Select Menu

clean-5

Wisata

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» »Unlabelled » Pelurusan Ketujuh: Catitan Terhadap Buku Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah








**Dapatkan buku kami untuk menjawab hujjah-hujjah selanjutnya 


Pelurusan Ketujuh

كلام الله

Allah Berkata-Kata






Banyak dari pengikut Ibnu taimiyyah yang tidak memahami pemahaman Ibnu Taimiyyah sendiri dalam bab ini. Sehingga menimbulkan tuduhan kepada kelompok penentang Ibnu Taimiyyah dengan tuduhan yang mereka anggap sebagai fitnah padahal faktanya memang Ibnu Taimiyyah mengatakannya.


Jawaban :


Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa kalam Allah Ta’alaa adalah berbentuk suara dan huruf yang berkesinambungan sejak azal. Setiap suara dan huruf berlalu dan habis kemudian muncul suara dan huruf lainnya dalam Dzat Allah Ta’alaa dan demikian seterusnya. Maka kalam Allah bersifat qadim dari sisi nau’nya (macamnya) tapi bersifat baru dari sisi materi dan satuannya. Inilah keyakinan Ibnu Taimiyyah yang sebenarnya berkaitan kalam Allah sebagaimana akan kita ketahui sebentar lagi.


Keyakinan yang disepakati oleh asy’ariyyah dan mujassimah adalah : Allah Maha Berbicara (bercakap-cakap), dan kalam Allah salah satu sifat Allah yang berdiri pada Dzat Allah dan bukanlah makhluk. Akan tetapi kaum Mujassimah terutama Ibnu Taimiyyah menambahi (bid’ah)-nya yaitu kalam Allah memiliki suara dan huruf.


Sebenarnya masalah ini masih terkait erat dengan pembahasan sebelumnya tentang keyakinan Ibnu Taimiyyah terhadap hulul hawadits atau af’al ikhtiariyyah di mana Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa af’al ikhtiriyyah seperti bergerak, datang, turun dan semisalnya berdiri sendiri pada Dzat Allah Ta’alaa. Demikian juga kalam Allah adalah sifat Allah yang memunculkan suara dan huruf yang berdiri pada Dzat Allah. Huruf dan suara ini bersifat baru (hawadits) yang berdiri pada Dzat Allah dalam artian perbuatan-perbuatan baru yang Allah ciptakan dengan sifat kehendak Allah dalam Dzat-Nya.


فتبين أن الرب لم يزل ولا يزال موصوفا بصفات الكمال منعوتا بنعوت الجلال ; ومن أجلها الكلام .
فلم يزل متكلما إذا شاء ولا يزال كذلك وهو يتكلم إذا شاء بالعربية كما تكلم بالقرآن العربي وما تكلم الله به فهو قائم به ليس مخلوقا منفصلا عنه فلا تكون الحروف التي هي مباني أسماء الله الحسنى وكتبه المنزلة مخلوقة لأن الله تكلم بها


“ Maka menjadi jelas bahwa Allah senantiasa bersifat dengan sifat yang sempurna dan agung, di antaranya bersifat kalam, Allah senantiasa berbicara jika berkehendak dan senantiasa demikian. Dia berbicara dengan bahasa Arab jika berkehendak sebagaimana berbicara dengan Quran berbahasa Arab. Apa yang Allah bicarakan maka itu berdiri dengan Dzat Allah sendiri bukanlah makhluk yang terpisah dari-Nya, maka setiap huruf yang merupakan dasar Asmaul Husna dan kitab-kitab yang diturunkan bukanlah makhluk karena Allah berbicara dengannya “.[1]


Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa kalam Allah bergantung dengan kehendak dan qudrah-Nya. Konsekuensinya setiap kalimat tersebut bersifat baru, karena apa yang berhubungan dengan qudrah dan iradah Allah bersifat baru. Setiap yang baru harus adanya permulaan dan pengakhiran. Setiap yang baru pasti bersifat makhluk (tercipta). Karena Setiap yang baru adalah makhluk dan setiap makhluk adalah baru.


Atas dasar pemahaman Ibnu Taimiyyah ini, maka konsekuensinya adalah bahwa kalam Allah bersifat baru. Sedangkan kita yakin bahwa al-Quran adalah kalam Allah. Maka menurut pemahaman Ibnu Taimiyyah al-Quran adalah makhluk sebab kalam Allah bersifat baru. Oleh sebab itulah Ibnu Taimiyyah berpendapat al-Quran tidak bersifat qadim :


والمقصود هنا أن الامام أحمد ومن قبله من أئمة السنة ومن اتبعه كلهم بريئون من الاقوال المبتدعة المخالفة للشرع والعقل ولم يقل أحد منهم أن القرآن قديم

“ Yang dimaksud di sini bahwasanya imam Ahmad dan ulama sebelumnya dari Ahlus sunnah dan para pengikutnya, berlepas diri dari ucapan-ucapan bid’ah yang menyelisihi syare’at dan aqal, dan tidak seorang pun dari mereka mengatakan al-Quran itu bersifat qadim “.[2]


Ibnu Taimiyyah mengatakan dengan menukil bahwa kalam Allah tidak bersifat qadim, karena ia berkeyakinan bahwa kalam Allah bersifat baru dari sisi satuannya (haditsul afrad) dan bersifat qadim dari sisi jenisnya.


