Select Menu

clean-5

Wisata

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» »Unlabelled » Menjawab hujjah-hujjah lemah ustadz Asrie bin Shobrie yang mencacat dan menyesatkan akidah mayoritas Umat Islam ; Asy’ariyyah dan Maturudiyyah. (Bhg 2)



MUHAMMAD ASRIE BIN SOBRI mengatakan :


Ahli Sunnah wal Jamaah menetapkan bagi Allah Taala sifat-sifat yang sabit dalam al-Quran dan al-Sunnah tanpa menyamakan dengan makhluk dan tidak juga mentakwilnya. Mereka memahami nas-nas sifat sesuai dengan makna zahirnya tanpa melakukan takwil sama ada ijmali (tafwid) atau tafsili.


Saya jawab :


Penyimpulan yang terburu-buru nafsu. Dan kedustaan atas nama Ahlus sunnah waljama’ah.


Tidak ada satupun ulama salaf yang memahami nas-nas sifat sesuai dengan makna zahirnya, ini merupakan hasil pemahaman kaum wahabi yang salah dan bodoh dari hakekat sikap-sikap ulama salaf terhadap ayat-ayat shifat Allah Subhanahu wa Ta’aala.
Perhatikan ucapan imam Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani berikut ini :


“ Tangan dimaknai dengan nimat, kebaikan dan semisalnya “ Ucapan  : “ Paling panjang tangannya “ maknanya paling dermawan. Penyebutan tangan yang disandrkan kepada Allah dalam al-Quran dan hadits juga terjadi, dan Ahlus sunnah waljama’ah sepakat bahwa yang dimaksud dengan tangan bukanlah tangan secara jarihah (anggota tubuh tertentu) yang merupakan sifat makhluk. Ahlus sunnah waljama’ah menetapkan apa yang datang dari hal itu dan mengimaninya. Di antara mereka ada yang diam dan tidak berani mentakwil. Di antara mereka ada juga yang membawa setiap lafadz kepada makna yang jelas, demikianlah para ulama Ahlus sunnah mengamalkan hal semacam itu “ [1]


Bahkan para ulama salaf dan kholaf telah berijma’ / bersepakat bahwa zahir nas dari ayat shifat bukanlah yang dimaksud sebagaimana dinukil oleh imam al-Baijuri dalam kitab Jauharut Tauhidnya sebagai berikut :


كَمَا ظَهَرَ أَنَّ السَّلَفَ وَالْخَلَفَ مُجْمِعُوْنَ عَلىَ أَنَّ ظَوَاهِرَ هَذِهِ النُّصُوْصِ غَيْرُ مَرَادَةٍ، وَأَنَّهَا مَصْرُوْفَةٌ عَنْ هَذِهِ الظَّوَاهِرِ إِلاَّ أَنَّ السَّلَفَ لاَ يُعَيِّنُوْنَ اْلمَعْنىَ اْلمُرَادَ وَأَمَّا اْلخَلَفَ فَيُعَيِّنُوْنَهُ، وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ قَالَ كَثِيْرٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ إِنَّ السَّلَفَ يُؤَوِّلُوْنَ تَأْوِيْلاً إِجْمَالِياًّ، وَالْخَلَفَ يُؤَوِّلُوْنَ تَأْوِيْلاً تَفْصِيْلِيّاً

“ Sebagaimana telah jelas, bahwa ulama salaf dan kholaf sepakat bahwa nash-nash tersebut bukanlah makna literal yang dimaksud. Dan sepakat bahwa maknanya dipalingkan dari makna literalnya. Akan tetapi ulama salaf tidak menjelaskan maknanya sedangkan ulama kholaf menjelaskan maknanya. Oleh sebab itu banyak para ulama mengatakan sesungguhnya ulama salaf mentakwil tapi mentakwil secara ijmali (umum) sedangkan ulama salaf mentakwil secara tafsili (terperinci) “

Imam Ahmad Ar-Rifa’i (W 578 H) berkata :

صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ اْلكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَاِنَّ ذَالِكَ مِنْ اُصُوْلِ اْلكُفْرِ

“ Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada dhahir ayat al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran ". (Burhan al-Muayyad)


Dari penjelasan para ulama ini saja sudah jelas bahwa tak ada satupun ulama salaf yang memahami nas sifat dengan zahirnya. Maka klaim wahabi tersebut adalah klaim dusta dan asumsi yang salah.

MUHAMMAD ASRIE BIN SOBRI mengatakan :

Dasar yang menjadi pegangan akidah Ahli Sunnah wal Jamaah adalah firman Allah Taala:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maksudnya: “tiada sesuatupun yang sebanding dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.” [al-Syura: 11].


Dalam ayat ini Allah Taala menetapkan bahawa diriNya tidak menyamai dengan sesuatu pun daripada makhluk dan pada akhir ayat ini Allah Taala menetapkan bagi zatNya sifat mendengar dan melihat. Maka al-Quran dalam masalah sifat Allah Taala mengambil jalan pertengahan antara manhaj Mu’attilah dan Nufat yang menafikan bagi Allah Taala sifat dan Manhaj Musyabbihah dan Mumassilah yang menyamakan antara Allah dan makhluk atau makhluk dengan Allah Taala.


Saya Jawab :


Benar sekali ucapan Asrie yang ini, namun realita dari ajarannya sangat bertolak belakang dengan ucapannya. Alias ucapan dan praktek bertentangan, ini disebut plin-plan atau munafiq.


Allah mendahulukan kalimat TANZIH sblom mnyebutkan SIFAT. Agar kita terlebih dahulu menyucikan Allah dr sgla hal yg baru dan sgla sifat makhluk-Nya.


Kemudian Allah mnyebutkan sifat-sifatnya tersebut, supaya manusia mengerti bahwa Allah memiliki sifat. Dan sifatnya tanpa TAKYIF dan TASYBIIH.


Sebagaimana Allah juga menetapkan sifat-sifat lainya sprti HIDUP, BERKEHENDAK, MAMPU dan lainnya dalam al-Quran. Namun smua sifat tsb adalah sifat maknawi (bukan indrawi) yang sempurna dan layak bagi Allah.


Maka sebagai umat muslim kita sangat dilarang menyerupakan Allah dengan segala HAL YANG BARU dan segala SIFAT MANUSIA sekcil apapun.


Dan kita dilarang MENAFIKAN (TA'THIL) sifat-sifat Allah sebab Allah sendiri menetapkannya.


Inilah manhaj ULAMA SALAF.

Sangat berbeda dengan manhaj kaum Wahabi, mereka pada dasarnya memang menetapkan sifat-sifat Allah, tapi pada akhirnya menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dengan menetapkan adanya jisim bagi Allah dan menetapkan adanya kaifiyyah dari sifat-sifat Allah.


MUHAMMAD ASRIE BIN SOBRI mengatakan :


Imam Nuaim bin Hammad r.h berkata:

من شبه الله بشيء من خلقه فقد كفر،ومن أنكر ما وصف الله به نفسه فقد كفر، وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه

Maksudnya: “Sesiapa yang menyamakan Allah dengan sesuatu daripada makhlukNya maka dia telah kafir, dan sesiapa yang mengingkari suatu sifat yang Allah sifatkan kepada diriNya maka dia telah kafir, dan tidak ada dalam perkara yang Allah dan RasulNya sifatkan kepada diriNya itu tasybih (penyamaan dengan makhluk)”. [Syarah al-Tahawaih, Ibn Abil Izz  al-Hanafi, m.s 117 & 118, cet. Darul Salam].


Pernyataan Guru Imam al-Bukhari r.h ini jelas menunjukkan bahawa antara iktiqad salaf juga mereka sama sekali tidak pernah melihat atau berpandangan ayat-ayat dan nas-nas sifat merupakan nas yang mengandungi tasybih pada zahirnya.


