”

Demikian juga dallam masalah tafsir maqam mahmud, setelah beliau menyebutkan beberapa pendapat, beliau memilih pendapat yang paling sahih atau paling utama untuk disahihkan atau dibenarkan. Yaitu pendapat yang mentakwil dengan syafa’at. Inilah yang beliau pegang.

Saudara Salman Ali mengatakan :

2. at-Tabari merujuk kepada riwayat Mujahid yang sama Seperti sebelumnya, at-Tabari mengunggulkan pandangan mengatakan maqam mahmud sebagai syafaat. Namun, dia juga mengakui riwayat yang menyatakan Allah mendudukkan nabi di arasy-Nya tidak ditolak kesahihannya.
 وهذا وَإن كَان هَو اَلصحيح مَن اَلقول فَي تَأويل قَوله عَسَى أَ آ ن يبعَثَكَ رَب كَ مَقاما مَآ حمُودا لَما ذَكرنا مَن اَلرواية عَن رَسولَ الله صَلى اَلله عَليه وَسلم وَأصحابه وَالتابعين، فَإن مَا قَاله مَجاهد مَن أَن اَلله يَقعد مَحمدا صَلى اَلله عَليه وَسلم عَلى عَرشه،َ قول غَير مَدفوع صَحته، لَا مَن جَهة خَبر وَلا نَظر

“ Dan pendapat ini (maqam Mahmud bermakna syafa’at) sekalipun ia adalah pendapat yang sahih, dalam menafsirkan ayat “ Semoga Allah membangkitkanmu dan memberikanmu maqam yang terpuji “ dari riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in,Maka sesungguhnya maka apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan Muhamamd Shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, adalah ucapan yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun pendapat “.

Komentar saya Ustaz al-katibiy memutarbelitkan pernyataan yang jelas di atas dengan mengatakan riwayat Mujahid disini bukanlah ‘Allah mendudukkan nabi di arasy bersamaNya’ tapi sekadar ‘Allah mendudukkan nabi di arasy’ Hanya kerana perkataan ‘ bersamaNYa’ tidak ada dalam teks maka mereka menganggap ia redaksi yang berbeza Beliau berkata, ‘Yang dibicarakan di sini adalah bukan duduknya Allah berasama Nabi di atas Arsy, melainkan duduknya Nabi di atas Arsy’ Persoalan kami, jika benar seperti yang dihujahkan, manakah riwayat Mujahid seperti seperti yang mereka katakan yakni dengan tanpa redaksi ‘bersamaNYA’?? Kita telah mengetahui dalam isu ini hanya dua saja riwayat yang dihujahkan yakni satunya berkaitan dengan duduknya Allah bersama nabi di arashNya dan riwayat berkaitan dengan syafaat Ini disebutkan sendiri oleh mereka pada awalnya

Saya jawab :


Memahami suatu ucapan ulama memang terkadang mengalami kesulitan jika tidak benar-benar memahami manhaj dan uslubnya terlebih dahulu, juga dibekali ilmu alat yang matang. Jika tidak maka seprti merekalah jadinya yang salah di dalam memahami ucapan ath-Thabari.


Sekarang kembali saya akan menuntun mereka setapak demi setapak untuk memahami ucapan yang mereka kesulitan memahaminya dan bahkan sudah berani menyimpulkan tanpa mau mengkaji lebih dalam lagi..


Secara kronologi, imam ath-Thabari menafsirkan maqam Mahmud dalam surat al-Isra tersebut dengan terlebih dahulu menampilkan pendapat-pendapat ulama yang mentakwilnya. Pertama beliau menampilkan pendapat jumhur ulama yang menafsirkannya dengan syafa’at dan menyebutkan dalil-dalil sahihnya. Kedua beliau menyebutkan pendapat ulama yang mengatakan bahwa maqam mahmud adalah Allah mendudukkan nabi Muhammad di atas Arsy bersama-Nya. Dan kemudian menyebutka dalil dari ucapan Mujahid.


Kemudian beliau menympulkan dengan mengomentarinya bahwa dari kedua pendapat yang paling diutamakan kebenarannya adalah pendapat jumhur ulama yaitu penafsiran syafa’at.


Pada komentar selanjutnyalah terjadi kesalah pahaman dari pihak salafi yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah.


وهذا وإن كان هو الصحيح من القول فـي تأويـل قوله عَسَى أنْ يَبْعَثَكَ رَبّكَ مَقاما مَـحْمُودا لـما ذكرنا من الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه والتابعين، فإن ما قاله مـجاهد من أن الله يُقعد مـحمدا صلى الله عليه وسلم علـى عرشه، قول غير مدفوع صحته، لا من جهة خبر ولا نظر

“ Dan pendapat ini (maqam Mahmud bermakna syafa’at) walaupun pendapat yang sahih, dalam menafsirkan ayat “ Semoga Allah membangkitkanmu dan memberikanmu maqam yang terpuji “ dari riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in, maka sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan Muhamamd Shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, asalah ucapan yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun pendapat “.


Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya memahami ucapan ini : “ Bahwa apa yang diucapkan Mujahid yaitu Allah mendudukkan Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy bersama-Nya, tidak bisa ditolak kesahihannya baik dari sudut khobar maupun pandangan “.


Sedangkan Asy’ariyyah memahami ucapan tersebut : “ Bahwa apa yang diucapkan Mujahid yaitu Allah mendudukkan Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, tidak bisa ditolak baik dari sudut khobar maupun pandangan “.


Pihak Ibnu Taimiyyah memahami bahwa ucapan ini berkaitan dengan duduknya Allah bersama nabi di atas Arsy. Sedangkan Asy’ariyyah memahami bahwa ucapan ini hanya berkaitan perkara duduknya nabi di atas Arsy.


Pembahasan :


Dari uslub dan manhaj ath-Thabari, diawal sekali sedang membicarakan tentang MAQAM MAHMUD (kedudukan terpuji) yang akan diperoleh oleh Nabi kelak di akherat. Maka pembahasan tentu terfokus pada persoalan Nabi. Walaupun di tengah-tengah pembahasan imam ath-Thabari sempat membawakan ucapan Mujahid secara utuh bahwa Allah mendudukkan Nabi di atas Arsy bersama-Nya. Diakhir pun beliau tetap memfokuskan pada persoalan duduknya Nabi di atas Arsy tanpa membahas duduknya Allah.


Dari segi nahwu, pada ucapan ath-Thabari terdapat huruf MIN yang posisinya berfaedah untuk BAYAN (penjelasan). Yakni lebih menjelaskan dan memfokuskan ucapan Mujahid yang mengatakan duduknya Nabi di atas Arsy bukan duduknya Allah bersama Nabi di atas Arsy. Oleh sebab itu ath-Thabari tidak menyebutkan duduknya Allah bersama Nabi.


Kalimat MIN berfaedah sebagai BAYAN yang terkadang menjelaskan jenis atau macamnya dari kalimat sebelumnya. Misal :

مهما تأتنا به من آية

“ Bagaimanapun kamu mendatangi kami dari ayat (keterangan/petunjuk) “.


Ayat ini membicarakan kedatangan Nabi Musa kepada Fir’aun. Dalam bentuk atau jenis apa kedatangan Nabi Musa? Dijelaskan dengan huruf MIN dan kalimat setelahnya yaitu aayah. Yakni kedatangan nabi Musa dengan membawa petunjuk..maka petunjuk (aayah) adalah menjelaskan dari kedatangannya yang masih secara global dalam kalimat. Shingga huruf MIN berfungsi memfokuskan dari persaoalan kedatangan nabi Musa yakni membawa berupa petunjuk.