Ibnu Taimiyyah beranggapan suara dan huruf adalah sifat kesempurnaan, maka jika makhluk menjadi sempurna dengan adanya suara dan huruf, demikian juga kalam Allah sangat layak disifati dengan suara dan huruf. Ibnu Taimiyyah berkata :


إذ كل كمال يثبت للمخلوق فالحق أولى به، لأن القديم الواجب الخالق أحق بالكمال من المحدث الممكن المخلوق
“ Karena setiap kesempurnaan bagi makhluk, maka bagi Allah lebih berhak, sebab Dzat yang Maha Dahulu, yang Maha Wajib dan Pencipta lebih berhak dengan sifat kesempurnaa daripada makhluk-Nya “.[3]


Ibnu Taimiyyah lupa bahwa Allah bukanlah Makluk sehingga ia berani menyamakan haq Allah dengan Haq manusia. Ia telah lupa bahwa sifat kesempurnaan yang layak bagi makhluk terkadang tidaklah layak bagi Allah seperti anak dan istri. Ini suatu kesempurnaa bagi lelaki akan tetapi suatu kekurangan / aib bagi Allah Ta’alaa. Demikian juga sebaliknya, tidak semua sifat yang layak bagi Allah itu layak pula bagi makhluk-Nya. Semisal sifat qudrah Allah yang mampu menciptakan dari yang tidak ada, maka ini tidak layak bagi makhluk-Nya.


Tambahan :

Masalah lafadz


Kaum Mujassimah di dalam meyakini bahwa Lafadz Quran, suara, dan kalimat yang dibaca kaum muslimin yang tertulis di mushaf adalah bersifat qadim dan azali, sering membawakan dalil hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya Af’aalul Ibad berikut :


ويذكر عن جابر، عن عبد الله بن أنيس قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (يحشر الله العباد، فيناديهم بصوت يسمعه مَنْ بَعُدَ كما يسمعه مَنْ قَرُبَ: أنا الملك، أنا الديَّان).
ويذكر عن جابر  فينادى بصوت فيسمعه من بَعُدَ كما يسمعه من قَرُبَ، أنا الملك أنا الديّان


 Disebutkan dari Jabir : “ Maka diserukan dengan suara maka didengarlah oleh oaran yang jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat “ Akulah raja akulah yang berkuasa “.


Jawaban :


Hadits ini disebutkan oleh imam Bukhari dengan shighat tamridh )bentuk kata yang menunjukkan adanya cacat( bukan shighat jazm  (bentuk kata yang menunjukkan kesahihan hadits). Merupakan qaidah yang disepakati ulama adalah setiap hadits yang disebutkan atau dita’liq oleh imam Bukhari dengan shighat jazm, maka hadits tersebut adalah sahih, dan jika imam Bukjari menyebutnya dengan shighat tamridh, maka hadits itu ada cacatnya. 

Kita lihat komentar al-Hafidz Ibnu Hajar :


ونظر البخاري أدق من أن يعترض عليه بمثل هذا فإنه حيث ذكر الارتحال فقط جزم به لأنّ الإسناد حسن وقد اعتضد، وحيث ذكر طرفًا من المتن لم يجزم به لأن لفظ الصوت مما يتوقف في إطلاق نسبته إلى الرب ويحتاج إلى تأويل، فلا يكفي فيه مجيء الحديث من طريق مختلف- فيها ولو اعتضدت "


“ Pandangan al-Bukhari lebih lembut daripada menolaknya dengan semacam ini, karena ketika beliau menyebutkan hadits yang ada lafadz irtihal saja (tanpa ada lafadz shout/suara) beliau menyebutnya dengan shighat jazm, karena sanadnya hasan dan kuat. Dan ketika beliau menyebutkan sisi dari matannya, maka beliau tidak menyebutnya dengan shighat jazm, karena lafadz shout (suara) termasuk perkara yang tawaqquf di dalam menisbatkannya kepada Allah Ta’ala dan membutuhkan pada takwil. Maka tidak cukup datangnya hadits tersebut dari jalan yang mukhtalaf (diperselisihkan) walaupun menjadi kuat “.[4]


