Select Menu

clean-5

Wisata

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» »Unlabelled » Jawaban Terhadap Syubhat Asrie bin Shobrie Tentang Tawassul Dan Istighatsah - BHG II



Sungguh banyak tuduhan dan fitnah yang dilontarkan Asrie bin Shobrie dalam artikelnya tentang masalah doa. Terlebih ia seolah-olah begitu mudah mahu melontarkan kata-kata musyrik, murtad dan kafir kepada mayoritas muslimin yang bertawassul dan beristighatsah dengan Nabi atau orang shaleh yang sudah wafat. Bahkan begitu mudahnya mahu memvonis masuk neraka kepada kaum muslimin, seolah-olah surga dan neraka dia dan kaum wahabi yang menentukan. Dalam artikel bantahan kedua ini, pembaca akan mengetahui kesilapan-kesilapan Asrie bin Shobrie ini, bahkan kesalahan dalam menempatkan ayat-ayat dan nash hadits dari tempat yang sebenarnya, persis kaum khowarij yang mengarahkan ayat-ayat kuffar kepada kaum muslimin, serta penipuan dan dusta yang disematkan dalam artikelnya itu. Simak dan perhatikan artikel saya ini, niscaya anda akan melihat dan membuktikan kebodohan, kedustaan dan penipuan Asrie bin Shobrie.  

Asrie bin shobrie mengatakan :


Hukum Meminta Bantuan Makhluk:
Harus meminta bantuan makhluk dalam perkara yang memang berada dalam kuasa mereka selama mana hati beriktimad (bersandar) kepada Allah Ta’ala.
Misalnya, jika ada binatang buas maka harus kita meminta bantuan mereka yang ahli dan ada senjata untuk membunuhnya, jika kita diserang musuh maka harus kita meminta tolong orang yang hadir dan mampu untuk membantu kita melawannya.
Dalil perkara ini adalah firman Allah:
وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ
Maksudnya: “dan masuklah ia ke bandar (Mesir) dalam masa penduduknya tidak menyedarinya, lalu didapatinya di situ dua orang lelaki sedang berkelahi, – seorang dari golongannya sendiri dan yang seorang lagi dari pihak musuhnya. maka orang yang dari golongannya meminta tolong kepadanya melawan orang yang dari pihak musuhnya; Musa pun menumbuknya lalu menyebabkan orang itu mati...”.[al-Qasas: 15].
Kata Syeikh al-Qar’awi –rahimahullah-:
أن الآية تفيد جواز الاستغاثة بالمخلوق فيما يقدر عليه
Maksudnya: “bahawa ayat ini memberi faedah: harus meminta bantuan kepada makhluk dalam perkara yang mereka mampu lakukannya”. [al-Jadid fi Syarhi Kitab al-Tauhid].

Saya jawab :


Mayoritas kaum muslimin yang berdoa dengan cara bertawassul dengan nabi atau orang sholeh agar hajatnya terkabulkan, bukanlah meminta kepada mayit dan bukan pula meminta hal yang tidak mampu dilakukan mayit. Ini pemahaman dangkal kaum wahabi yang picik dan tidak memahami subtansial dari tawassul atau istighatsah.


Sudah saya katakan di awal, Kaum muslimin yang melakukan praktek tawassul dengan para nabi atau wali sama ada yang masih hidup atau pun yang sudah meninggal, hanya memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih untuk menjadi faktor penyebab di sisi Allah dalam memenuhi apa yang mereka mohon dari Allah. Dengan cara Allah menciptakan kebutuhannya sebab syafaat, doa dan tawajjuh para Nabi dan orang-orang shalih. Ini yang kaum muslimin i’tiqadkan, jadi mereka bukanlah meminta kepada wali atau orang sholeh sama ada yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal, tetapi hanya memohon kepada Allah dengan menjadikan nabi atau wali sebagai mediator atau faktor penyebab.


Apakah Nabi pernah mengatakan kepada orang buta yang datang kepada nabi lalu meminta disembuhkan dari kebutaannya dengan ucapan syirik ??


Apakah Nabi mengatakan syirik kepada Qatadah bin an-Nu’man yang meminta pertolongan Nabi agar menyembuhkan kornea matanya ? sebagaimana telah berlalu haditsnya.


Apakah nabi mengatakan syirik kepada sahabat yang meminta hujan turun kepada beliau saat dibutuhkan ?
Apakah Nabi mengatakan syirik kepada sahabat yang meminta air lalu Nabi mengeluarkan air dari jari-jarinya ??


Bagaimana dengan kisah Nabi Sulaiman ketika di majlisnya berkata kepada yang hadir : “ Wahai sekelompok kalian, siapakah di antara kalian yang dapat mendatangkan kepadaku singgasana ratu Balqis sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang muslim? (QS. An-Naml : 38). Nabi Sulaiman meminta dari mereka untuk menghadirkan singgasana besar Balqis dari Yaman ke tempat beliau di Syam dengan cara di luar kebiasaan (Khariqul ‘aadah). Ketika jin Ifrit menjawab : “ Aku akan mendatangkannya padamu sebelum kamu bangun dari tempat dudukmu “ (QS. An-Naml : 39). Lalu Nabi Sulaiman berkata : “ Aku ingin yang lebih cepat dari itu “. Lalu salah satu orang dari bansga manusia yang ada di majlis itu berkata kepada nabi Sulaiman : “ Aku akan mendatangkannya padamu sebelum matamu berkedip kembali “ (QS. An-Naml : 40), maka Nabi Sulaiman mau dan seketika itu datanglah singgasana ratu Balqis di hadapan nabi Sulaiman.