Nah, demikian juga dalam redaksi ath-Thabari huruf MIN di situ berfaeah sebagai BAYAN yang berfungsi menjelaskan atau memfokuskan ucapan ath-Thabari yakni fokus kepada duduknya Nabi di atas Arsy. Jika seandainya dipahami dengan bersama duduknya Allah, maka rusaklah fungsi dari kalimat MIN tersebut. Inilah pemahaman yang sesuai uslub ath-Thabari dan juga sesuai uslub nahwiyyahnya.


Jika saudara bertanya : “ Lalu apa yang tidak boleh ditolak kesahihannya dari sudut khobar maupun pandangan ?? “.


Kita jawab : Sesuai uslub di atas, maka yang tidak boleh ditolak kesahihannya baik dari suduh khobar maupun pandangan, jelas perkara duduknya Nabi di atas Arsy, bukan duduknya Allah bersama Nabi di atas Arsy. Inilah yang difokuskan pembicaraannya oleh imam ath-Thabari yang sulit dipahami oleh kaum salafi pengikut Ibnu Taimiyyah.


Pembuktiannya :

Jika seandainya tidak boleh ditolak, lantas kenapa banyak ulama yang menolaknya?? Apa lantas ulama-ulama yang menolaknya itu berarti berpaham jahmiyyah??

Al-Wahidi menolak keras atsar Mujahid, ia mengatakan :

وهذا قول رذل موحش فظيع ، ونص الكتاب ينادي بفساد هذا التفسير

“ Ini adalah ucapan yang hina, menyalahi ketentuan bahasa dan buruk. Nash al-Quran menyeru dengan rusaknya penafsiran seperti ii “.[1]


Jahmiy kah al-Wahidiy??


Al-Hafidz adz-Dzahabi juga menolak atsar tersebut dan mengatakan hadits itu mungkar, walaupun ia mengakui banyak ulama yang menerimanya. Jahmiy kah adz-Dzahabi ?


Al-Fakhr ar-Razi dalam kitab Tafsirnya juga menolak atsar tersebut bahkan menjelaskan sudut-sudut kesalahannya yang begitu banyak. Jahmiy kah al-Fakh ar-Razi??


Asy-Syaukani dalam kitabnya Fath al-Qadir juga menolak atsar Mujahid, jahmiy kah beliau ??

Al-Imam Abdul Bar juga menolak atsar ini dan mengatakan bahwa para ulama menolaknya sebagaimana artikel saya yang pertama. Ucapan imam Abdul Barr juga dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Hajar. Apakah kedua imam ini berpaham jahmiy menurut anda ??


Albani pun menolak keras atsar ini dan mendhaifkannya, ia berkata :


وتفسير بعضهم لقوله تعالى : عسى أنْ يَبْعَثَكَ رَبُكَ مَقَاماً مَحْموداً بإقعاده على العرش مع مخالفته لما في الصحيحين وغيرهما أنّ المقام المحمود الشفاعة العظمى ، فهو تفسير مقطوع غير مرفوع عن النبي ، ولو صح ذلك مرسلاً لم يكن فيه حجة ، فكيف وهو مقطوع موقوف على بعض التابعين ؟! ، وإنّ عجبي لا يكاد ينتهي من تحمس بعض المحدثين السالفين لهذا الحديث الواهي والأثر المنكر

“ Dan tafsir sebagian mereka atas ayat : “ Semoga Tuhanmu mengutusmu kepada kedudukan yang terpuji “, dengan penafsiran : “ Duduknya di atas Arsy padahal bertentangan dengan yang ada dalam dua kitab sahih dan selainnya bahwa maqam mahmud adalah syafa’at al-Udzma. Maka penafsiran itu (duduknya di atas Arsy) adalah penafsiran yang terputus, tidak marfu’ dari Nabi. Seandainya sahih secara mursal, maka tidak bisa dijadikan hujjah. Bagaimana tidak, sedangkan atsar itu terputus dan terhenti atas sebagian tabi’in saja. Aku sungguh heran tak habis-habis kepada sebagian ahli hadits terdaulu yang menerima hadits lemah ini dan atsar mungkar ini “.[2]


Apakah Albani menurutmu berpaham jahmiy kerana menolak keras atsar Mujahid??


Kemudian saudara Salman Ali mengatakan :

Al-katibiy sendiri menyebutkan Tabari mengatakan ‘lebih utama’ pandangan mengatakan maqam mahmud sebagai syafaat. Pernyataan ‘lebih utama’ ini menjadi bukti at-Tabari juga menganggap riwayat Mujahid sebagai shahih cuma saja dia mentarjih pandangan yang menyatakan syafaat Lihat perkataannya, ‘وأولى القولين في ذلك بالصواب

Dan yang paling utama (dekat) diantara kedua-dua pandangan tersebut dengan kebenaran Perkataan ini telah diterjemahkan oleh ustaz al-katibiy sebagai , ‘Pendapat yang paling benarseolah-olah menunjukkan kepada pembaca pandangan Allah mendudukkan nabi di arasy-NYa sebagai tidak benar Penterjemahan ini adalah satu kesilapan fatal oleh ustaz al-katibiy. Mungkin juga kesalahan ini disebabkan Ustaz al-katibiyy tidak biasa berinterasi dengan kitab al-tabari justeru menyebabkan kegagalan beliau memahami gaya bahasa imam al-Tabari. Imam al-Tabari terkenal sebagai seorang alim yang banyak melakukan tarjih meskipun diantara dua qiraat yang mutawatir. Dan istilah yang sering digunakan oleh al-Tabari adalah Dan yang paling utama (dekat) diantara kedua-dua pandangan/tafsiran/qiraat.


Saya jawab :


Tak ada yang salah dari makna terjemahan saya, hanya saja saya tidak menterjemahkannya secara lengkap dan sempurna sebagaimana terjemahan salman Ali. Ia hanya membesar-besarkan perkara yang tidak fatal sama sekali agar terlihat oleh pembaca seolah saya sangat fatal menterjemahkannya.


Sebagaimana saya katakan diawal bahwa makna yang benar dari redaksi ath-Thabari tersebut adalah :


“ Sekalipun takwil maqam mahmud dengan syafa’at adalah pendapat yang sahih, akan tetapi apa yang dikatakan oleh Mujahid yaitu bahwa Allah mendudukkan Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, adalah pendapat yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun pendapat “.


Adakah yang salah dengan terjemahan yang saya terjemahkan secara global saja??


Kembali pada persoalan ucapan ath-Thabari : “ akan tetapi apa yang dikatakan oleh Mujahid yaitu bahwa Allah mendudukkan Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, adalah pendapat yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun pendapat “.


Di sini Salman Ali tidak jeli memahami konteks ucapan ath-Thabari, walaupun sudah saya jelaskan dalam artikel saya yang pertama.


Dalam ucapan beliau ini, sedang memfokuskan pembicaraan mengenai (berhubungan) dengan duduknya Nabi di atas Arsy saja. Dan inilah yang disahihkan ath-Thabari. Bukan duduknya Allah bersama Nabi. Perkara duduknya Nabi di atas Arsy, inilah yang tidak boleh ditolak dari sudut khobar ataupun pandangan.


Ath-Thabari menerima perkara duduknya Nabi di atas Arsy, kerana menurut beliau tidak mustahil itu terjadi dan kerana tidak adanya nash sahih yang memustahilkan hal itu. Cuba perhatikan lagi ucapan beliau :


فإن ما قاله مـجاهد من أن الله يُقعد مـحمدا صلى الله عليه وسلم علـى عرشه، قول غير مدفوع صحته، لا من جهة خبر ولا نظر
maka apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan Muhamamd Shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, asalah ucapan yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun pendapat “.[3]


Alasan beliau tidak mustahil, kerana menimbang Nabi seorang makhluk yang memiliki keutamaan besar. Seandainya ath-Thabari memfokuskan perkara duduknya Allah di atas Arsy, lalu kenapa alasan ath-Thabari terfokus pada kemustahilan?? Bukankah apa yang Allah lakukan tidak ada yang mustahil bagi-Nya?? Berpikirlah dengan jeli dan cerdas wahai saudara...


