Kaum Mujassimah sering kali membuat syubhat kepada kaum awam muslimin bahwa Allah memiliki sifat mata, tangan, kaki, jari, wajah, atau semisalnya dengan pemahaman secara makna zahirnya. Padahal jika mereka mau merujuk kepada mzhab ulama salaf, maka mereka akan mengetahui bahwa mazhab salaf yang sebenarnya jauh dari pemahaman yang semacam itu. Abul Jauza dalam tulisannya ini, sama persis dengan apa yang dipahami oleh kaum mujassimah. Pemahaman Mujassimah memang menjadi doktrin kaum wahabi-salafi. Kita akan bongkar kedustaan mereka ini yang mengatasnamakan ulama salaf dalam hujjah-hujjah mereka.
Abul Jauza
mengatakan :
Allah ta’ala berfirman :
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا
وَوَحْيِنَا وَلا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ
“Dan buatlah bahtera itu dengan (pengawasan) mata-mata
dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang
yang lalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan” [QS. Huud : 37].
حدثنا محمد بن عبد الأعلى قال ، حدثنا محمد بن
ثور، عن معمر، عن قتادة في قوله:(بأعيننا ووحينا) ، قال: بعين الله ووحيه.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsaur,
dari Ma’mar, dari Qataadah tentang firman-Nya : ‘dengan (pengawasan)
mata-mata dan petunjuk wahyu Kami’, ia berkata : “Dengan mata Allah dan
wahyu-Nya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir dalam Tafsir-nya, 15/309
no. 18131; shahih].
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ
بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu,
maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan mata-mata Kami, dan
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri” [QS. Ath-Thuur : 48].
حدثنا موسى بن إسماعيل: حدثنا جويرية، عن
نافع، عن عبد الله قال: ذكر الدجال عند النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: (إن الله
لا يخفى عليكم، إن الله ليس بأعور - وأشار بيده إلى عينه - وإن المسيح الدجال أعور
العين اليمنى، كأن عينه عنبة طافية).
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil :
Telah menceritakan kepada kami Juwairiyyah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah (bin
‘Umar), ia berkata : Disebutkan Dajjaal di sisi Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak
tersembunyi dari kalian. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah matanya –
lalu beliau berisyarat dengan tangannya ke matanya - . Dan bahwasannya
Al-Masiih Ad-Dajjaal itu buta sebelah matanya yang kanan seakan-akan matanya
itu seperti buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 7407].
حدثنا علي بن نصر ومحمد بن يونس النسائي
المعنى قالا ثنا عبد الله بن يزيد المقرئ ثنا حرملة يعني بن عمران حدثني أبو يونس
سليم بن جبير مولى أبي هريرة قال سمعت أبا هريرة يقرأ هذه الآية إن الله يأمركم أن
تؤدوا الأمانات إلى أهلها إلى قوله تعالى سميعا بصيرا قال : رأيت رسول الله صلى
الله عليه وسلم يضع إبهامه على أذنه والتي تليها على عينه قال أبو هريرة رأيت رسول
الله صلى الله عليه وسلم يقرؤها ويضع إصبعيه قال بن يونس قال المقرئ يعني إن الله
سميع بصير يعني أن لله سمعا وبصرا
قال أبو داود وهذا رد على الجهمية
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Nashr dan
Muhammad bin Yuunus An-Nasaa’iy secara makna, mereka berdua berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yaziid Al-Muqri’ : Telah menceritakan
kepada kami Harmalah, yaitu Ibnu ‘Imraan : Telah menceritakan kepadaku Abu
Yuunus Sulaim bin Jubair maulaa Abu Hurairah, ia berkata : Aku mendengar Abu
Hurairah membaca ayat ini : ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya’ hingga firman-Nya ta’ala :
‘Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ (QS. An-Nisaa’ : 58). Ia (Abu
Hurairah) berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam meletakkan ibu jarinya pada telinganya, dan jari telunjuknya ke
matanya”. Abu Hurairah berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam membaca ayat itu seraya meletakkan kedua jarinya
tersebut”. Ibnu Yuunus berkata : Berkata Al-Muqri’ : “Yaitu, sesungguhnya
Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, yaitu Allah mempunyai pendengaran
dan penglihatan”.