Saya jawab :


Memang benar apa yang diucapkan Imam Nu’aim bin Hammad tersebut, semua sifat Allah tidak mengandung tasybiih jika disikapi dengan sikap yang sesuai Allah perintahkan yaitu menyikapinya dengan sikap tafwidhul makna wal kaifiyyah atau mentakwilnya sesuai takwil yang benar yang mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya. Namun apa yang dilakukan kaum wahabi justru sifat-sifat Allah menjadi tasybih kepada makhluk-Nya yaitu dengan menuruti makna zahirnya. Kaum wahabi justru memaknai ayat-ayat shifat Allah dengan apa yang terlintas dalam pikiran mereka seperti memaknai istiwa dengan bersemayam dan duduk.


Inilah makna sebenarnya dari ucapan imam Nu’aim bin Hammad tersebut. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dan menjadi pukulan berat bagi kaum wahabi :


والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله لا يشبهه شيء من خلقه

“ Lafadz zahir yang terlintas di dalam pikiran musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk) dinafikan dari Allah Ta’ala yang tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah “.

Oleh sebab itu Allah Ta’aala berfirman :


فَلاَ تَضْرِبُوا لِلَّهِ اْلأَمْثَالَ

“ Maka jangan kamu jadikan amtsal bagi Allah “ (QS. An-Nahl : 74)


Artinya jangan buat penyerupaan dan persamaan Allah dengan makhluk-Nya, karena sesungguhnya Allah tidak ada yang menyerupainya sama sekali, Dzatnya tidak serupa dengan Dzat lainnya dan sifat-Nya tidak serupa dengan sifat lain-Nya.


Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىْءٌ غَيْرُهُ

“ Allah ada (sejak azali) dan belum ada sesuatupun selain-Nya “ (HR. Bukhari)


Artinya Allah selalu Ada pada azali dan tidak ada sesuatupun bersama-Nya sebelum menciptakan sesuatu, tidak ada air, udara, bumi, langit, kursi, Arsy, manusia, jin, malaikat, masa dan tempat. Allah sejak azali telah ada sebelum mencipakan tempat dan Dia-lah yang menciptakan tempat tidak akan butuh terhadapnya.


Imam Ali Ra berkata :

سَيَرْجِعُ قَوْمٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عِنْدَ إِقْتِرَابِ السَّاعَةِ كُفَّارًا يُنْكِرُونَ خَالِقَهُمْ فَيَصِفُوْنَهُ بِاْلجِسْمِ وَاْلأَعْضَاءِ

“ Suatu kaum dari umat ini mendekati kiamat akan kembali menjadi kafir, mereka mengingkari Pencipta mereka, lalu mensifati-Nya dengan jisim dan anggota tubuh “.
(Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mu’allim dalam kitabnya Najm al-Muhtadi Rajm al-Mu’tadi : 588)


Dalam Taqrib Tadmuriah dinyatakan:

الأصل الأول في الصفات وهو : أن يوصف الله بما وصف به نفسه وبما وصفته به رسله إثباتا بلا تمثيل، وتنزيها بلا تعطيل كما جمع الله تعالى بينهما في قوله: { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }

Maksudnya: “Asal pertama dalam masalah Sifat adalah: Hendaklah disifatkan Allah dengan apa yang Dia sifatkan kepada diriNya dan dengan apa yang RasulNya sifatkan kepada diriNya, penetapan yang tidak mengandungi padanya tamsil (penyamaan dengan makhkluk), penyucian yang tidak pula membawa kepada ta’til (menafikan sifat) seperti mana Allah Taala telah menghimpunkan antara keduanya dalam firmanNya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maksudnya: “tiada sesuatupun yang sebanding dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.” [al-Syura: 11].” [Taqrib al-Tadmuriah li Ibn Taimiah, Allamah Ibn Usaimin, Majmuk Fatawa wa Rasil Ibn Usaimin, 4/112].

Saya jawab :


Benar apa yang dinyatakan dalam kitab at-Tadmuriyyah tersebut, tapi justru kaum wahabi bertentangan dengan kaedah mereka sendiri. Sikap Wahhabi terhadap teks-teks mutasyabihat adalah mengimani dan menetapkan makna literalnya tanpa takyif dan tasybiih. Yang mereka maksud dengan tanpa takyyif adalah bukan meniadakan “ kaifiyyah ” (tatacara / gambaran) justru mereka meyakini adanya kafiyyah dari shifat-shifat tersebut akan tetapi menyerahkan pengetahuan kaifiyyahnya kepada Allah.