Saudara Salman Ali mengatakan :

Ustaz al-katibiy memutarbelitkan pernyataan yang jelas di atas dengan mengatakan riwayat Mujahid disini bukanlah ‘Allah mendudukkan nabi di arasy bersamaNya’ tapi sekadar ‘Allah mendudukkan nabi di arasy’ Hanya kerana perkataan ‘ bersamaNYa’ tidak ada dalam teks maka mereka menganggap ia redaksi yang berbeza Beliau berkata, ‘Yang dibicarakan di sini adalah bukan duduknya Allah berasama Nabi di atas Arsy, melainkan duduknya Nabi di atas Arsy’ Persoalan kami, jika benar seperti yang dihujahkan, manakah riwayat Mujahid seperti seperti yang mereka katakan yakni dengan tanpa redaksi ‘bersamaNYA’?? Kita telah mengetahui dalam isu ini hanya dua saja riwayat yang dihujahkan yakni satunya berkaitan dengan duduknya Allah bersama nabi di arashNya dan riwayat berkaitan dengan syafaat


Saya jawab :


Salman Ali tidak bisa mencerna dengan baik pembahasan yang dibahas oleh ath-Thabari.


Pertama : Di awal imam ath-Thabari sedang membicarakan kedudukan Nabi yang tinggi, yaitu maqam mahmud. Dan beliau juga membawakan hadits dari Mujahid bahwa maqam mahmud adalah syafa’at besar Nabi.


Kedua : ath-Thabari membawakan atsar Mujahid yang menafsirkan maqam mahmud dengan duduknya Nabi di atas Arsy bersamaNya.


Ketiga : ath-Thabari menerima ucapan Mujahid yang menyatakan duduknya Nabi di atas Arsy tanpa menyinggung duduknya Allah bersama Nabi.


Keempat : Dari sudut khobar maupun pandangan, perkara duduknya Nabi di atas Arsy, tidaklah mustahil dan juga tidak adanya nash yang memustahilkan hal itu. Jika seandainya ath-Thabri ikut memfokuskan pembahsn Allah duduk bersama-Nya, kenapa ath-Thabari mengambil alasan (ta’lil) tentang kemustahilan ?? bukankah apa yang diperbuat Allah tidak ada yang mustahil ??


Cuba perhatikan lagi ucapan ath-Thabari yang menampilkan ta’lil dari masalah ini :


وذلك لأنه لا خبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ولا عن أحد من أصحابه ، ولا عن التابعين بإحالة ذلك
“ Yang demikian itu (tidak boleh ditolak) karena tidak ada hadits dari Rasulullah, dari seorang pun sahabat maupun tabi’in yang memustahilkan hal tersebut


Jika seandainya ath-Thabari juga membahas duduknya Allah di atas Arsy, mungkinkah ath-Thabari beralasan demikian?? Sedangkan tidak ada yang mustahil bagi Allah ?? jelas sudah, bahwa yang difokuskan di sini adalah duduknya Nabi di atas Arsy, sebab perkara itu tidak mustahil, dan tidak ada satupun dari sahabat maupun tabi’in yang memustahilkan perkara tersebut. Renungkan hal lembut ini wahai saudara...


Salman Ali mengatakan :

Jika at-Tabari sedang berbincang tentang kedudukan nabi di arasy, kenapa beliau membincangkan tentang keadaan Allah di arash?? Kenapa tidak saja dia bahaskan bagaimana nabi didudukkan Allah di Arash-NYa??? Perbahasan ini jelas menunjukkan bahawa berdasarkan mana-mana tafsiran sekalipun maka Allah mendudukan Muhammad diatas Arashnya bersama-Nya adalah tidak mustahil samada bagi yang menganggap Allah tidak bersentuhan dengan makhluk-Nya , Allah tidak bersentuhan serta tidak pula terpisah dari makhluk-Nya ataupun Allah bersentuhan dengan mahkluknya. Kesemua perbahasan ini dapat dielakkan jika ustaz al-katibiy besifat amanah dalam menaqalkan maklumat serta membaca keseluruhan ucapan al-Tabari. Diperenggan seterusnya, al-Tabari membantah secara langsung orang yang menganggap Allah mendudukkan Muhammad diatas Arash tetapi tidak bersama-Nya. Malangnya bahagian yang sangat penting dalam perbahasan ini didiamkan oleh ustaz al-katibiy. Dan persoalan yang lebih penting, bagaimana Ustaz al-katibiy boleh mengatasnamakan imam al-Tabari satu tafsiran yang dibantah oleh Imam al-Tabari sendiri. Ini sesuatu yang ajaib , apatahlagi ustaz al-katibiy menyebutkan juga Ibnu Taimiyyah dengan mengatasnamakan imam ath-Thabari mengatakan bahwa nabi Muhammad akan Allah dudukkan bersama-Nya di atas Arsy. Ustaz al-katibiy dan sesiapa sahaja boleh membaca perenggan berikutnya dalam tafsir al-Tabari lalu sila beritahu siapa sebenarnya yang mengatasnamakan imam al-tabari , samada ibn taimiyah ataupun beliau sendiri..

Ibnu Taimiyyah dengan mengatasnamakan imam ath-Thabari mengatakan bahwa nabi Muhammad akan Allah dudukkan bersama-Nya di atas Arsy

فإن قال قائل : فإنا لا ننكر إقعاد الله محمدا على عرشه ، وإنما ننكر إقعاده

حدثني عباس بن عبد العظيم ، قال : ثنا يحيى بن كثير ، عن الجريري ، عن سيف السدوسي ، عن عبد الله بن سلام ، قال : إن محمدا صلى الله عليه وسلم يوم القيامة على كرسي الرب بين يدي الرب تبارك وتعالى ، وإنما ينكر إقعاده إياه معه ، قيل : أفجائز عندك أن يقعده عليه لا معه . فإن أجاز ذلك صار إلى الإقرار بأنه إما معه ، أو إلى أنه يقعده ، والله للعرش مباين ، أو لا مماس ولا مباين ، وبأي ذلك قال كان منه دخولا في بعض ما كان ينكره وإن قال : ذلك [ ص: 533 ] غير جائز ؛ كان منه خروجا من قول جميع الفرق التي حكينا قولهم ، وذلك فراق لقول جميع من ينتحل الإسلام ، إذ كان لا قول في ذلك إلا الأقوال الثلاثة التي حكيناها ، وغير محال في قول منها ما قال مجاهد في ذلك .


Jika ada orang yang menyatakan: Kami tidak mengingkari Allah mendudukkan Muhammad diatas arash-Nya tetapi yang kami mungkiri adalah duduknya Allah. Daripada Abbas bin Abdul Azim, dari Yahya bin Katsir , dari al-Jaziri dari saif al-Sadusi dari Abdullah bin Salam berkata: Sesungguhnya Muhammad S.A.W pada hari kiamat diatas kursi Tuhan dihadapannya Tuhan maha suci lagi maha tinggi. Sedangkan yang diingkari adalah mendudukkan Muhammad disi-Nya.

Maka dikatakan:(Sila bagi perhatian kepada jawapan al-tabari sejak lebih 1000 tahun dahulu terhadap cubaan ustaz al-katibiy mengatasnamakan al-Tabari) Apakah diharuskan disisi kamu Allah mendudukkannya diatas (Arash) bukannya disis-Nya. Jika itu diharuskan maka terjadikah pengakuan samada Allah mendudukkannya disisi-Nya ataupun kepada Allah mendudukkannya(semata). Allah terpisah dari Arash ataupun tidak bersentuhan , tidak pula terpisah. Andaikata kamu mengikut mana-mana tafsiran maka terjadi kemasukan kepada sesuatu yang asalnya dinafikan. Jika dia katakan (Allah mendudukkan Muhammad diatas Arash bukan bersama-Nya) tidak harus berlaku , maka itu adalah terkeluar dari pandangan kesemua kumpulan. Dan itu adalah percanggahan dengan perkataan kesemua kumpulan yang menganut Islam. Apabila tiada pandangan selain dari ketiga-tiga pandangan yang telah kami sebutkan dan ucapan Mujahid ini tidaklah mustahil berdasarkan mana-mana tafsiran.


Saya jawab :

Salman Ali begitu semangat dan merasa yakin, ucapan akhir ath-Thabari adalah bantahan saya sejak dahulu kala dari imam ath-Thabari. Sebelum memahami ucapan ath-Thabari yang akhir ini, maka ada baiknya anda memahami penjelasan beliau sebelumnya tentang pandangan-pandangan yang mengakui terjadinya duduknya Nabi di atas Arsy.


Ath-Thabari berkata :

فأما من جهة النظر ، فإن جميع من ينتحل الإسلام إنما اختلفوا في معنى ذلك على أوجه ثلاثة : فقالت فرقة منهم : الله عز وجل بائن من خلقه كان قبل خلقه الأشياء ، ثم خلق الأشياء فلم يماسها ، وهو كما لم يزل ، غير أن الأشياء التي خلقها ، إذ لم يكن هو لها مماسا ، وجب أن يكون لها مباينا ، إذ لا فعال للأشياء إلا وهو مماس للأجسام أو مباين لها . قالوا : فإذا كان ذلك كذلك ، وكان الله عز وجل فاعل الأشياء ، ولم يجز في قولهم : إنه يوصف بأنه مماس للأشياء ، وجب بزعمهم أنه لها مباين ، فعلى مذهب هؤلاء سواء أقعد محمدا صلى الله عليه وسلم على عرشه ، أو على الأرض إذ كان من قولهم إن بينونته من عرشه ، وبينونته من أرضه بمعنى واحد في أنه بائن منهما كليهما ، غير مماس لواحد منهما

“ Adapaun dari sisi pandangan / pendapat, maka semua yang mengaku Islam sesungguhnya hanya berbeda pendapat di dalam maknanya itu atas tiga pendapat : kelompok pertama mengatakan Allah baain dari mahkluk-Nya dan ada sebelum mencipta segala sesuatu, kemudian menciptakan segala sesuatu dan tidak menyentuhnya. Allah ada sebagaimana waktu azali, kecuali jika segala sesuatu yang Dia ciptakan tidak disentuhnya, maka keharusan adanya Allah bain darinya, karena tidak ada pencipta sesuatu kecuali dia menyentuh jisim atau terpisah darinya. Mereka berkata : “ Jika seperti itu, dan Allah Dzat yang mencipta segala sesuatu dan Allah tidak boleh disifati dengan menyentuh pada sesuatu, maka sebuah keharusan Allah terpisah darinya. Maka atas dasar madzhab mereka ini, baik Allah mendudukkan Nabi Muhammad di atas Arsy-Nya atau di bumi, karena dari ucapan mereka bahwa terpisahnya Allah dari Arsy-Nya dan terpisah-Nya dari bumi bermakna satu bahwa Dia terpisah dari keduanya , tidak menyentu salah satunya “. [4]


Kelompok pertama ini, tidak memustahilkan duduknya nabi di atas Arsy. Ath-Thabari menampilkan pendapat pertama yang memiliki keyakinan bahwa Allah juga memiliki had dan bainunah, akan tetapi kelompok ini terlepas dari lawazim jismiyyah (sifat-sifat lazim jasad). Keyakinan ini, sama persis dengan keyakinan Abul Ya’la dan az-Zaghuni. Bahkan Abul Ya’la mentakwil duduknya Allah di atas Arsy.

يقعد نبيه على عرشه بمعنى يدنيه من ذاته ويقربه منها

“ Mendudukan Nabi di atas Arsynya bermakna mendekatkan Nabi dari Dzat-Nya “.


Atas Dasar pemahaman kelompok pertama ini yang menetapkan adanya had dan bainunah bagi Allah akan tetapi mensucikan llah dari lawazim jismiyyah, maka duduknya Nabi di atas Arsy tidaklah mustahil.


Ath-Thbari melanjutkan :


وقالت فرقة أخرى : كان الله تعالى ذكره قبل خلقه الأشياء ، لا شيء يماسه ، ولا شيء يباينه ، ثم خلق الأشياء فأقامها بقدرته ، وهو كما لم يزل قبل خلقه الأشياء لا شيء يماسه ولا شيء يباينه ، فعلى قول هؤلاء أيضا سواء أقعد محمدا صلى الله عليه وسلم على عرشه ، أو على أرضه ، إذ كان سواء على قولهم عرشه وأرضه في أنه لا مماس ولا مباين لهذا ، كما أنه لا مماس ولا مباين لهذه .

“ Kelompok kedua berpendapat : “ Allah telah menyebutkan bahwa Allah sebelum mencipta sesuatu, tidak ada sesuatu yang menyentuh-Nya dan juga tidak ada sesuatu yang berpisah dari-Nya. Kemudian Allah mencipta segala sesuatu dan menegakkannya dengan qudrah-Nya. Dan Allah ada sebagaimana waktu azali. Maka atas adasar madzhab mereka ini juga, baik Allah mendudukkan Nabi Muhammad di atas Arsy-Nya atau di bumi. Karena bagi mereka Arsy dan bumi tidak menyentuh Allah dan juga tidak berpisah dari-Nya, sebagaimana Dia tidak menyentuh dan tidak berpisah dari ini semua “.[5]


Atas dasar pemahaman kelompok kedua ini yang juga pemahaman yang selama ini dipegang oleh Ahlus sunnah dari kalangan Asy’ariyyah bahwa Allah tidak bain dan tidak mumaasin (bersentuhan), tetap tidak memustahilkan terjadinya duduknya Nabi di atas Arsy. Dan Dzat Allah tetap sebagaimana sedia kala.

Ath-Thabari melanjutkan :


وقالت فرقة أخرى : كان الله عز ذكره قبل خلقه الأشياء لا شيء ولا شيء يماسه ، ولا شيء يباينه ، ثم أحدث الأشياء وخلقها ، فخلق لنفسه عرشا استوى عليه جالسا ، وصار له مماسا ، كما أنه قد كان قبل خلقه الأشياء لا شيء يرزقه رزقا ، ولا شيء يحرمه ذلك ، ثم خلق الأشياء فرزق هذا وحرم هذا ، وأعطى هذا ، ومنع هذا ، قالوا : فكذلك كان قبل خلقه الأشياء يماسه ولا يباينه ، وخلق الأشياء فماس العرش بجلوسه عليه دون سائر خلقه ، فهو مماس ما شاء من خلقه ، ومباين ما شاء منه ، فعلى مذهب هؤلاء أيضا سواء أقعد محمدا على عرشه ، أو أقعده على منبر من نور ، إذ كان من قولهم : إن جلوس الرب على عرشه ، ليس بجلوس يشغل جميع العرش ، ولا في إقعاد محمد صلى الله عليه وسلم موجبا له صفة الربوبية ، ولا مخرجه من صفة العبودية لربه ، كما أن مباينة محمد صلى الله عليه وسلم ما كان مباينا له من الأشياء غير موجبة له صفة الربوبية ، ولا مخرجته من صفة العبودية لربه من أجل أنه موصوف بأنه له مباين ، كما أن الله عز وجل موصوف على قول قائل هذه المقالة بأنه مباين لها ، هو مباين له . قالوا : فإذا كان معنى مباين ومباين لا يوجب لمحمد صلى الله عليه وسلم الخروج من صفة العبودة والدخول في معنى الربوبية ، فكذلك لا يوجب له ذلك قعوده على عرش الرحمن ، فقد تبين إذا بما قلنا أنه غير محال في قول أحد ممن ينتحل الإسلام ما قاله مجاهد من أن الله تبارك وتعالى يقعد محمدا على عرشه