Abu Daawud berkata : “Hadits ini merupakan bantahan
terhadap sekte Jahmiyyah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4728; dishahihkan
sanadnya oleh Al-Albaaniy dalamShahih Sunan Abi Daawud 3/156].
Hadits di atas merupakan penunjukkan yang jelas dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam(dan juga para perawi hadits
dari kalangan shahabat dan ulama setelahnya) bahwasannya Allah ta’ala benar-benar
mempunyai mata secara hakiki, bukan dalam arti majaz seperti persangkaan
sebagian orang. Adapun perkataan Abu Daawud bahwa hadits tersebut merupakan bantahan
terhadap sekte Jahmiyyah, hal itu dikarenakan mereka menafikkan sifat dzaatiyyah ini
dari Allah ta’ala.
Di antara perkataan para imam Ahlus-Sunnah tentang
penetapan mata bagi Allah ta’ala :
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :
فواجب على كل مؤمن أن يثبت الخالقه وبارئه ما
ثبّت الخالق البارئ لنفسه، من العين، غير مؤمن : من ينفي عن الله تبارك وتعالى ما
قد ثبته الله في محكم تنزيله، ببيان النبي صلى الله عليه وسلم الذي جعله الله
مبينًا عنه، عز وجل، في قوله : (وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم)، فبين
النبي صلى الله عليه وسلم أن الله عينين، فكان بيانه موافقًا لبيان محكم
التنزيل، الذي هو مسطور بين الدفتين، مقروء في المحاريب الكتاتيب.
“Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk menetapkan
bagi Al-Khaaliq Al-Baari (Allah) apa-apa yang telah ditetapkan
oleh Al-Khaaliq Al-Baari bagi diri-Nya, yaitu sifat ‘ain(mata). Sebaliknya,
bukan termasuk golongan mukmin orang yang menafikkan dari Allah tabaaraka
wa ta’ala apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Muhkam
At-Tanzil-Nya (Al-Qur’an) dan ditambah penjelasan dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang memang dijadikan Allah sebagai juru penerang
untuk setiap khabar yang berasal dari-Nya, melalui firman-Nya : ‘Dan
Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-Nahl : 44). Maka,
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa bagi
Allah itu mempunyai dua mata, dan penjelasannya itu sejalan dengan
penjelasan Muhkam At-Tanzil (Al-Qur’an) yang tertera di antara
lembaran-lembaran yang dibaca di mihrab-mihrab ataupun di tempat-tempat
pengajian” [Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla,
hal. 97, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz bin Ibrahim Asy-Syahwaan; Daar Ar-Rusyd,
Cet. 1/1408 H].
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata
:
وأن له سبحانه عينين بلا كيف، كما قال سبحانه:
(تجري بأعيننا).
“Bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala mempunyai
dua mata tanpa perlu ditanyakan bagaimananya (kaifiyah-nya), sebagaimana
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman : ‘Yang berlayar dengan
pemeliharaan (pengawasan mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14)” [Al-Ibaanah,
hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].
Al-Laalikaa’iy rahimahullah membuat
satu bab dalam kitab ‘aqidahnya :
سياق ما دل من كتاب الله عز وجل وسنة رسول
الله صلى الله عليه وسلم على أن صفات الله عز وجل الوجه والعينين واليدين
“Konteks apa-apa yang ditunjukkan dari
Kitabullah ‘azza wa jalla dan sunnah Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wa sallam bahwasannya di antara sifat-sifat Allah ‘azza
wa jalla adalah wajah, dua mata, dan dua tangan” [Syarh
Ushuulil-I’tiqaad, 3/412, tahqiq : Ahmad bin Mas’uud Al-Hamdaan]
Abu Ismaa’iil Al-Harawiy rahimahullah membuat
satu bab dalam kitabnya Al-Arba’uun fii Dalaailit-Tauhiid : Baab
Istbaatil-‘Ainain lahu ta’alaa (Bab Penetapan Dua Mata Bagi Allahta’ala)
[3/1].
Abu ‘Amru Ad-Daaniy rahimahullah setelah
menyebutkan hadits Dajjaal di atas berkata :
فأثبت له العينين
“Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menetapkan dua mata bagi Allah ta’ala” [Ar-Risaalah
Al-Waafiyyah, hal. 123].