Ini merupakan konsekuensi dari pemahaman mereka yang meyakini makna teks-teks mutasyabihat secara literal, sehingga menimbulkan pemahaman bahwa Allah memiliki jarihah (organ tubuh) dan memiliki kaifiyyahnya (tatacaranya). Sangat jelas dari sini mereka sudah jatuh pada konsep tajsim (menjisimkan Allah).


Al-‘Allamah ar-Raghib asl-Ashfihani mengatakan : “ Kaif (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode, tata cara, visualisasi) adalah lafadz yang digunakan untuk menanyakan sesuatu yang serupa atau pun tidak seperti hitam dan putih, sakit dan sehat, oleh sebab itu tidak pantas ditanyakan bagi Allah dengan ucapan kaif (bagaimana) “ [2]


MUHAMMAD ASRIE BIN SOBRI mengatakan :


Berkata Imam Abu Usman Ismail al-Sabuni r.h:

وكذلك يقولون في جميع الصفات التي نزل بذكرها القرآن، ووردت بها الأخبار الصحاح من السمع والبصر والعين والوجه والعلم والقوة والقدرة، والعزة والعظمة والإرادة، والمشيئة والقول والكلام، والرضا والسخط والحياة، واليقظة والفرح والضحك وغرها من غير تشبيه لشيء من ذلك بصفات المربوبين المخلوقين، بل ينتهون فيها إلى ما قاله الله تعالى، وقاله رسوله صلى الله عليه وآله وسلم من غير زيادة عليه ولا إضافة إليه، ولا تكييف له ولا تشبيه، ولا تحريف ولا تبديل ولا تغيير، ولا إزالة للفظ الخبر عما تعرفه العرب، وتضعه عليه بتأويل منكر، ويجرونه على الظاهر، ويكلون علمه إلى الله تعالى، ويقرون بأن تأويله لا يعلمه إلا الله، كما أخبر الله عن الراسخين في العلم أنهم يقولونه في قوله تعالى: (والراسخون في العلم يقولون: آمنا به، كل من عند ربنا. وما يذكر إلا أولو الألباب).

Maksudnya: “dan demikian juga mereka beriman dengan semua sifat yang turun padanya al-Quran membicarakan berkenaannya dan datang khabar yang sahih  seperti mendengar, melihat, mata, wajah, ilmu, kekuatan, kudrat, kemuliaan, kebesaran, kehendak, masyiah, perkataan dan berkata-kata, reda, marah, hidup, jaga (tidur tidur), gembira, ketawa, dan selainnya tanpa menyamakan dengan sesuatupun daripada sifat itu dengan makhluk bahkan mereka berhenti setakat apa yang Allah katakan dan RasulNya sallallahu alaihi wa ala Aalihi wa sallam katakan tanpa menambah, menyandarkannya kepada sesuatu, memberi kaifiat, menyerupakan, mengubah, mengganti, dan merubah, dan tidak juga menghilangkan lafaz khabar daripada apa yang diketahui (maknanya) di sisi orang Arab dengan memberikan takwil yang munkar bahkan mereka melalukan atas zahirnya dan menyandarkan ilmunya kepada Allah dan mengakui bahawa hakikat sebenar (kaifiat) tidak diketahui siapa pun kecuali Allah seperti mana diberitakan Allah berkenaan orang-orang yang kukuh dalam ilmu mereka berkata seperti dalam firman Allah Taala (maksudnya): “dan orang-orang Yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya Dalam ilmu-ilmu ugama, berkata:” Kami beriman kepadaNya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami” dan tiadalah Yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang Yang berfikiran”. [Ali Imran: 7]”. [Akidah al-Salaf Ashabul Hadis, Abu Usman Al-Sabuni, m.s 3].


