Select Menu

clean-5

Wisata

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» »Unlabelled » Pelurusan Ketiga: Catitan Terhadap Buku Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah



Pelurusan Ketiga :

الحد
Allah Memiliki Batasan




Syaikh Murad Syukri dalam artikelnya itu mengakui bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan Allah memiliki batasan, namun Murad Syukri menolak makna batasan yang dimaksudkan oleh Ibnu Taimiyyah. Menurutnya Ibnu Taimiyyah bukan bermaksud memberi batasan jisim pada Dzat Allah dan bukanlah sebagai salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan ia berdalil bahwa Ibnu Taimiyyah bukanlah orang pertama yang mengatakan Allah punya batasan, akan tetapi ulama salaf dan Abdullah bin Mubarak pernah mengatakan hal yang sama.

Jawaban :

Benarkah apa yang dikatakan Syaikh Murad Syukri bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyyah adalah bukan batasan jisim?? Mari kita buktikan…

Dalam artikel bantahan Syaikh Murad Syukri yang diterjemahkan oleh kumpulan ustadz wahabi Malaysia mengatakan :

……jika dia mengatakan: “Sesungguhnya bagi Allah sifat batasan (al-Had)”, perkataan seumpama ini tidak pernah diungkapkan oleh sesiapa pun, tidak juga oleh (orang yang memiliki) akal (yang sihat). Kata-kata sebegini tiada memiliki kebenaran langsung. Yang mana sifat (al-Had) ini tiada pada mana-mana sifat yang disifatkan ia pada sesuatu seperti sifat Tangan dan Ilmu.[1]

Kami jawab :

Hanya ada beberapa kemungkinan dalam argumentasi mereka ini :

Pertama : Syaikh Murad Syukri sengaja tidak menjelaskan maksud Ibnu Taimiyyah yang sebenarnya yang begitu jelas dan mudah dipahami. Atau dari pihak penterjemah yang memang sengaja melakukannya.

Kedua : Syaikh Murad Syukri sengaja merahasiakan redaksi Ibnu Taimiyyah sebelumnya yang masih berkaitan erat dengan redaksi yang dinukilnya secara sepotong. Atau dari pihak penterjemahnya yang sengaja melakukannya.

Ketiga : Bodoh atau jahil di dalam memahami subtansi dari ucapan Ibnu Taimiyyah tersebut, atau kebodohan dari pihak penterjemahnya.

Sekarang kita tampilkan redaksi Ibnu Taimiyyah sepenuhnya yang berkaitan erat dengan redaksi yang dinukil secara sepotong oleh syaikh Murad Syukri :

Dalam kitab Talbis Jahmiyyah, Ibnu Taimiyyah menuliskan bantahan kepada imam al-Khaththabi sebagai berikut :

أهل الإثبات المنازعون للخطابي وذويه يُجيبون عن هذا بوجوه:
أحدها: أن هذا الكلام الذي ذكره؛ إنّما يتوجه لو قالوا: إن له صفهً هي "الحدّ" كما توهّمه هذا الرادّ عليهم؛ وهذا لم يقله أحدٌ، ولا يقوله عاقلٌ؛ فإنّ هذا الكلام لا حقيقة له؛ إذ ليس في الصفات التي يوصف بها شيءٌ من الموصوفات - كما وُصِف: باليد، والعلم - صفةً مُعينّةً يُقال لها: (الحدّ)،وإنما الحدّ ما يَتميّز به الشيءُ عن غيره من صفته وقدره، كما هو المعروف في لفظ الحدِّ في الموجودات

“ Kelompok istbat yang menentang al-Khaththabi dan kelompoknya menjawab (hujjah)nya dengan beberapa hujjah berikut : Pertama : ucapan yang diucapkan al-Khathtabi itu seharusnya ditujukan kepada mereka yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat yang disebut batasan sebagaimana tanggapan sipenolak (al-Khaththabi) ini atas mereka. Dan ini tidak seoranpun mengatakannya bahkan tidak seorang berakal pun yang mengatakan seperti itu. Ucapan ini tidak benar sama sekali, karena tidak ada sifat tertentu yang disebut batasan yang bisa disifatinya sebagaimana disifati dengan tangan dan ilmu. Karena batasan itu adalah perkara yang bisa membedakan sesuatu dari lainnya berupa sifat dan ukurannya sebagaimana telah ma’ruf di dalam lafadz batasan pada sesuatu yang ada “.[2]

Penjelasan :

Pertama : Bantahan Ibnu Taimiyyah ini sebenarnya tidak nyambung sama sekali dengan argumentasi imam al-Khaththabi, jika saya boleh ibaratkan seperti orang yang bertanya pada temannya : “ Kenapa kamu tidak minum teh ? lalu temannya menjawab : Tidak, karena temanku tidak datang “. Imam Khaththabi berbicara tentang satu perkara, tapi Ibnu Taimiyyah menjawabnya perkara lainnya,  Karena yang ditolak oleh imam al-Khathtabi adalah batasan yang membatasi dzat Allah dengan ujung atau pinggiran. Apa yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak terlintas di hati imam al-Khaththabi. Maka bantahan Ibnu Taimiyyah kepada argumentasi yang diketengahkan imam Khaththabi sama sekali tidak nyambung.

Kedua : sebagaimana ucapan Ibnu Taimiyyah di atas tentang makna had (batasan), menunjukkan pemahaman makna had di sisi Ibnu Taimiyyah sendiri. Ia mengatakan :

وإنما الحدّ ما يَتميّز به الشيءُ عن غيره من صفته وقدره، كما هو المعروف في لفظ الحدِّ في الموجودات

Karena batasan (hadd) itu adalah perkara yang bisa membedakan sesuatu dari lainnya berupa sifat dan ukurannya sebagaimana telah ma’ruf di dalam lafadz batasan pada sesuatu yang ada “.[3]

Dari definisi Ibnu Taimiyyah ini maka membuahkan :

Bahwa batasan menurut Ibnu Taimiyyah ada dua makna ; pertama : berupa sifat khusus (ash-shifah), kedua; berupa kadar (al-qadr). Kadar menurut Ibnu Taimiyyah adalah bentuk dan jarak sedangkan had berupa batas akhir. Sebagaimana kelanjutan ucapan Ibnu Taimiyyah berikut ini :

فيقال حد الإنسان وحد كذا وهي من الصفات المميزة له ويقال حد الدار والبستان وهي جهاته وجوانبه المميزة له ولفظ الحد في هذا أشهر في اللغة والعرف العام ونحو ذلك

“ Maka dikatakan batasan manusia dan batasan ini itu. Ini merupakan sifat-sifat yang membedakan untuknya. Missal dikatakan “ Batasan rumah dan kebun, yang dimaksud adalah arah-arah dan pinggir-pinggirannya yang membedakan baginya. Lafadz had (batasan) dalam hal ini sangat masyhur dalam bahasa dan urf umumnya dan semisalnya “.[4]

Dari keterangan Ibnu Taimiyyah ini dapat dipahami bahwa had menurutnya memiliki dua makna yaitu sifat khusus sesuatu dan arah dan pinggir yang membedakan yakni pinggir dan batas akhir. Maka jika Ibnu Taimiyyah menetapkan had (batasan) untuk Allah, maka yang ia maksudkan sesuai argumentasinya adalah dua makna ini dalam haq Allah walaupun Ibnu Taimiyyah menolak makna yang pertama. Dengan jelas Ibnu Taimiyyah lebih bermaksud pada makna yang kedua, karena makna yang kedua ini spontanitas dipahami dalam bahasa.

Kemudian Ibnu Taimiyyah mengatakan :

و لما كان الجهمية يقولون ما مضمونه إن الخالق لا يتميز عن الخلق فيجحدون صفاته التي تميز بها ويجحدون قدره

“ Ketika jahmiyyah mengatakan yang intinya bahwa Allah tidak ada perbedaan dengan makhluk, maka mereka mengingkari sifat-sifat-Nya yang membedakan-Nya dengan makhluk-Nya dan mengingkari kadar (ukuran) Allah “.[5]

Penjelasan :

Jika demikian, kaum jahmiyyah menurut Ibnu Taimiyyah jatuh pada dua kesesatan :

Yang pertama ; Meniadakan sifat-sifat Allah
Yang kedua : Meniadakan kadar (ukuran) Allah.

Dengan ucapannya ini, membuktikan pada kita bahwa Ibnu Taimiyyah bermaksud dengan lafadz Qadr (ukuran) tidak ada lain adalah makna bentuk ukuran dan batasan arah. Bahkan Ibnu Taimiyyah membatasi Allah dari enam arah (kanan, kiri, atas, bawah, depan dan belakang) dengan batasan yang tidak diketahuinya kecuali Allah sendiri. Ibaratnya ; Si Fulan memiliki sungai tertentu di tempat tertentu dan di arah tertentu, akan tetapi tidak terbatas bahkan melebar ke sungai-sungai lainnya.

Ibnu Taimiyyah mengklaim ulama salaf mengatakan Allah memiliki had di antaranya Abdullah bin Mubarak. Berikut redaksinya :

سألت عبدالله بن المبارك؛ قلت: كيف نعرف ربنا؟ قال: في السماء السابعة على عرشه. قلت: فإن الجهمية تقول: هو هذا. قال: إنا لا نقول كما قالت الجهمية، نقول: هو هو. قلت: بحد؟ قال: إي والله بحد

“ Aku bertanya kepada Abdullah bin Mubarak : “ Bagaimana kami mengenal Tuhan kami? Beliau menjawab : “ Di langit ketujuh di atas Arsy”. Aku bertanya lagi : “ Jahmiyyah juga mengatakan demikian. Maka beliau menjawab : “ Kita tidak mengatakan apa yang dikatakan Jahmiyyah, kami katakana Dia adalah Dia “. Aku bertanya lagi : “ Dengan batasan ? “ beliau menjawab : Ya dengan batasan “.

Imam Baihaqi mengomentari atsar ini sebagai berikut :

إنما أراد عبدالله بالحد : حد السمع وهو أن خبر الصادق ورد بأنه على العرش استوى، فهو على عرشه كما أخبر، وقصد بذلك تكذيب الجهمية فيما زعموا بأنه بكل مكان وحكايته تدل على مراده، والله أعلم

“ Sesungguhnya yang dimaksukan oleh Abdullah bin Mubarak adalah batasan pendengaran, yaitu bahwa hadits Nabi telah menceritakan bahwa Allah beristiwa di atas Arsy, maka Allah di atas Arsynya sebagaimana khabar-Nya. Beliau berkata demikian bermaksud mendustakan pemahaman jahmiyyah yang mengaku bahwa Allah di setiap tempat, maka kisahnya itu menunjukkan atas maksudnya. Wa Allahu A’lam. “ [6]

Penjelasan :

Imam Baihaqi menjelaskan pada kita bahwa yang dimaksud hadd (batasan ) oleh Abdullah bin Mubarak adalah dalil bahwa Dzat Allah tidak ada nihayah (batasan arah dan ujung) sebagaimana dipahami oleh kaum mujassimah. Maka Apa yang dipahami oleh Abdullah bin Mubarak bukanlah seperti yang dipahami Ibnu Taimiyyah.  

Bagaimana Ibnu Taimiyyah mengklaim ucapan satu orang yakni Abdullah bin Mubarak sebagai ucapan seluruh ulama salaf? Sejak kapan pendapat satu orang menjadi hujjah bagi ushul agama jika kita tetapkan makna atsar Ibnu Mubarak sebagaimana pemahaman Ibnu Taimiyyah ? kecuali jika Ibnu Taimiyyah meyakini Abdullah bin Mubarak bersifat ma’shum.





[1] Bayan Talbis al-Jahmiyyah fi Ta’sis Bid‘ihim al-Kalamiyyah (tahqiq: Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Qasim; Mathaba‘ah al-Hukumah, Mekah, 1392H), jld. 1, ms. 442
[2] Bayan Talbis al-Jahmiyyah fi Ta’sis Bid‘ihim al-Kalamiyyah (tahqiq: Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Qasim; Mathaba‘ah al-Hukumah, Mekah, 1392H), jld. 1, ms. 442
[3] Bayan Talbis al-Jahmiyyah fi Ta’sis Bid‘ihim al-Kalamiyyah (tahqiq: Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Qasim; Mathaba‘ah al-Hukumah, Mekah, 1392H), jld. 1, ms. 443.
[4] Bayan Talbis Jahmiyyah juz 1/443
[5] Bayan Talbis al-Jahmiyyah fi Ta’sis Bid‘ihim al-Kalamiyyah (tahqiq: Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Qasim; Mathaba‘ah al-Hukumah, Mekah, 1392H), jld. 1, ms. 444
[6] al-Asmaa wa ash-Shifat, al-Baihaqi : 2/334-335

Ditulis Oleh: Ustaz Ibnu Abdillah Al-Katibiy
facebook: https://www.facebook.com/ibnu.alkatibiy

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Kerajaan