Sungguh banyak tuduhan dan fitnah yang dilontarkan Asrie bin Shobrie dalam
artikelnya tentang masalah doa. Terlebih ia seolah-olah begitu mudah mahu melontarkan kata-kata
musyrik, murtad dan kafir kepada mayoritas muslimin yang bertawassul dan
beristighatsah dengan Nabi atau orang shaleh yang sudah wafat. Bahkan begitu
mudahnya mahu memvonis masuk neraka kepada kaum muslimin, seolah-olah surga dan
neraka dia dan kaum wahabi yang menentukan. Dalam artikel bantahan kedua ini,
pembaca akan mengetahui kesilapan-kesilapan Asrie bin Shobrie ini, bahkan
kesalahan dalam menempatkan ayat-ayat dan nash hadits dari tempat yang
sebenarnya, persis kaum khowarij yang mengarahkan ayat-ayat kuffar kepada kaum
muslimin, serta penipuan dan dusta yang disematkan dalam artikelnya itu. Simak
dan perhatikan artikel saya ini, niscaya anda akan melihat dan membuktikan
kebodohan, kedustaan dan penipuan Asrie bin Shobrie.
Asrie bin shobrie mengatakan :
Hukum Meminta Bantuan Makhluk:
Harus meminta bantuan makhluk dalam perkara yang memang berada dalam kuasa
mereka selama mana hati beriktimad (bersandar) kepada Allah Ta’ala.
Misalnya, jika ada binatang buas maka harus kita meminta bantuan
mereka yang ahli dan ada senjata untuk membunuhnya, jika kita diserang musuh
maka harus kita meminta tolong orang yang hadir dan mampu untuk membantu kita
melawannya.
Dalil perkara ini adalah firman Allah:
وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ
أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا
مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ
عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ
Maksudnya: “dan masuklah ia ke bandar (Mesir) dalam masa
penduduknya tidak menyedarinya, lalu didapatinya di situ dua orang lelaki
sedang berkelahi, – seorang dari golongannya sendiri dan yang seorang lagi dari
pihak musuhnya. maka orang yang dari golongannya meminta tolong kepadanya
melawan orang yang dari pihak musuhnya; Musa pun menumbuknya lalu menyebabkan
orang itu mati...”.[al-Qasas: 15].
Kata Syeikh al-Qar’awi –rahimahullah-:
أن الآية تفيد جواز الاستغاثة بالمخلوق فيما يقدر
عليه
Maksudnya: “bahawa ayat ini memberi faedah: harus meminta bantuan
kepada makhluk dalam perkara yang mereka mampu lakukannya”. [al-Jadid fi
Syarhi Kitab al-Tauhid].
Saya jawab :
Mayoritas kaum muslimin yang berdoa dengan cara
bertawassul dengan nabi atau orang sholeh agar hajatnya terkabulkan, bukanlah
meminta kepada mayit dan bukan pula meminta hal yang tidak mampu dilakukan
mayit. Ini pemahaman dangkal kaum wahabi yang picik dan tidak memahami subtansial
dari tawassul atau istighatsah.
Sudah saya katakan di awal, Kaum muslimin yang melakukan
praktek tawassul dengan para nabi atau wali sama ada yang masih hidup atau pun
yang sudah meninggal, hanya memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih
untuk menjadi faktor penyebab di sisi Allah dalam memenuhi apa yang mereka
mohon dari Allah. Dengan cara Allah menciptakan kebutuhannya sebab syafaat, doa
dan tawajjuh para Nabi dan orang-orang shalih. Ini yang kaum muslimin
i’tiqadkan, jadi mereka bukanlah meminta kepada wali atau orang sholeh sama ada
yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal, tetapi hanya memohon kepada
Allah dengan menjadikan nabi atau wali sebagai mediator atau faktor penyebab.
Apakah Nabi pernah mengatakan kepada orang buta yang
datang kepada nabi lalu meminta disembuhkan dari kebutaannya dengan ucapan
syirik ??
Apakah Nabi mengatakan syirik kepada
Qatadah bin an-Nu’man yang meminta pertolongan Nabi agar menyembuhkan kornea
matanya ? sebagaimana telah berlalu haditsnya.
Apakah nabi mengatakan syirik kepada
sahabat yang meminta hujan turun kepada beliau saat dibutuhkan ?
Apakah Nabi mengatakan syirik kepada
sahabat yang meminta air lalu Nabi mengeluarkan air dari jari-jarinya ??
Bagaimana dengan kisah Nabi Sulaiman
ketika di majlisnya berkata kepada yang hadir : “ Wahai sekelompok kalian,
siapakah di antara kalian yang dapat mendatangkan kepadaku singgasana ratu
Balqis sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang muslim? (QS. An-Naml :
38). Nabi Sulaiman meminta dari mereka untuk menghadirkan singgasana besar
Balqis dari Yaman ke tempat beliau di Syam dengan cara di luar kebiasaan
(Khariqul ‘aadah). Ketika jin Ifrit menjawab : “ Aku akan mendatangkannya
padamu sebelum kamu bangun dari tempat dudukmu “ (QS. An-Naml : 39). Lalu Nabi
Sulaiman berkata : “ Aku ingin yang lebih cepat dari itu “. Lalu salah satu
orang dari bansga manusia yang ada di majlis itu berkata kepada nabi Sulaiman :
“ Aku akan mendatangkannya padamu sebelum matamu berkedip kembali “ (QS.
An-Naml : 40), maka Nabi Sulaiman mau dan seketika itu datanglah singgasana
ratu Balqis di hadapan nabi Sulaiman.
Apakah Nabi Sulaiman telah murtad,
kafir karena meminta sesuatu yang tidak mampu dilakukan bangsa jin dan manusia
secara kebiasaaan (‘aadat) ?? apakah orang itu yang mengatakan mampu
mendatangkan singgasana dalam sekejap itu telah musyrik karena berkata apa yang
ia tidak mampu melakukannya secara kebiasaan (aadat) ??
Jika kaum wahabi sulit memahami kisah
dan peristiwa ini (walau sebenarnya kaum wahabi dangkal pemahamannya), maka
saya akan jelaskan. Pada hakekatnya kaum muslimin yang bertawassul atau
beritighatsah dengan nabi atau orang shaleh sama ada yang wafat atau yang masih
hidup, adalah mereka hanyalah memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah
semata, dan pertolongan atau bantuan itu termasuk yang Allah mampukan kepada
nabi atau orang shalih itu dan Allah kasihkan kepada mereka. Maka ucapan
seorang yang bertawassul atau beristighatsah misal : “ Wahai nabi Allah,
sembuhkanlah aku, tunaikanlah hutangkau “, maka sesungguhnya ia hanyalah
menginginkan : “ Bantulah aku dengan syafa’at dan pertolonganmu agar aku
sembuh, dan doakanlah agar hutangku terlunasi, bertawajjuhlah kepada Allah
dalam urusanku ini “. Maka mereka kaum muslimin tidaklah meminta kecuali apa
yang Allah mampukan dan berikan pada mereka berupa doa dan syafa’at atau
pertolongan.
Renungkan
Hadits Nabi Saw berikut ini :
اللهم
اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل
“ Ya Allah, turunkanlah hujan yang
MENOLONG, MENYELAMATAKAN, enak, yang subur, MEMBERI MANFAAT dan TIDAK
MENDATANGKAN BAHAYA, segera dan tidak ditunda “. (HR.
Abu Dawud : 988 dengan sanad yang sahih)
Dalam hadits yang berupa doa tsb, Nabi menyebut dan
menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair
Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).
Apakah Nabi kita vonis musyrik dengan ucapannya itu ? Apakah berarti Nabi telah
meyakini bahwa hujan itu merupakan penolong, penyelamat dan pemberi manfaat ?? Atau
apakah Nabi ingin mengajarkan kesyirikan kepada umatnya ??
Jika
menuruti pemahaman orang yang Asrie bin Shobrie dan wahabi, seharusnya redaksi dari
Nabi tersebut sangat layak divonis syirik…
Reungkanlah hal ini wahai wahabi...
Asrie bin shobrie mengatakan
:
Adapun orang yang telah mati, mereka tidak mampu melakukan apa-apa jua
sekalipun sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
Maksudnya: dan (engkau Wahai Muhammad) tidak dapat menjadikan
orang-orang yang di dalam kubur mendengar (dan menerimanya). [Fatir: 22].
Saya jawab :
Pemahaman yang bertolak belakang dengan
nash-nash sharih tentang mendengarnya orang yeng telah mati dalam kubur. Dan
pemahaman yang menyimpang dari pemahaman yang benar. Dalam kitab Muktashar
Tafsir Ibnu Katsir, karya syaikh ash-Shabuni juz 3 halaman 45 ketika
menafsirkan ayat di atas, beliau mengatakan :
إن المعنى: أي كما
لا ينتفع الأموات بعد موتهم وصيرورتهم إلى قبورهم وهم كفار بالهداية والدعوة إليها كذلك هؤلاء المشركون الذين كتب عليهم الشقاوة لا حيلة
لك فيهم، ولا تستطيع هدايتهم (إن
أنت إلا نذير)
“ Makna ayat
tersebut adalah; sebagaimana mayat tidak bermanfaat setelah kematiannya dan
setelah masuknya mereka ke dalam kubur mereka dan mereka mengkufuri hidayah
dabn dakwah padanya, maka demikian pula mereka kaum musyrik yang dicatat oleh
Allah mendapat kecelakaan, maka kamu tidak ada celah untuk menolong mereka dan
kamu tidak akan mampu memberi hidayat mereka, kamu hanyalah sekedar
memperingatkan mereka saja “.
Maka jelas yang dimaksud ayat di atas
adalah kaum kafir yang terus melakukan kebathilan tidak akan bermanfaat
peringatan dan nasehat, sebagaimana orang mati yang tidak akan bermanfaat jika
dikasih peringatan dan nasehat akibat kekafiran mereka.
Dalam Tafsir ath-Thabari disebutkan :
وقوله (إنك لا تسمع الموتى) يقول: إنك يا محمد لا تقدر
أن تفهم الحق من طبع الله على قلبه فأماته لأن الله قد ختم عليه أن لا يفهمه (ولا يسمع الصم الدعاء) يقول: ولا تقدر أن تسمع ذلك من
أصم الله عن سماعه سمعه (إذا
ولوا مدبرين) يقول: إذا هم أدبروا معرضين عنه لا يسمعون له، لغلبة دين الكفر على قلوبهم ولا يصغون للحق ولا يتدبرون ولا ينصتون
لقائله، ولكنهم يعرضون عنه وينكرون
القول به والاستماع له.
“ Ayat : “ Sesungguhnya kamu
tidak akan mampu memperdengarkan orang-orang yang telah mati “, Dia
berkata : “ Sesungguhnya kamu wahai Muhammad tidak akan mampu memberikan
pemahaman yang haq kepada orang yang telah Allah cap / stempel hatinya lalu
Allah matikan, karena sesungguhnya Allah telah menstempel hati mereka untuk
tidak memahami. “ Dan orang tuli tidak akan mendengar seruan “, Dia berkata : “
Dan kamu tidak akan mampu untuk memperdengarkan kepada orang yang telah Allah
tulikan pendengarannya “. “ Jika mereka berpaling “, Dia berkata : “ Jika
mereka kembali ke belakang dan berpaling darinya tidak mau mendengarkannya,
karena sangat kuatnya agama kufr dalam hati mereka, mereka tidak akan mau
memperhatikan dan mendengarkan penyeru kebenaran, akan tetapi mereka akan
berpaling dan mengingkari ucapan dan pendengaran darinya “. (Tafsir ath-Thabari
: jilid 11 juz 25 halaman 12)
Inilah pemahaman yang benar tentang
ayat di atas, bukan sebagaimana pemahaman cacat wahabi. Dan sesungguhnya
orang-orang yang telah meninggal dapat mendengar bahkan merasakan dan mendapat manfaat kebaikan
dan merasa senang dari orang yang hidup, merasa sedih dan susah dengan
keburukan, terutama para syuhada, orang shalih dan para nabi sebagaimana banyak
ayat dan hadits sahih menjelaskan hal ini. Di antaranya :
Dalam hadits sahih yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim diceritakan saat Nabi berada di perang badar, Nabi berdiri
dan berseru kepada kaum kafir yang mati : “ Apakah kalian telah mendapatkan
dengan benar janji Tuhan kalian yang telah dijanjikan pada kalian ? “ kemudian
Nabi bersabda : “ Sesungguhnya mereka semua sekarang mendengar apa yang aku
ucapkan...”. (HR. Bukhari & Muslim)
Juga hadits sahih pada saat perang
Badar Nabi memanggil-manggil orang-orang kafir Quraisy yang di kubur di dalam
sumur badar. “ Wahai ‘Utbah, wahai Syaibah, wahai Rabi’ah!”. “ Mengapa engkau
memanggil manggil mereka yang telah menjadi bangkai? tanya seseorang. Maka Nabi
menjawab :
ما أنتم بأسمع منهم لكنهم لا يستطيعون الجواب
“ Kalian tidak
lebih mendengar dibanding mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab,”
Dalam riwayat sahih yang lain Nabi
mengatakan :
والذي
نفس محمد بيده ما أنتم بأسمع لما أقول منهم
“ Demi yang
jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah kalian lebih mendengar dibanding
mereka dari apa yang aku ucapkan “.
Orang kafir saja dapat mendengar,
apalagi ruh kaum muslimin terlebih ruh para wali Allah dan para Nabi.
Dalam hadits sahih disebutkan
bahwasanya Nabi berhenti di makam Mush’ab bin Umair setelah terjadinya perang
Uhud, lalu Nabi menangisuan kemdian bersabda :
أشهد أنكم أحياء عند الله عز وجل ألا فزوروهم وسلموا عليهم والذي نفسي
بيده لا يزورهم أحد ويسلم عليهم إلا ردوا عليه السلام إلى يوم القيامة
“ Aku bersaksi
bahwa mereka hidup di sisi Allah Azza wa Jalla, maka ziarah lah kalian dan
berilah salam atas mereka, sungguh yang jiwaku berada di tanggan-Nya, tidaklah
sesorang berziarah kepada mereka dan memberi salam atas mereka kecuali mereka
akan membalas salamnya hingga hari kiamat “. (Diriwayatkan
oleh imam al-Hakim di dalam Mustadraknya dengan sanad yang sahih dari Abu
Hurairah)
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
ما من أحد يمر بقبر
أخيه الذي كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عرفه ورد عليه السلام
“ Tidak ada
seorang pun berlalu di kuburan saudaranya yang dahulu di dunia ia kenal lalu
mengucapkan salam atasnya, kecuali saudaranya yang ada di kuburan itu
mengenalnya dan membalas ucapan salamnya “. (Ibnu
al-Mubarak mengatakan : “ Hadits ini telah tsabit dari Nabi dan disahihkan oleh
Abdul Haq shohibul Ahkam)
Nabi juga bersabda :
إن الميت
إذا وضع في قبره إنه يسمع خفق نعالهم
“ sesungguhnya
orang yang meninggal jika diletakkan dalam kuburnya, ia dapat mendengar suara
sandal para pentakziahnya “. (Fathul Bari : 3/205)
Ketika Nabi memasuki perkuburan beliau
membaca :
السلام عليكم أهل الديار
من المؤمنين والمسلمين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون، أسال الله لنا ولكم العافية
“ Salam
sejahterah atas kalian wahai penghuni kampung halaman dari kaum mukmin dan
muslim. Dan sesungguhnya kami isnya Allah akan menyusul kalian, aku memohon
kepada Allah afiat untuk kami dan kalian “. (Talkhish
al-Habir : 2/137)
Dalam hadits ini, begitu jelas Nabi
shallahu ‘alaihi wa sallam menyeru orang-orang yang sudah meninggal dari kaum
muslimin dan mukminin, bahkan beliau mendoakan mereka. Jelas ada doa dan seruan
(nida) kepada yang orang yang telah meninggal, apakah hal ini ibadah kepada
selain Allah, karena Nabi mengajarkan doa dan seruan dalam hadits itu ?
Syaikh Ibnu Taimiyyah pernah ditanya
apakah orang yang meninggal mengetahui jika ada yang menziarahinya ? berikut
redaksinya :
سئل
الشيخ عن الأحياء إذا زاروا الأموات هل يعلمون بزيارتهم ؟ وهل يعلمون بالميت إذا مات من قرابتهم أو غيره ؟ فأجاب
: الحمد لله ، نعم جاءت الآثار بتلاقيهم وتساؤلهم وعرض أعمال الأحياء على الأموات
، كما روى ابن المبارك عن أبي أيوب الأنصاري قال :[إذا قبضت نفس المؤمن تلقاها الرحمة من عباد الله كما يتلقون
البشير في الدنيا فيقبلون عليه ويسألونه فيقول بعضهم لبعض : أنظروا أخاكم يستريح
فإنه كان في كرب شديد ، قال : فيقبلون عليه ويسألونه ما فعل فلان وما فعلت فلانة
هل تزوجت] الحديث .وأما علم الميت بالحي إذا زاره وسلم عليه ففي حديث ابن عباس قال
: قال رسول الله :((ما
من أحد يمر بقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عرفه ورد عليه السلام)) ..قال ابن المبارك : ثبت ذلك عن النبي وصححه
عبد الحق صاحب الأحكام
“ Syaikh Ibnu Taimiyyah ditanya tentang
orang yang hidup menziarahi orang yang sudah wafat, apakah mereka mengatahui
ziarahnya ? maka beliau menjawab : Alhamdulillah, ya (mereka mendengar) telah
datang atsar-atsar yang menjelaskan pertemuan mereka dan saling bertanyanya
mereka serta disodorkannya amalan orang yang hidup kepada orang yang sudah
wafat. Sebagaimana Ibnu Al-Mubarak melirwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari
beliau berkata : “ Jika nyawa seorang muslim dicabut, maka ia akan mendapat
berkah dari hamba-hamba Allah sebagaimana manusia saling bertemu di dunia lalu
mereka saling menghadap dan saling bertanya di dunia, lalu mereka saling
menghadap dan bertanya sebagian mereka kepada sebagian lainnya : “ lihatlah
saudara kalian, ia sedang beristirahat karena ia dahulu dalam kesusahan yang
sangat “. Ia berkata : “ Lalu mereka bertanya “ Apa yang dilakukan fulan dan
apa yang dilakukan si fulanah, apakah ia sudah menikah ? “. (Al-Hadits). Adapun
pengetahuan mayat dengan orang yang masih hidup jika disalamkan kepadanya, maka
dalam hadits Ibnu Abbas berkata : “ Bersabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa
sallam : “ tidaklah SEseoranG
yang berlalu di pekuburan saudaranya yang mukmin yang ia kenal lalu mengucapkan
salam atasnya, kecuali ia akan mengenalnya dan menjawab salamnya...” Ibnu
al-Mubarak berkata : “ Telah tsabit hadits itu dari Nabi shallahu ‘alaihi wa
sallam dan disahihkan oleh Abdul Haq shahibul Ahkaam “. (Majmu’ al-Fatawa :
24/332)
Lihat Ibnu Taimiyyah saja berkesimpulan
bahwa orang-orang yang sudah meninggal dapat mengetahui dan merasakan kehadiran
orang yang menziarahinya. Ini menunjukkan mayoritas kaum muslimin berpendapat
sperti itu, hanya sekelompok kecil yang disebut wahhabi yang menyempal dari
pendapat mayoritas ulama muslimin.
Asrie bin Shobrie
menysirikkan kaum muslimin yang beratwassul dan beristighatsah dengan hujjah :
Sabda Nabi s.a.w:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ
إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Maksudnya: “Jika telah mati seorang manusia, terputuslah
daripadanya segala amalannya kecuali tiga perkara: Sedekah Jariah atau Ilmu
yang dimanfaatkan dengannya atau anak soleh yang mendoakannya”. [Muslim].
Saya jawab :
Cukup hujjah Ibnu Taimiyyah berikut ini
yang membungkam hujjah Asrie bin Shobrie dan wahabi lainnya. Ibnu Taimiyyah
berkata :
وأما
احتجاج بعضهم بقوله: {وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَـانِ إِلاَّ مَا سَعَى } [النجم:
39] فيقال له قد ثبت بالسنة المتواترة وإجماع الأمة: أنه يصلي عليه، ويدعي له،
ويستغفر له. وهذا من سعي غيره. وكذلك قد ثبت ما سلف من أنه ينتفع بالصدقة عنه،
والعتق، وهو من سعي غيره. وما كان من جوابهم في موارد الاجماع فهو جواب الباقين في
مواقع النزاع. وللناس في ذلك أجوبة متعددة.لكن الجواب المحقق
في ذلك أن الله تعالى لم يقل: إن الإنسان لا ينتفع إلا بسعي نفسه، وإنما قال: {ليس
للإنسان إلا ما سعى} فهو لا يملك إلا سعيه، ولا يستحق غير ذلك. وأما سعي غيره فهو
له، كما أن الإنسان لا يملك إلا مال نفسه، ونفع نفسه. فمال غيره ونفع غيره هو كذلك
للغير؛ لكن إذا تبرع له الغير بذلك جاز.
وهكذا هذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه الله بذلك، كما ينفعه بدعائه له، والصدقة عنه، وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم، سواء كان من أقاربه، أو غيرهم، كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند قبره
وهكذا هذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه الله بذلك، كما ينفعه بدعائه له، والصدقة عنه، وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم، سواء كان من أقاربه، أو غيرهم، كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند قبره
“ Adapun hujjah
sebagian mereka dengan ayat : “ Dan sesungguhnya tidaklah manusia mendapatkan
kecuali apa yang telah diusahakannya “ (QS. An-Najm :
39) Maka dijawab : Sungguh telah tetap dengan sunnah yang mutawatir dan
konsesus para ulama bahwasanya orang yang meninggal disholati, didoakan dan
dimintakan ampunan, ini semua adalah usaha orang lain. Demikian juga telah
tetap dari apa yang telah berlalu bahwa mayit mendapat manfaat dengan shodaqah
atasnya dan pembebasan budak, ini pun dari usaha orang lain. Apa saja yang
menjadi jawaban mereka di dalam adanya kesepakatan, maka itu jawaban lainnya di
dalam permasalahan perbedaan pendapat. Ulama memiliki jawaban yang
bermacam-macam akan tetapi jawaban yang benar dalam hal itu adalah bahwasanya
Allah Ta’ala tidak mengatakan : “ Manusia tidak akan mendapat manfaat kecuali
dengan usahanya sendiri “, akan tetapi Allah berfirman : “ Dan sesungguhnya tidaklah manusia
mendapatkan kecuali apa yang telah diusahakannya “ Maka mayit itu tidak
memiliki kecuali usahanya saja dan tidak berhak selain itu. Adapun usaha orang
lain, maka itu milik orang itu. Sebagaimana manusia tidak memiliki selain harta
dirinya dan manfaat dirinya, maka harta orang lain pun dan manfaat orang lain demikian
milik orang lain itu, akan tetapi jika orang lain itu berbuat baik dengan
memberikannya pada orang lainnya, maka hal itu boleh. Demikian juga jika dia
memberikan usahanya pada orang lain, maka hal itu Allah akan memberikannya
manfaat sebagaimana ia memberikan manfaat dengan doa atau sedekahnya kepada
mayit, ia akan mendapatkan manfaat dengan semua yang sampai padanya dari setiap
orang muslim, sama ada kerabatnya atau orang lain, sebagaimana ia mendapat
manfaat dengan sholatnya orang lain atasnya dan doanya padanya di sisi kuburnya
“. (Majmu al-Fatawa : jilid 24 halaman 360)
Asrie bin Shobrie mengatakan
:
Demikian juga Allah mencela mereka yang menyeru
Jin dengan firmanNya menceritakan perkataan Jin yang beriman berkenaan keadaan
mereka semasa Jahiliah:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ
بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
Maksudnya: `Dan bahawa sesungguhnya adalah (amat salah perbuatan)
beberapa orang dari manusia, menjaga dan melindungi dirinya dengan meminta
pertolongan kepada ketua-ketua golongan jin, kerana dengan permintaan itu
mereka menjadikan golongan jin bertambah sombong dan jahat. [al-Jinn: 6].
Difahami daripada ayat ini, perbuatan menyeru
Jin adalah syirik dan kufur kepada Allah Ta’ala kerana warid tafsiran daripada
salaf makna kalimah: ‘rahaqa’ adalah kufur dan kata Imam al-Qurtubi r.h:
“Tidak tersembunyi lagi bahawa meminta perlindungan dengan jin yakni
meminta perlindungan kepada selain Allah adalah syirik dan kufur”. [Tafsir
al-Qurtubi,19/10].
Saya jawab :
Sungguh saya heran dengan jalan
pemikiran Asrie bin Shobrie ini, banyak sekali kesalah pahaman dia kepada kaum
muslimin yang dituduhnya dan banyak sekali kesalahan tempat dalam berhujjah
juga penipuannya kepada pembaca.
Pertama : Adakah satu saja dari kaum
muslimin yang bertawassul dan beristighatsah meminta bantuan perlindungan
kepada jin ?? datangkan padaku bukti dari mereka satu saja wahai Asrie...! jika
tidak, maka jelas kau adalah penipu dan pendusta..
Kedua : Ayat itu jelas, bukan larangan
bertawassul atau istighatsah kepada nabi atau wali sama ada yang masih hidup
atau yang sudah wafat. Akan tetapi ayat itu menjelaskan tradisi kaum jahiliyyah
yang apabila memasuki suatu bukit atau tempat angker, mereka meminta
perlindungan kepada pemimpin jin di tempat tersebut. Kemudian setelah Islam
datang, mereka meminta perlindungan kepada Allah sebagaimana kitab-kitab tafsir
menyebutkan hal ini.
Ketiga : Asrie telah melakukan penipuan
dan talbis kepada pembacanya atas nama imam al-Qurthubi. Kita lihat teks
aslinya berikut ini :
ولا خفاء أن الاستعاذة بالجن دون
الاستعاذة بالله كفر وشرك
Asrie bon Shobrie mengartikannya :
“Tidak tersembunyi lagi
bahawa meminta perlindungan dengan jin yakni meminta perlindungan kepada selain
Allah adalah syirik dan kufur”.
Padahal arti sebenarnya adalah :
“ Dan tidak
tersembunyi lagi bahwa meminta perlindungan kepada jin tanpa meminta
perlindungan kepada Allah adalah kufr dan syirik “
Satu pertanyaan saja kepada Asrie dan
wahabi lainnya; bagaimana dengan hadits berikut ini dari sahabat yang meminta
perlindungan kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam :
Harits bin Hassan al-Bakri berkata
kepada Rasulullah :
أعوذ بالله ورسوله أن
أكون كوافد عادٍ
“ Aku
berlindung kepada Allah dan kepada Rasul-Nya agar tidak menjadi utusan seperti
utusan kaum ‘Aad “. (HR. Ahmad di dalam musnadnya dengan sanad hasan)
Apakah Rasul berkata kepada Harits bin
Hassan : “ Engkau telah musyrik wahai Harits “, atau apakah anda akan
menyalahkan Rasulullah karena membiarkan kemusyrikan terjadi ??
Asrie bin shobrie mengatakan
:
Adapun dakwaan mereka yang menyembah Nabi
Muhammad s.a.w dan berdoa meminta Syafaat kepada baginda terutama apabila
menziarahi maqam baginda, ini juga Allah Ta’ala telah nafikan kerana Syafaat
itu di akhirat nanti hanya akan berlaku dengan izin Allah kepada orang yang
Allah reda, firmanNya:
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى
Maksudnya: “dan mereka tidak memohon syafaat
melainkan bagi sesiapa Yang diredhai Allah…” [al-Anbiya’: 28].
Firman Allah:
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا
بِإِذْنِهِ
Maksudnya: tiada sesiapa yang dapat memberi syafaat (pertolongan)
di sisiNya melainkan dengan izinNya. [al-Baqarah: 255].
Telah tsabit dalam hadis yang Sahih bahawa Nabi
s.a.w di akhirat nanti sebelum memberi Syafaat baginda akan bersujud di hadapan
Allah di Mahsyar terlebih dahulu memohon izin kepada Allah dan baginda akan
memuji Allah dengan pujian yang belum baginda ketahui lagi melainkan baginda
akan diilhamkan Allah akannya pada waktu itu sahaja. Maka tidak sah menuntut
Syafaat daripada Nabi s.a.w kerana Syafaat itu milik Allah, bukan milik
Rasulullah s.a.w.
Sabda Nabi s.a.w:
وإنما أنا قاسم والله يعطي
Maksudnya: “dan sesungguhnya aku hanyalah tukang bahagi sedangkan
Allah jua yang memberi…” [al-Bukhari]
Nabi s.a.w menjelaskan tugas baginda hanya
menyampaikan dan membahagikan ilmu dan wahyu yang Allah berikan kepada baginda,
adapun pemberi sebenar dan pemilik hukum adalah Allah Ta’ala sebagaimana firman
Allah Ta’ala:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Maksudnya: Pemilik hari pembalasan
[al-Fatihah: 4]
Selepas Allah Ta’ala menyatakan Dia lah
sebenarnya pemilik alam ini dan hari pembalasan dalam surah al-Fatihah ayat
2-4, Allah berfirman memberi tunjuk ajar kepada manusia untuk mentauhidkan-Nya
dalam ibadat dan berdoa:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Maksudnya: “Hanya kepada Engkau sahajalah
kami beribadat dan hanya kepada Engakau sahaja kami memohon pertolongan”.
[al-Fatihah: 5].
Sebagaiman yang telah kita jelaskan, al-Isti’anah adalah salah satu
jenis doa dan termasuk dalam Isti’anah adalah Istighasah.
Saya jawab :
Sejak kapan kaum muslimin yang bertawassul
atau beristighatsah dengan Nabi mengaku menyembah Nabi ?? ini tuduhan jahat yang dan tidak berdasar sama
sekali..
Wahai Asrie, sebutkan satu saja nash
dari al-Quran atau hadits yang melarang meminta syafa’at kepada Nabi di dunia !
jika ada, maka saya akan mengikuti ajaranmu..
Adapun ayat-ayat yang anda sebutkan di
atas, bukan lah dalil mengharamkan meminta syafa’at kepada Nabi di dunia,
melainkan dalil bahwa semua syafa’at adalah semata-mata milik Allah, dan
terserah Allah akan memberikannya kepada siapa yang dikehandakinya.
Sebagian sahabat banyak yang meminta
syafa’at kepada nabi sewaktu di dunia, tapi nabi sama sekali tidak melarangnya
atau mengatakan itu syirik. Anas bin Malik pernah meminta syafa’at kepada Nabi
“ Wahai nabi Allah, berilah aku syafa’at nanti di akherat “, maka Nabi menjawab
:
أنا فاعل إن شاء
الله
“ Aku akan
melakukannya insya Allah “. (HR. At-Tirmidzi, dan beliayu
mengatakan hadits itu Hasan)
Sawwad bin Qarib juga meminta syafa’at
kepada Nabi :
فكن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة ::
سواك مغن عن سواد بن قارب
“ Maka jadilah
pemberi syafa’at kepadaku di hari seorang yang tidak memiliki syafa’at.
Selainmu yang mencukupi dari Sawwad bin Qarib “. (al-Baihaqi,
Dalaailun Nubuwwah. Dalam Fathul Baari syarh Shahih Al-Bukhari jilid 7 hlm. 180
pada Bab Islaami ‘Umar RA, Ibnu Hajar juga menyebutkannya)
Mazin bin al-‘adhub juga meminta
syafa’at kepada nabi :
إليك رسول الله خبت
مطيتي :: تجوب الفيافي من عمان إلى العرج
لتشفع لي يا خير من وطئ الحصا
:: فيغفر لي ربي فأرجع بالفلج
“ Kepadamu Rasulullah,
berpaduh keinginanku. Semua orang menjelajah dari Oman ke Barat. Berilah
syafa’at kepadaku wahai sebaik-baik orang yang berdiri. Agar Allah mengampuniku
dan aku kembali dengan kebruntungan “. (Diriwayatkan
oleh Abu Nu;aim dalam Dalailul Nubuwwah : 77)
Hadits-hadits di atas begitu jelas
menunjukkan para sahabat meminta syafa’at di dunia, dan nabi sama sekali tidak
mengingkarinya bahkan mengakuinya.
Perhatikan hujjah Ibnu Taimiyyah
berikut ini :
واحتج
هؤلاء المنكرون للشفاعة بقوله تعالى : } وَاتَّقُواْ
يَوْماً لاَّ تَجْزِي نَفْسٌ عَن نَّفْسٍ
شَيْئاً وَلاَ يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلاَ يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ{ وبقوله : } وَلاَ يُقْبَلُ
مِنْهَا عَدْلٌ وَلاَ تَنفَعُهَا شَفَاعَةٌ { ، وبقوله : } مَا
لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ { ، وبقوله : } فَمَا
تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ { .وجواب أهل السنة
أن هذا يراد به شيئان :
أحدهما
:
أنها
لا تنفع المشركين ، كما قال تعالى في
نعتهم : } مَا سَلَكَكُمْ
فِي سَقَرَ {42} قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ {43} وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ
الْمِسْكِينَ {44} وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ {45} وَكُنَّا نُكَذِّبُ
بِيَوْمِ الدِّينِ {46} حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ {47} فَمَا تَنفَعُهُمْ
شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ { فهؤلاء نفى عنهم
نفع شفاعة الشافعين لأنهم كانوا كفارا .
والثاني
:
أنه
يراد بذلك نفي الشفاعة التي يثبتها أهل الشرك ومن شابههم من أهل البدعة من أهل الكتاب والمسلمين الذين يظنون
أن للخلق عند الله من القدر أن يشفعوا عنده بغير إذنه ، كما يشفع الناس بعضهم عند
بعض ، فيقبل المشفوع إليه شفاعة شافع
لحاجته إليه رغبة ورهبة ، وكما يعامل المخلوق المخلوق بالمعاوضة .
فالمشركون
كانوا يتخذون من دون الله شفعاء من الملائكة والأنبياء والصالحين ، ويصورون تماثيلهم فيتشفعون بها
ويقولون : هؤلاء خواص الله .
“ Mereka (Mu’tazilah) yang mengingkari syafaat
berargumentasi dengan firman Allah : “Dan jagalah
dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula)
tidak diterima syafa`at dan tebusan dari padanya." (Q.S. Al-Baqarah : 48) "Dan
tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfa`at suatu syafa`at kepadanya." (Q.S. Al-Baqarah : 123)
Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa`at yang diterima
syafa`atnya." (Q.S. Al-Mu`min : 18) "Maka tidak berguna lagi bagi
mereka syafa`at dari orang-orang yang memberikan syafa`at." (Q.S.
Al-Muddatsir : 48)
Jawaban dari Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah bahwa
ayat-ayat di atas mengandung dua pengertian :
Pertama, syafaat tidak bisa
dimanfaatkan oleh kaum musyrikin sebagaimana firman Allah : "Apakah
yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab : Kami dahulu termasuk orang-orang yang tidak mengerjakan shalat,
dan kami tidak (pula memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan
yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami
mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian, maka
tidak berguna lagi bagi mereka syafa`at dari orang-orang yang
memberikan syafa`at." (Q.S.
Al-Muddatsir : 42-48)
Mereka tidak mendapat manfaat dari syafaat orang-orang
yang memberi syafaat sebab mereka adalah orang-orang kafir.
Kedua, ayat-ayat di atas menolak syafaat
dalam versi orang-orang musyrik dan golongan sejenis dari kalangan ahli
bid’ah, baik golongan ahlul kitab maupun kaum muslimin yang menganggap bahwa makhluk memiliki kemampuan memberi syafaat
tanpa izin Allah, sebagaimana manusia saling memberi syafaat kepada yang
lain, akhirnya yang dimintai syafaat menerima syafaatnya
yang memberi syafaat karena ia membutuhkannya baik karena suka atau takut, dan
sebagaimana makhluk bergaul dengan sesamanya dengan hubungan timbal balik.
Orang-orang musyrik menjadikan selain Allah dari malaikat, para Nabi dan orang-orang shalih sebagai pemberi syafaat dan
mereka membuat patung-patung selain Allah itu lalu memohon syafaat kepadanya seraya
berkata, “Mereka ini adalah hamba-hamba Allah yang khusus.”
Kesmpulan
dari kalam Ibnu Taimiyyah di atas adalah : “ Bahwa yang dimaksud dengan
ayat-ayat di atas adalah bahwa syafaat tidak berguna bagi orang musyrik.
Berarti ayat-ayat itu turun dalam konteks ini. atau yang dimaksud adalah menafikan
syafaat yang didefinisikan oleh orang-orang musyrik. Yaitu bahwa pemberi syafaat memiliki
syafaat tanpa seizin Allah.
Pandangan
syaikh Ibnu Taimiyyah, berkat karunia Allah, adalah pendapat yang diyakini kaum
muslimin yang bertawassul selama ini.
Saya katakan
bahwa orang yang memohon syafaat kepada Nabi SAW jika meyakini atau menganggap bahwa
Nabi mampu memberi syafaat tanpa seizin Allah maka saya yakin ia telah melakukan
tindakan syirik dan sesat. Ketika kaum muslimin memohon syafaat maka kami
meyakini sepenuhnya bahwa tidak seorang pun mampu memberi syafaat tanpa seizin
Allah dan tidak ada sesuatu terjadi kecuali berkat ridlo dan pertolongan Allah. Memohon syafaat sama dengan minta masuk
sorga, minta minum dari telaga yang dikunjungi dan meminta selamat ketika
melewati titian ( shirath ) yang semuanya tidak mungkin tercapai
tanpa seizin Allah dan pada waktu yang telah ditakdirkan oleh Allah. Apakah
orang yang berakal ragu akan hal ini atau pelajar ilmu agama paling yunior yang
memiliki sedikit pengetahuan atau mampu sedikit membaca kitab-kitab salaf kabur akan
hal ini? Hasya wa kalla...
Asrie bin Shobrie
mengatakan :
Hukum Orang Yang Melakukan Syirik dalam Doa (Orang yang menyembah
Kubur dan Wali)
Telah jelas bahawa perbuatan memohon doa dan
hajat kepada orang mati atau ghaib sama ada manusia, jin, wali, Nabi, atau
sebagainya adalah Syirik Akbar yang membawa kepada natijah pelakunya menjadi
KAFIR dan MURTAD-nauzubillah min zalik-.
Tauhid Ibadah adalah Tauhid yang paling jelas dan menonjol bahkan
ini adalah awal seruan para Nabi dan Rasul sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ
اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Maksudnya: “dan Kami telah utuskan pada setiap umat itu Rasul
supaya menyeru mereka: Hendaklah kamu menyembah Allah dan menjauhi Taghut..”
[al-Nahl: 36].
Manakala Doa pula adalah Ibadat yang paling afdal dan istimewa
sebagaimana sabda Nabi s.a.w:
ليس شيء أكرم على الله تعالى من الدعاء
Maksudnya: “Tiada suatu perkara pun yang lebih mulia pada Allah
selain daripada Doa”. [al-Tarmizi, Ibn Majah, dan Ahmad- hadis hasan-].
Maka Hujah Allah Ta’ala dalam perkara ini telah
pun tegak dengan diutusnya Rasul daripada Nuh a.s sehingga lah Muhammad s.a.w.
Tidak dikecualikan dalam hukum syirik dan kufur atas pelaku perbuatan ini
kecuali atas mereka yang dipaksa (al-mukrah) dan yang tergelincir lisan seperti
mengucapkannya dalam keadaan hilang akal atau mimpi.
Saya jawab :
Seperti kaum
khowaij saja yang begitu mudah memvonis syirik dan murtad kepada mayoritas kaum
muslimin. Pemahaman dan cara berpikirmu sungguh jauh dari kebenaran dan
menyimpang dari penjelasan mayoritas ulama.
Tahkim /
penghukuman yang serampangan, tak ada satu pun ulama yang mencampur aduk kasus
di atas pada satu penghukuman sebagaimana Asrie bin shobri ini.
Pertama : Tak ada satupun dari kaum muslimin, yang meminta atau
berdoa kepada orang yang mati, jin, manusia, wali, nabi atau selainnya. Mereka
hanya memohon dan berdoa kepada Allah semata. Dan tak ada satu pun dari kaum
muslim yang melakukan tawassul yang menyembah kepada salah satu dari mereka.
Mereka menyebut orang shaleh atau pun nabi yang sudah wafat atau fil ghaib,
adalah semata-mata melaksanakan anjuran Allah agar mencari wasilah, yakni
faktor penyebab bukan meminta atau menyembah faktor penyebab itu.
Kedua : telah saya sampaikan di awal, hadits-hadits yang dhahirnya
menunjukkan isti’anah atau istighatsah kepada yang ghaib, misal hadits :
إن لله ملائكةً في
الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من ورق الشجر، فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فليناد:
أعينوا عباد
الله
“ Sesungguhnya Allah memiliki malaikat di bumi selain
Hafadzah yang menulis daun-daun yang jatuh dari pohonnya, maka jika kalian
ditimpa kesulitan di suatu padang, maka hendaklah mengatakan : “ Tolonglah aku
wahai para hamba Allah “. (Majma’ al-Zawaid : 10/132)
Dengan jelas hadits ini menunjukkan seruan yang meminta
pertolongan kepada orang yang tidak hadir, entah itu wali Allah atau pun
malaikat dan ini merupakan bagian dari istighatsah. Nabi telah mengajarkannya
pada umat Islam dan ini pun telah diamalkan oleh ulam salaf di antaranya imam
Ahmad bin Hanbal dan juga para ulama setelahnya seperti para guru imam
Nawawi. Bahkan dalam riwayat yang lain
hadits seperti di atas, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Albani mengomentari
bahwasanya imam Ahmad beristighatsah dengan malaikat. Beranikah Asrie bin
Shobrie menyesatkan Albani dan mengatakan imam Ahmad bin Hanbal telah musyrik
??
Ketiga : Doa kepada selain Allah jelas syirik jika dilakukan
secara ta’abbud yakni memohon dan patuh tunduk dengan puncak kerendahan hati.
Akan tetapi jika tidak dengan cara demikian, maka bukan disebut doa, melainkan
nida yakni seruan dan ini adalah bagian dari istighatsah sebagaimana hadits di
atas.
Keempat : sebuah pertanyaan untuk anda dan juga untuk semua ulama
wahabi untuk anda renungkan dan jawab :
- Jika kalian mengatakan doa adalah ibadah dan tidak
boleh dilakukan kecuali kepada Allah, maka jika begitu tidak boleh juga berdoa
kepada selain Allah secara muthlaq sama ada kepada yang hadir (hidup) atau yang
sudah wafat, tetapi kenapa kalian membolehkan berdoa kepada yang hadir atau
yang masih hidup ?? silah dijawap wahai sufahaa-ul ahlaam ??
- Jika
kalian mengatakan istighatsah adalah ibadah, dan tidak boleh beristighatsah
kecuali hanya kepada Allah, maka jika begitu tidak boleh juga
beristighatsah kepada selain Allah secara muthlaq sama ada kepada yang hadir
(hidup) atau yang sudah wafat, sama ada di dunia atau di akherat. Lalu
bagaimana tanggapan kalian dengan hadits sahih berikut :
وَقَالَ
إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ
الأُذُنِ ، فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ
اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ، ثُمَّ بِمُوسَى ، ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ
“
Dan berkata : “ Sesungguhnya matahari akan mendekat di hari kiamat hingga
keringat mencapai telinga, ketika keadaan mereka seperti itu, maka mereka
beristighatsah dengan Nabi Adam, kemudian kepada Musa kemudian kepada nabi
Muhammad “. (HR. Bukhari)
Kenapa
mereka beristighatsah kepada para nabi di atas dan tidak beristighatsah kepada
Allah langsung ? atau apakah syirik boleh dilakukan di akherat dan tidak boleh
dilakukan di dunia ??
No comments: