Abul Jauza mengatakan :
Penetapan sifat dua tangan terdapat dalam
beberapa tempat dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Dalil dari Kitabullah, telah
disebutkan muallif(Abul-Hasan Al-Asy’ariy) sebagian di antaranya.
Adapun dalil dari sunnah, Al-Bukhariyrahimahullah telah memuatnya
dalam kitab Shahih-nya, bab : qaulullaahu
ta’ala : limaa khalaqtu bi-yadaiy (Bab : Firman
Allah ta’ala : ‘kepada yang telah Ku-ciptakan dengan
kedua tangan-Ku’), yang merupakan bagian dari Kitaab At-Tauhiid.
Ia (Al-Bukhaariy) membawakan sejumlah hadits shahih yang kesemuanya menetapkan
sifat dua tangan Allahta’ala. Di antaranya adalah hadits Anas bin Maalik
secara marfu’ tentang asy-syafaa’atul-‘udhmaa,
yang padanya terdapat perkataan :
« يجتمع
المؤمنون يوم القيامة فيقولون : لو استشفعنا إلى ربنا يُرِحْنا من مكاننا هذا ،
فيأتون آدم فيقولون : يا آدم ، أما ترى الناس ؟ خلقك الله بيده وأسجد لك ملائكته
وعلمك أسماء كل شيء ، اشفع لنا إلى ربك »
“Pada hari kiamat Allah
mengumpulkan orang-orang mukmin. Lalu mereka berkata : 'Seandainya saja kita
meminta syafaat kepada Rabb kita sehingga Dia bisa menjadikan kita merasa aman
dari tempat kita sekarang ini ?’. Kemudian mereka menemui Adam dan berkata :
‘Wahai Adam, bukankah engkau menyaksikan (keadaan) manusia ? Allah telah
menciptakanmu dengan tangan-Nya, menjadikan para malaikat sujud kepadamu, dan
mengajarkan kepadamu nama-nama segala sesuatu. Oleh karena itu, berikanlah
syafa’at kepada kami kepada Rabb-mu”.[1]
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa yang padanya terdapat perkataan :
« إن
الله يقبض يوم القيامة الأرض وتكون السماوات بيمينه ثم يقول : أنا الملك »
“Sesungguhnya Allah akan
menggenggam bumi pada hari kiamat dan langit-langit berada di tangan kanan-Nya,
lalu berfirman : ‘Aku adalah Raja”.[2]
Dan juga hadits Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu, yang di dalamnya terdapat sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
« يد
الله ملأى لا يغيضها نفقة سحَّاء الليل والنهار »
“Tangan Allah selalu penuh, tidak
kurang karena memberi nafkah, dan selalu dermawan baik malam maupun siang".[3]
Nash-nash yang telah disebutkan di atas merupakan dalil
penetapan (sifat) dua tangan bagi Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak
boleh di-ta’wil sedikitpun. Tidak mungkin memahami dua tangan
kecuali dengan (makna) hakekatnya. Barangsiapa yang tidak membawa makna sifat
dua tangan sesuai hakekatnya, maka ia seorang mu’aththil (orang
yang menafikkan sifat Allah) terhadap sifat tersebut. Al-Imam Abu Haniifah rahimahullah secara
jelas mengatakan bahwa siapa saja yang tidak membawa nash-nash sesuai dengan
(makna) hakekatnya, serta men-ta’wil-kan sifat dua tangan dengan
kekuasaan (al-qudrah) atau nikmat (an-ni’mah), sungguh ia telah
mengingkari sifat itu sendiri.
Jawaban dan tanggapan :
Disadari
atau pun tidak, Abul Jauza telah terjebak pada penetapan Jarihah bagi Allah,
jika dia menolak kenyataan ini, maka berarti dia telah mengutamakan sikap
kesombongannya (mukabarah). Demikian juga umumnya kaum wahabi selama memiliki
keyakinan semacam itu, mereka akan terus terjebak dalam perangkap buruknya itu.