Pernyataan beliau ini jelas bahawa Ulama Salaf memahami makna sifat sesuai dengan khitab yang Allah Taala gunakan yang bahasa Arab yang Mubin (fasih), mereka tidak melakukan takwil sama ada ijmali mahupun tafsili. Maka dakwaan kaum al-Asyairah dan al-Maturidiah bahawa kaum Salaf melakukan takwil ijmali adalah tidak benar sama sekali.


Saya jawab :


Benar apa yang dikatakan al-Sabuni, namun si Asrie memelintirkan makna yang sebenarnya yang sesuai dengan pemahaman bathilnya. Bahkan si Asrie buta dari realita adanya pemahaman tajsim oleh ulama-ulama wahabi.


Apa yang dikatakan al-Sabuni memang manhaj jumhur ulama salaf yaitu tafwidhul makna dan kaifiyat. Silakan perhatikan lagi poin yang diucapkan al-sabuni berikut :


Poin pertama : al-Sabuni mengatakan :

من غير زيادة عليه ولا إضافة إليه، ولا تكييف له ولا تشبيه، ولا تحريف ولا تبديل ولا تغيير، ولا إزالة للفظ الخبر عما تعرفه العرب، وتضعه عليه بتأويل منكر

“...katakan tanpa menambah, menyandarkannya kepada sesuatu, memberi kaifiat, menyerupakan, mengubah, mengganti, dan merubah, dan tidak juga menghilangkan lafaz khabar daripada apa yang diketahui (maknanya) di sisi orang Arab dengan memberikan takwil yang munkar...”

Al-Sabuni memberikan syarat tanzih (penyucian) Dzat Allah yaitu :

- Tanpa menambahi ucapan Allah dan Rasul-Nya dan menyandarkannya. Berbda dengan kaum wahabi yang suka menambahi ayat-ayat shifat  yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya seperti menambahi makna julus (duduk) pada sifat Istiwa Allah, padahal Allah dan Rasul-Nya tidak menyebutkan lafadz julus sedikit pun.

Ibnu Utsaimin mengatakan :

“ Adapun menafsirkan istiwa denagan duduk, maka telah menukil Ibnul Qayyim dalam ash-Shawaaiq : 4/1303….Makna istiwa tidak ada lain hanyalah duduk “[3]


- tanpa memberi kaifiat dan menyerupakan. Berbeda dengan kaum wahabi yang menetapkan adanya kaifiat bagi sifat-sifat Allah Ta’alaa. Sebagaimana diakui oleh ulama mereka sendiri seperti Ibnu Utsaimin dan bahkan menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Ibnu Utsaimin mengatakan :


“ Oleh sebab itu pula berkata sebagian dari ulama salaf dengan jawaban yang bijak : “ Sesungguhnya makna ucapan kami “ Tanpa takyif , maknanya bukan berarti kita tidak boleh meyakini kafiyyah sifat Allah, bahkan kita menetapkan adanya kaifiyyah pada sifat-sifat Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui kafiyyahnya Allah; Sesungguhnya istiwa Allah di atas Arsy tidak diragukan lagi bahwa Allah memiliki kaifiyyah (tatacara/bentuk), akan tetapi kamu  tidak mengetahuinya. Karena tidaklah sesuatu yang wujud terkecuali pasti memiliki kafiyyah (tatacara) akan tetapi terkadang sifatnya diketahui dan terkadang tidak diketahui “.
(Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah : 1/99)


Di sini Ibnu Utsaimin menetapkan adanya kaifiyyah pada ayat-ayat shifat Allah akan tetapi kaifiyah tidak diketahui menurutnya. Bahkan dengan jelas Ibnu Utsaimin mengkiyaskan wujud Allah dengan wujud makhluk-Nya yang pasti memiliki kaifiyyah. Naudzu billahi min dzaalik...


- Tanpa  mengubah, mengganti, dan merubah. Inilah manhaj tafwidh para ulama salaf. Berbeda jauh dengan wahai yang berani mentahrif, mengganti dan merubah ayat-ayat shifat. Mereka berani merubah Istiwa dengan julus (duduk) atau istiqrar (bersemayam).


- Dan tidak juga menghilangkan lafaz khabar daripada apa yang diketahui (maknanya) di sisi orang Arab dengan memberikan takwil yang munkar. Wahabi tidak menyadari atau memang mereka jahil, ucapan al-Sabuni justru memukul akidah mereka yang berani memaknai lafadz-lafaz ayat shifat dengan makna yang menyimpang dan mungkar lagi bathil.


Poin Kedua : al-Sabuni mengatakan :


ويجرونه على الظاهر، ويكلون علمه إلى الله تعالى، ويقرون بأن تأويله لا يعلمه إلا الله

“...bahkan mereka melalukan atas zahirnya dan menyandarkan ilmunya kepada Allah dan mengakui bahawa hakikat sebenar (kaifiat) tidak diketahui siapa pun kecuali Allah...”


Kalimat ijraa dalam bahasa Arab juga bermakna imrar yakni melalui dan membiarkan. Maka kalimat “ mereka melalukan atas zahirnya “ bermakna mereka melalui dan membiarkan zahirnya saja tanpa memaknai artinya. Cukup jelas setelahnya lebih diterangkan dengan ucapan “ Menyandarkan ilmunya Allah dan mengakui bahwa hakikat takwilnya tidak diketahui kecuali Allah. Sangat berbeda dengan kaum wahabi yang mengotak-atik zahirnya dan membuahkan makna yang menyimpang dari sebenarnya.


Asrie mengatakan :


Pernyataan beliau ini jelas bahawa Ulama Salaf memahami makna sifat sesuai dengan khitab yang Allah Taala gunakan yang bahasa Arab yang Mubin (fasih), mereka tidak melakukan takwil sama ada ijmali mahupun tafsili. Maka dakwaan kaum al-Asyairah dan al-Maturidiah bahawa kaum Salaf melakukan takwil ijmali adalah tidak benar sama sekali.


Saya jawab :


Ya jelas kesalah pahaman si wahabi ini dan jelas sekali plintirannya. Para ulama salaf memang mentafwidh makna dan kaifiyat ayat-ayat shifat, dan membiarkannya sesuai makna bahasa Arab yang dimaklumi kaum Arab tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk inilah yang disebut dengan takwil ijmali. Sangat berbeda dengan kaum wahabi yang berani mentakwil dan menyimpangkan maknanya kepada takwilan dan makna yang mungkar bahkan makna-makna yang benar-benar menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana telah saya contohkan di atas dari ucapan Ibnu Utsaimin dan lainnya.


Nah berikut ini beberapa ulama salaf yang mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara takwil tafshili sebagaimana banyak dilakukan oleh ulama kholaf :


1. Ibnu Abbas. Beliau mentakwil beberapa ayat shifat di antaranya : beliau mentakwil saq (betis) (QS. 68 : 42) dengan kesusahan yang sangat berat, telah disebutkan dalam kitab Fath al-Bari : 13/428 :


“ Adapun Saaq maka telah datang riwayat dari Ibnu Abbas tentang firman Allah “ Dihari Allah menyingkap betis “, Ibnu Abbas mengatakan “ Maksudnya kesusahan yang sangat berat “, sedangkan orang Arab mengatakan “ Telah tegak peperangan itu di atas betis maksudnya di atas kesusahan yang sangat berat, di antara (syair mereka) adalah : “ Telah memulai kawan-kawanmu dengan menghunuskan pedang ke leher-leher. Dan telah tegak pada kami peperangan-peperangan di atas betis “. (Fath al-Bari : 13/428). 


Juga disebutkan dalam kitab Jaami’ul bayan fi Ta’wil al-Quran : 23/554. Dan beliau juga mentakwil Kursi (QS. 2 : 255) dengan ilmunya Allah (Jaami’ al-Bayan fi ta’wil al-Quran, Ibnu Jarir ath-Thabarai : 5/399). Mentakwil aydin (beberapa tangan) dengan kekuatan dan kekuasaan Allah (al-Jami’ li ahkam al-Quran, al-Qurthubi : 17/52) dan lain-lain


2. Mujahid dan as-Suddi.


Al-imam Mujahid dan as-Suddi, dua pakar tafsir dari generasi tabi’in juga mentakwil lafadz janb (QS. 39 : 56) dengan perintah Allah. (Jami’ al-Bayan fi ta’wil al-Quran : 21/314)


3. Sufyan ast-Tsauri dan Ibnu Jarir ath-Thabari.


Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan istiwa (QS. 2 :29) dengan memiliki dan menguasai, bukan bergerak dan berpindah. (al-Jami’ li ahkam al-Quran, al-Qurthubi : 1/430) Sedangkan imam Sufyan ats-Tsauri mentakwilnya dengan berkehendak menciptakan langit. (Mirqat al-Mafatih syarh Misykat al-Mashabih, Ali al-Qari : 2/17)


4. Malik bin Anas.


Al-Imam Malik bin Anas, juga mentakwil turunnya Tuhan dalam hadits sahih pada waktu tengah malam dengan turunnya perintah-Nya, bukan bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dalam kitab Siyar disebutkan :


فَقَوْلُنَا فِي ذَلِكَ وَبَابُهُ اْلإِقْرَارُ وَاْلإِمْرَارُ وَتَفْوِيْضُ مَعْنَاهُ إِلىَ قَائِلِهِ الصَّادِقِ اْلمَعْصُومِ  وَقَالَ ابْنُ عَدِي حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ هَارُونَ بْنُ حِسَان حَدَّثَنَا صَالِحٌ بْنُ اَيُّوْبَ حَدَّثَنَا حَبِيْبٌ بْنُ أَبِي حَبِيْبٍ حَدَّثَنِي مَالِكٌ قَالَ يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالىَ أَمْرُهُ فَأَمَّا هُوَ فَدَائِمٌ لاَ يَزُوْلُ

“ Maka pendapat kami dalam hal itu adalah mengakuinya dan membiarkannya serta menyerahkan maknanya kepada pengucapnya yang jujur lagi ma’shum, Berkata Ibnu Adi, telah menceritakan pada kami Muhammad bin Harun bin Hassan, telah menceritakan pada kami Shaleh bin Ayyub, telah menceritakan pada kami Habib bin Abi Habib, telah menceritakan padaku imam Malik ia berkata “ Allah Ta’aala turun “ maksudnya perintah-Nya adapun Allah sendiri maka Dzat yang maha ada dan tak pernah musnah “.  [4]


5. Ahmad bin Hanbal.


Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali melakukan takwil terhadap beberapa tesk yang mutasyabihat, antara lain ayat tentang datangnya Tuhan (QS. 89 : 22) beliau takwil dengan datangnya pahala Tuhan, bukan datang dalam arti bergerak dan berpindah. Berikut redaksi yang disampaikan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir yang diriwayatkan oleh imam Baihaqi :


رَوَى اْلبَيْهَقِي عَنِ اْلحَاكِمِ عَنْ أَبِي عَمْرٍو ابْنِ السَّمَّاكِ عَنْ حَنْبَلَ أَنََّ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلَ تَأَوَّلَ قَوْلَهُ تَعَالىَ: (( وَجَاءَ رَبّكَ )) أَنََّهُ جَاءَ ثَوَابُهُ ، ثمََُّّ قَالَ اْلبَيْهَقِي : وَهَذَا إِسْنَادٌ لاَ غُبَارَ عَلَيْهِ

“ Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Hakim dari Abi ‘Amr ibnu as-Sammaak dari Hanbal : “ Bahwasanya Ahmad bin Hanbal telah mentawil firman Allah Ta’ala : “ Dan telah datang Tuhanmu “, beliau mentakwilnya dengan “ Telah datang pahala Tuhanmu “, kemudian imam Baihaqi mengatakan “ Isnad ini tidak ada debu sama sekali atasnya (sangat jelas) “. (al-Bidayah wa an-Nihayah juz 10 halaman 354).


Dan ulama salaf lainnya yang tidak disebutkan di sini.

Asrie bin Shobri mengatakan :

Imam Ibn Abdil Barr r.h menyatakan setelah mendatangkan hadis-hadis berkenaan sifat Allah Taala seperti Istiwa (bersemayam) dan nuzul (turun) dan perkataan salaf berkenaannya:



أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة كلها في القرآن والسنة والإيمان بها وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لا يكيفون شيئا من ذلك ولا يحدون فيه صفة محصورة وأما أهل البدع والجهمية والمعتزلة كلها والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل شيئا منها على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أثبتها نافون للمعبود والحق فيما قاله القائلون بما نطق به كتاب الله وسنة رسوله وهم أئمة الجماعة والحمد لله

Maksudnya: “Ahli Sunnah bersepakat untuk berikrar dengan sifat-sifat yang warid semuanya dalam al-Quran dan al-Sunnah dan beriman dengannya dan membawanya kepada makna hakiki bukan majazi tetapi mereka tidak memberikan kaifiat suatupun daripada sifat itu, tidak menghadkan dalam bentuk tertentu, adapun Ahli Bidaah, al-Jahmiah, dan al-Muktazilah semuanya dan al-Khawarij, kesemua mereka mengingkarinya dan tidak membawanya kepada makna hakiki dan menyangka sesiapa yang berikrar dengannya adalah musyabbihah sedangkan mereka ini di sisi kaum yang menetapkanny (Ahli Sunnah) adalah kaum yang menafikan Tuhan dan yang benar itu berada bersama mereka yang berpendapat sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya iaitulah Imam-imam al-Jamaah wal Hamudlillah”. [al-Tamhid lima fi al-Muwatta’ minal Ma’ani wal Asanid, 7/145].


Saya jawab :

Demikianlah akidah ulama salaf yang lebih memilih tafwidh daripada takwil. Dan ini merupakan salah satu alternative dari akidah Ahlus sunnah waljama’ah selain takwil. Para ulama salaf menyerahkan makna dan kaifiyyah kepada Allah. Mereka membawakan maknanya kepada hakikatnya yang layak / pantas bagi keagungan Allah dan tidak mau memalingkan maknanya pada majaz.


Namun  sangat berbeda dengan akidah kaum wahabi, yang mengaku mengikuti metode salaf di atas, namun pada kenyataannya justru menafsirkan maknanya. Maka berubahlah konsistensi mereka yang tadinya mengaku menetapkan shifat dan menyerahkan kaifiyahnya menjadi menetapkan makna dan menyerahkan kaifiyyahnya. Ini jelas bertentangan dengan konsep ulama salaf.


Berikut salah satu contoh penafsiran ayat shifat oleh syaikh Wahabi :

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (salah satu guru Ibnu Utsaimin) berkata :


“ Demikian pula kami menetapkan bahwa Allah beristiwa di Arsy dengan istiwa yang layak bagi keagungan Allah, baik istiwa itu ditafsirkan dengan ketinggian di atas Arsy-Nya atau ditafsirkan dengan bersemayam atau duduk, semua tafsir ini telah datang dari ulama salaf “.[5]


Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi dengan kata pengantar syaikh Shaleh ibnu al-Fauzan berkata :

“ Istiwa tidak ada lain hanyalah bermakna duduk. Ini adalah pendapat yang sahih; tidak ada debu sedikitpun “[6]


Inilah fakta penyimpangan wahabi dan kontradiksi akidah yang mereka pahami selama ini dan menipu pengikutnya dengan doktrin-doktrin dusta dan bathilnya.






[1] Hadyu as-Saari muqaddimah Fath al-Bari, Ibnu Hajar : 208

[2] al-Mufradaat fii Gharib al-Quran : 444

[3] Majmu’ Fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin : 135

[4] Siyar A’lam an-Nubala, Adz-Dzahabi : 8/105

[5]  Al-Ajwibah as-Sa’diyyah, Abdurrahman as-Sa’di : 147

[6] Qudum Kataibul Jihad, Abdul Aziz ar-Rajihi : 101

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Kerajaan