Inilah ‘aqidah yang shahih, walau banyak orang bodoh
tidak menyukainya.
Walaupun begitu, sifat mata yang dimiliki Allah ta’ala berbeda
dengan makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Adapun Asyaa’irah – walau mereka mengaku Ahlus-Sunnah
– maka kenyataannya mereka bukanlah pengamal sunnah. Mereka menafikkan apa-apa
yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya serta menyelisihi perkataan salaf.
Jawaban
:
Sebagaimana
telah saya katakan di awal bahwasanya para ulama salaf tidak memahami teks-teks
mutaysabihat dengan makna hakikatnya secara bahasa Arab, karena makna
hakikatnya secara bahasa Arab kata YAD (tangan), RIJL (Kaki) atau ‘AIN (mata)
tidak ada lain menunjukkan jarihah yakni anggota tubuh atau alat jasad.
Mereka
justru bersepakat bahwa teks-teks mutasyabihat dari sifat-sifat Allah tidak
boleh dimaknai secara hakikatnya dan juga tidak boleh diktakwil dengan
pentakwilan yang bathil. Mereka mengimani itu semua tanpa penafsiran,
pensifatan, penyerupaan dan kaifiyyah.
Penyimpulan
bahwa “ Allah ta’ala benar-benar mempunyai mata secara
hakiki, bukan dalam arti majaz seperti persangkaan sebagian orang “, adalah
penyimpulan dari kaum wahabi saja yang bersumber dari kejahilan mereka
mencermati sikap para ulama salaf dalam masalah ini.
Imam
Sufyan bin Uyainah mengatakan :
ماوصفه
الله تبارك وتعالى به نفسه في كتابه قراءته تفسيره وليس لاحد ان يفسره لا بالعربية
ولا بالفارسية
“ Apa
yang Allah sifatkan diri-Nya di dalam al-Quran, maka pembacaannya adalah
tafsirnya, tidak seorang pun boleh menafsirkannya, tidak dengan bahasa Arab
ataupun bahasa persi “.[1]
Imam ahli Hadits al-Faqih Muhammad bin Hasan asy-Syaibani berkata :
“ Para ulama fiqih semuanya sepakat, dari barat ke timur, untuk mengimani al-Quran dan Hadits yang dibawa oleh para perowi terpercaya tentang sifat Allah Ta’ala tanpa tafsir, penyifatan dan tasybih. Barangsiapa yang mentafsirkannya sekarang sesuatu dari hal itu, maka dia telah keluar dari ajaran Nabi dan memisahkan diri dari barisan Ahlus sunnah wal Jama’ah. Karena sesungguhnya mereka (Ahlus sunnah) tidak mensifatinya dan juga tidak menafsirkannya, akan tetapi mereka berfatwa dengan apa yang ada dalam al-Quran dan sunnah kemudian mereka diam “. [2]
Sikap imam Ahmad bin
Hanbal :
“
Berkata Abu Bakar al-Khallal, telah mengabarkan padaku Ali bin Isa bahwasanya
Hanbal meceritakan pada mereka, ia berkata : “ Aku bertanya kepada Abu Abdillaj
(imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala turun
ke langit dunia, dan Allah Ta’ala meletakkan telapak kaki-Nya dan semisalnya
?”, maka imam Ahmad menjawab : “ Kami mengimaninya dan kami membenarkannya,
tanpa kaif dan tanpa makna, kami tidak menolaknya sedikit pun dari itu, dan
kami mengetahui bahwa apa yang dibawa oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam
adalah haq jika sanadnya sahih, dan kami tidak menolak ucapan Nabi. Allah tidak
boleh disifati dengan sifat yang banyak dari sifat yang Allah sifatkan sendiri,
atau didisfati oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tanpa batasan dan puncak.
“ sesugguhnya Allah tidak seperti sesuatu pun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat “. [3]
Dua
ulama salaf di atas cukup mewakili madzhab ulama salaf lainnya yakni mengimani
dan membenarkan teks mutasyabihat tanpa memberikan penafsiran maknanya dan
menjahuhkan kaifiyyah darinya. Hal ini sangat jelas berbeda dengan anggapan dan
keyakinan kaum wahabi selama ini yang mengatakan teks-teks sifat memiliki makna
hakikatnya secara dhahir sesuai bahasa Arabnya.