Artinya tidak cukup hal itu dalam masalah akidah walaupun imam Bukhari menyebutkan awalnya di kitab al-Ilm dan menyebutkannya dengan shighat jazm sebab tidak ada lafadz shout (suara), di situ beliau hanya menyebutkan  lafadz rahala (berangkat) nya Jabir bin Abdillah kepada Abdullah bin Unais dari Madinah ke Mesir.
Akidah Ahlus sunnah dalam masalah ini :


Imam Abu Hanifah (150 H) Mengatakan :


وصفاته في الأزل غير محدَثة ولا مخلوقة فمن قال إنها مخلوقة أو محدَثة أو وقف أو شكّ فهو كافر بالله تعالى والقرءان أي كلام الله تعالى في المصاحف مكتوب وفي القلوب محفوظ وعلى الألسن مقروء وعلى النبي عليه الصلاة والسلام منزل ولفظنا بالقرءان مخلوق وكتابتنا له مخلوقة وقراءتنا مخلوقة والقرءان غير مخلوق

“ Sifat-sifat Allah di Azali tidaklah baru dan bukan makhluk (tercipta), barangsiapa yang mengatakan itu makhluk atau baru, atau dia diam (tidak berkomentar), atau dia ragu maka dia dihukumi kafir kepada Allah. Al-Quran yakni Kalamullah tertulis di mushaf-mushaf, terjaga dalam hati, terbaca dalam lisan dan diturunkan kepada Nabi Saw. Dan lafadz kami dengan al-Quran adalah makhluk, penulisan kami kepada Al-Quran adalah makhluk, bacaan kami dengannya adalah makhluk sedangkan al-Quran bukanlah makhluk “.


Kemudian imam Abu Hanifah melanjutkan :


ونحن نتكلم بالآلات والحروف والله تعالى يتكلم بلا ءالة ولا حروف والحروف مخلوقة وكلام الله تعالى غير مخلوق
“ Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “. (Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim dan lainnya)


Penjelasan :


Dengan terang-terangan imam Abu Hanifah yang merupakan ulama salaf di awal kurun seratus hijriyyah ini mengatakan lafadz Quran dan penulisan al-Quran adalah makhluk sedangkan al-Quran kalamullah bukanlah makhluk.


Dari sinilah berangkat ulama asy-Ariyyah dan Maturudiyyah bahwa definsi al-Quran terbagi menjadi dua sebagaimana pendapat imam Abu Hanifah di atas. Yakni Jika yang dimaksudkan adalah kalam Allah, maka dia adalah kalam yang qadim dan azali yang suci dari alat, suara dan huruf, sedangkan jika yang dimaksudkan adalah kalimat yang terlafadzkan dan terbukukan dalam kertas-kertas, maka dia adalah kalimat-kalimat berhuruf dan bersuara yang baru dan mengibaratkan kepada kalam Allah yang qadim dan azali tersebut.


Contoh logikanya seperti ini : Jika seorang mengatakan “ ALLAH “, maka lafadz Allah ini menunjukkan kepada Dzat yang Maha Suci yang tidak menyerupai sesuatu apapun, sedangkan huruf-huruf isim (Allah) tersebut adalah makhluk yang menunjukkan kepada Allah yang berbicara tanpa alat, suara dan huruf.


Kalau huruf yang ada dalam mushaf yang dibaca itu qadim (maha dahulu), maka bagaimana lafadz Allah dalam kalimat “ BISMILLAH “ didahului oleh huruf yang lain yatu huruf mim, sin dan ba’? bukankah qadim itu bermakna maha dahulu yang awalnya tidak ada permulaan ?? lalu kenapa laafdz Allah didahului dengan huruf mim? Knapa huruf mim didahului dengan huruf sin? Kenapa huruf sin didahului huruf ba’?? mana sifat keqadimannya ??


Al-Imam al-Isfiraini (w 418 H) mengatakan :


 وأن تعلم أن كلام الله تعالى ليسى بحرف ولا صوت لأن الحرف والصوت يتضمنان جواز التقدم والتأخر، وذلك مستحيل على القديم سبحانه
“ Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “. (at-Tafsir fiddin : 102)


Imam Mula Ali al-Qari mengatakan :


ومبتدعة الحنابلة قالوا: كلامه حروف وأصوات تقوم بذاته وهو قديم، وبالغ بعضهم جهلاً حتى قال: الجلد والقرطاس قديمان فضلاً عن الصحف، وهذا قول باطل بالضرورة ومكابرة للحس للإحساس بتقدم الباء على السين في بسم الله ونحوه"