“ kelompok ketiga : “ Mengatakan bahwa Allah ketika belum mencipta sesuatu, tidak ada sesuatu yang menyentuh atau bain dari-Nya, kemudian Allah mencipta sesuatu dan mencipta Arsy untuk diri-Nya yang Allah beritsiwa duduk di atas-Nya dan menjadikan Allah menyentuhnya. Sebagaimana ketika Allah belum mencipta, maka tidak ada sesuatu yang ia beri rezeki atau mengharamkannya, kemudian mencipta sesuatu, maka Allah memberikan rezeki kepada ini dan mengharamkan kepada ini. Mereka berkata : “ Allah sebelum mencipta sesuatu tidak ada yang menyentuhnya atau pun bain darinya, lalu mencipta sesuatu maka Allah Bersentuhan dengan Arsy dengan duduk-Nya tanpa makhluk lainnya. Dia Allah bersentuhan dengan sesuatu yang Allah kehendaki dan bain dari sesuatu yang Allah kehendaki “. Maka atas dasar madzhab mereka, baik Allah mendudukkan Nabi Muhammad di atas Arsy atu pun di atas mimbar dari cahaya, karena pendapat mereka adalah sesungguhnya duduknya Allah di atas Arsy bukan duduk yang menempati semua Arsy-Nya, dan bukan berarti dengan mendudukkannya Nabi Muhammad menjadikan Nabi Muhammad memiliki sifat rububiyyah, dan tidak mengeluarkannya dari sifat ubudiyyah, sebagaimana pisahnya Nabi Muhammad mengharuskkan memiliki sifat rububiyyah dan mengeluarkannya dari sifat ubudiyyah karena dia disifati dengan bainunah (terpisah/butuh makhluk). Sebagaimana atas dasar pendapat mereka ini bahwa Allah disifati dengan bainunah darinya maka Allah juga bainunah darinya. Jika makna bainunah seperti itu dan bainunah tidak menjadikan bagi Muhammad keluar dari sifat ubudiyyah dan masuk pada sifat rububiyyah, demikian juga tidak menjadikannya duduk di atas Arsy Allah”. Maka menjadi jelas dari apa yang kami katakan bahwasanya tidak mustahil ucapan orang yang mengaku Islam dari apa yang diucapkan Mujahid berupa ucapan bahwa Allah mendudukkan nabi Muhammad di atas Arsy-Nya. “ [6]  


Berdasarkan pemahaman kelompok ketiga ini yang memiliki keyakinan bahwa Allah bersentuhan dengan Arsy, juga tidak memustahilkan perkara duduknya Nabi di atas Arsy. Maka ath-Thabari menyimpulkan bahwa dari ketiga kelompok Islam yang memiliki pemahaman berbeda-beda, tetap tidak memustahilkan perkara duduknya Nabi di atas Arsy, ini dari sudut pandangan masing-masing (nadzhar).


Pembahasan dilanjutkan oleh imam ath-Thabari yang menolak duduknya Allah bersma Nabi di atas Arsy. Beliau mengatakan :


فإن قال قائل : فإنا لا ننكر إقعاد الله محمدا على عرشه ، وإنما ننكر إقعاده

حدثني عباس بن عبد العظيم ، قال : ثنا يحيى بن كثير ، عن الجريري ، عن سيف السدوسي ، عن عبد الله بن سلام ، قال : إن محمدا صلى الله عليه وسلم يوم القيامة على كرسي الرب بين يدي الرب تبارك وتعالى ، وإنما ينكر إقعاده إياه معه ، قيل : أفجائز عندك أن يقعده عليه لا معه . فإن أجاز ذلك صار إلى الإقرار بأنه إما معه ، أو إلى أنه يقعده ، والله للعرش مباين ، أو لا مماس ولا مباين ، وبأي ذلك قال كان منه دخولا في بعض ما كان ينكره وإن قال : ذلك غير جائز ؛ كان منه خروجا من قول جميع الفرق التي حكينا قولهم ، وذلك فراق لقول جميع من ينتحل الإسلام ، إذ كان لا قول في ذلك إلا الأقوال الثلاثة التي حكيناها ، وغير محال في قول منها ما قال مجاهد في ذلك .



“ Jika ada orang yang menyatakan: Kami tidak mengingkari Allah mendudukkan Muhammad diatas arash-Nya tetapi yang kami mungkiri adalah duduknya Allah.

Telah menceritkan padaku Abbas bin Abdul Azim, dari Yahya bin Katsir , dari al-Jariri dari saif al-Sadusi dari Abdullah bin Salam berkata: Sesungguhnya Muhammad S.A.W pada hari kiamat diatas kursi Tuhan dihadapannya Tuhan maha suci lagi maha tinggi. Sedangkan yang diingkari adalah mendudukkan Muhammad disi-Nya. Maka dikatakan : Apakah dibolehkan disisi kamu Allah mendudukkannya diatas (Arash) bukannya disis-Nya. Jika itu dibolehkan maka terjadikah pengakuan samada Allah mendudukkannya disisi-Nya ataupun kepada Allah mendudukkannya (semata). Allah terpisah dari Arash ataupun tidak bersentuhan , tidak pula terpisah. Andaikata kamu mengikut mana-mana tafsiran maka terjadi kemasukan kepada sesuatu yang asalnya dinafikan. Jika dia katakan (Allah mendudukkan Muhammad diatas Arash bukan bersama-Nya) tidak harus berlaku , maka itu adalah terkeluar dari pandangan kesemua kumpulan. Dan itu adalah percanggahan dengan perkataan kesemua kumpulan yang menganut Islam. Apabila tiada pandangan selain dari ketiga-tiga pandangan yang telah kami sebutkan dan ucapan Mujahid ini tidaklah mustahil berdasarkan mana-mana tafsiran.”