Imam Badruddin
bin Jama’ah juga mengatakan :
واتفق السلف وأهل التأويل على أن ما لا
يليق من ذلك بجلال الرب تعالى غير مراد... واختلفوا في تعيين ما يليق بجلاله من
المعاني المحتملة... فسكت السلف عنه، وأوله المتأولون
“ Ulama salaf dan ulama takwil sepakat atas apa yang tidak layak bagi keagungan
Allah, bukanlah yang dimaksud. Mereka berbeda pendapat di dalam menentukan
kemungkinan makna-maknanya yang layak bagi keagungan Allah... Ulama salaf diam
dari ini sedangkan ulama takwil mentakwilnya “.[4]
Imam
an-Nawawi mengatakan :
اعلم
أن لأهل العلم في أحاديث الصفات وآيات الصفات قولين: أحدهما وهو مذهب معظم السلف
أو كلهم أنه لا يتكلم في معناها بل يقولون: يجب علينا أن نؤمن بها ونعتقد لها معنى
يليق بجلال الله تعالى وعظمته مع اعتقادنا الجازم أن الله تعالى ليس كمثله شيء،
وأنه منزه عن التجسم والانتقال والتحيز في جهة وعن سائر صفات
المخلوق، وهذا القول هو مذهب جماعة من المتكلمين واختاره جماعة من محققيهم وهو أسلم
المخلوق، وهذا القول هو مذهب جماعة من المتكلمين واختاره جماعة من محققيهم وهو أسلم
“
Ketahuilah ulama dalam hadits-hadits sifat atau ayat-ayat shifat memiliki dua
pendapat : Yang pertama adalah madzhab mayoritas ulama salaf atau
keseluruhannya, yaitu tidak membicarakan maknanya bahkan mengatakan, “ Wajib
atas kita mengimaninya dan meyakini hal itu punya makna yang layak bagi
keagungan Allah disertai keyakinan kita yang kuat bahwa Allah Ta’ala tidak
seperti sesuatu dan Allah disucikan dari jisim, berpindah, berbatas di suatu
arah dan dari semua sifat makhluk. Ucapan ini adalah madzhab sekelompok dar-
mutakallimin dan dipilih oleh sekelompok para pentahqiq mereka, dan ia lebih
selamat “. [5]
Adapun
hadits yang dibawakan Abul Jauza di atas sebagai hujjahnya, maka sama sekali
bukan dalil menunjukkan makna ‘ain secara zahirnya. Memahami ‘ain secara
hakikat zahirnya adalah hanyalah kaum mujassimah saja bukan pemahaman Ahlus
sunnah terlebuh ulama salaf. Abul Jauza berdalil :
حدثنا موسى بن إسماعيل: حدثنا جويرية، عن
نافع، عن عبد الله قال: ذكر الدجال عند النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: (إن الله
لا يخفى عليكم، إن الله ليس بأعور - وأشار بيده إلى عينه - وإن المسيح الدجال أعور
العين اليمنى، كأن عينه عنبة طافية).
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah
menceritakan kepada kami Juwairiyyah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah (bin ‘Umar),
ia berkata : Disebutkan Dajjaal di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak
tersembunyi dari kalian. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah matanya –
lalu beliau berisyarat dengan tangannya ke matanya - . Dan bahwasannya
Al-Masiih Ad-Dajjaal itu buta sebelah matanya yang kanan seakan-akan matanya
itu seperti buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 7407].
Tanggapan
:
Hadits
di atas sama sekali tidak menunjukkan dalil Allah memiliki mata secara makna
zahir nash tersebut. Akan tetapi justru menunjukkan beberapa perkara berikut :
1.
Bahwa Allah maha suci dari sifat kekurangan / aib, seperti buta sebelah
(a’war).
2.
A’war (picek atau buta sebelah) adalah sifat kemanusiaan dajjal. Maka jika
dajjal mengaku Tuhan, dapat diketaui kedustaannya dengan sifat ke-a’waran
dajjal tersebut. Maka hadits ini menggambarkan tentang mata dajjal bukan mata
Allah.