Allah
berfirman :
وهو الذي يتوفٰكم باليل ويعلم ماجرحتم بالنهار
“ Dan Dia-lah
yang menidrukan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari “. (QS.A-l’An’aam : 60)
ام حسب الذين اجترحوا السيآت
“ Apakah orang-orang yang melakukan kejatahan “. (QS.Al-Jatsiyah : 21)
Allah juga
berfirman :
يسألونك ماذا احل لهم قل احل لكم الطيبات وما علمتم من الجوارح مكلبين
“ Mereka bertanya padamu (Muhammad), “ Apakah yang dihalalkan
bagi mereka?” katakanlah, “ Yang dihalalkan bagimu(adalah makanan) yang
baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu
latih untuk berburu “. (QS. Al-Maidah : 4)
Disebut anggota
manusia seperti dua tangan, dua kaki, mata sebagai jawarih karena alat untuk
melakukan sesuatu.
Seorang ulama
ahli lughah Abu Manhsur al-Azhari mengatakan “ Telah berkata imam al-Laits :
جوارح الانسان عوامل جسده من يديه
ورجليه واحدتها جارحة
“ Jawarih manusia adalah alat-alat jasadnya berupa kedua tangan
atau kaki. Mufradnya adalah Jarihah.” [1]
Ibnu Faris
mengatakan :
“ Al-Jarh :
jim, ra’ dan Ha, memiliki dua makna aslinya :
Pertama :
bermakna kasb yakni usaha. Kedua : bermakna Pecahan kulit. Yang pertama seperti
contoh ; “ Ijtarohah bermakna berbuat dan berusaha “. Allah Ta’ala berfirman :
“ Apakah menyangka orang-orang yang berbuat keburukan “ (QS. Al-Jatsiyah : 21).
Disebut dengan ijtirah karena ia berbuat dengan jawarih yakni angggota tubuh
dan alat-alatnya. “[2]
Maka yang
dimaksud Jarihah yang telah dinafikan oleh ulama salaf dan kholaf adalah alat
berbuat yang dengannya ia berusaha. Oleh sebab itu imam Abu Jakfar ath-Thahawi
berkata :
وَتَعَالىَ- أَيْ
اللهُ- عَنِ اْلحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَعْضَاءِ وَاْلأَدَوَاتِ،
لاَ تَحْوِيْهِ اْلجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ اْلمُبْتَدَعَاتِ
"Maha
suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai
ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,anggota badan yang besar (seperti
wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut,
lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).Dia tidak diliputi oleh satu
maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,kiri, depan dan belakang) tidak
seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut".[3]
Oleh sebab itu
untuk menyelamatkan diri dari kenyataan pahit ini, sebagian ulama wahabi berani
berfatwa secara terbuka dan terang-terangan bahwa Allah butuh dengan anggota
tubuh, Allah butuh dengan alat. Ibnu Baz berkata :
“
Meniadakan jisim, organ dan anggota tubuh dari Allah adalah termasuk ucapan
yang tercela “ [4]
Muhammad
Khalil Harras mengatakan dalam ta’liqnya (komentarnya)
terhadap kitab tauhidnya Ibnu Khuzaimah yang dicetak tahun 1403 terbitan Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah pada halaman 63 berikut :
“
Menggenggam tentunya dengan tangan secara hakekatnya bukan dengan nikmat. Jika
mereka berkata “ Sesungguhnya huruf ba di sini bermakna sebab maksudnya dengan
sebab iradah kenikmatan “, maka kita jawab pada mereka “ Dengan apa menggengam
itu ?? karena sesungguhnya menggenggam itu butuh kepada alat, maka niscaya tak
ada jawaban dari mereka, jika saja mereka mau merendahkan diri mereka “.
Dan
Ibnu Taimiyyah secara terang-terangan pun mengakui bahwa Allah butuh terhadap
alat untuk berbuat : Majmu’ al-Fatawa : 3/86
Abul
Jauza telah membuat satu persepsi bahwa haqiqat sifat Allah dan manusia itu
sama namun berbeda dalam kaifiyyahnya. Dalam pikirannya terbayang bahwa Tangan
Allah adalah alat untuk mengambil dan memberi sebagaimana tangan manusia adalah
alat untuk mengambil dan memberi, akan tetapi menurutnya tangan Allah ini
berbeda dengan tangan manusia dari segi kaifiyyahnya, adapun dari segi makna
dan hakikat adalah sama. Oleh sebab itu Abul Jauza dan wahabi lainnya memaknai
YAD dengan makna HAKIKATNYA secara bahasa.