Apakah Nabi Sulaiman telah murtad, kafir karena meminta sesuatu yang tidak mampu dilakukan bangsa jin dan manusia secara kebiasaaan (‘aadat) ?? apakah orang itu yang mengatakan mampu mendatangkan singgasana dalam sekejap itu telah musyrik karena berkata apa yang ia tidak mampu melakukannya secara kebiasaan (aadat) ??


Jika kaum wahabi sulit memahami kisah dan peristiwa ini (walau sebenarnya kaum wahabi dangkal pemahamannya), maka saya akan jelaskan. Pada hakekatnya kaum muslimin yang bertawassul atau beritighatsah dengan nabi atau orang shaleh sama ada yang wafat atau yang masih hidup, adalah mereka hanyalah memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah semata, dan pertolongan atau bantuan itu termasuk yang Allah mampukan kepada nabi atau orang shalih itu dan Allah kasihkan kepada mereka. Maka ucapan seorang yang bertawassul atau beristighatsah misal : “ Wahai nabi Allah, sembuhkanlah aku, tunaikanlah hutangkau “, maka sesungguhnya ia hanyalah menginginkan : “ Bantulah aku dengan syafa’at dan pertolonganmu agar aku sembuh, dan doakanlah agar hutangku terlunasi, bertawajjuhlah kepada Allah dalam urusanku ini “. Maka mereka kaum muslimin tidaklah meminta kecuali apa yang Allah mampukan dan berikan pada mereka berupa doa dan syafa’at atau pertolongan.


Renungkan Hadits Nabi Saw berikut ini :

اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل
“ Ya Allah, turunkanlah hujan yang MENOLONG, MENYELAMATAKAN, enak, yang subur, MEMBERI MANFAAT dan TIDAK MENDATANGKAN BAHAYA, segera dan tidak ditunda “. (HR. Abu Dawud : 988 dengan sanad yang sahih)


Dalam hadits yang berupa doa tsb, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).


Apakah Nabi kita vonis musyrik dengan ucapannya itu ? Apakah berarti Nabi telah meyakini bahwa hujan itu merupakan penolong, penyelamat dan pemberi manfaat ?? Atau apakah Nabi ingin mengajarkan kesyirikan kepada umatnya ??


Jika menuruti pemahaman orang yang Asrie bin Shobrie dan wahabi, seharusnya redaksi dari Nabi tersebut sangat layak divonis syirik…


Reungkanlah hal ini wahai wahabi...


Asrie bin shobrie mengatakan :
Adapun orang yang telah mati, mereka tidak mampu melakukan apa-apa jua sekalipun sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
Maksudnya: dan (engkau Wahai Muhammad) tidak dapat menjadikan orang-orang yang di dalam kubur mendengar (dan menerimanya). [Fatir: 22].


Saya jawab :


Pemahaman yang bertolak belakang dengan nash-nash sharih tentang mendengarnya orang yeng telah mati dalam kubur. Dan pemahaman yang menyimpang dari pemahaman yang benar. Dalam kitab Muktashar Tafsir Ibnu Katsir, karya syaikh ash-Shabuni juz 3 halaman 45 ketika menafsirkan ayat di atas, beliau mengatakan :


إن المعنى: أي كما لا ينتفع الأموات بعد موتهم وصيرورتهم إلى قبورهم وهم كفار بالهداية والدعوة إليها كذلك هؤلاء المشركون الذين كتب عليهم الشقاوة لا حيلة لك فيهم، ولا تستطيع هدايتهم (إن أنت إلا نذير)

“ Makna ayat tersebut adalah; sebagaimana mayat tidak bermanfaat setelah kematiannya dan setelah masuknya mereka ke dalam kubur mereka dan mereka mengkufuri hidayah dabn dakwah padanya, maka demikian pula mereka kaum musyrik yang dicatat oleh Allah mendapat kecelakaan, maka kamu tidak ada celah untuk menolong mereka dan kamu tidak akan mampu memberi hidayat mereka, kamu hanyalah sekedar memperingatkan mereka saja “.


Maka jelas yang dimaksud ayat di atas adalah kaum kafir yang terus melakukan kebathilan tidak akan bermanfaat peringatan dan nasehat, sebagaimana orang mati yang tidak akan bermanfaat jika dikasih peringatan dan nasehat akibat kekafiran mereka.


Dalam Tafsir ath-Thabari disebutkan :

وقوله (إنك لا تسمع الموتى) يقول: إنك يا محمد لا تقدر أن تفهم الحق من طبع الله على قلبه فأماته لأن الله قد ختم عليه أن لا يفهمه (ولا يسمع الصم الدعاء) يقول: ولا تقدر أن تسمع ذلك من أصم الله عن سماعه سمعه (إذا ولوا مدبرين) يقول: إذا هم أدبروا معرضين عنه لا يسمعون له، لغلبة دين الكفر على قلوبهم ولا يصغون للحق ولا يتدبرون ولا ينصتون لقائله، ولكنهم يعرضون عنه وينكرون القول به والاستماع له.

“ Ayat : “ Sesungguhnya kamu tidak akan mampu memperdengarkan orang-orang yang telah mati “, Dia berkata : “ Sesungguhnya kamu wahai Muhammad tidak akan mampu memberikan pemahaman yang haq kepada orang yang telah Allah cap / stempel hatinya lalu Allah matikan, karena sesungguhnya Allah telah menstempel hati mereka untuk tidak memahami. “ Dan orang tuli tidak akan mendengar seruan “, Dia berkata : “ Dan kamu tidak akan mampu untuk memperdengarkan kepada orang yang telah Allah tulikan pendengarannya “. “ Jika mereka berpaling “, Dia berkata : “ Jika mereka kembali ke belakang dan berpaling darinya tidak mau mendengarkannya, karena sangat kuatnya agama kufr dalam hati mereka, mereka tidak akan mau memperhatikan dan mendengarkan penyeru kebenaran, akan tetapi mereka akan berpaling dan mengingkari ucapan dan pendengaran darinya “. (Tafsir ath-Thabari : jilid 11 juz 25 halaman 12)


Inilah pemahaman yang benar tentang ayat di atas, bukan sebagaimana pemahaman cacat wahabi. Dan sesungguhnya orang-orang yang telah meninggal dapat mendengar  bahkan merasakan dan mendapat manfaat kebaikan dan merasa senang dari orang yang hidup, merasa sedih dan susah dengan keburukan, terutama para syuhada, orang shalih dan para nabi sebagaimana banyak ayat dan hadits sahih menjelaskan hal ini. Di antaranya :


Dalam hadits sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim diceritakan saat Nabi berada di perang badar, Nabi berdiri dan berseru kepada kaum kafir yang mati : “ Apakah kalian telah mendapatkan dengan benar janji Tuhan kalian yang telah dijanjikan pada kalian ? “ kemudian Nabi bersabda : “ Sesungguhnya mereka semua sekarang mendengar apa yang aku ucapkan...”. (HR. Bukhari & Muslim)


Juga hadits sahih pada saat perang Badar Nabi memanggil-manggil orang-orang kafir Quraisy yang di kubur di dalam sumur badar. “ Wahai ‘Utbah, wahai Syaibah, wahai Rabi’ah!”. “ Mengapa engkau memanggil manggil mereka yang telah menjadi bangkai? tanya seseorang. Maka Nabi menjawab :

ما أنتم بأسمع منهم لكنهم لا يستطيعون الجواب

“ Kalian tidak lebih mendengar dibanding mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab,”
Dalam riwayat sahih yang lain Nabi mengatakan :

والذي نفس محمد بيده ما أنتم بأسمع لما أقول منهم

“ Demi yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah kalian lebih mendengar dibanding mereka dari apa yang aku ucapkan “.


Orang kafir saja dapat mendengar, apalagi ruh kaum muslimin terlebih ruh para wali Allah dan para Nabi.
Dalam hadits sahih disebutkan bahwasanya Nabi berhenti di makam Mush’ab bin Umair setelah terjadinya perang Uhud, lalu Nabi menangisuan kemdian bersabda :

أشهد أنكم أحياء عند الله عز وجل ألا فزوروهم وسلموا عليهم والذي نفسي بيده لا يزورهم أحد ويسلم عليهم إلا ردوا عليه السلام إلى يوم القيامة

“ Aku bersaksi bahwa mereka hidup di sisi Allah Azza wa Jalla, maka ziarah lah kalian dan berilah salam atas mereka, sungguh yang jiwaku berada di tanggan-Nya, tidaklah sesorang berziarah kepada mereka dan memberi salam atas mereka kecuali mereka akan membalas salamnya hingga hari kiamat “. (Diriwayatkan oleh imam al-Hakim di dalam Mustadraknya dengan sanad yang sahih dari Abu Hurairah)


Dari Ibnu Abbas, Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ما من أحد يمر بقبر أخيه الذي كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عرفه ورد عليه السلام
“ Tidak ada seorang pun berlalu di kuburan saudaranya yang dahulu di dunia ia kenal lalu mengucapkan salam atasnya, kecuali saudaranya yang ada di kuburan itu mengenalnya dan membalas ucapan salamnya “. (Ibnu al-Mubarak mengatakan : “ Hadits ini telah tsabit dari Nabi dan disahihkan oleh Abdul Haq shohibul Ahkam)


Nabi juga bersabda :

إن الميت إذا وضع في قبره إنه يسمع خفق نعالهم

“ sesungguhnya orang yang meninggal jika diletakkan dalam kuburnya, ia dapat mendengar suara sandal para pentakziahnya “. (Fathul Bari : 3/205)


Ketika Nabi memasuki perkuburan beliau membaca :

السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون، أسال الله لنا ولكم العافية
“ Salam sejahterah atas kalian wahai penghuni kampung halaman dari kaum mukmin dan muslim. Dan sesungguhnya kami isnya Allah akan menyusul kalian, aku memohon kepada Allah afiat untuk kami dan kalian “. (Talkhish al-Habir : 2/137)


Dalam hadits ini, begitu jelas Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menyeru orang-orang yang sudah meninggal dari kaum muslimin dan mukminin, bahkan beliau mendoakan mereka. Jelas ada doa dan seruan (nida) kepada yang orang yang telah meninggal, apakah hal ini ibadah kepada selain Allah, karena Nabi mengajarkan doa dan seruan dalam hadits itu ?


Syaikh Ibnu Taimiyyah pernah ditanya apakah orang yang meninggal mengetahui jika ada yang menziarahinya ? berikut redaksinya :

سئل الشيخ عن الأحياء إذا زاروا الأموات هل يعلمون بزيارتهم ؟ وهل  يعلمون بالميت إذا مات من قرابتهم أو غيره ؟ فأجاب : الحمد لله ، نعم جاءت الآثار بتلاقيهم وتساؤلهم وعرض أعمال الأحياء على الأموات ، كما روى ابن المبارك عن أبي أيوب الأنصاري قال :[إذا قبضت نفس المؤمن تلقاها الرحمة من عباد الله كما يتلقون البشير في الدنيا فيقبلون عليه ويسألونه فيقول بعضهم لبعض : أنظروا أخاكم يستريح فإنه كان في كرب شديد ، قال : فيقبلون عليه ويسألونه ما فعل فلان وما فعلت فلانة هل تزوجت] الحديث .وأما علم الميت بالحي إذا زاره وسلم عليه ففي حديث ابن عباس قال :       قال رسول الله  :((ما من أحد يمر بقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا  عرفه ورد عليه السلام)) ..قال ابن المبارك : ثبت ذلك عن النبي  وصححه عبد الحق صاحب الأحكام

“ Syaikh Ibnu Taimiyyah ditanya tentang orang yang hidup menziarahi orang yang sudah wafat, apakah mereka mengatahui ziarahnya ? maka beliau menjawab : Alhamdulillah, ya (mereka mendengar) telah datang atsar-atsar yang menjelaskan pertemuan mereka dan saling bertanyanya mereka serta disodorkannya amalan orang yang hidup kepada orang yang sudah wafat. Sebagaimana Ibnu Al-Mubarak melirwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari beliau berkata : “ Jika nyawa seorang muslim dicabut, maka ia akan mendapat berkah dari hamba-hamba Allah sebagaimana manusia saling bertemu di dunia lalu mereka saling menghadap dan saling bertanya di dunia, lalu mereka saling menghadap dan bertanya sebagian mereka kepada sebagian lainnya : “ lihatlah saudara kalian, ia sedang beristirahat karena ia dahulu dalam kesusahan yang sangat “. Ia berkata : “ Lalu mereka bertanya “ Apa yang dilakukan fulan dan apa yang dilakukan si fulanah, apakah ia sudah menikah ? “. (Al-Hadits). Adapun pengetahuan mayat dengan orang yang masih hidup jika disalamkan kepadanya, maka dalam hadits Ibnu Abbas berkata : “ Bersabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam : “ tidaklah SEseoranG yang berlalu di pekuburan saudaranya yang mukmin yang ia kenal lalu mengucapkan salam atasnya, kecuali ia akan mengenalnya dan menjawab salamnya...” Ibnu al-Mubarak berkata : “ Telah tsabit hadits itu dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan disahihkan oleh Abdul Haq shahibul Ahkaam “. (Majmu’ al-Fatawa : 24/332)


Lihat Ibnu Taimiyyah saja berkesimpulan bahwa orang-orang yang sudah meninggal dapat mengetahui dan merasakan kehadiran orang yang menziarahinya. Ini menunjukkan mayoritas kaum muslimin berpendapat sperti itu, hanya sekelompok kecil yang disebut wahhabi yang menyempal dari pendapat mayoritas ulama muslimin.


Asrie bin Shobrie menysirikkan kaum muslimin yang beratwassul dan beristighatsah dengan hujjah :
Sabda Nabi s.a.w:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Maksudnya: “Jika telah mati seorang manusia, terputuslah daripadanya segala amalannya kecuali tiga perkara: Sedekah Jariah atau Ilmu yang dimanfaatkan dengannya atau anak soleh yang mendoakannya”. [Muslim].


Saya jawab :


Cukup hujjah Ibnu Taimiyyah berikut ini yang membungkam hujjah Asrie bin Shobrie dan wahabi lainnya. Ibnu Taimiyyah berkata :

وأما احتجاج بعضهم بقوله: {وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَـانِ إِلاَّ مَا سَعَى } [النجم: 39] فيقال له قد ثبت بالسنة المتواترة وإجماع الأمة: أنه يصلي عليه، ويدعي له، ويستغفر له. وهذا من سعي غيره. وكذلك قد ثبت ما سلف من أنه ينتفع بالصدقة عنه، والعتق، وهو من سعي غيره. وما كان من جوابهم في موارد الاجماع فهو جواب الباقين في مواقع النزاع. وللناس في ذلك أجوبة متعددة.لكن الجواب المحقق في ذلك أن الله تعالى لم يقل: إن الإنسان لا ينتفع إلا بسعي نفسه، وإنما قال: {ليس للإنسان إلا ما سعى} فهو لا يملك إلا سعيه، ولا يستحق غير ذلك. وأما سعي غيره فهو له، كما أن الإنسان لا يملك إلا مال نفسه، ونفع نفسه. فمال غيره ونفع غيره هو كذلك للغير؛ لكن إذا تبرع له الغير بذلك جاز.
وهكذا هذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه الله بذلك، كما ينفعه بدعائه له، والصدقة عنه، وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم، سواء كان من أقاربه، أو غيرهم، كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند قبره