3. Hadits
tersebut sama sekali bukan sedang menjelaskan sifat Allah akan tetapi sedang
menjelaskan sifat dajjal. Isyarah kepada mata adalah bukan menjelaskan kepada
sifat mata Allah, akan tetapi menjelaskan sifat mata dajjal yang mata sebelah kanannya
cacat. Hadits ini membicarakan ciri mata dajjal, kenapa dijadikan hujjah bagi
mata Allah ??
Yang
menjadikan dalil hadits di atas sebagai dalil penetapan mata Allah yang
berbentuk jarihah (organ) adalah hanyalah kaum Mujassimah. Perhatikan ucapan para
imam besar ini :
وقال بن بطال احتجت المجسمة
بهذا الحديث وقالوا في قوله [وأشار بيده إلى عينه] دلالة على ان عينه كسائر
الأعين وتعقب باستحالة الجسمية عليه لأن الجسم حادث وهو قديم فدل على ان المراد نفي النقص عنه انتهى
الأعين وتعقب باستحالة الجسمية عليه لأن الجسم حادث وهو قديم فدل على ان المراد نفي النقص عنه انتهى
“
Ibnu Bththal berkata : “ Kaum Mujassimah berhujjah dengan hadits tersebut dan
mereka mengatakan tentang ucapan ini, “ Dan beliau mengisyaratkan tangan ke
matanya “, adalah dalil seperti mata lainnya. Lalu (Ibnu Baththal)
mengomentarinya dengan kemustahilan jisim bagi Allah, keraan jisim itu menunjukkan
baharu sedangkan Allah Maha Dahulu, maka menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
menafikan sifat kekurangan dari Allah “. (selesai) “. [6]
Ibnu Baththal mengaskan bahwa yang menjadikan hujjah
dengan hadits di atas untuk menetapakan makna zahir dari ‘ain hanyalah kaum
mujassimah seperti kaum wahabi ini.
Al-Hafidz imam Ibnu Hajar al-Atsqalani juga pernah
ditanya tentang penyikapan hadits tersebut, kita tengok jawaban seoang imam
besar hadits ini :
وقد سئلت هل يجوز لقارئ هذا الحديث ان يصنع كما صنع رسول
الله صلى الله عليه و سلم ؟فأجبت وبالله التوفيق انه ان حضر عنده من يوافقه على
معتقده وكان يعتقد تنزيه الله تعالى عن صفات الحدوث وأراد التأسي محضا جاز والأولى
به الترك خشية ان يدخل على من يراه شبهة التشبيه تعالى الله عن ذلك ولم أر في كلام
أحد من الشراح في حمل هذا الحديث على معنى خطر لي فيه اثبات التنزيه وحسم مادة
التشبيه عنهوهو ان الإشارة إلى عينه صلى الله عليه و سلم انما هي بالنسبة الي عين
الدجال فانها كانت صحيحة مثل هذه ثم طرأ عليها العور لزيادة كذبه في دعوى الإلهية
وهو انه كان صحيح العين مثل هذه فطرأ عليها النقص ولم يستطع دفع ذلك عن نفسه
“ Aku (Ibnu Hajar) pernah ditanya : “ Apakah boleh
bagi orang yang membaca hadits ini untuk berbuat / bertindak sebagaimana
tindakan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam (dalam menyampaikan hadits itu
dengan isyarah) ?? Maka aku jawab dengan mengharap taufiq Allah : “ Sesungguhnya
jika di hadapannya adalah orang yang sesuai dengan akidahnya dan berkyakinan
Allah Maha Suci dari sifat baharu, dan semata-mata hanya mengikuti Nabi saja,
maka boleh melakukan hal itu akan tetapi yang lebih utama adalah
meninggalkannya (tidak melakukan isyarah tersebut) karena khawatir orang yang
melihatnya akan mengasumsi syubhat tasybih (penyerupaan kepada Allah), Maha
Suci Allah dari hal itu. Aku tidak pernah melihat seorang pun dari ulama pensyarah
hadits tersebut yang membawakan hadits tersebut atas makna yang terlintas
atasku penetapan penyucian Allah dan memotong unsure penyerupaan yaitu bahwa
isyarat kepada mata Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam adalah hanyalah
dinisbatkan kepada mata dajjal, karena mata dajjal konon itu sehat / normal
kemudian ditimpa cacat sebelah supaya menambah kedustaannya dalam mengaku
Tuhan. Dajjal dahulu itu normal matanya seperti ini, lalu ditimpa kecacatan dan
ia tidak mampu menolak hal itu dari dirinya “. [7]
Renungkan
sikap dan kesimpulan Ibnu Hajar tersebut, beliau mengatakan tidak boleh
membawkan hadits tersebut dengan isyarah sebagaimana isyarah Nabi di hadapan
kaum awam yang tidak memiliki dasar tauhid tanzih. Dan beliau menyimpulkan bahwa hadits tersbut dalam
konteks menjelaskan atau menggambarkan cirri-ciri dajjal bukan cirri-ciri
Allah. Renungkan ini wahai Abul Jauza..
