Select Menu

clean-5

Wisata

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» » Menjawab Syubhat Asrie Tentang Sifat Allah Hakekat Atau Majaz Bhg III



Asrie berkata :
Nas-nas Wahyu juga amat banyak menetapkan bahawa sifat ALLAH adalah haqiqi seperti:
Daripada Abu Yunus Salim bin Jubair Maula Abi Hurairah kata beliau:
سمعت أبا هريرة يقرأ هذه الآية {إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها} [النساء: 58] إلى قوله تعالى {سميعا بصيرا} [النساء: 58] قال: «رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يضع إبهامه على أذنه، والتي تليها على عينه»، قال أبو هريرة: «رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرؤها ويضع إصبعيه»
Maksudnya: “Aku mendengar Abu Hurairah membaca ayat ini: إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها sehingga firman-Nya ta’ala:  سميعا بصيرا  [al-Nisaa: 58] kata beliau: “Aku melihat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan ibu jari baginda atas telinga baginda dan jari yang seterusnya atas mata baginda”. Kata Abu Hurairah lagi: “Aku melihat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini sambil meletakkan dua jari baginda (yakni ibu jari pada telingan dan jari telunjuk pada mata)”. [HR Abu Daud]
قال ابن يونس: قال المقرئ: يعني: إن الله سميع بصير، يعني أن لله سمعا وبصرا قال أبو داود: «وهذا رد على الجهمية»
Maksudnya: “Kata Ibn Yunus (yakni salah seorang rawi hadis), berkata al-Muqri’ (salah seorang rawi juga): yakni: Bahawa ALLAH itu sesungguhnya Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yakni: bahawa sesungguhnya bagi ALLAH itu pendengaran dan penglihatan”. Kata Abu Daud: “dan ini adalah bantahan atas Jahmiah”.
Tindakan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan ke arah mata dan telinga baginda sallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membaca ayat sifat melihat dan mendengar adalah untuk menyatakan bahawa ia adalah pendengaran dan penglihatan yang hakiki bukan majazi, bahkan ia bermaksud penglihatan dan pendengaran yang kamu semua fahami maksudnya secara ‘am.


Saya jawab :


Isyarat yang dilakukan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam adalah bukan untuk menunjukkan Allah memiliki organ atau anggota tubuh yang bernama pendengaran dan penglihatan. Beliau hanya memahamkan yang hadir bahwa Allah memiliki sifat Mendengar dan sifat Melihat. Lihat komentar imam al-Baihaqi terhadap hadits di atas yang dinukil oleh imam Ibnu hajar berikut ini :


قال البيهقي وأراد بهذه الإشارة تحقيق اثبات السمع والبصر لله ببيان محلهما من الإنسان يريد ان له سمعا وبصرا لا ان المراد به العلم فلو كان كذلك لأشار إلى القلب لأنه محل العلم ولم يرد بذلك الجارحه فان الله تعالى منزه عن مشابهة المخلوقين


“ al-Baihaqi mengatakan, isyarat itu bermaksud untuk menyatakan penetapan sifat pendengaran dan penglihatan Allah dengan menjelaskan tempat keduanya dari manusia, bermaksud bahwa Allah punya pendengaran dan penglihatan, bukan bermaksud ilmu (pengetahuan), kalau seandainya bermaksud pengetahun, nscaya Nabi akan mengisyaratkan kepada hati, Karena tempatnya ilmu ada di dalam hati, dan juga bukan bermaksud jarihah (organ/anggota tubuh), karena sesungguhnya Allah Maha Suci dari menyerupakan makhluk-Nya “. [1]


Perhatikan komentar imam Baihaqi yang lebih mengerti daripada Asrie ini, imam Baihaqi menjelaskan maksud isyarat tersebut, bahwa isyarat tersebut ada dua alas an; Pertama, isyarat itu dalam konteks menjelaskan makna as-Sama’ dan al-Bashar secara hakikatnya karena as-Sama’ dan al-Bashar merukapan sifat kesempurnaan yang tidak mengandung tasybih[2], dan sebaiknya tidak boleh ditakwil apalagi ditakwil dengan takwilan bathil seperti al-‘ilmu misalnya.  Oleh sebab itu isyarat di situ menolak anggapan tersebut. Dan maksud ini pun diperjelas kembali oleh imam Abu Dawud yang dinukil juga oleh Asrie tapi sayangnya tidak dipahaminya dengan baik, perhatikan :


قال ابن يونس: قال المقرئ: يعني: إن الله سميع بصير، يعني أن لله سمعا وبصرا قال أبو داود: «وهذا رد على الجهمية»

Maksudnya: “Kata Ibn Yunus (yakni salah seorang rawi hadis), berkata al-Muqri’ (salah seorang rawi juga): yakni: Bahawa ALLAH itu sesungguhnya Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yakni: bahawa sesungguhnya bagi ALLAH itu pendengaran dan penglihatan”. Kata Abu Daud: “dan ini adalah bantahan atas Jahmiah”.


Dengan jelas Abu Dawud mengatakan bahwa hadits ini menjadi bantahan bagi kaum Jahmiyyah yang menolak dan membatalkan sifat  as-Sama’ dan al-Bashar dan ditakwil oleh mereka dengan takwilan bathil yaitu al-‘ilmu. Oleh sebab itu isyarat Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud sifat as-Sama’ dan al-Bashar bukanlah al-‘Ilmu. Karena jika yang dimaksud adalah ilmu maka Nabi sudah mengisyaratkan ke dadanya sebab ilmu itu tempatnya di dalam hati. Inilah konteks yang seharusnya dipahami oleh Asrie.


Konteks kedua adalah bukan dalam rangka menjelaskan bahwa Alah memiliki organ atau anggota jasad yang bernama pendengaran dan penglihatan. Allah Maha Suci dari organ, anggota tubuh dan semua sifat-sifat makhluk-Nya. Adapun Asrie dan kaum wahabi, berbeda dengan konteks ini, mereka justru memahami nash yang dhahirnya mengandung tasybih secara dhahir dan hakekatnya, sehingga ketika mereka mengisyaratkan kepada anggota tubuh mereka tentang sifat Yad, Rijl, Wajh Allah maka akan menimbulkan secara spontanitas makna jarihah atau organ bagi Allah. Padahal Allah Maha Suci dari organ, anggota dan bagian sebagaimana ucapan imam Abu Jakfar ath-Thahawi :


وَتَعَالىَ- أَيْ اللهُ- عَنِ اْلحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَعْضَاءِ وَاْلأَدَوَاتِ، لاَ تَحْوِيْهِ اْلجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ اْلمُبْتَدَعَاتِ
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut".[3]


Asrie mengatakan dengan menaqal sebuah hadits :
عن عبد الله رضي الله عنه، قال: جاء حبر من اليهود، فقال: إنه إذا كان يوم القيامة جعل الله السموات على إصبع، والأرضين على إصبع، والماء والثرى على إصبع، والخلائق على إصبع، ثم يهزهن، ثم يقول: أنا الملك أنا الملك، «فلقد رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يضحك حتى بدت نواجذه تعجبا وتصديقا لقوله، ثم قال النبي صلى الله عليه وسلم»: {وما قدروا الله حق قدره} إلى قوله {يشركون} [الزمر: 67]
Maksudnya: Daripada Abdullah (Ibn Mas’ud) –radiallahu ‘anh- kata beliau: Telah datang seorang Ulama’ Yahudi (kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam) seraya berkata: “Sesungguhnya apabila berlaku hari kiamat ALLAH akan meletakkan langit-langit di atas satu jari, Bumi-bumi di atas satu jari, Air dan Tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk yang lain di atas satu jari kemudian Dia akan menggoncangkan semuanya kemudian Dia berkata: “Aku adalah al-Malik, Aku adalah al-Malik”. (kata Ibn Mas’ud) “Sesungguhnya aku telah melihat Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam ketawa sehingga tampak gusi baginda kerana kagum dan membenarkan perkataan dia kemudian Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam membaca: وما قدروا الله حق قدره sehingga   يشركون [al-Zumar: 67] [HR al-Bukhari & Muslim]
Dalam riwayat al-Tirmizi daripada Ibn ‘Abbas radiallahu ‘anhuma; Yahudi itu mengisyaratkan kepada jari-jarinya demikian juga perawi hadis Muhammad bin as-Salt ketika meriwayatkannya mengisyaratkan dengan jari-jarinya.
Ini merupakan pengakuan dan pengiktirafan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bahawa ALLAH memiliki jari-jari yang hakiki yang dimaklumi pada ‘aqal makna jari itu secara penamaan ‘am namun jelas di sana ada perbezaan besar antara jari ALLAH dengan jari makhluk, di mana jari ALLAH; ALLAH meletakkan makhluk-makhlukNya di atas jari-jariNya yang maha suci lagi maha mulia lalu menggoncangkan mereka.  Hadis ini menunjukkan di sana ada Kadar ‘am pada makna sifat yang musytarak maknanya dan ada kadar pemisah yang membezakan lalu menghalang berlaku Tasybih.


Saya jawab :


Hadits di atas sama sekali bukan menunjukkan Allah memiliki jari sebagaimana jari dalam pemikiran manusia yaitu organ. Justru hadits itu membuktikan bahwa Allah tidak berjisim, kenapa? Cuba perhatikan teks akhir haditsnya, setelah Nabi tertawa beliau membaca ayat :


وما قدروا الله حق قدره
“ Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya “ (QS.Az-Zumar : 68)


Ini bukti penolakan dan pengingkaran Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Yahudi tersebut, bahwa apa yang disifati oleh orang Yahudi Allah tidak demikian. Nabi mencukupkan pengingkarannya dengan isyarat karena al-Quran telah membantah pemahaman tajsim berkalil-kali dalam ayat-ayat lainnya. Kalau pun kita katakan tertawanya Nabi itu sebagai pembenaran, maka itu sebagai pembenaran pada lafznya saja bukan maknanya.


Sikap para ulama salaf dalam menyikapi hal ini mereka tawaqquf dan tidak mau menafsirkannya dengan menyucikan Allah dari sesuatu yang mustahil bagi-NYa. Adapun ulama kholaf mentakwilnya dengan takwilan yang layak bagi Allah Ta’ala. Kadar ‘am atau isytirak di sini hanyalah pada lafaz saja bukan makna. Ketika kaum wahabi menetapkan sifat jari secara hakekatnya (bukan majaz) maka ketika itu juga mereka menyamakan (mentasybih) Allah dengan makhluknya yakni Allah memiliki organ yang digunakan untuk menggenggam, walaupun kaifiyyahnya (visualisasinya) berbeda dari jari makhluk-Nya.


Ingat tasybih “ penyerupaan “ yang mereka lakukan adalah “ Organ untuk menggenggam “. Artinya Allah, gajah, kucing, manusia memiliki organ untuk menggenggam namun kesmuanya itu kafiyyahnya (visusalisasinya) tidak sama. Dengan ini kaum wahabi menyamakan Allah dengan makhluk-Nya di dalam isytirak maknanya. Maka tidak bermanfaat lagi ucapan wahabi : “ Tanpa tasybih (tanpa penyerupaan) “, sebab ia hanya meniadakan atau menafikan lafaz tasybih saja bukan maknanya. Bahkan ada seorang ulama wahabi yang benar-benar dengan terang-terangan Allah membutuhkan alat untuk menggenggam[4], Naudzu billahi min dzaalik..


Asrie dan kaum wahabi sebenarnya telah mengqiyaskan Allah dengan apa yang wujud pada makhluk-Nya dengan menetapkan organ bagi Allah yang kaifiyyah berbeda dari kaifiyyah makhluk-Nya. Inilah tasybih yang sesungguhnya. Ia telah menetapkan JARIHAH (organ/anggota jasad) dan menetapkan adanya KAFIYYAH meskipun mereka katakana kaifiyyah Allah majhul.


Imam al-Abiy ketika menjelaskan hadits :
إن الله يمسك السموات على أصبع:


“ Sesungguhnya Allah menahan langit-langit di atas jari-jari “. Maka beliau mengomentarinya :


والحديث من أحاديث الصفات فيصرف الكلام عن ظاهره المحال الموهم للجارحة، ويكون فيه المذهبان المتقدمان، إما الإمساك عن التأويل والإيمان به على ما يليق، ويصرف علمه إلى الله تعالى، أو يتأول
“ Hadits itu termasuk hadits shifat, maka ucapan itu dipalingkan dari dhahirnya yang mustahil dan mewahamkan kepada organ tubuh. Maka ada dua madzhab terdahulu dalam menyikapinya, adakalanya menahan dari takwil serta mengimaninya terhadap makna yang layak bagi Allah dan menyerahkan ilmunya kepada Allah atau mentakwilnya “.[5]


Asrie mengatakan dengan manaqal hadits :
عن عبيد الله بن مقسم، أنه نظر إلى عبد الله بن عمر كيف يحكي رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ” يأخذ الله عز وجل سماواته وأرضيه بيديه، فيقول: أنا الله – ويقبض أصابعه ويبسطها – أنا الملك ” حتى نظرت إلى المنبر يتحرك من أسفل شيء منه، حتى إني لأقول: أساقط هو برسول الله صلى الله عليه وسلم؟
Maksudnya: Daripada ‘Ubaidullah bin Miqsam bahawa beliau melihat Abdullah bin ‘Umar –radiallahu ‘anhuma- bagaimana beliau menghikayatkan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ALLAH ‘azza wa jalla akan mengambil langit-langitNya dan bumi-bumiNya dengan dua tangan-Nya lalu berkata: “Akulah ALLAH –sambil baginda menggenggam jari-jari baginda dan melepaskannya- Akulah al-Malik”; sehingga aku melihat kepada minbar bergerak-gerak daripada bawahnya sehingga aku berkata: “adakah ia akan jatuh bersama Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam?” [HR al-Bukhari & Muslim, lafaz bagi Muslim].
Tindakan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam menggenggam dan membuka jari-jari baginda semasa meriwayatkan perbuatan ALLAH ta’ala menggenggam langit dan bumi adalah untuk menetapkan makna sifat genggam iaitu seperti yang kamu maklum secara penamaan ‘amnya, genggaman yang hakiki namun di sana ada “Qadar Fariq”; genggaman ALLAH meliputi langit dan bumi seluruhnya.
عن أبي سعيد الخدري، قال النبي صلى الله عليه وسلم: «تكون الأرض يوم القيامة خبزة واحدة، يتكفؤها الجبار بيده كما يكفأ أحدكم خبزته في السفر، نزلا لأهل الجنة» فأتى رجل من اليهود فقال: بارك الرحمن عليك يا أبا القاسم، ألا أخبرك بنزل أهل الجنة يوم القيامة؟ قال: «بلى» قال: تكون الأرض خبزة واحدة، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم، فنظر النبي صلى الله عليه وسلم إلينا ثم ضحك حتى بدت نواجذه، ثم قال: ألا أخبرك بإدامهم؟ قال: إدامهم بالام ونون، قالوا: وما هذا؟ قال: ثور ونون، يأكل من زائدة كبدهما سبعون ألفا
Maksudnya: Daripada Abu Sa’id al-Khudri –radiallahu ‘anh- Sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bumi pada hari kiamat nanti menjadi sekeping roti, al-Jabbar akan membolak balikkannya dengan tangan-Nya seperti mana seseorang kamu membolak balikkan rotinya sewaktu safar, ia disediakan sebagai hidangan untuk Ahli Syurga”. Lalu kemudian itu datang seorang Yahudi seraya berkata: “Semoga kamu diberkati al-Rahman wahai Abul Qasim (yakni: Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam), mahukah kamu aku memberitahu berkenaan hidangan untuk Ahli Syurga di hari kiamat? Jawab baginda: “Silakan” kata lelaki itu: “Bumi akan menjadi sekeping roti..” sama seperti yang diceritakan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kepada kami kemudian ketawa sehingga tampak gusi baginda . Kemudian lelaki Yahudi itu berkata: “Apakah mahu aku berita kepada kamu berkenaan kuah cicah mereka? Katanya: “kuah cicah mereka adalah Balam dan Nun”. Kata para Sahabat: “apakah ini? (yakni Balam)” katanya: “Lembu liar dan ikan nun, akan makan seramai 70,000 orang daripada “zaidah” hati keduanya (yakni: bahagian pada hati Nun dan Lembu dan ia adalah bahagian yang paling sedap)”. [HR al-Bukhari & Muslim].
Dalam hadis ini Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bagi ALLAH tangan yang dengan-Nya ALLAH akan mencanai, membolak balikkan bumi menjadi sekeping roti besar untuk dijadikan makanan Ahli Syurga kemudian Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan ia sama seperti kamu mencanai dan membolak-balikkan roti kamu di atas “sufrah” atau sewaktu safar. Ia bukanlah Tasybih tetapi penguat makna sifat ini bahawa ia hakiki seperti yang kamu maklum maknanya walaupun jelas perbezaan sifat yang ada pada ALLAH dengan yang ada pada makhluk; Tangan dan ulian makhluk tidak mungkin boleh menguli bumi dan menukar bumi menjadi roti.


Saya jawab :


Di awal telah saya jelaskan bahwa sifat-sifat Allah terbagi menjadi tiga bahagian; Bahagian pertama : Sifat yang tidak menimbulkan baharu dan jisim Seperti sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), qudrah (kemampuan) ‘ilm (pengetahuan) dan lain sebagainya, maka sifat-sifat ini kita tetapkan dengan makna kulli-nya (makna keseluruhannya) tanpa boleh ditakwil. Bahagian kedua ; Sifat yang menimbulkan kekurangan dan aib bagi Allah seperti nisyaan (lupa), maka ini harus / wajib ditakwil dan tidak boleh ditafwidh maknanya. Bahagian ketiga ; Sifat yang makna zahirnya mewahamkan pada taysbih dan kekurangan. Kerana makna zahirnya menunjukkan pada sifat jisim, maka ini ditafwidh maknanya oleh jumhur ulama salaf dan ditakwil oleh ulama kholaf.


Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn ‘Arabi mengatakan :


“ Hadits-hadits sahih dalam bab ini – yakni dalam bab shifat- terbagi menjadi tiga tingkatan :
Pertama : Sifat yang lafaz-lafaznya datang dengan menunjukkan kesempurnaan semata, tidak ada aib atau kekurangan. Maka ini wajib diyakini.
Kedua : Sifat yang lafaz-lafaznya ada kekurangan, maka ini tidak ada bagian sedikitpun bagi Allah, tidak boleh disandarkan kepada-Nya kecuali ia terhalang darinya dalam makna secara dharurat saja seperti firman-Nya, “ Wahai hambaku, aku sakit kenapa tidak menjengukku “, dan semisalnya.
Yang ketiga : sifat yang lafaz-lafaznya ada kesempurnaan akan tetapi mewahamkan taysbih “.[6]


Kemudian beliau melanjutkan :


“ Adapun sifat yang datang dengan kesempurnaan semata seperti sifat wahdaniyyah, ilmu, qudrah, iradah, hayat, sama’, bahsar, ihathah, taqdir dan tadbir, tidak ada sekurtu, maka tidak ada pembicaraan di antara ulama dan tidak ada no coment. Adapun sifat yang lafaznya datang dengan kekurangan semata seperti firman Allah Ta’ala “ Siapakah yang mau menghutangkan Allah dengan hutang yang baik “ dan firman-Nya “ Aku lapar kenapa kamu tidak memberikan aku makan “, maka semua orang baik yang alim maupun yang jahil mengetahui bahwa hal itu adalah kinayah (sindiran), akan tetapi Allah menyandarkan hal itu kepada dzat-Nya yang Mulia lagi Suci sebagai kemuliaan kepada wali-Nya dan sebagai kehormatan dan pelembutan bagi hati...

Maka jika ada lafaz-lafaz yang muhtamal (mengandung makna yang banyak) yang terkadang dari satu sisi datang untuk kesempurnaan dan satu sisi lainnya kadang untuk kekurangan / aib, maka wajib bagi setiap muslim yang cerdas untuk menjadikannya makna kinayah / sindiran yang boleh atas-Nya, dan menafikan dari apa yang tidak boleh atas-Nya. Maka ucapan di dalam tangan, pergelangan tangan dan jari adalah kalimat-kalimat indah yang menunjukkan makna-makna mulia, karena kalimat saa’id (pergelangan tangan) menurut orang Arab kadang terarahkan pada makna kekuatan dan kesangatan, dan disandarkan kalimat saa’id kepada Allah kerana sesungguhnya segala urusan milik Allah. Demikian juga ucapannya : “ Sesungguhnya sedekah itu jatuh di telapak tangan Allah yang Maha Pengasih “, diibaratkan dengan kalimat telapak tangan, dimaksudkan penjagaan orang miskin sebagai kemuliaan dan apa yang dibalik dengan jari jari itu ebih mudah dan ringan dan lebih cepat “.[7]


Asrie mengatakan :
Semua nas-nas sarih dalam Sunnah Nabawiah yang Sahihah ini menafikan bahawa makna zahir sifat “tidak dikehendaki” bahkan ia bukan dengan makna yang makruf diketahui ‘aqal melalui penamaan ‘am al-Kulli bahkan jelas nas-nas ini menetapkan makna ‘am al-kulli atau disebut qadar musytarak atau penamaan ‘am bagi sifat dan dalam masa yang sama menetapkan kadar pemisah yang menafikan tasybih atau lebih tepatnya; Tamtsil.
Kata Syaikhul Islam Ibn al-Qayyim –rahimahullah-:
فهذا الكشف والبيان والإيضاح لا مزيد عليه تقرير لثبوت هذه الصفة، ونفي الإجمال والاحتمال عنها.
Maksudnya: “Maka pendedahan dan penjelasan ini tidak lebih sekadar untuk menetapkan sabitnya sifat ini dan menafikan kesamaran dan sangkaan daripadanya” [Mukhtasar as-Sawa'iq, 4/1428]
Tidak ada lagi ruang dan celah bagi para pentakwil sama ada Muawwilah mahupun Mufawwidah mendakwa nas-nas sifat tidak datang dengan makna yang difahami melalui penamaan ‘am , bahkan nas-nas jelas menyatakan makna sifat sesuai dengan zahir bahasa arab yang difahami oleh ‘aqal melalui penamaan ‘am.


Saya menjawab :


Isytirak (persamaan) sifat-sifat Allah dan sifat-sifat makhluk, hanya persamaan di dalam lafaznya saja (isytirak lafdzi) bukan persamaan di dalam makna (isytirak fil ma’na).

Ketika Allah ta'ala berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ

 “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi “ (Q.S. as-Syura:11)


Maka kita wajib meyakini bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya dari segi apapun karena lafadz “ syaiun “ disebutkan dalam bentuk isim Nakirah setelah susunan Nafyun (penafian) sedangkan isim Nakirah jika disebutkan setelah Nafyun, menjadi makna yang menyeluruh, artinya Allah menafikan keserupaan dan kesamaan Dzatnya dengan semua apapun dari makhluk-Nya.


Makhluk Allah terbagi atas dua bagian ; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al Jawhar alFard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jisim). Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;


1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan,seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.

2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.


Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif.


Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda  seperti berbentuk, tersusun, beranggota, berorgan, bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya.


Allah Ta’aala juga berfirman :

فَلاَ تَضْرِبُوا لِلَّهِ اْلأَمْثَالَ
“ Maka jangan kamu jadikan amtsal bagi Allah “ (QS. An-Nahl : 74)



Artinya jangan buat penyerupaan dan persamaan Allah dengan makhluk-Nya, karena sesungguhnya Allah tidak ada yang menyerupainya sama sekali, Dzatnya tidak serupa dengan Dzat lainnya dan sifat-Nya tidak serupa dengan sifat lain-Nya.


Al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:

وَتَعَالَى- أَيْ اللهُ- عَنِ اْلحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأَرْكاَنِ وَاْلأَعْضَاءِ وَاْلأَدَوَاتِ، لاَ تَحْوِيْهِ اْلجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ اْلمُبْتَدَعَاتِ

"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut". [8]



A-lmam Abu al-Hasan al-Asy’ari -semoga Allah meridlainya- (260-330 H) berkata :
وَقَالَ اَهْلُ السُّنَّةِ وَاَصْحَابُ اْلحَدِبْثِ : لَيْسَ بِجِسْمٍ وَلاَيُشْبِهُ اْلاَشْيَاءَ
“ Ahlus sunnah dan ahli hadits mengatakan : “ Allah tidak memiliki jisim (anggota /organ tubuh) dan tidak menyerupai sesuatu “.[9]
Ini sudah sangat cukup meruntuhkan pondasi akidah yang dibangun Asrie dan kaum wahabi.



Asrie mengatakan :

Pada penutup risalah ini, ditegaskan sekali lagi bahawa menetapkan makna sifat dan kadar perkongsian pada penamaan ‘am tidaklah melazimkan Tasybih, adapun yang dinamakan Tasybih di sisi as-Salaf adalah ((Tamtsil)) yakni menyamakan dua perkara pada khususiah dan kaifiatnya dan ini adalah perkara daruri yang difahami mana-mana ‘aqal yang sejahtera.
Imam al-Tirmizi –rahimahullah- membawakan pernyataan berikut:
وقال إسحاق بن إبراهيم:”إنما يكون التشبيه إذا قال: يد كيد، أو مثل يد، أو سمع كسمع، أو مثل سمع، فإذا قال: سمع كسمع، أو مثل سمع، فهذا التشبيه، وأما إذا قال كما قال الله تعالى يد، وسمع، وبصر، ولا يقول كيف، ولا يقول مثل سمع، ولا كسمع، فهذا لا يكون تشبيها، وهو كما قال الله تعالى في كتابه: {ليس كمثله شيء وهو السميع البصير}
Maksudnya: “dan berkata Ishaq bin Ibrahim (yakni: Ibn Rahawaih): “Sesungguhnya yang berlaku Tasybih itu jika dia berkata: “Tangan seperti tangan” atau “seumpama tangan” atau “pendengaran seperti pendengaran” atau “seumpama pendengaran”, jika dia berkata: “pendengaran seperti pendengaran atau seumpama pendengaran maka inilah Tasybih, adapun jika dia berkata seperti ALLAH berkata: “Tangan, pendengaran, penglihatan dan tidak memberikan kaifiat dan tidak berkata seumpama pendengaran dan tidak juga seperti pendengaran, maka ini tidak menjadi Tasybih dan ia seperti firman ALLAH ta’ala dalam kitab-Nya (maksudnya): “Tiada suatupun yang menyerupainya dan Dialah as-Sami’ (yang maha mendengar) lagi al-Basir (maha melihat)”. [Jami' al-Tirmizi, hadis no. 662].
Imam Ishaq bin Rahawaih –rahimahullah- dalam pernyataan ini menjelaskan bahawa syubhat al-Jahmiah adalah mereka menyangka dengan menetapkan penamaan ‘am atau lafaz mutlak menjadi Tasybih sedangkan ini adalah sangkaan yang salah, adapun tasybih adalah menetapkan مثل yakni penyerupaan pada khususiah dan kaifiat.


Saya jawab :


Di sini Asrie kurang cermat memahami nukilan imam Tirmidzi atau imam-imam Lain yang menjadikan sifat-sifat Allah yang tidak menimbulkan tajsim dalam satu tempat dengan sifat-sifat Allah yang menimbukan tajsim.  


Sifat-sifat Allah yang tidak menimbulkan tajsim seperti sifat as-Sama’, al-Bashar, al-‘ilmu dan lainnya, dalam makna umumnya (al-ma’na al-kulli) oleh ulama salaf tidak ditafwidhkan maknanya, akan tetapi makna khususnya (al-ma’na al-khash) mereka mentafwidhnya kepada Allah. Artinya sifat as-Sama’ Allah kita tetapkan makna umumnya yaitu mencapai segala yang didengar, kadar ini tidak menyebabkan tasybih kepada makhluk-Nya yang juga mencapai segala apa yang didengar. Adapun makna khususnya yakni hakekat pendengaran Allah, maka kita tafwidhkan kepada Allah, karena tidak ada yang mengetahui hakekat pendengaran Allah kecuali Allah sendiri. N telah saya jelaskan sebelum-sebelumnya bahwa sifat yang ditafwidh maknanya atau ditakwil, adalah pada sifat-sifat Allah yang dhahirnya menimbulkan kekurangan dan aib bagi Allah, adapun sifat-sifat Allah yang tidak mewahamkan kekurangan atau tasybih, maka tak ada satu pun ulama yang mentawfidhnya atau mentakwilnya.


Bukankah dengan mengatakan Allah memiliki tangan, kaki, mata, jari, wajah secara hakekatnya (bukan majaz) berarti ia telah menetapkan bahwa Allah memiliki organ atau anggota tubuh?? Karena semua itu dalam makna hakekatnya (lawan majaz) semua bermakna organ-organ tertentu ?? ini sudah merupakan tamtsil kepada Allah, karena benar-benar telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya yang nota bene memiliki organ. Dan tsyabih ini lebih besar ketimbang menetapka kaifiyyah bagi Allah, walaupun kedua-duanya merupakan tasybih kepada Allah dengan makhuk-Nya, nauzu billahi min dzaalik…



Shofiyyah an-Nuuriyyah
Kota santri, 02-12-2013




[1] Fath al-Bari : 13/316
[2] Telah saya jelaskan dalam artikel sebelumnya bahwa sifat Allah terbagi menjadi tiga bahagian; Bahagian pertama : Sifat yang tidak menimbulkan baharu dan jisim Seperti sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), qudrah (kemampuan) ‘ilm (pengetahuan) dan lain sebagainya, maka sifat-sifat ini kita tetapkan dengan makna kulli-nya (makna keseluruhannya) tanpa boleh ditakwil. Bahagian kedua ; Sifat yang menimbulkan kekurangan dan aib bagi Allah seperti nisyaan (lupa), maka ini harus / wajib ditakwil dan tidak boleh ditafwidh maknanya. Bahagian ketiga ; Sifat yang makna zahirnya mewahamkan pada taysbih dan kekurangan. Kerana makna zahirnya menunjukkan pada sifat jisim, maka ini ditafwidh maknanya oleh jumhur ulama salaf dan ditakwil oleh ulama kholaf.
[3] Al-Aqidah ath-Thahawiyyah : 28
[4] Muhammad Khalil Harras mengatakan dalam ta’liqnya (komentarnya) terhadap kitab tauhidnya Ibnu Khuzaimah yang dicetak tahun 1403 terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah pada halaman 63 berikut : Menggenggam tentunya dengan tangan secara hakekatnya bukan dengan nikmat. Jika mereka berkata “ Sesungguhnya huruf ba di sini bermakna sebab maksudnya dengan sebab iradah kenikmatan “, maka kita jawab pada mereka “ Dengan apa menggengam itu ?? karena sesungguhnya menggenggam itu butuh kepada alat, maka niscaya tak ada jawaban dari mereka, jika saja mereka mau merendahkan diri mereka “.

[5] Syarh Sahih Muslim, al-Abiy : 1/190
[6] Al-‘Awashim min al-Qawashim : 228
[7] Al-‘Awashim min al-Qawashim : 228
[8] Ath-Thahawi, Abu Jakfar, al-Aqidah ath-Thahawiyyah : 28
[9]  Maqaalat al-Islamiyyin wa ikhtilaaf al-Mushallin, Abu al-hasan al-Asy’ari : 211

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Kerajaan