Ath-Tthabari memerinci pendapat orang yang mengatakan Allah tidak duduk bersama Nabi. Jika dikatakan Allah duduk bersama nabi, maka ath-Thabari memaknainya bahwa Allah mubayin dan tidak bersentuhan dengan Arsy. Pemahaman seperti ini sangat sesuai dengan pemahaman kelompok Asy’ariyyah yang meyakini bahwa Allah tidak bersentuhan dengan Arsy sebagaimana Al-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi (w 476 H) mengatakan :


وَاِنَّ اِسْتِوَاءَهُ لَيْسَ بِاسْتِقْرَارٍ وَلاَ مُلاَصَقَةٍ لِأَنَّ اْلاِسْتِقْرَارَ وَاْلمُلاَصَقَةَ صِفَةُ اْلأَجْسَامِ اْلمَخْلُوْقَةِ، وَالرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ قَدِيْمٌ أَزَلِيٌّ، فَدَلَّ عَلىَ أَنَّهُ كَانَ وَلاَ مَكاَنَ ثُمَّ خَلَقَ اْلمَكاَنَ وَهُوَ عَلىَ مَا عَلَيْهِ كَانَ

“ Dan sesungguhnya istiwa Allah tidaklah dengan istiqrar (bersemayam / menetap) dan mulasaqah (menempel), karena istiqrar dan mulasaqah adalah sifat jisim makhluk sedangkan Allah Ta’aala Maha Dahulu lagi Maha Azali. Maka hal ini menunjukkan bahwa Allah itu ada tanpa tempat kemudian menciptakan tempat dan Allah masih tetap seperti semula, ada tanpa tempat “.[7]


Syaikh al-‘Arif billah Sayyid Ahmad ar-Rifa’i asy-Syafi’i (w 578 H) berkata :

وَأَنَّهُ مُسْتَوٍ عَلىَ اْلعَرْشِ عَلىَ اْلوَجْهِ الَّذِي قَالَهُ وَبِالْمَعْنىَ الَّذِي أَرَادَهُ، اِسْتِوَاءً مُنَزَّهًا عَنِ اْلمُمَاسَةِ وَاْلاِسْتِقْرَارِ وَالتَّمَكُّنِ وَالتَّحّوُّلِ وَاْلاِنْتِقَالِ، لاَ يَحْمِلُهُ اْلعَرْشُ، بَلِ اْلعَرْشُ وَحَمَلَتُهُ مَحْمُوْلُوْنَ بِلُطْفِ قُدْرَتِهِ، وَمَقْهُوْرُوْنَ فيِ قَبْضَتِهِ، وَهُوَ فَوْقَ اْلعَرْشِ، وَفَوْقَ كُلِّ شَىْءٍ إِلىَ تُخُوْمِ الثَّرَى، فَوْقِيَّةٌ لاَ تَزِيْدُهُ قُرْبًا إِلىَ اْلعَرْشِ 
وَالسَّمَاءِ بَلْ هُوَ رَفِيْعُ الدَّرَجَاتِ عَنِ اْلعَرْشِ كَمَا أَنَّهُ رَفِيْعُ الدَّرَجَاتِ عَنِ الثَّرَى

“ Dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan cara yang Allah firmankan dan dengan makna yang Allah kehendaki, beristiwa dengan istiwa yang suci dari persentuhan, persemayaman, pertempatan, perubahan dan perpindahan. Tidak dibawa oleh Arsy akan tetapi Arsy dan para malaikat pembawanya dibawa oleh kelembutan qudrah-Nya, tergenggam dalam gengaman-Nya. Dia di atas Arsy dan di atas segala sesuatu hingga ujung angkasa dengan sifat atas yang tidak menambahinya dekat kepada Arsy dan langit, akan tetapi Dia Maha tinggi derajat-Nya dari Arsy sebagaimana Dia Maha tinggi derajat-Nya dari angkasa “.[8]


Hal ini sangat berbeda jauh dengan keyakinan Ibnu Taimiyyah dan kaum wahabi-salafi yang meyakini Allah bersemayam dan duduk di atas Arsy-Nya. Sebgaimana Ibnu utsaimin katakan :

“ Ahlus sunnah wal-Jama’ah mengimani bahwa Allah beristiwa di atas Arsy dengan istiwa yang layak dengan keagungan Allah dan tidak menyerupai istiwa makhluk-Nya. Jika kamu bertanya : Apa makna istiwa bagi Ahlus sunnah ? Maka maknanya adalah ketinggian dan bersemayam “.[9]


Abdul Aziz ar-Rajihi dengan kata pengantar syaikh Shaleh ibnu al-Fauzan berkata :


“ Istiwa tidak ada lain hanyalah bermakna duduk. Ini adalah pendapat yang sahih; tidak ada debu sedikitpun “[10]


Kemudian ath-Thabari menjawab orang yang menolak duduknya Nabi bersama Allah, ia mengatakan bahwa penolakan itu keluar dari ketiga kelompok Islam yang telah beliau sebutkan sebelumnya. Sedangkan asy’ariyyah sama sekali tidak mengingkari duduknya Nabi di atas Arsy, akan tetapi mengingkari duduknya Allah bersama nabi di atas Arsy dengan duduk yang bersentuhan dengan Arsy kerana hal ini merupakan sifat lazim makhluk-Nya yang disucikan dari sifat Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi.


Salman Ali mungkin akan kaget dan heran jika mendengar kisah awal mula imam ath-Thabari mendapat cobaan dari ulama hanabilah hingga beliau dilempari batu, kerana menolak duduknya Nabi bersma Allah di atas Arsy, padahal kisah ini sangatlah masyhur dan diceritakan oleh beberapa ulama dalam kitab-kitabnya.  


وفي بعض المجامع أن قاصا جلس ببغداد فروى في تفسير قوله تعالى { عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا } أنه يجلسه معه على عرشه فبلغ ذلك الإمام محمد بن جرير الطبري فاحتد من ذلك وبالغ في إنكاره وكتب على باب داره سبحان من ليس له أنيس ولا له في عرشه جليس فثارت عليه عوام بغداد ورجموا بيته بالحجارة حتى انسد بابه بالحجارة وعلت عليه


“ Di sebagian perkumpulan, sesungguhnya ada seorang pencerita duduk bermajlis di Baghdad, lalu ia membawakan riwayat tafsir ayat “ Semoga Tuhanmu membangkitkanmu dengan kedudukan yang terpuji “, sesungguhnya Allah akan mendudukkan Nabi bersamaNya di atas Arsy-Nya. Maka kabar ini sampai didengar oleh imam ath-Thabari sangat marah dari hal itu dan sangat mengingkarinya, maka beliau menulis di pintu rumahnya : “ Maha Suci Dzat yang tidak memiliki teman dekat (anis) dan tidak memiliki teman duduk di atas Arsy-Nya “. Maka kaum awam Baghdad terprofokasi dan melempari beliau dengan batu hingga pintu rumahnya penuh dengan batu yang menutupinya “.[11]


Imam Suyuthi pun membawakan kisah yang sama ini dalam kitabnya :


“ Di sebagian perkumpulan, sesungguhnya ada seorang pencerita duduk bermajlis di Baghdad, lalu ia membawakan riwayat tafsir ayat “ Semoga Tuhanmu membangkitkanmu dengan kedudukan yang terpuji “, sesungguhnya Allah akan mendudukkan Nabi bersamaNya di atas Arsy-Nya. Maka kabar ini sampai didengar oleh imam ath-Thabari sangat marah dari hal itu dan sangat mengingkarinya, maka beliau menulis di pintu rumahnya : “ Maha Suci Dzat yang tidak memiliki teman dekat (anis) dan tidak memiliki teman duduk di atas Arsy-Nya “. Maka kaum awam Baghdad terprofokasi dan melempari beliau dengan batu hingga pintu rumahnya penuh dengan batu yang menutupinya “.[12]


Yaqut al-Hamawi juga menyebutkan kisah ini dalam kitabnya :

أن الإمام الطبري قال: وأما حديث الجلوس على العرش فمحال، ثم أنشد: سبحان من ليس له أنيس, ولا له في عرشه جليس

“ Sesungguhnya imam ath-Thabari berkata : “ Adapun hadits julus (duduk) di atas Arsy, maka itu adalah mustahil, kemudian beliau menyennadungkan syair : “ Maha Suci Dzat yang tidak memiliki teman dekat dan tidak memiliki teman duduk di atas Arsy-Nya “.[13]


Al-Hafidz Ibnu Katsir pun menceritakan kronologi yang mirip sebagai berikut :


وقعت فتنة ببغداد بين أصحاب أبي بكر المروذي الحنبلي، وبين طائفة من العامة اختلفوا في تفسير قوله تعالى [عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا] فقالت الحنابلة: يجلسه معه على العرش. وقال الآخرون: المراد بذلك الشفاعة العظمى. فاقتتلوا بسبب ذلك وقتل بينهم قتلى، فإنا لله وإنا إليه راجعون. وقد ثبت في صحيح البخاري أن المراد بذلك: مقام الشفاعة العظمى، وهي الشفاعة في فصل القضاء بين العباد، وهو المقام الذي يرغب إليه فيه الخلق كلهم، حتى إبراهيم، ويغبطه به الأولون والآخرون

“ Telah terjadi suatu fitnah di Baghdad antara ashab (pengikut) Abu Bakar al-Marwadzi al-Hanbali dan kelompok umum, yang berbeda pendapat tentang tafsir ayat : “ Semoga Tuhanmu mengutusmu kepada kedudukan yang terpuji “, ulama Hanabilah menafsirkannya bahwa Allah kelak akan mendudukkannya bersama-Nya di atas Arsy. Kelompok yang lain mengatakan : Yyang dimaksud dengan itu adalah syafa’at udzma. Maka mereka saling menyerang dengan sebab itu, dan terjadilah peperangan yang menewaskan beberapa orang, inaa lillahi wa inaa ilaihi raaji’uun. Sungguh telah tetap di dalam sahih al-Bukhari bahwa yang dimaksud demikian adalah syafa’at udzma, yaitu syafa’at di dalam penentuan qadha di antara hamba-Nya. Itu lah maqam yang diinginkan oleh semua makhluk hingga nabi Ibrahim dan juga diinginkan oleh smeua makhluk terdahulu dan sekarang “.[14]


Bagaimana tanggapan wahabi atas fakta ini ??


Saudara Salman Ali mengatakan :

Ustaz al-katibiy telah melakukan satu lagi kesalahan yang besar apabila mendatangkan hujjah ini. Kaedah kritis mensyaratkan bahawa kesimpulan umum hanya boleh dilukis berdasarkan kajian induktif bukannya kenyataan seorang manusia. Begitu juga perkataan manusia difahami sebagaimana kenyataan itu diucapkan melainkan ada qarinah yang menunjukkan sebaliknya. Namun begitu kesalahan ini sering dilakukan oleh orang yang mempunyai kemahiran kritis yang tebatas. Mereka menganggap perkataan In Abdil Bar ini sebagai kesimpulan umum dari perndirian salaf, sama juga halnya dengan orang yang menganggap tafsiran al-Baihaqi sebagai kata putus dalam mentafsirkan kenyataan Abdullah bin Mubarak tentang nisbahkan had bagi Allah serta pandangan keras imam al-Syafi’e tentang sufi, begitu juga halnya dengan orang yang menganggap tafsiran Imam al-Tahawi sebagai maksud sebenar Abu Hanifah dalam masalah tauhid. Ini semua adalah contoh2 kelowongan dalam metod kritis.

Saya jawab :

Nampak siapa di sini yang tidak mengkaji secara induktif tentang persoalan ini. Setelah saya jelaskan sebelumnya, maka jelaslah bahwa atsar Mujahid banyak ditolak oleh ulama besar dengan berbagai macam hujjah yang kuat bukan hanya imam Abdul Barr saja, di sana ada al-Wahidi, al-fakhr ar-Raazi, Ibnul Mua’llim al-Qursayi, asy-Syaukani, adz-Dzahabi, as-Sayuthi, Albani dan lainnya. Apakah anda akan mengatakan para ulama besar ini berpaham jahmiyyah ?? imam Abdul Barr bukan lah orang bodoh yang tidak memahami persoalan ini. Kecuali jika pihak wahabi mengaku dirinya lebih paham dari imam Abdul Barr.


Untuk persoalan Abdullah bin Mubarak, imam Syafi’i  dan imam Thahawi, maka tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan ucapan imam Abdul Barr dalam masalah ini. Dan saya tidak akan membahas persoalan al-Baihaqi yang mengoemntari hal itu secara ilmiyyah dan obejktif. Saya pun lebih memilih kajian al-Baihaqi dalam masalah-masalah itu ketimbang pernyataan saudara Salman Ali atau wahabi lainnya yang keilmuan al-Baihaqi tidak diragukan oleh para ulama sesudahnya ketimbang ulama salafi yang datang belakangan.


Salman Ali mengatakan :

Pihak ARG hanya fokus kepada at-Tabari tidak menjawab berkenaan ulama selain dari mereka seperti yang disebutkan dalam video.

Bukan Mujahid saja yang mensahihkannya bahkan telah disahihkan ramai ulama lainnya sehingga ada yang menyatakan tidak menolaknya melainkan jahmiyyah. Imam Marwadzi merupakan orang yang amat fanatik terhadap pendapat Mujahid ini dan mengarang kitab khusus untuk membela pendapat mujahid seperti yang disebutkan Ibnu Kathir Berikut ialah senarai sebahagian dari mereka yang mensahihkan riwayat ini, keseluruhan perbahasan tentang bab ini boleh didapati dari kitab al-Sunnah oleh Abu Bakar ibn Khallal Utsman bin Abi Syaibah :

حَكم مَن رَد هَذا اَلحديث أَن يَنفى ،َ لَا يَرد هَذا اَلحديث إَلا اَلزنادقة

-Hukuman keatas orang yang menolak hadith ini(Laits dari Mujahid) adalah dia dibuang negeri, tiada yang menolak hadith ini melainkan golongan zindiq –al-Sunnah oleh Abu bakar ibn Khallal)

Harun bin Maaruf :

»َ هَذا اَلحديث تَرده اَلزنادقة «
Inilah Hadith yang dibantah oleh golongn Zindiq

Ishak bin ibrahim rahawaih
»َ مَن رَد هَذا اَلحديث فَهو جَهمي «َ :َ قال إَسحاق بَن إَبراهيم بَن رَاهويه لَأبي عَلي اَلقوهستاني
Sesiapa yang menolak hadith ini ,maka dia merupakan Jahmi

Abu Bakar bin Hamad أبو
 بَكر بَن حَماد :َ مَن ذَكرت عَنده هَذه اَلأحاديث فَسكت عَنها فَهو مَتهم ،َ فَكيف مَن رَدها وَطعن فَيها ،َ أَو تَكلم فَيها
Sesiapa yang disebutkan disisnya hadith-hadith ini lalu dia diamkan maka dia dituduh, bagaimana pula keadaan orang yang membantahnya dan mengkritiknya ataupun ebrkata-kata(yang buruk) tentangnya.

Ibn Mus’ab:
 سمعت اَبن مَصعب ،َ قَرأ هَذه اَلْية :َ )َ عَسى أَن يَبعثك رَبك مَقاما مَحمودا قَال :َ نَعم ،َ يَقعده مَعه عَلى اَلعرش يَوم اَلقيامة ؛ََ
ليري اَلخلائق مَنزلته لَديهَ
Benar didudukkan disisi-Nya diatas Arash pada hari kiamat untuk menjadikan para makhluk melihat keududkannya disis Allah

Ibrahim al-Asbahani

 وقال إَبراهيم اَلأصبهاني :َ هَذا اَلحديث صَحيح ثَبت ،َ حَدث بَه اَلعلماء مَنذ سَتين وَمائة سَنة ،َ لَا يَرده إَلا أَهل اَلبدع ،َ وَطعنَ
على مَن رَدهَ

Ini adalah hadith sahih dan tsabit. Para ulama telah menyampaikannya sejak lebih dari 60 tahun. Tidaklah ada yang menolaknya melainkan ahli bid’ah lalu dia mengkritik sesiapa yang menolak hadith ini.

Abu Qilabah

 قال أَبو قَلابة :َ لَا يَرد هَذا إَلا أَهل اَلبدع وَالجهمية
Tidak ada yang menolak hadith ini melainkan Ahli bid’ah dan jahmiyah.

Al-JAziri

قيل لَلجريري :َ إَذا كَان عَلى كَرسي اَلرب فَهو مَعه ،َ قَال :َ نَعم ،َ وَزادني إَبراهيم اَلأصبهاني فَي هَذا اَلحديث ،َ عَن عَباسَ
بإسناده ،َ قَال :َ قَال اَلجريري :َ وَيحكم ،َ مَا فَي اَلدنيا حَديث أَقر لَعيني مَن هَذا اَلحديث

Ditanyakan kepadanya: jika Nabi berada diatas kursi Tuhan maka adakah dia berrsama tuhan. Lalu dia menjawab : ya Tiada diatas dunia ini perkataan yang leih menyejukan mataku dari hadith ini.

Abdullah bin Salam

 هذا أَقر حَديث فَي اَلدنيا لَعيني
Inilah hadith yang paling menyejukkan mataku didunia Aswad bin Salim

Saya jawab :

Riwayat yang disebutkan oleh Salman Ali di atas tanpa menunjukkan sumber refrensi yang jelas, adalah berkaitan dengan kelompok jahmiyyah yang menolak ISTIWA Allah di atas Arsy juga sebagian kelompok yang menolak fadhilah kedudukan Nabi duduk di atas Arsy-Nya. Sedangkan tidak ada satu pun kelompok Asy’ariyyah yang menolak ISTIWA Allah di atas Arsy, hanya saja mereka menyerahkan makna ISTAWA kepada Allah sesuai kemuliaan dan keagungan sifat Allah tanpa takyif dan tasybih menurut salah satu metode Asy’ariyyah. Sebagaimana telah berlalu, bahwasanya Asya’riyyah tidaklah menolak mungkinnya duduknya Nabi di atas Arsy, sebab hal itu tidak mustahil terjadi dan juga tidak adanya nash sahih yang memustahilkan hal tersebut. Dan Asy’ariyyah menetapka sifat ISTIWA dengan dua metode yaitu TAFWDIH MAKNA WAL KAIFIYYAH dan TAKWIL TAFSHILI.


Maka yang ditahdzir oleh ulama yang menerima hadits Mujahid adalah kaum Jahmiyyah yang menolak ISTIWA Allah di atas Arsy, berbeda dengan Ays’ariyyah. Dan juga kaum zanadiqah yang menolak keutamaan Nabi mungkinnya duduk di atas Arsy.


Oleh sebab itu disebutkan dalam kitab al-Uluw al-Hafidz Azd-Ddzahabi :


أن الفقيه أبا بكر أحمد بن سليمان النجاد المحدث قال فيما نقله عنه القاضي أبو يعلى الفراء لو أن حالفا حلف بالطلاق ثلاثا أن الله يقعد محمدا على العرش واستفتاني لقلت له صدقت وبررت

“ Sesungguhnya al-Faqih Abu Bakar Ahmad bin Ssulaiman an-Najjad al-Muhaddits berkata : “ Seandainya seorang penyumpah bersumpah bahwa dia akan mentalak istrinya tiga kali dengan sumpah bahwa Allah mendudukan Muhammad di atas Arsy-Nya, dan meminta fatwa padaku, maka aku akan jawab : engkau benar “.

Maka adz-Ddzahabi menanggapinya :


 فأبصر حفظك الله من الهوى كيف آل الغلو بهذا المحدث إلى وجوب الأخذ بأثر منكر واليوم فيردون الأحاديث الصريحة في العلو بل يحاول بعض الطغام أن يرد قوله تعالى الرحمن على العرش استوى

“ Maka sadarlah engkau –semoga Allah menjagamu dari hawa nafsu- bagaimana muhaddits ini begitu ghuluw (berlebihan) kepada wajibnya memegang atsar mungkar ini, hari ini mereka menolak hdits-hadits jelas tentang keluhuran Allah, bahkan sebgian pendurka merubah firman Allah Ta’aa : “ Sesungguhnya Allah ar-Rahman beristiwa di atas Arsy “.[15]

Dalam kitab as-Sunnah karya al-Khallal sendiri menyebutkan :

وسمعت أبا داود يقول من أنكر هذا فهو عندنا متهم، وقال: ما زال الناس يحدثون بهذا يريدون مغايظة الجهمية وذلك أن الجهمية ينكرون أن على العرش شيء

“ Aku mendengar Abu Daud berkata : “ Barangsiapa yang mengingkari ini, maka dia bagi kami adalah patut dicurigai. Dan dia berkata : “ Para ulama senantiasa membawakan hadits ini, bertujuan untuk membuat murka kelompok jahmiyyah, kerana jahmiyyah, mengingkari bahwa di atas Arsy ada sesuatu “. [16]

Al-Khallal juga mengatakan :


قرأت كتاب السنة بطرسوس مرات في المسجد الجامع وغيره سنين فلما كان في سنة اثنتين وتسعين قرأته في مسجد الجامع وقرأت فيه ذكر المقام المحمود فبلغني أن قوما ممن طرد إلى طرسوس من أصحاب الترمذي المبتدع أنكروه وردوا فضيلة رسول الله وأظهروا رده

“ Aku membaca kitab as-Sunnah di Thursus bebrapa kali di masjid Jami’ dan selainnya bertahun-tahun. Ketika tahun 92, aku membacanya di masjid Jami’ dan aku menyebutkan maqam mahmud. Lalu sampailah kabar padaku bahwa ada satu kaum yang diusir daro Thursus dari murid-murid at-Tirmidzi ahli bid’ah yang mengingkari keutamaan Rasulullah dan menampakkan penolakannya..”[17]


Inilah yang dipahami dan dimaksud oleh para ulama atas pembelaan atsar Mujahid bukan sebagaimana dipahami kaum wahabi. Na’asnya mereka tidak jeli dan mungkin tidak paham ucapan para ulama tersebut.

Bersambung pada bahagian kedua tentang tanggapan Salman Ali bahwa saya tida memahami kronologi masalah duduknya Allah bersama nabi di atas Arsy. Dan sejarah Asy’ariyyah.


.













[1] Tafsir al-Kabir : 21/33, cetakan Dar al-Fikr –Beirut, th : 1405 H.
[2] Mukhtashar al-Uluw : 16, cetakan al-Maktab al-Islami-Beirut th : 1415 H.
[3] Tafsir ath-Thabari juz 15 halaman 100 atau jilid ke tujuh halaman 5240 cetakan Dar as-Salam.
[4] Tafsir ath-Thabari juz 15 halaman 100 atau jilid ke tujuh halaman 5240 cetakan Dar as-Salam.
[5] Idem
[6] Tafsir ath-Thabari juz 15 halaman 102 atau jilid ke tujuh halaman 5242 cetakan Dar as-Salam.
[7]  Lihat Aqidah asy-Syairazi dalam muqaddimah Syarh Luma’nya : 1/101
[8] Al-Burhan al-Muayyad : 43
[9]  Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ibnu Utsaimin : 375
[10] Qudum Kataibul Jihad, Abdul Aziz ar-Rajihi : 101
[11] Al-Asrar al-Marfuu’ah fil Akbaar al-Maudhu’ah : 1/61
[12] Tahdzir al-Khawwash min Ahaadits al-Qashshash : 1/161
[13] Mu’jam al-Udabaa : 6/2450
[14] Tarikh Ibnu Katsir : 15/45
[15] Al-‘Uluww li Aliyyil Ghaffar : 1/171
[16] As-Sunnah : 1/214
[17] As-Sunnah : 1/224

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Kerajaan