Bahkan imam Malik lebih tegas lagi dari imam Ibnu
Hajar. Imam Malik mengatakan bahwa jika ada orang yang membawakan hadits
semacam ini dengan menggunakan isyarat anggota tubuhnya, maka anggota tubuhnya
itu harus di potong. Perhatikan komentar imam Malik berikut ini :
روى حرملة بن يحيى قال سمعت
عبدالله بن وهب يقول سمعت مالك بن أنس يقول: من وصف شيئا من ذات الله مثل قوله وقالت
اليهود يد الله مغلولة وأشار بيده إلى عنقه ومثل قوله وهو السميع البصير فأشار إلى
عينيه أو أذنه أو شيئا من بدنه قطع ذلك منه لأنه شبه الله بنفسه ثم قال مالك أما سمعت
قول البراء حين حدث أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يضحى بأربع من الضحايا وأشر
البراء بيده كما أشار النبي صلى الله عليه و سلم بيده قال البراء: ويدي أقصر من يد
رسول الله صلى الله عليه وسلم فكره البراء أن يصف رسول الله صلى الله عليه
وسلم إجلالا له وهو مخلوق فكيف الخالق الذي ليس كمثله شيء
وسلم إجلالا له وهو مخلوق فكيف الخالق الذي ليس كمثله شيء
“
Harmalah bin Yahya meriayatkan, ia berkata, “ Aku mendengar Abdullah bin Wahb
berkata, “ Aku mendengar Malik bin Anas berkata : “ BBarangsiapa yang mensifati
Dzat Allah seperti firman-Nya : “ Berkata Yahudi, “ Tangan Allah dibelenggu “
dan ia mengisyaratkan tangannya ke pundaknya, dan semisal firman-Nya, “ Dan Dia
Maha Mendengar lagi Maha Melihat “, lalu ia mengisyaratkan ke kedua mata atau
telinganya atau sesuatu dari bagian tubuhnya, maka bagian tubuhnya itu kena
dipotong, keran dia telah menyerupakan Allah dengan dirinya “. Kemudian imam
Malik berkata : “ Tidakkah kamu mendengar ucapan al-Barra ketika membawakan
hadits bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Tidak melakukan
qurban dengan empat binatang qurban “, lalu al-Barra mengisyaratkan tangannya
sebagaimana Rasul mengisyaratkan tangannya. Lalu al-Barra berkata : “ Dan tanganku lebih pendek
dari tangan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Barra tidak suka
mensifati Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam kerana sikap pengaggungannya pada
Nabi padahal nabi adalah makhluk, lantas bagaimana dengan Allah sang Maha
Pnecipta yang tidak ada sesuatu pun serupa dengan-Nya ? “.[8]
Bagaimana dengan imam Ahmad bin Hanbal? Sikap imam
Ahmad bin Hanbal pun sama sengan sikap imam Malik dalm hal ini. Maka kaum
Mujassimah adalah yang memahami hadits-hadits semacam itu dengan makna zahirnya
dan menjadikan hadits-hadits tersebut dalil penetapan sifat Allah secara
zahirnya. Jelas pemahaman Abul Jauza ini sama persis dengan pemahaman kaum
Mujassimah.
Dari
penjelasan ulama di atas, dipahami bahwasanya ulama salaf mayoritas atau bahkan
keseleuhannya bermadzhab Tafwidh makna, yakni tiga hal berikut ini :
1. Tidak membicarakan
maknanya bahkan mengimaninya. Dalam hal ini sebagaimana
ucapan imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana telah saya sebutkan di atas :
Dan
juga sebagaimana ucapan imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani di atas :
“
Barangsiapa yang mentafsirkannya sekarang
sesuatu dari hal itu, maka dia telah keluar dari ajaran Nabi dan memisahkan
diri dari barisan Ahlus sunnah wal Jama’ah “.[10]
2. Meyakini
bahwa ayat atau hadits shifat memiliki makna yang layak bagi keagungan Allah.
Yakni para ulama salaf menyerahkan kepada Allah makna yang mengarah pada tasybih (penyerupaan), adapun sifat yang sempurna dari segala sisi dan tidak mengarah pada penyerupaan, maka mereka menetapkannya makna kulli yang musytarak[11] itu. Sedangkan makna kulli yang musytarak yang mengarah pada tajsim dan tasybih atau kekurangan, maka para ulama salaf mentafwidh (menyerahkan) maknanya, contoh sifat ‘Tangan’, karena ketika kita menyandarkan tangan seperti tangan Zaid, tangan Umar, tangan semut atau tangan gajah, maka makna kullinya (keseluruhannya) yang musytarak (digunakan bersama) kepada semua itu adalah sesuatu yang sama dan serupa yakni anggota tubuh atau alat yang digunakan untuk mengambil dan memberi. Maka ketika kita sandarkan sifat Tangan pada Allah secara makna hakikatnya dari bahasa Arab, maka dia telah benar-benar menyerupakan dan menjisimkan Allah. Maka setelah itu tidak akan bermanfaat ucapan : “ Sebagaimana yang layak bagi keagungan Allah “, sebab makna itu sudah tidak pantas dan tidak layak bagi Allah, bagaimana mungkin membawakan lafaz itu pada Allah. Insi seperti orang yang mengatakan “ Aku menisbatkan kepada Allah apa yang tidak pantas bagi-Nya sesuai apa yang pantas bagi-Nya “. Ucapan yang penuh kerancuan dan kesesatan.
Yakni para ulama salaf menyerahkan kepada Allah makna yang mengarah pada tasybih (penyerupaan), adapun sifat yang sempurna dari segala sisi dan tidak mengarah pada penyerupaan, maka mereka menetapkannya makna kulli yang musytarak[11] itu. Sedangkan makna kulli yang musytarak yang mengarah pada tajsim dan tasybih atau kekurangan, maka para ulama salaf mentafwidh (menyerahkan) maknanya, contoh sifat ‘Tangan’, karena ketika kita menyandarkan tangan seperti tangan Zaid, tangan Umar, tangan semut atau tangan gajah, maka makna kullinya (keseluruhannya) yang musytarak (digunakan bersama) kepada semua itu adalah sesuatu yang sama dan serupa yakni anggota tubuh atau alat yang digunakan untuk mengambil dan memberi. Maka ketika kita sandarkan sifat Tangan pada Allah secara makna hakikatnya dari bahasa Arab, maka dia telah benar-benar menyerupakan dan menjisimkan Allah. Maka setelah itu tidak akan bermanfaat ucapan : “ Sebagaimana yang layak bagi keagungan Allah “, sebab makna itu sudah tidak pantas dan tidak layak bagi Allah, bagaimana mungkin membawakan lafaz itu pada Allah. Insi seperti orang yang mengatakan “ Aku menisbatkan kepada Allah apa yang tidak pantas bagi-Nya sesuai apa yang pantas bagi-Nya “. Ucapan yang penuh kerancuan dan kesesatan.
3. Menafikan
makna dhahir yang mengarah pada tasybih dan tajsim.