“ Para ahli bid’ah dari kalangan Hanabilah berkata : “ Kalam Allah berupa huruf dan suara yang berdiri dalam Dzat-Nya dan itu qadim. Bahkan ada yang sampai berlebihan kebodohan mereka dengan berkata : “ Jilid dan Kertas itu bersifat qadim apalagi mushaf “, ini adalah ucapan BATHIL  secara pasti dan sifat mukabarah…”
(Syarh al-Fiqh al-Akbar : 29-35)



Manipulasi kaum wahabi terhadap ucapan imam Bukhari




Makna ucapan imam Bukhari yang disalah pahami wahabi :


حركاتهم وأصواتهم واكتسابهم وكتابتهم مخلوقة فأما القرآن المتلو المبين المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في القلوب فهو كلام الله ليس بخلق

Gerak, suara, usaha dan tulisan adalah makhluk, adapun al-Quran yang dibaca, yang ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang tertulis, yang ada di dalam dada maka dia adalah kalam Allah bukanlah makhluk “.[5]


Kaum wahabi-salafi memahami ucapan imam Bukhari dengan nafsu dan pemikirannya sendiri sehingga menimbulkan pemahaman bahwa kalam Allah itu bersuara dan berhuruf.


Jawaban :


Imam Bukhari mengatakan :

حركاتهم وأصواتهم واكتسابهم وكتابتهم مخلوقة فأما القرآن المتلو المبين المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في القلوب فهو كلام الله ليس بخلق

Gerak, suara, usaha dan tulisan adalah makhluk, adapun al-Quran yang dibaca, yang ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang tertulis, yang ada di dalam dada maka dia adalah kalam Allah bukanlah makhluk “. (Khalqi af’aalil ibaad : 47)


Poin pertama dari kalam imam Bukhari :


حركاتهم وأصواتهم واكتسابهم وكتابتهم مخلوقة
“ Gerak, suara, usaha dan tulisan adalah makhluk “


Imam Bukhari dengan jelas menyatakan gerakan, suara, usaha dan tulisan adalah makhluk, karena semuanya bersifat baru dan ada permulaanya.


Pengertiannya adalah bahwa segala perbuatan, suara dan huruf yang berasal dari manusia adalah makhluk. Dan lebih jelas beliau mengatakan sebagaimana sering dinukil oleh ulama wahabi (tanpa mau memahaminya) berikut :


ما زلت أسمع أصحابنايقولون أفعال العباد مخلوقة
“ Aku senantiasa mendengar para ashab kami mengatakan bahwa perbuatan hamba adalah makhluk “.


Poin kedua dari kalam imam Bukhari :


فأما القرآن المتلو المبين المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في القلوب فهو كلام الله ليس بخلق
“ Adapun al-Quran yang dibaca, yang ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang tertulis, yang ada di dalam dada maka dia adalah kalam Allah bukanlah makhluk “.


Lafadz al-Quran (فأما القرآن) di atas dalam ilmu nahwu kedudukannya menjadi mubtada’, tentu mubtada’ selalu membutuhkan khobarnya. Mana khobarnya ? khobarnya adalah lafadz fahuwa kalamullah (فهو كلام الله), sedangkan kalimat : al-Matluu al-Mubin, al-Mutsbat dan seterusnya adalah menjadi na’at yakni shifat.


Artinya adalah : al-Quran adalah kalamullah, dan al-Quran yang yang dibaca, yang ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang tertulis, yang ada di dalam dada adalah kalam Allah bukan makhluk.


Ada dua pengertian dalam kalam imam Bukhari tersebut yaitu :


1. al-Quran yang dibaca, yang ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang tertulis, yang ada di dalam dada, jika dinisbatkan kepada kalam Allah adalah bukanlah makhluk.
2. al-Quran yang ditulis dan dibaca dengan suara dan huruf oleh manusia, maka imam Bukhari menjwab : “perbuatan hamba adalah makhluk (أفعال العباد مخلوقة) “.


Manhaj imam Bukhari inilah yang diikuti oleh para ulama Asyaa’irah bahwa : definsi al-Quran terbagi menjadi dua Yakni Jika yang dimaksudkan adalah kalam Allah, maka dia adalah sifat kalam yang qadim dan azali yang suci dari alat, suara dan huruf, sedangkan jika yang dimaksudkan adalah kalimat yang terlafadzkan oleh lisan manusia dan terbukukan dalam kertas-kertas, maka dia adalah kalimat-kalimat berhuruf dan bersuara yang baru dan mengibaratkan kepada kalam Allah yang qadim dan azali tersebut.

Ditulis Oleh : Ustaz Ibnu Abdillah Al-Katibiy




[1] Majmu’ ar-Rasail wal Masail : 2/380
[2] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah : 7/661
[3] Majmu’ ar-Rasail wal Masail :
[4] Fath al-Bari : 1/174-175
[5] Khalqi af’aalil ibaad : 47

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Kerajaan