“ Adapun hujjah sebagian mereka dengan ayat : “ Dan sesungguhnya tidaklah manusia mendapatkan kecuali apa yang telah diusahakannya “ (QS. An-Najm : 39) Maka dijawab : Sungguh telah tetap dengan sunnah yang mutawatir dan konsesus para ulama bahwasanya orang yang meninggal disholati, didoakan dan dimintakan ampunan, ini semua adalah usaha orang lain. Demikian juga telah tetap dari apa yang telah berlalu bahwa mayit mendapat manfaat dengan shodaqah atasnya dan pembebasan budak, ini pun dari usaha orang lain. Apa saja yang menjadi jawaban mereka di dalam adanya kesepakatan, maka itu jawaban lainnya di dalam permasalahan perbedaan pendapat. Ulama memiliki jawaban yang bermacam-macam akan tetapi jawaban yang benar dalam hal itu adalah bahwasanya Allah Ta’ala tidak mengatakan : “ Manusia tidak akan mendapat manfaat kecuali dengan usahanya sendiri “, akan tetapi Allah berfirman :  “ Dan sesungguhnya tidaklah manusia mendapatkan kecuali apa yang telah diusahakannya “ Maka mayit itu tidak memiliki kecuali usahanya saja dan tidak berhak selain itu. Adapun usaha orang lain, maka itu milik orang itu. Sebagaimana manusia tidak memiliki selain harta dirinya dan manfaat dirinya, maka harta orang lain pun dan manfaat orang lain demikian milik orang lain itu, akan tetapi jika orang lain itu berbuat baik dengan memberikannya pada orang lainnya, maka hal itu boleh. Demikian juga jika dia memberikan usahanya pada orang lain, maka hal itu Allah akan memberikannya manfaat sebagaimana ia memberikan manfaat dengan doa atau sedekahnya kepada mayit, ia akan mendapatkan manfaat dengan semua yang sampai padanya dari setiap orang muslim, sama ada kerabatnya atau orang lain, sebagaimana ia mendapat manfaat dengan sholatnya orang lain atasnya dan doanya padanya di sisi kuburnya “. (Majmu al-Fatawa : jilid 24 halaman 360)


Asrie bin Shobrie mengatakan :
Demikian juga Allah mencela mereka yang menyeru Jin dengan firmanNya menceritakan perkataan Jin yang beriman berkenaan keadaan mereka semasa Jahiliah:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
Maksudnya: `Dan bahawa sesungguhnya adalah (amat salah perbuatan) beberapa orang dari manusia, menjaga dan melindungi dirinya dengan meminta pertolongan kepada ketua-ketua golongan jin, kerana dengan permintaan itu mereka menjadikan golongan jin bertambah sombong dan jahat. [al-Jinn: 6].
Difahami daripada ayat ini, perbuatan menyeru Jin adalah syirik dan kufur kepada Allah Ta’ala kerana warid tafsiran daripada salaf makna kalimah: ‘rahaqa’ adalah kufur dan kata Imam al-Qurtubi r.h:
“Tidak tersembunyi lagi bahawa meminta perlindungan dengan jin yakni meminta perlindungan kepada selain Allah adalah syirik dan kufur”. [Tafsir al-Qurtubi,19/10].


Saya jawab :


Sungguh saya heran dengan jalan pemikiran Asrie bin Shobrie ini, banyak sekali kesalah pahaman dia kepada kaum muslimin yang dituduhnya dan banyak sekali kesalahan tempat dalam berhujjah juga penipuannya kepada pembaca.


Pertama : Adakah satu saja dari kaum muslimin yang bertawassul dan beristighatsah meminta bantuan perlindungan kepada jin ?? datangkan padaku bukti dari mereka satu saja wahai Asrie...! jika tidak, maka jelas kau adalah penipu dan pendusta..


Kedua : Ayat itu jelas, bukan larangan bertawassul atau istighatsah kepada nabi atau wali sama ada yang masih hidup atau yang sudah wafat. Akan tetapi ayat itu menjelaskan tradisi kaum jahiliyyah yang apabila memasuki suatu bukit atau tempat angker, mereka meminta perlindungan kepada pemimpin jin di tempat tersebut. Kemudian setelah Islam datang, mereka meminta perlindungan kepada Allah sebagaimana kitab-kitab tafsir menyebutkan hal ini.


Ketiga : Asrie telah melakukan penipuan dan talbis kepada pembacanya atas nama imam al-Qurthubi. Kita lihat teks aslinya berikut ini :

ولا خفاء أن الاستعاذة بالجن دون الاستعاذة بالله كفر وشرك

Asrie bon Shobrie mengartikannya :

“Tidak tersembunyi lagi bahawa meminta perlindungan dengan jin yakni meminta perlindungan kepada selain Allah adalah syirik dan kufur”.


Padahal arti sebenarnya adalah :


“ Dan tidak tersembunyi lagi bahwa meminta perlindungan kepada jin tanpa meminta perlindungan kepada Allah adalah kufr dan syirik “


Satu pertanyaan saja kepada Asrie dan wahabi lainnya; bagaimana dengan hadits berikut ini dari sahabat yang meminta perlindungan kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam :


Harits bin Hassan al-Bakri berkata kepada Rasulullah :

أعوذ بالله ورسوله أن أكون كوافد عادٍ

“ Aku berlindung kepada Allah dan kepada Rasul-Nya agar tidak menjadi utusan seperti utusan kaum ‘Aad “. (HR. Ahmad di dalam musnadnya dengan sanad hasan)


Apakah Rasul berkata kepada Harits bin Hassan : “ Engkau telah musyrik wahai Harits “, atau apakah anda akan menyalahkan Rasulullah karena membiarkan kemusyrikan terjadi ??


Asrie bin shobrie mengatakan :
Adapun dakwaan mereka yang menyembah Nabi Muhammad s.a.w dan berdoa meminta Syafaat kepada baginda terutama apabila menziarahi maqam baginda, ini juga Allah Ta’ala telah nafikan kerana Syafaat itu di akhirat nanti hanya akan berlaku dengan izin Allah kepada orang yang Allah reda, firmanNya:
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى
Maksudnya: “dan mereka tidak memohon syafaat melainkan bagi sesiapa Yang diredhai Allah…” [al-Anbiya’: 28].
Firman Allah:
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Maksudnya: tiada sesiapa yang dapat memberi syafaat (pertolongan) di sisiNya melainkan dengan izinNya. [al-Baqarah: 255].
Telah tsabit dalam hadis yang Sahih bahawa Nabi s.a.w di akhirat nanti sebelum memberi Syafaat baginda akan bersujud di hadapan Allah di Mahsyar terlebih dahulu memohon izin kepada Allah dan baginda akan memuji Allah dengan pujian yang belum baginda ketahui lagi melainkan baginda akan diilhamkan Allah akannya pada waktu itu sahaja. Maka tidak sah menuntut Syafaat daripada Nabi s.a.w  kerana Syafaat itu milik Allah, bukan milik Rasulullah s.a.w.
Sabda Nabi s.a.w:
وإنما أنا قاسم والله يعطي
Maksudnya: “dan sesungguhnya aku hanyalah tukang bahagi sedangkan Allah jua yang memberi…” [al-Bukhari]
Nabi s.a.w menjelaskan tugas baginda hanya menyampaikan dan membahagikan ilmu dan wahyu yang Allah berikan kepada baginda, adapun pemberi sebenar dan pemilik hukum adalah Allah Ta’ala sebagaimana firman Allah Ta’ala:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Maksudnya: Pemilik hari pembalasan [al-Fatihah: 4]
Selepas Allah Ta’ala menyatakan Dia lah sebenarnya pemilik alam ini dan hari pembalasan dalam surah al-Fatihah ayat 2-4, Allah berfirman memberi tunjuk ajar kepada manusia untuk mentauhidkan-Nya dalam ibadat dan berdoa:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Maksudnya: “Hanya kepada Engkau sahajalah kami beribadat dan hanya kepada Engakau sahaja kami memohon pertolongan”. [al-Fatihah: 5].
Sebagaiman yang telah kita jelaskan, al-Isti’anah adalah salah satu jenis doa dan termasuk dalam Isti’anah adalah Istighasah.


Saya jawab :


Sejak kapan kaum muslimin yang bertawassul atau beristighatsah dengan Nabi mengaku menyembah Nabi ??  ini tuduhan jahat yang dan tidak berdasar sama sekali..


Wahai Asrie, sebutkan satu saja nash dari al-Quran atau hadits yang melarang meminta syafa’at kepada Nabi di dunia ! jika ada, maka saya akan mengikuti ajaranmu..


Adapun ayat-ayat yang anda sebutkan di atas, bukan lah dalil mengharamkan meminta syafa’at kepada Nabi di dunia, melainkan dalil bahwa semua syafa’at adalah semata-mata milik Allah, dan terserah Allah akan memberikannya kepada siapa yang dikehandakinya.


Sebagian sahabat banyak yang meminta syafa’at kepada nabi sewaktu di dunia, tapi nabi sama sekali tidak melarangnya atau mengatakan itu syirik. Anas bin Malik pernah meminta syafa’at kepada Nabi “ Wahai nabi Allah, berilah aku syafa’at nanti di akherat “, maka Nabi menjawab :


أنا فاعل إن شاء الله

“ Aku akan melakukannya insya Allah “. (HR. At-Tirmidzi, dan beliayu mengatakan hadits itu Hasan)
Sawwad bin Qarib juga meminta syafa’at kepada Nabi :


فكن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة   ::   سواك مغن عن سواد بن قارب

“ Maka jadilah pemberi syafa’at kepadaku di hari seorang yang tidak memiliki syafa’at. Selainmu yang mencukupi dari Sawwad bin Qarib “. (al-Baihaqi, Dalaailun Nubuwwah. Dalam Fathul Baari syarh Shahih Al-Bukhari jilid 7 hlm. 180 pada Bab Islaami ‘Umar RA, Ibnu Hajar juga menyebutkannya)


Mazin bin al-‘adhub juga meminta syafa’at kepada nabi :

إليك رسول الله خبت مطيتي   ::   تجوب الفيافي من عمان إلى العرج
لتشفع لي يا خير من وطئ الحصا   ::   فيغفر لي ربي فأرجع بالفلج

“ Kepadamu Rasulullah, berpaduh keinginanku. Semua orang menjelajah dari Oman ke Barat. Berilah syafa’at kepadaku wahai sebaik-baik orang yang berdiri. Agar Allah mengampuniku dan aku kembali dengan kebruntungan “. (Diriwayatkan oleh Abu Nu;aim dalam Dalailul Nubuwwah : 77)


Hadits-hadits di atas begitu jelas menunjukkan para sahabat meminta syafa’at di dunia, dan nabi sama sekali tidak mengingkarinya bahkan mengakuinya.


Perhatikan hujjah Ibnu Taimiyyah berikut ini :

واحتج هؤلاء المنكرون للشفاعة بقوله تعالى : } وَاتَّقُواْ يَوْماً لاَّ تَجْزِي نَفْسٌ  عَن نَّفْسٍ شَيْئاً وَلاَ يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلاَ يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ{ وبقوله : } وَلاَ يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلاَ تَنفَعُهَا شَفَاعَةٌ { ، وبقوله : } مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ { ، وبقوله : } فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ { .وجواب أهل السنة أن هذا يراد به شيئان :
أحدهما :
أنها لا تنفع المشركين ، كما قال تعالى في نعتهم : } مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ {42} قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ {43} وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ {44} وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ {45} وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ {46} حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ {47}‏ فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ { فهؤلاء نفى عنهم نفع شفاعة الشافعين لأنهم كانوا كفارا .
والثاني :
أنه يراد بذلك نفي الشفاعة التي يثبتها أهل الشرك ومن شابههم من أهل   البدعة من أهل الكتاب والمسلمين الذين يظنون أن للخلق عند الله من القدر أن يشفعوا عنده بغير إذنه ، كما يشفع الناس بعضهم عند بعض ، فيقبل المشفوع     إليه شفاعة شافع لحاجته إليه رغبة ورهبة ، وكما يعامل المخلوق المخلوق بالمعاوضة .
فالمشركون كانوا يتخذون من دون الله شفعاء من الملائكة والأنبياء    والصالحين ، ويصورون تماثيلهم فيتشفعون بها ويقولون : هؤلاء خواص الله .

“ Mereka (Mu’tazilah) yang mengingkari syafaat berargumentasi dengan firman Allah : “Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa`at dan tebusan dari padanya." (Q.S. Al-Baqarah : 48) "Dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfa`at suatu syafa`at kepadanya." (Q.S. Al-Baqarah : 123) Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa`at yang diterima syafa`atnya." (Q.S. Al-Mu`min : 18) "Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa`at dari orang-orang yang memberikan syafa`at." (Q.S. Al-Muddatsir : 48)


Jawaban dari Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah bahwa ayat-ayat di atas mengandung dua pengertian :

Pertama, syafaat tidak bisa dimanfaatkan oleh kaum musyrikin sebagaimana firman Allah : "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab : Kami dahulu termasuk orang-orang yang tidak mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian, maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa`at dari orang-orang yang memberikan syafa`at." (Q.S. Al-Muddatsir : 42-48)


Mereka tidak mendapat manfaat dari syafaat orang-orang yang memberi syafaat sebab mereka adalah orang-orang kafir.


Kedua, ayat-ayat di atas menolak syafaat dalam versi orang-orang musyrik dan golongan sejenis dari kalangan ahli bid’ah, baik golongan ahlul kitab maupun kaum muslimin yang menganggap bahwa makhluk memiliki kemampuan memberi syafaat tanpa izin Allah, sebagaimana manusia saling memberi syafaat kepada yang lain, akhirnya yang dimintai syafaat menerima syafaatnya yang memberi syafaat karena ia membutuhkannya baik karena suka atau takut, dan sebagaimana makhluk bergaul dengan sesamanya dengan hubungan timbal balik. Orang-orang musyrik menjadikan selain Allah dari malaikat, para Nabi dan orang-orang shalih sebagai pemberi syafaat dan mereka membuat patung-patung selain Allah itu lalu memohon syafaat kepadanya seraya berkata, “Mereka ini adalah hamba-hamba Allah yang khusus.”


Kesmpulan dari kalam Ibnu Taimiyyah di atas adalah : “ Bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat di atas adalah bahwa syafaat tidak berguna bagi orang musyrik. Berarti ayat-ayat itu turun dalam konteks ini. atau yang dimaksud adalah menafikan syafaat yang didefinisikan oleh orang-orang musyrik. Yaitu bahwa pemberi syafaat memiliki syafaat tanpa seizin Allah.


Pandangan syaikh Ibnu Taimiyyah, berkat karunia Allah, adalah pendapat yang diyakini kaum muslimin yang bertawassul selama ini.


Saya katakan bahwa orang yang memohon syafaat kepada Nabi SAW jika meyakini atau menganggap bahwa Nabi mampu memberi syafaat tanpa seizin Allah maka saya yakin ia telah melakukan tindakan syirik dan sesat. Ketika kaum muslimin memohon syafaat maka kami meyakini sepenuhnya bahwa tidak seorang pun mampu memberi syafaat tanpa seizin Allah dan tidak ada sesuatu terjadi kecuali berkat ridlo dan pertolongan Allah. Memohon syafaat sama dengan minta masuk sorga, minta minum dari telaga yang dikunjungi dan meminta selamat ketika melewati titian ( shirath ) yang semuanya tidak mungkin tercapai tanpa seizin Allah dan pada waktu yang telah ditakdirkan oleh Allah. Apakah orang yang berakal ragu akan hal ini atau pelajar ilmu agama paling yunior yang memiliki sedikit pengetahuan atau mampu sedikit membaca kitab-kitab salaf kabur akan hal ini? Hasya wa kalla...


Asrie bin Shobrie mengatakan :

Hukum Orang Yang Melakukan Syirik dalam Doa (Orang yang menyembah Kubur dan Wali)
Telah jelas bahawa perbuatan memohon doa dan hajat kepada orang mati atau ghaib sama ada manusia, jin, wali, Nabi, atau sebagainya adalah Syirik Akbar yang membawa kepada natijah pelakunya menjadi KAFIR dan MURTAD-nauzubillah min zalik-.
Tauhid Ibadah adalah Tauhid yang paling jelas dan menonjol bahkan ini adalah awal seruan para Nabi dan Rasul sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Maksudnya: “dan Kami telah utuskan pada setiap umat itu Rasul supaya menyeru mereka: Hendaklah kamu menyembah Allah dan menjauhi Taghut..” [al-Nahl: 36].
Manakala Doa pula adalah Ibadat yang paling afdal dan istimewa sebagaimana sabda Nabi s.a.w:
ليس شيء أكرم على الله تعالى من الدعاء
Maksudnya: “Tiada suatu perkara pun yang lebih mulia pada Allah selain daripada Doa”. [al-Tarmizi, Ibn Majah, dan Ahmad- hadis hasan-].
Maka Hujah Allah Ta’ala dalam perkara ini telah pun tegak dengan diutusnya Rasul daripada Nuh a.s sehingga lah Muhammad s.a.w. Tidak dikecualikan dalam hukum syirik dan kufur atas pelaku perbuatan ini kecuali atas mereka yang dipaksa (al-mukrah) dan yang tergelincir lisan seperti mengucapkannya dalam keadaan hilang akal atau mimpi.


Saya jawab :


Seperti kaum khowaij saja yang begitu mudah memvonis syirik dan murtad kepada mayoritas kaum muslimin. Pemahaman dan cara berpikirmu sungguh jauh dari kebenaran dan menyimpang dari penjelasan mayoritas ulama.


Tahkim / penghukuman yang serampangan, tak ada satu pun ulama yang mencampur aduk kasus di atas pada satu penghukuman sebagaimana Asrie bin shobri ini.


Pertama : Tak ada satupun dari kaum muslimin, yang meminta atau berdoa kepada orang yang mati, jin, manusia, wali, nabi atau selainnya. Mereka hanya memohon dan berdoa kepada Allah semata. Dan tak ada satu pun dari kaum muslim yang melakukan tawassul yang menyembah kepada salah satu dari mereka. Mereka menyebut orang shaleh atau pun nabi yang sudah wafat atau fil ghaib, adalah semata-mata melaksanakan anjuran Allah agar mencari wasilah, yakni faktor penyebab bukan meminta atau menyembah faktor penyebab itu.


Kedua : telah saya sampaikan di awal, hadits-hadits yang dhahirnya menunjukkan isti’anah atau istighatsah kepada yang ghaib, misal hadits :


إن لله ملائكةً في الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من ورق الشجر، فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فليناد: أعينوا عباد 
الله

“ Sesungguhnya Allah memiliki malaikat di bumi selain Hafadzah yang menulis daun-daun yang jatuh dari pohonnya, maka jika kalian ditimpa kesulitan di suatu padang, maka hendaklah mengatakan : “ Tolonglah aku wahai para hamba Allah “. (Majma’ al-Zawaid : 10/132)


Dengan jelas hadits ini menunjukkan seruan yang meminta pertolongan kepada orang yang tidak hadir, entah itu wali Allah atau pun malaikat dan ini merupakan bagian dari istighatsah. Nabi telah mengajarkannya pada umat Islam dan ini pun telah diamalkan oleh ulam salaf di antaranya imam Ahmad bin Hanbal dan juga para ulama setelahnya seperti para guru imam Nawawi.  Bahkan dalam riwayat yang lain hadits seperti di atas, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Albani mengomentari bahwasanya imam Ahmad beristighatsah dengan malaikat. Beranikah Asrie bin Shobrie menyesatkan Albani dan mengatakan imam Ahmad bin Hanbal telah musyrik ??


Ketiga : Doa kepada selain Allah jelas syirik jika dilakukan secara ta’abbud yakni memohon dan patuh tunduk dengan puncak kerendahan hati. Akan tetapi jika tidak dengan cara demikian, maka bukan disebut doa, melainkan nida yakni seruan dan ini adalah bagian dari istighatsah sebagaimana hadits di atas.


Keempat : sebuah pertanyaan untuk anda dan juga untuk semua ulama wahabi untuk anda renungkan dan jawab :


- Jika kalian mengatakan doa adalah ibadah dan tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah, maka jika begitu tidak boleh juga berdoa kepada selain Allah secara muthlaq sama ada kepada yang hadir (hidup) atau yang sudah wafat, tetapi kenapa kalian membolehkan berdoa kepada yang hadir atau yang masih hidup ?? silah dijawap wahai sufahaa-ul ahlaam ??


- Jika kalian mengatakan istighatsah adalah ibadah, dan tidak boleh beristighatsah kecuali hanya kepada Allah,  maka jika begitu tidak boleh juga beristighatsah kepada selain Allah secara muthlaq sama ada kepada yang hadir (hidup) atau yang sudah wafat, sama ada di dunia atau di akherat. Lalu bagaimana tanggapan kalian dengan hadits sahih berikut :

وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الأُذُنِ ، فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ، ثُمَّ بِمُوسَى ، ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ

“ Dan berkata : “ Sesungguhnya matahari akan mendekat di hari kiamat hingga keringat mencapai telinga, ketika keadaan mereka seperti itu, maka mereka beristighatsah dengan Nabi Adam, kemudian kepada Musa kemudian kepada nabi Muhammad “. (HR. Bukhari)


Kenapa mereka beristighatsah kepada para nabi di atas dan tidak beristighatsah kepada Allah langsung ? atau apakah syirik boleh dilakukan di akherat dan tidak boleh dilakukan di dunia ??




About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Kerajaan