Seperti tangan, kaki atau mata. Semua ini mewahamkan pada tasybih, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hanbal di atas : “ Allah tidak boleh disifati dengan sifat yang banyak dari sifat yang Allah sifatkan sendiri, atau didisfati oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tanpa batasan dan puncak. “ sesugguhnya Allah tidak seperti sesuatu pun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat “. [12]
Seperti tangan, kaki atau mata. Semua ini mewahamkan pada tasybih, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hanbal di atas : “ Allah tidak boleh disifati dengan sifat yang banyak dari sifat yang Allah sifatkan sendiri, atau didisfati oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tanpa batasan dan puncak. “ sesugguhnya Allah tidak seperti sesuatu pun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat “. [12]
Inilah
makna Tafwidh yang benar yang sesuai dengan statmen dan hujjah para ulama baik
salaf maupun kholaf, bukan sebagaimana dituduhkan kaum wahabi makna tafwidh
yang salah kepada kaum Ahlus sunnah wal jama’ah khsusunya kaum Asy’ariyyah dan
Maturudiyyah.
Demikian
komentar para ulama yang dinukil oleh Abul Jauza, memahaminya dengan pemahaman
tafwidh ini, bukan pemahaman yang direka-reka Abul Jauza dan kaum wahabi
lainnya tanpa adanya bukti kuat dan menyalahi realita dan fakta yang ada.
Ibnu Khuzaimah yang kalamnya
dinukil oleh Abul Jauza di atas, menyatakan sebagai berikut :
“
Para imam kaum muslimin dan perintis madzhab serta para pemimpin agama seperti
Malik, Sufyan, al-Awza’i, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Yahya, Ibnul
Mubarak, Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf, tidak membicarakan
hal itu (ayat shifat) dan mencegah para pengikutnya mendalaminya serta menunjukkan
mereka atas al-Quran dan Sunnah “.[13]
Dari penjelasan beliau dapat
kita pahami bahwasanya para ulama salaf di atas, sama sekali tidak mau
membicarakan makna dari ayat-ayat mutaysabihat khsusunya ayat atau hadits
shifat. Mereka menyerahkan maknanya kepada Allah. Dan mereka hanya cukup
pemahaman secara globalnya saja, Contoh :
بل
يداه مبسوطتان
“ Akan tetapi kedua tangan-Nya terbentang luas “.
Secara
global, ulama salaf memahami bahwa Allah sangat luas kedermawanan-Nya. Adapun
secara terperinci baik makna hakikat atau majaz, maka para ulama salaf tidak
ada satu pun yang menentukan makna-maknanya tersebut, mereka menyerahkan makna
kepada Allah Ta’ala dengan terlebih dahulu mensucikan Allah dari segala sifat
kekurangan dan sifat makhluk-Nya. Maka apa yang diklaim Abul Jauza dan menuduh
Asy’ariyyah meneyelisihi sunnah dan ulama salaf, sangatlah tidak benar, itu
semata-mata hanya pemahaman rekaan (dhann) Abul Jauza dan kaum wahabi saja,
justru faktanya pemahaman Abul Jauza dan kaum wahabi sangat menyelisihi
pemahaman ulama salaf dan kholaf, menyimpang dari pemahaman mayoritas umat Muslim,
Naudzu billah min sus-il fahm wal i’tiqad.
Ditulis oleh: Ibnu Abdillah Al-Katibiy
p/s: Ada beberapa matan arab dalam bentuk image yang tidak dilampirkan kerana terlalu banyak kerja perlu dilakukan kerana kerja-kerja edit akan mengambil masa yang lama, maka kami putuskan tidak letakkan bagi menjimatkan masa, namun bagi sesiapa yang mahu, kami akan emailkan file wordnya yang lengkap dengan matan arab.
[1] Al-Asma was shifat, imam Baihaqi : 298
[2] I’tiqad Ahlis sunnah, al-Lalikai : 3/432
[3] Dzam at-Takwil : 21
[4] Idhah ad-Dalil : 103
[5] Syarh Muslim : 3/19
[9] Dzam at-Takwil : 21
[10] I’tiqad Ahlis sunnah, al-Lalikai : 3/432
[11] Makna Kull adalah : kadar yang digunakan bersama yang menunjukkan
lafaz tersebut sebelum disandarkan pada lafaz lainnya dan tidak akan hilang
maknanya dengan disandarkan akan tetapi menjadi hilang jika dikhususkan.
[12] Dzam at-Takwil : 21
[13] Aqaawil ats-Tsiqaat : 62
No comments: