Select Menu

clean-5

Wisata

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» »Unlabelled » Pelurusan Keenam: Catitan Terhadap Buku Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah





Pelurusan Keenam

حلول الحوادث بذات الله

                    Berlaku Perbuatan-Perbuatan Baru Pada Zat Allah   

Syaikh Murad Syukri mengatakan “ ketahuilah bahawa yang dimaksudkan oleh al-Mutakallimin dengan ungkapan ini ialah menafikan perbuatan-perbuatan al-Ikhtiyariyyah bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala.[1] Contoh perbuatan al-Ikhtiyariyyah ialah Datang, Redha, Murka dan sebagainya. Mereka menggambarkan perbuatan-perbuatan ini sebagai “berlakunya perbuatan-perbuatan baru pada zat Allah”, atas tujuan menjauhkan orang awam dari perkara yang tidak diketahui hakikatnya. Mereka tidak maksudkan dari perkataan itu untuk tujuan mencari kebenaran, tetapi untuk menafikan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla.”

Jawaban :


Di sini justru ia menuduh asy’ariyyah dan mutakallimin dengan tuduhan yang tidak sesuai faktanya.


Asy’ariyyah menetapkan sifat-sifat Allah ta’aala dan menafikan sifat-sifat baru bagi Allah Ta’ala sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam an-Nawawi rahimahullah :


إِنَّ اللهَ تَعَالىَ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ , مَنَزَّهٌ عَنِ التَّجْسِيْمِ وَاْلاِنْتِقَالِ وَالتَّحّيُّزِ فيِ جِهَةِ وَعَنْ سَائِرِ صِفَاتِ اْلمَخْلُوْقِ
“ Sesungguhnya Allah Ta’aala tidak ada sesuatupun yang menyerupainya, Maha Suci dari tajsim (bentuk dan sifat makhluk), berpindah dan dari terbatas dengan arah dan dari semua sifat makhluk-Nya “[1]


Keyakinan Ibnu Taimiyyah tentang sifat hawadits :


Ibnu Taimiyyah mengatakan :


لأصل الثاني " : نفيهم أن تقوم به أمور تتعلق بقدرته ومشيئته ويسمون ذلك " حلول الحوادث " . فلما كانوا نفاة لهذا امتنع عندهم أن يقوم به فعل اختياري يحصل بقدرته ومشيئته ; لا لازم ولا متعد ; لا نزول ولا مجيء ولا استواء ولا إتيان ولا خلق ولا إحياء ولا إماتة ولا غير ذلك .

فلهذا فسروا قول السلف بالنزول بأنه يفعل ما يشاء على أن مرادهم حصول مخلوق منفصل ; لكن كلام السلف صريح في أنهم لم يريدوا ذلك وإنما أرادوا الفعل الاختياري الذي يقوم به


“ Asal kedua : penafian mereka terhadap perkara yang berdiri dengan Dzat Allah yang berhubungan dengan kemampuan dan kehendak Allah dan menamainya dengan masuknya hawadits (perkara baru). Ketika orang-orang yang menafikan hal ini, maka mereka menolak adanya perkara ikhtiariyyah yang berdiri pada Allah  yang dihasilkan dari sifa kekuasaan dan kehendak Allah baik yang lazim maupun yang muta’addi, sifat nuzul, maji’, ityan, penciptaan, menghidupkan, mematikan dan selainnya. Oleh sebab ini mereka menafsirkan ucapan salaf “nuzul” dengan bahwa Allah maha melakukan apa yang Allah kehendaki dan maksud mereka adalah terjadinya makhluk yang terpisah.  Akan tetapi ucapan salaf sangat jelas bahwa mereka tidak bermaksud demikian, dan salaf hanya bermaksud perbuatan ikhtiariyyah yang berdiri dengan Dzat Allah “.[2]


Penjelasan :


Ibnu Taimiyyah di sini meyakini bahwa af’al ikhtiariyyah Allah terbagi menjadi dua : pertama lazim ; yaitu lazim pada dzat-Nya dalam artian yang efeknya tidak berimbas pada selain-Nya seperti sifat nuzul (turun), maji dan ityan (dating). Yang kedua ‘ adalah muta’addi yakni seperi menciptakan, menghidupkan dan mematikan.


Maka dari sini dapat dipahami bahwa ta’alluq qudrah semisal menciptakan, menghidupkan dan mematikan di sisi Ibnu Taimiyyah merupakan af’aal haditsah (perbuatan baru). Makna haditsah di sini adalah memiliki permulaan dan akhir. Dalam artian afa’al haditsah ini berdiri pada Dzat Allah kemudian berhenti, lalu berdiri af’al lainnya kemudian hilang dan demikian seterusnya, af’al itu bersifat hawadits (baru) yang berkesinambungan / berterusan sejak azali sampai selamanya dalam Dzat Allah, dan menisbatkan pemahaman ini kepada salaf padahal salaf berlepas diri dari hal ini.


Akidah Ahlus sunnah yang benar adalah : Sesungguhnya Allah bersifat dengan sifat-sifat yang memunculkan af’al dan af’al ini sendiri tidak berdiri sendiri pada Dzat Allah ta’alaa melainkan sifat-sifat itu sendiri yang berdiri pada Dzat Allah seperti sifat qudrah, iradah dan lainnya. Maka af’al adalah bersifat makhluk oleh karenanya af’al tidak bisa dikatakan berdiri pada Dzat Allah Subhanu wa Ta’alaa karena makhluk tidak menempel pada Dzat Allah.




[1] Syarh Sahih Muslim, imam Nawawi :3 / 19
[2] Syarh Hadits an-Nuzul : 42 

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Kerajaan