Oleh
sebab itu dia telah menyimpulkan bahwa al-Qabdh dan al-Basth bagian dari
kelaziman tangan Allah yang bersifat menyentuh, ini konsekuensi atau akibat
pemikirannya tersebut di atas. Padahal tidak ada satu pun nash yang menjelaskan
bahwa jari-jari dalam ayat mau pun hadits itu tempatnya pada tangan atau
jari-jari itu termasuk bagian dari kelaziman tangan ?? kalau bukan Abul Jauza
mengunakan qiyas akidah tajsim dan tasybihnya itu..
Kata
tangan secara hakikatnya yakni secara bahasa Arab yang dipahami dengan konteks
sebagaimana biasanya dipahami adalah bermakna anggota tubuh tertentu yang kita
ketahui (jarihah), ada ukuran panjangnya lebarnya dan jari. Maka ketika Abul
Jauza mengatakan : {“ Tidak
mungkin memahami dua tangan kecuali dengan (makna) hakekatnya. Barangsiapa yang
tidak membawa makna sifat dua tangan sesuai hakekatnya, maka ia seorang mu’aththil (orang
yang menafikkan sifat Allah) terhadap sifat tersebut”}, maka
Abul Jauza dan kaum wahabi lainnya telah jatuh pada makna jarihah, dan jatuh
pada jurang tajsim. Jika dia mengelak dan mengatakan : “
Kami kaum wahabi tidak mengatakan tangan Allah itu jarihah (walaupun sebagian
ulama wahabi mengakui adanya jarihah bagi Allah), tapi kami mengatakan Allah
punya kedua tangan yang bukan jarihah “, maka sadar atau tidak, wahabi
jatuh pada kontradiksi, sebab makna YAD secara hakikat dalam bahasa Arab
bermkna jarihah, maka ucapan wahabi bukan jarihah sama saja mereka mengatakan
bukan hakikatnya.
Adapun
ucapan Imam Abu Hanifah yang dinukil Abul Jauza :
Beliau (Abu Hanifah) telah berkata :
ولا يقال إن يده قدرته أو نعمته
لأن فيه إبطال الصفة ، وهو قول أهل القدر والاعتزال ، ولكن يده صفة بلا كيف
“Tidak boleh untuk dikatakan : Sesungguhnya
(makna) tangan-Nya adalah kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena di dalamnya
mengandung pengingkaran terhadap sifat (Allah). Ia adalah perkataan orang-orang
Qadariyyah dan Mu’tazillah. Akan tetapi tangan-Nya adalah sifat yang tidak
boleh ditanyakan bagaimananya (kaifiyah-nya)”.[4]
Maka
hal ini adalah masalah khilafiyyah di antara ulama tentang apakah memungkinkan
mengetahui makna yang dipalingkan dari dhahirnya itu. Dan ini kembali kepada
persoalan huruf WAWU pada Ali Imran ayat 7
Sebagian
ulama mengatakan bahwa WAWU di situ adalah waqf (berhenti) dan isti’naaf (untuk
permulaan kalam) bukan terkait pada kalimat sebelumnya. Atas dasar ini, maka
tidak ada yang mengetahui takwil nash mutaysabih kecuali Allah. Dan diantara
yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu. Sebagian
ulama lainnya mengatakan bahwa WAWU di situ adalah wawu ‘Athifah, yang artinya
masih ada kaitan dengan kalimat sebelumnya. Atas dasar ini, maka selain Allah
yang mengetahui takwil nash-nash mutasyabihat, maka orang-orang alim yang
rasikh juga mengatahui takwilnya, karena tidak ada nash al-Quran yang tidak
bisa dipahami maknanya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Mujahid, Rabi’
bin Anas dan juga pendapat Ibnu Abbas.
Nah
imam Abu Hanifah termasuk orang yang berpendapat seperti pendapat pertama yang
mantafwidh makna nash-nash mutaysabihat kepada Allah Ta’ala. Adapun ulama yang
mengikuti pendpat kedua, maka mereka mengembalikan nash-nash mutasyabihat
tersebut kepada nash-nash yang muhkamat. Dan pada hakekatnya kedua kelompok
ulama tersebut bersepakat bahwa nash-nash tersebut dipalingkan dari makna
dhahirnya yang mustahil.
Justru
itu imam Abu Hanifah berkata sebelum teks yang dinukil oleh Abul Jauza tersebut
tapi sayangnya Abul Jauza tidak menampilkannya :
“ Dia Allah berbicara tidak sperti pembicaraan kita, Mendengar
tidak seperti pendengaran kita. Dan kita berbicara dengan alat dan huruf
sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu
makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk. Allah adalah sesuatu yang tidak
seperti sesuatu lainnya, makna sesuatu adalah yang ada tanpa jisim, materi,
benda, batasan, sekutu atau semisalnya. Dia memiliki Yad, Wajh dan Nafs
sebagaimana Allah sebutkan dalam al-Quran, apa yang Dia sebutkan dalam al-Quran
seperti Wajh, Yad dan Nafs, maka itu adalah sifat tanpa adanya kaifiyyah dan
tanpa boleh dikatakan sesunggunya yad-Nya bermakna qudrah atau nikmat, karena
itu penafian terhadat sifat, dan itu ucapan Qadariyyah dan Mu’tazilah, akan
tetapi Yad-Nya adalah sifat-Nya tanpa kaifiyyah, dan murka serta keridhoan-Nya
adalah dua sifat dari sifat-sifat Allah tanpa kaifiyyah “.[5]
Imam Abu
Hanifah juga mengatakan :
“ Dekat dan jauhnya Allah bukan dengan panjang atau pendeknya
jarak, akan tetapi itu atas dasar makna karomah (kedermawanan) dan hawan
(kehinaan). Orang yang ta’at dekatnya dari-Nya tanpa Kaif, dan orang yang
ebrmaksiat jauh dari-Nya tanpa kaif “. [6]
Dalam teks
lengkap imam Abu Hanifah di atas sangat jelas bahwa beliau menafikan sifat
jisim dan juga menafikan kelaziman jisim seperti jarak dan batas.
Demikian juga
apa yang dikatakan oleh Ibnu Baththal yang dibawakan oleh Abul Jauza :
Ibnu Baththaal berkata saat memberikan
bantahan terhadap orang yang menta’wilkan sifat dua tangan dengan kekuasaan
atau nikmat :
ويكفي في الرد على من زعم أنهما
بمعنى القدرة أنهم أجمعوا على أن له قدرة واحدة في قول المثبتة ولا قدرة له في قول
النفاة . . ويدل على أن اليدين ليستا بمعنى القدرة أن قوله تعالى لإبليس : { مَا
مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ } [ سورة ص ، الآية : 75 ] إشارة
إلى المعنى الذي أوجب السجود ، فلو كانت بمعنى القدرة لم يكن بين آدم وإبليس فرق
لتشاركهما فيما خلق كل منهما به وهي قدرته ، ولقال إبليس : وأي فضيلة له عليَّ
وأنا خلقتني بقدرتك ، كما خلقته بقدرتك فلما قال : { خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ
وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ } [ سورة ص ، الآية : 76 ] دل على اختصاص آدم بأن الله
خلقه بيديه قال : ولا جائز أن يراد باليدين النعمتان لاستحالة خلق المخلوق بمخلوق
لأن النعم مخلوقة
“Cukuplah bantahan bagi orang
yang berkata tangan Allah bermakna kekuasaan, bahwasannya mereka sepakat Allah
mempunyai kekuasaan yang satu menurut pendapat yang menetapkan, dan tidak
mempunyai kekuasaan menurut pendapat yang menafikkannya…. Dan hal yang
menunjukkan Allah mempunyai dua tangan yang tidak bermakna kekuasaan adalah
firman Allah ta’ala kepada Iblis : ‘Apa yang
menghalangimu untuk bersujud kepada manusia yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku
?’ (QS. Shaad : 75); sebagai isyarat kepada makna yang mewajibkan
syaithan untuk sujud (kepada Adam). Seandainya tangan itu bermakna kekuasaan,
niscaya tidak akan ada bedanya antara Adam dan Iblis karena persamaan antara
keduanya dalam penciptaan, yaitu karena kekuasaan-Nya. Dan niscaya Iblis akan
berkata : ‘Kelebihan apa yang ia (Adam) punya di atas diriku padahal aku Engkau
ciptakan dengan kekuasaan-Mu sebagaimana ia Engkau ciptakan dengan kekuasaan-Mu
pula ?’. Ketika Iblis berkata :‘Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia
Engkau ciptakan dari tanah’ (QS. Shaad : 76) menunjukkan kekhususan
Adam bahwasannya Allah telah menciptakannya dengan kedua tangan-Nya. Tidak
boleh juga dikatakan dua tangan maknanya adalah dua nikmat, karena mustahil
Allah menciptakan makhluk dengan makhluk – yaitu karena nikmat itu sendiri
adalah makhluk”.[7]
Ibnu Baththal
dan Imam Abu Hanifah memiliki pandangan yang sama yakni sama-sama memalingkan
lafaznya dari makna dhahirnya, bahkan beliau berdua berpandangan bahwa Yad di
situ memiliki makna khusus yang bukan bermakna qudrah, ni’mah atau pun jarihah
(anggota tubuh). Perhatikan ucapan Ibnu Baththal berikut ini yang tidak
ditampilkan Abul Jauza dalam halaman yang sama :
“ Ibnu Baththal berkata : “ Dalam ayat ini ada penetapan kedua
tangan bagi Allah, keduanya adalah dua sifat dari sifat-sifat Dzat Allah, dan
bukan berbentuk jarihah (anggota tubuh), berbeda halnya dengan pendapat kaum
musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk) dari kalangan mutsbitah
(kaum yang menetapkan sifat Allah) dan kaum Jahmiyyah dari kalangan
mu’aththilah (kaum yang menafikan sifat Allah) “.[8]
Dari
ucapan Ibnu Baththal diketahui bahwasanya dari kaum Mutsbitah ada yang
menetapkan sifat Allah dan memahaminya secara dhahir dengan jarihah (anggota
tubuh), sindirian ini sangat sesuai dengan pemikiran Abul Jauza dan kaum wahabi
lainnya yang sadar atau tidak telah berkeyakinan Allah memiliki jarihah, bahkan
ada sebagian kaum wahabi yang mengakui secara terang-terangan akan hal ini
sebagaimana telah saya sebutkan di atas. Naudzu billah min su-il fahm..
Jika
Abul Jauza kurang yakin dengan kenyataan ini, maka saya bawakan lagi ucapan
Ibnu Baththal yang menafikan makna dhahir bahkan beliau juga menafikan tempat
bagi Allah, dan ini juga menunjukkan sikap imam Bukhari yang sangat sesuai
dengan pemahaman asy’ariyyah, perhatikan ucapan beliau berikut yang dinukil
oleh imam ahli hadits; Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Barinya :
غرض البخاري في هذا الباب الرد على الجهمية المجسمة في تعلقها بهذه
الظواهر، وقد تقرر أن الله ليس بجسم فلا يحتاج إلى مكان يستقر فيه ، فقد كان ولا
مكان ، وإنما أضاف المعارج إليه إضافة تشريف ، ومعنى الارتفاع إليه اعتلاؤه - أي
تعاليه - مع تنزيهه عن المكان
“ Tujuan imam Bukhari dalam bab ini adalah membantah kaum jahmiyyah
mujassimah di dalam bergantungnya dengan makna-makna dhahir ini. Telah tetap
bahwasanya Allah bukanlah jisim, maka Dia tidak butuh terhadap tempat untuk
ditempatinya, Allah ada tanpa tempat. Sesungguhnya Allah menyandarkan Ma’arij
kepada-Nya adalah sebagai sandaran kemuliaan. Dan makna irtifa’ adalah tinggi
yakni luhur beserta penyucian Allah dari tempat “.[9]
Sangat jelas
bagaimana sikap imam Ibnu Baththal tersebut, apakah Abul Jauza dan wahabi
lainnya ingin mengingkari fakta kebenaran ini ??
Kemudian Abul
Jauza dengan taqlid kepada penulisan Dr Khumais membuat syubhat bahwa
Asy’ariyyah menyelisihi imam Abul Hasan al-‘Asy’ari, Abul Jauza mengatakan :
Al-Asy’ariy berkata :
أجمعوا على أنه عز وجل يسمع ويرى ،
وأن له تعالى يدين مبسوطتين ، وأن الأرض جميعا قبضته يوم القيامة والسماوات مطويات
بيمينه
“Mereka telah berijma’
bahwasannya Allah ‘azza wa jalla mendengar dan melihat. Ia
mempunyai dua tangan yang terbuka. Bumi akan digenggam-Nya pada hari kiamat dan
langit akan dilipat dengan tangan kanan-Nya”.[10]
Al-Ismaa’iliy juga
menyatakannyanya dalam kitab ‘Aqiidah Ahlil-Hadiits, saat ia
berkata :
وخلق آدم عليه السلام بيده ، ويداه
مبسوطتان ينفق كيف يشاء بلا اعتقاد كيف يداه إذ لم ينطق كتاب الله تعالى فيه بكيف
“Allah menciptakan Adam ‘alaihis-salaam dengan
tangan-Nya, dan kedua tangan-Nya terbuka memberikan (karunia kepada makhluk)
sebagaimana yang Ia kehendaki, tanpa disertai keyakinan penentuan kaifiyah kedua
tangan-Nya; yaitu ketika tidak ada penjelasan di dalam Kitabullah tentang kaifiyah tersebut”.[11]
Oleh karena itu, Anda dapat
melihat Asy’ariyyah menyelisihi imam mereka (yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy)
dengan men-tafwidl sifat ini sebagaimana tafwidl yang
dilakukan orang-orang bodoh dan membodohkan (ahlul-jahl wat-tajhiil),
atau men-ta’wil-nya dengan ta’wil-an para penyeleweng dan
pengingkar (ahlut-tahriif wat-ta’thiil).
Jawaban :
Beginilah
jadinya jika tidak mau mengkaji lebih dalam tentang madzhab ulama salaf
sesungguhnya dan faktor adanya takwil dalam nash-nash mautsyabihat oleh ulama
kholaf dan sebagian ulama salaf.
Kaum
Ay’ariyyah sama sekali tidak menyelisihi pandangan imam Abul Hasan al-As’ari,
karena dalam hal ini beliau lebih mengutamakan dan mendahulukan madzhab ulama
salaf yakni Tafwidh ul ma’na bukan takwil dan mayoritas diikuti oleh kaum
Asy’ariyyah. Sedangkan sebagian Asy’ariyyah lainnya yang mentakwil ayat shifat
karena dirasa perlu untuk mengcounter pemahaman tasybih dan tajsim kaum
musyabbihah dari kalangan awamnya.
Imam
Abul Hasan al-Asy’ri justru sangat bertolak belakang dengan kaum wahabi, sebab
kaum wahabi memaknai makna Yad dengan makna hakikatnya secara dhahir dalam
bahasa Arab sedangkan makna hakikat secara dhahir dalam bahasa Arab adalah
anggota tubuh tertentu yang memiliki ukuran panjang, lebar dan jari. Berbeda
dengan Abul Hasan al-Asy’ari dan kaum Asy’ariyyah yang tidak meyakini seperti
itu. Perhatikan ucapan imam Abul Hasan al-Asy’ari berikut ini dalam Ibanahnya :
“ Tidaklah samar ayat Allah Ta’ala : “ Karena apa yang Aku ciptakan
dengan kedua tangan-Ku “, adanya makna hal itu dengan penetapan kedua tangan
dengan makna dua nikmat atau makna hal itu dengan kedua tangan yang berbentuk
jarihah. Allah Maha Suci dari hal itu semua, atau makna hal itu adalah
penetapan kedua tangan dengan makna dua qudrah, atau makna hal itu dengan kedua
tangan yang bukan bermakna kedua nikmat dan juga bukan berbentuk jarihah,
demikian juga dua qudrah. Kedua tangan-Nya tidak disifati kecuali dengan apa
yang Allah sifati sendiria. Tidak boleh memaknai keduanya dengan dua nikmat ,
karena menurut ahli bahasa tidak boleh mengatakan : “ Aku berbuat dengan
tanganku maksudnya nikmatku “, demikian juga tidak boleh menurut kami dan lawan
kami memaksudkannya dengan kedua tangan yang berbentuk jarihah demikian juga
dua qudrah. Maka jika ketiga pembagian itu rusak, tersisalah pembagian yang
keempat yaitu makna firman Allah Ta’ala “ Dengan kedua tangan-Ku “, adalah
menetapkan kedua tangan yang bukan berbentuk jarihah, bukan dua qudrah, bukan
dua nikmat dan tidak boleh disifati kecuali dengan mengatakan : “ Kedua tangan
Allah itu adalah kedua tangan yang bukan seperti tangan-tangan yang keluar dari
ketiga pembagian yang telah berlalu tadi “. [12]
Imam Abul Hasan dan Ibnu Baththal mengarahkan ‘Yadayya’ (kedua tangan) dengan makna khusus. Jika diperhatikan makna khusus ini bersandarkan pada makna secara global sebagaimana prinsip kaum muawwilah (para pentakwil). Kita perhatikan para ulama ahli tafsir berikut ini ketika mentafsirkan ayat :
“ Bahkan kedua tangan-Nya terbentang luas “.
Imam Ibnul
Jauzi menafsirkannya : “ Sesungguhnya Allah Maha Dermawan, memberikan nafkah
kepada siapa yang Dia kehendaki “.[13]
Imam Ibnu
Katsir menafsirkannya : “ Bahkan Allah yang Maha Luas keutamaan-Nya, Yang Maha
besar pemberian-Nya “.[14]
Imam
al-Qurthubi menafsirkannya : “ Nikmat-nikmat Allah begitu banyak tidak
terhitung, maka bagaimana diartikan : “ Bahkan kedua nikmatnya terbentang luas
“ ? jawabannya adalah : “ Boleh tatsniyyah (kata bentuk dua) ini dari jenis
bukan tatsniyyah mufrad (satu), maka contohnya seperti hadits Nabi : “ Perumpamaan
Munafiq seperti kambing cacat di antara dua kambing”. Maka salah satu jenis
adalah nikmat dunia dan satunya nikmat akherat. Boleh juga dijawab : “ Dua
nikmat dhahir dan nikmat bathin, sebagaiman firman Allah : “ Dan Allah
menyempurnakan nikmat-niikmat-Nya pada kalian secara dhahir dan bathin “.[15]
Imam
asy-Syaukani menafsirkannya : “ Bahkan Allah di dalam puncaknya
kedermawanan. Penyebutan kedua tangan, padahal kaum Yahudi tidak menyebutkan
kecuali satu tangan, adalah sebagai bentuk mubalaghah (sangat) di dalam
membantah mereka dengan menetapkan apa yang menunjukkan puncaknya kedermawanan.
Karena menisbatkan kedermawanan dengan kedua tangan lebih sangat daripada
menisbatkannya dengan satu tangan “.[16]
Dari
penafsiran para ulama besar di atas, dipahami bahwasanya mereka semua
menafsirkan kedua tangan dengan makna khusus yang bukan mengarah pada makna
hakikatnya dalam bahasa Arab dan tidak mengarah pada makna jarihah (anggota
tubuh), mereka semua menyerahkan maknanya kepada Allah. Dan inilah madzhab
ulama salaf. Dan itulah yang dimaksudkan oleh imam Abul Hasan al-Asy’ari dan
Ibnu Baththal bukan sebegaimana pemahaman Abul Jauza dan kaum wahabi.
Ditulis Oleh: Ustaz Ibnu Abdillah Al-Katibiy
p/s: Ada beberapa matan arab dalam bentuk image yang tidak dilampirkan kerana terlalu banyak kerja perlu dilakukan kerana kerja-kerja edit akan mengambil masa yang lama, maka kami putuskan tidak letakkan bagi menjimatkan masa, namun bagi sesiapa yang mahu, kami akan emailkan file wordnya yang lengkap dengan matan arab.
No comments: