Oleh: Ust. M
Ma’ruf Khozin
Bukan Wahabi
namanya kalau tidak berupaya menilai dlaif atau palsu terhadap dalil-dalil yang
menjadi amaliyah mayoritas umat Islam. Sebab jalan berfikir Wahabi terhadap
kelompok di luar mereka agar mengikuti ajaran Ibnu Abdil Wahhab hanya 2, yaitu
berusaha sekeras-kerasnya menilai dlaif, atau jika tak mampu maka mereka
melakukan takwil terhadap teks dalil ulama Salaf, seperti yang dilakukan oleh
Syaikh Albani dalam doa Tawassul ‘Dlarir al-Bashar’ yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw.
Kali ini upaya
mereka ini ditujukan terhadap dalil Atsar dari Tabiin tentang anjuran memberi
sedekah makanan bagi orang yang telah meninggal dunia selama 7 hari. Mereka
diwakili oleh 2 sosok ustadz Wahabi muda, Ust. Firanda Andirja dan Ust. Abul
Jauza’. Menurut mereka Atsar dalam masalah ini adalah dlaif dengan alasan bahwa
sanad terputus antara Thawus dan Sufyan ats-Tsauri karena keduanya tidak pernah
bertemu. Sufyaan Ats-Tsauriy lahir pada tahun 97 H di Kufah, sedangkan Thawus
bin Kaisan wafat 106 H di Makkah. Hingga tahun wafatnya Thawus, Sufyan belum
melakukan rihlah ke Makkah
Beginilah
jadinya para pentaklid Syaikh Albani, yang (maaf) tidak pernah mencapai derajat
‘al-Hafidz’ sudah dengan mudahnya memberi penilaian terhadap banyak riwayat
yang secara amaliyah bertentangan dengan doktrin Wahabi. Benarkah prasangka
mereka ini? Lebih akurat mana penilaian mereka dengan ulama kita terdahulu
seperti al-Hafidz as-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Haitami, dan ulama ahli hadis
lainnya?
Riwayat Pertama
فَائِدَة رَوَى أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ فِي الزُّهْدِ
وَأَبُوْ نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ
فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ
تِلْكَ اْلأَيَّامِ إِسْنَادُهُ صَحِيْح وَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ (الديباج على مسلم بن
الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
"Ahmad
meriwayatkan dalam kitab Zuhud dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah dari Thawus bahwa 'sesungguhnya orang-orang
yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat
senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut'. Sanad riwayat ini sahih
dan berstatus hadis marfu'.” (al-Dibaj Syarah sahih Muslim II/490)
Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa atsar tersebut diriwayatkan oleh
banyak ulama Ahli Hadis:
(المطالب العلية للحافظ ابن حجر 5 / 330 وحلية الأولياء لابي نعيم
الاصبهاني ج 4 / 11 وصفة الصفوة لأبي
الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد بن الجوزي 1 / 20 والبداية والنهاية لابن كثير 9
/ 270 وشرح صحيح البخارى لابن بطال 3 / 271 وعمدة القاري شرح صحيح البخارى للعيني
12 / 277)
(Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah V/330,
Abu Nuaim dalam Hilyat al-Auliya' IV/11, Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah
I/20, Ibnu Katsir (murid Ibnu Taimiyah, ahli Tafsir) dalam al-Bidayah wa
al-Nihayah IX/270, Ibnu Baththal dalam Syarah al-Bukhari III/271 dan al-Aini
dalam Umdat al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari XII/277)
Sejauh yang saya ketahui belum ditemukan penilaian dlaif dari para ulama
tersebut, kecuali dari pengikut Wahabi, Ust Firanda dan Ust Abul Jauza’.
Riwayat Kedua
وَذَكَرَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ عَنْ
عُبَيْدِ بْنِ عَمِيْرٍ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعًا وَالْمُنَافِقَ
أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَسَنَدُهُ صَحِيْح أَيْضًا (الديباج
على مسلم بن الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
“Ibnu Juraij menyebutkan dalam kitab al-Mushannaf dari Ubaid bin Amir bahwa
'orang mukmin mendapatkan ujian (di kubur) selama 7 hari, dan orang munafik
selama 40 hari'. Sanadnya juga sahih." (al-Dibaj Syarah sahih Muslim
II/490)
Siapakah Ubaid diatas? Al-Hafidz as-Suyuthi menjelaskan:
قَالَ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ صَاحِبُ الصَّحِيْحِ إِنَّهُ
وُلِدَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ غَيْرُهُ أَنَّهُ
رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَى هَذَا يَكُوْنُ صَحَابِيًّا (الحاوي للفتاوي للسيوطي -
ج 3 / ص 267)
“Muslim bin
Hajjaj pengarang kitab Sahih berkata bahwa Ubaid bin Umair dilahirkan di masa
Nabi Saw. Yang lain berkata bahwa Ubaid melihat Rasulullah Saw. Dengan demikian
Ubaid adalah seorang sahabat” (al-Hawi li al-Fatawi 3/267)
Riwayat Ketiga
وَقَدْ رُوِىَ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ الْمَوْتَى كَانُوْا
يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ
عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَيَّامَ (أهوال القبور - ج 1 / ص 19)
“Sungguh telah
diriwayatkan dari Mujahid bahwa sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama
7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut”
(al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali, Ahwal al-Qubur 1/19)
Fatwa Madzhab Syafii
Riwayat Atsar diatas telah dikaji oleh ulama Madzhab Syafii yang bernama
Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, beliau menilai sahih dan menfatwakannya. Berikut
fatwa beliau:
( وَسُئِلَ )
فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ بِمَا لَفْظُهُ مَا قِيلَ إنَّ الْمَوْتَى
يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ أَيْ يُسْأَلُونَ كَمَا أَطْبَقَ عَلَيْهِ
الْعُلَمَاءُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ هَلْ لَهُ أَصْلٌ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ
نَعَمْ لَهُ أَصْلٌ أَصِيلٌ فَقَدْ أَخْرَجَهُ جَمَاعَةٌ عَنْ طَاوُسِ بِالسَّنَدِ
الصَّحِيحِ وَعُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ بِسَنَدٍ احْتَجَّ بِهِ ابْنُ عَبْدِ
الْبَرِّ وَهُوَ أَكْبَرُ مِنْ طَاوُسِ فِي التَّابِعِينَ بَلْ قِيلَ إنَّهُ
صَحَابِيٌّ لِأَنَّهُ وُلِدَ فِي زَمَنِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَكَانَ بَعْضُ زَمَنِ عُمَرَ بِمَكَّةَ وَمُجَاهِدٍ وَحُكْمُ هَذِهِ
الرِّوَايَاتِ الثَّلَاثِ حُكْمُ الْمَرَاسِيلِ الْمَرْفُوعَةِ لِأَنَّ مَا لَا
يُقَالُ مِنْ جِهَةِ الرَّأْيِ إذَا جَاءَ عَنْ تَابِعِيٍّ يَكُونُ فِي حُكْمِ
الْمُرْسَلِ الْمَرْفُوعِ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَمَا بَيَّنَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْمُرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ
الثَّلَاثَةِ وَكَذَا عِنْدَنَا إذَا اعْتَضَدَ وَقَدْ اعْتَضَدَ مُرْسَلُ طَاوُسِ
بِالْمُرْسَلَيْنِ الْآخَرَيْنِ بَلْ إذَا قُلْنَا بِثُبُوتِ صُحْبَةِ عُبَيْدِ
بْنِ عُمَيْرٍ كَانَ مُتَّصِلًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَبِقَوْلِهِ الْآتِي عَنْ الصَّحَابَةِ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إلَخْ لِمَا
يَأْتِي أَنَّ حُكْمَهُ حُكْمُ الْمَرْفُوعِ عَلَى الْخِلَافِ فِيهِ وَفِي بَعْضِ
تِلْكَ الرِّوَايَاتِ زِيَادَةُ إنَّ الْمُنَافِقَ يُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
وَمِنْ ثَمَّ صَحَّ عَنْ طَاوُسِ أَيْضًا أَنَّهُمْ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ
يُطْعَمَ عَنْ الْمَيِّتِ تِلْكَ الْأَيَّامَ وَهَذَا مِنْ بَابِ قَوْلِ
التَّابِعِيِّ كَانُوا يَفْعَلُونَ وَفِيهِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ الْحَدِيثِ
وَالْأُصُولِ : أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَيْضًا مِنْ بَابِ الْمَرْفُوعِ وَأَنَّ
مَعْنَاهُ كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ وَالثَّانِي
أَنَّهُ مِنْ بَابِ الْعَزْوِ إلَى الصَّحَابَةِ دُونَ انْتِهَائِهِ إلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى هَذَا قِيلَ إنَّهُ
إخْبَارٌ عَنْ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ فَيَكُونُ نَقْلًا
لِلْإِجْمَاعِ وَقِيلَ عَنْ بَعْضِهِمْ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ
مُسْلِمٍ وَقَالَ الرَّافِعِيُّ مِثْلُ هَذَا اللَّفْظِ يُرَادُ بِهِ أَنَّهُ
كَانَ مَشْهُورًا فِي ذَلِكَ الْعَهْدِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ ثُمَّ مَا ذُكِرَ فِي
السُّؤَالِ عَنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْفِتْنَةِ سُؤَالُ
الْمَلَكَيْنِ صَحِيحٌ .
فَإِنْ قُلْت لِمَ كَرَّرَ الْإِطْعَامَ
سَبْعَةَ أَيَّامٍ دُونَ التَّلْقِينِ قُلْت لِأَنَّ مَصْلَحَةَ الْإِطْعَامِ
مُتَعَدِّيَةٌ وَفَائِدَتُهُ لِلْمَيِّتِ أَعْلَى إذْ الْإِطْعَامُ عَنْ
الْمَيِّتِ صَدَقَةٌ وَهِيَ تُسَنُّ عَنْهُ إجْمَاعًا وَالتَّلْقِينُ أَكْثَرُ
الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهُ بِدْعَةٌ وَإِنْ كَانَ الْأَصَحُّ عِنْدَنَا خِلَافَهُ
لِمَجِيءِ الْحَدِيثِ بِهِ وَالضَّعِيفُ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْفَضَائِلِ . (الفتاوى الفقهية
الكبرى - ج 3 / ص 193)
“Syaikh Ibnu
Hajar al-Haitami ditanya, semoga Allah melapangkannya semasa hidupnya, dengan
sebuah pertanyaan bahwa: Orang-orang yang mati mendapat ujian di alam kuburnya,
yaitu mereka ditanya sebagaimana dikatakan oleh para ulama, selama 7 hari.
Apakah hal tersebut memiliki dasar?
Syaikh Ibnu
Hajar al-Haitami menjawab: “Ya, hal itu memiliki dasar yang kuat. Sebab
segolongan ulama telah meriwayatkan dari Thawus dengan sanad yang sahih dan
Ubaid bin Umair dengan sanda yang dijadikan hujjah oleh Ibnu Abdil Barr, Ubaid
lebih senior daripada Thawus dalam Tabiin, bahkan dikatakan bahwa Ubaid adalah
sahabat, karena Ubaid dilahirkan di masa Nabi Saw dan di sebagian masa Umar di
Makkah, dan riwayat dari Mujahid. Hukum ketiga riwayat (Thawus, Ubaid bin Umair
dan Mujahid) tersebut adalah Mursal yang disandarkan pada Rasulullah Saw. Sebab
jika ada sesuatu yang bukan berdasarkan pendapat jika disampaikan oleh seorang
Tabiin maka berstatus hukum Mursal yang disandarkan pada Rasulullah Saw,
seperti yang disampaikan oleh para imam di bidang hadis. Sedangkan riwayat
Mursal adalah hujjah menurut 3 imam (Hanafi, Maliki dan Hanbali), juga menurut
kita (Syafiiyah) jika dikuatkan riwayat lain. Dan sungguh riwayat Thawus ini
dikuatkan oleh 2 riwayat mursal lainnya (Ubaid bin Umair dan Mujahid). Bahkan
jika kita berpendapat dengan keabsahan status sahabat Ubaid bin Umair maka
riwayat tersebut bersambung kepada Rasulullah Saw, dan dengan perkataannya
berikut dari sahabat: “Mereka senang….” Disebabkan bahwa hukum riwayat tersebut
adalah Marfu’, dengan terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam sebagian riwayat
ada tambahan “Orang munafiq diuji selama 40 pagi hari”. Oleh karena itu telah
sah dari Thawus pula bahwa mereka menganjurkan memberi sedekah makanan dari
mayit selama 7 hari tersebut. Ini adalah ucapan seorang Tabiin “Mereka
melakukan”, di dalamnya ada 2 pendapat menurut ahli hadis dan Ushul Fikh:
Pertama sebagai riwayat Marfu’ yang disandarkan pada Rasulullah Saw. Maksudnya
para sahabat melakukan hal itu di masa Rasulullah Saw, Nabi mengetahuinya dan
menyetujuinya. Kedua, dinisbatkan pada sahabat, tidak sampai hingga Rasulullah
Saw. Menurut pendapat kedua ini maka yang disampaikan Thawus adalah informasi
dari semua sahabat. Maka Thawus mengutip Ijma’ para sahabat. Ada yang mengatakan dari sebagian sahabat,
seperti dikuatkan oleh an-Nawawi dalam Syarah Muslim. Ar-Rafii berkata: Riwayat
seperti ini sudah popular di masa itu tanpa pengingkaran. Kemudian apa yang
disebut dalam ujian dari para ulama, yang dimaksud dengan soal adalah
pertanyaan malaikat, adalah sahih…. Jika ada yang mengatakan mengapa yang
diulang-ulang adalah sedekah makanan 7 hari bukan Talqin? Saya menjawab: Sebab
kemaslahatan memberi sedekah makanan berdampak lebih luas, dan manfaatnya bagi
mayit lebih tinggi. Sebab memberi makan untuk mayit adalah sedekah, dan sedekah
atas nama mayit adalah sunah, sesuai ijma’ ulama. Sedangkan Talqin menurut
kebanyakan ulama adalah bid’ah, meski pendapat yang lebih kuat menurut kita
(Syafiiyah) bukan bid’ah, karena berdasarkan hadis, dan hadis dlaif boleh
diamalkan dalam keutamaan amal” (Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 3/193)
Sunah Yang
Telah Lama
Kalaupun
ustadz-ustadz Wahabi masih bertahan dengan prasangka mereka, maka suatu hal
yang tak dapat dibantah adalah amaliyah tersebut masih terus berlangsung
diamalkan oleh umat Islam di Makkah dan Madinah hingga masa al-Hafidz
as-Suyuthi di abad 10 H:
إِنَّ سُنَّةَ اْلإطْعَامِ
سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّة إلَى اْلآنَ بِمَكَّةَ
وَالْمَدِيْنَةِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ
إِلَى اْلآنَ وَإِنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي
للفتاوي للسيوطي - ج 3 / ص 288)
Al-Hafidz
As-Suyuthi berkata: “Anjuran memberi makanan 7 hari, telah sampai kepada saya
bahwa hal itu berlangsung hingga sekarang di Makah dan Madinah. Secara Dzahir
hal itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat hingga sekarang, dan
mereka meneruskannya secara turun temurun dari masa Awal” (al-Haawii 3/288)
Atsar dari
Jarir
Para ustadz
Wahabi banyak yang menggunakan Atsar Jarir sebagai bantahan untuk melarang
kumpul-kumpul di rumah duka:
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قاَلَ
كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ
بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد رقم 6866 وابن
ماجه رقم 1612)
"Diriwayatkan dari
Jarir bin Abdullah al-Bajali, ia berkata: Kami menganggap berkumpul di rumah
orang yang meninggal dan membuatkan makanan setelah pemakaman sebagai perbuatan
meratapi mayat" (Diriwayatkan oleh Ahmad No 6766 dan Ibnu Majah No 1612)
Ternyata seorang Mufti bermadzhab Hanbali, Syaikh Khalid
bin Abdillah al-Mushlih, mengutip penilaian dlaif dari Imam Ahmad sendiri:
وَقَدْ نَقَلَ أَبُوْ
دَاوُدَ عَنْ أَحْمَدَ قَوْلَهُ لاَ أَرَى لِهَذَا الْحَدِيْثِ أَصْلاً فَهُوَ
حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ لاَ يَصْلُحُ لِلْاِحْتِجَاجِ. وَعَلَى الْقَوْلِ بِصِحَّتِهِ
فَهُوَ مَحْمُوْلٌ عَلَى مَجْمُوْعِ الصُّوْرَةِ لاَ عَلَى مُجَرَّدِ اْلاِجْتِمَاعِ
وَبِهَذَا قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالَّذِي يَظْهَرُ لِي أَنَّهُ إِنْ
خَلاَ الْجُلُوْسُ مِنَ اْلإِضَافَاتِ الْبِدْعِيَّةِ فَإِنَّهُ لاَ بَأْسَ بِهِ
لاَسِيَّمَا إِذَا كَانَ لاَ يَتَأَتَّى لِلنَّاسِ التَّعْزِيَّةُ إِلاَ بِذَلِكَ
وَاللهُ أَعْلَمُ (أكثر
من 100 فتوى للشيخ خالد بن عبد الله المصلح 1 / 35)
"Abu Dawud
sungguh telah mengutip dari Ahmad: Saya tidak menemukan dasar dalam riwayat
ini. Maka ini adalah riwayat yang dlaif yang tidak layak dijadikan hujjah. Dan
berdasarkan pada pendapat yang menilainya sahih, maka diarahkan pada seluruh
bentuk, tidak pada bentuk berkumpulnya saja, inilah yang dikemukakan oleh
sebagian ulama. Menurut saya, bila berkumpul tersebut tidak ada unsur-unsur
yang mengandung bid'ah, maka tidak apa-apa. Apalagi jika orang lain tidak mau
takziyah kecuali dengan cara seperti itu" (Fatwa Syaikh Khalid bin
Abdullah al-Mushlih I/35)
Penilaian yang sama juga
disampaikan oleh Syaikh al-Tharifi:
وَلِهَذَا تَجِدُ اَنَّ
اْلاِمَامَ اَحْمَدَ اَخْرَجَ اَحَادِيْثَ فِي مُسْنَدِهِ وَمَعَ هَذَا يَعُلُّهَا
بَلْ مِنْهَا مَا يُنْكِرُهُ وَاْلاَمْثِلَةُ عَلَى هَذَا كَثِيْرَةٌ جِدًّا ...
وَمِنْهَا مَا أَخْرَجَهُ فِي مُسْنَدِهِ مِنْ حَدِيْثِ إِسْمَاعِيْلِ عَنْ قَيْسٍ
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قَالَ كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ
إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ
النِّيَاحَةِ. وَقَدْ نَقَلَ اَبُوْ دَاوُدَ عَنِ اْلاِمَامِ اَحْمَدَ قَوْلَهُ
فِيْهِ : لاَ اَصْلَ لَهُ (شرح كتاب الطهارة من بلوغ المرام للطريفي 1 / 42)
"Oleh karena itu anda akan menemukan Imam Ahmad
meriwayatkan beberapa hadis dalam Musnadnya yang beliau sendiri menilainya
cacat, bahkan sebagiannya menilainya munkar. Contohnya sangat banyak....
Diantaranya adalah 'riwayat dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, ia berkata: Kami
menganggap berkumpul di rumah orang yang meninggal dan membuatkan makanan
setelah pemakaman sebagai perbuatan meratapi mayat'. Abu Dawud sungguh telah
mengutip penilaian dari Imam Ahmad mengenai riwayat tersebut: Riwayat ini tidak
ada dasarnya!" (al-Tharifi dalam Syarah Bulugh al-Maram I/42)
Hal ini juga diakui oleh ulama
Wahhabi, Sulaiman bin Nashir al-'Alwan:
وَلَكِنْ أَعَلَّ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ هَذَا
اْلأَثَرَ (شرح كتاب
الجنائز من البلوغ للشيخ سليمان بن ناصر العلوان 1 / 105)
"Akan tetapi Imam Ahmad menilai cacat pada
atsar ini" (Syarah Bulugh al-Maram I/105)
Meratapi
Mayit Menurut Sayidina Umar
Ustadz Wahabi ada
yang menjadikan Atsar Sayidina Umar di bawah ini sebagai larangan
berkumpul-kumpul di rumah duka dengan memberikan makanan:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ، عَنْ
طَلْحَةَ، قَالَ: قَدِمَ جَرِيرٌ عَلَى عُمَرَ، فَقَالَ: " هَلْ يُنَاحُ
قِبَلُكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ ؟ قَالَ: لَا " قَالَ: " فَهَلْ تَجْتَمِعُ
النِّسَاءُ عندَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَيُطْعَمُ الطَّعَامُ؟ قَالَ: نَعَمْ
"، فَقَالَ: " تِلْكَ النِّيَاحَةُ "
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Maalik bin Mighwal, dari Thalhah, ia berkata
: Jarir mendatangi ‘Umar, lalu ia (‘Umar) berkata : “Apakah kamu sekalian suka
meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara
wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan makan
hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan
niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/487].
Dalam riwayat
yang sahih, Niyahah (meratapi mayit) yang dilarang menurut Sayidina Umar adalah
sebagai berikut:
33 - باب مَا
يُكْرَهُ مِنَ النِّيَاحَةِ عَلَى الْمَيِّتِ . ( 33 ) وَقَالَ عُمَرُ - رضى الله
عنه - دَعْهُنَّ يَبْكِينَ عَلَى أَبِى سُلَيْمَانَ مَا لَمْ يَكُنْ نَقْعٌ أَوْ
لَقْلَقَةٌ . وَالنَّقْعُ التُّرَابُ عَلَى الرَّأْسِ ، وَاللَّقْلَقَةُ الصَّوْتُ
. (صحيح البخارى - ج 5 / ص
163)
“Bab yang
dimakruhkan, yakni meratapi mayit; Umar berkata: Biarkan wanita-wanita itu
menangisi Abu Sulaiman selama tidak ada melumuri kepala dengan tanah atau
suara” (Riwayat al-Bukhari 5/163)
Riwayat ini
disampaikan oleh Imam al-Bukhari secara Mu’allaq, namun al-Hafidz Ibnu Hajar
mencantumkan sanadnya seperti yang dicantumkan oleh al-Bukhari dalam Tarikh
al-Ausathnya:
قَوْله : ( وَقَالَ عُمَر : دَعْهُنَّ يَبْكِينَ عَلَى
أَبِي سُلَيْمَان إِلَخْ ) هَذَا الْأَثَر وَصَلَهُ الْمُصَنِّف فِي
التَّارِيخ الْأَوْسَط مِنْ طَرِيق الْأَعْمَش عَنْ شَقِيق قَالَ : لَمَّا مَاتَ
خَالِد بْن الْوَلِيد اِجْتَمَعَ نِسْوَة بَنِي الْمُغِيرَة - أَيْ اِبْن عَبْد
اللَّه بْن عَمْرو بْن مَخْزُوم - وَهُنَّ بَنَات عَمّ خَالِد بْن الْوَلِيد بْن
الْمُغِيرَة يَبْكِينَ عَلَيْهِ ، فَقِيلَ لِعُمَر : أَرْسِلْ إِلَيْهِنَّ
فَانْهَهُنَّ ، فَذَكَرَهُ . وَأَخْرَجَهُ اِبْن سَعْد عَنْ وَكِيع وَغَيْر وَاحِد
عَنْ الْأَعْمَش . (فتح
الباري لابن حجر - ج 4 / ص 333)
Imam Syafii
Mengharamkan Kumpul-Kumpul di Rumah Duka?
Terkait dengan
perkataan Imam Syafii: “Saya tidak senang dengan Ma’tam (berkumpul di rumah
duka)”, maka sebagian ustadz Wahabi mengatakan bahwa hal itu adalah Makruh
Tahrim!
Entah dari mana
jalan bagi mereka yang tidak bermadzhab (Madzhab Wahabi) kemudian sesuka hati berkomentar
tentang madzhab Syafii. Tuduhan ini bertentangan dengan pendapat mayoritas
ulama Syafiiyah, imam an-Nawawi berkata:
وَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِي رَحِمَهُ اللهُ فِي اْلاُمِّ
وَاَكْرَهُ الْمَآْتَمَ وَهِىَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ فَمُرَادُهُ
الْجُلُوْسُ للِتَّعْزِيَةِ وَقَدْ سَبَقَ بَيَانُهُ. (المجموع - ج 5 / ص 308)
“Adapun
perkataan Syafii rahimahullah di dalam al-Umm “Saya tidak senang dengan Ma’tam
(berkumpul di rumah duka) meski tidak ada tangisan”, maksudnya adalah
duduk-duduk untuk Takziyah, sebagaimana telah dijelaskan” (al-Majmu’ 5/308)
Penjelasan imam
an-Nawawi dan ulama Syafiiyah lainnya menghukumi makruh, bukan makruh tahrim
apalagi sampai haram:
وَاَمَّا الْجُلُوْسُ لِلتَّعْزِيَةِ
فَنَصَّ الشَّافِعِي وَالْمُصَنِّفُ وَسَائِرُ اْلاَصْحَابِ عَلَي كَرَاهَتِهِ (المجموع - ج 5 / ص 306)
“Adapun
duduk-duduk untuk takziyah, maka Syafii, asy-Syairazi dan ulama Syafiiyah
lainnya menjelaskan kemakruhannya” (al-Majmu’ 5/306)
Jika mereka masih bersikeras mengapa masih mengamalkan yang makruh? Cukup
dijawab: ”Makkah dan Madinah yang saat ini banyak ulama Wahabinya saja
membiarkan masjid al-Haram dan Masjid an-Nabawi dibangun dengan begitu megahnya
dan indahnya, namun ulama Wahabi tidak ada yang ingkar!”
Syaikh Ibnu Abdissalam berkata:
وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوهَةِ أَمْثِلَةٌ مِنْهَا :
زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ (قواعد
الأحكام في مصالح الأنام – ج 2 / ص 383)
“Diantara bid’ah
yang makruh adalah kemegahan masjid” (Qawaid al-Ahkam 2/383)
Fatwa Syaikh
asy-Syaukani
Hasil Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren
(FMPP) se Jawa - Madura Di Pon. Pes. Syaikhona Kholil Bangkalan Madura, 06 – 07
Agustus 2003 M, yang memutuskan:
الْعَادَةُ
الْجَارِيَةُ فِي بَعْضِ الْبُلْدَانِ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ فِي الْمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ
الْقُرْآنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ وَكَذَلِكَ فِي الْبُيُوْتِ وَسَائِرِ اْلاِجْتِمَاعَاتِ
الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ لاَ شَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةُ عَنْ مَعْصِيَةٍ
سَالِمَةً مِنَ الْمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ ِلأَنَّ اْلاِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ
بِنَفْسِهِ لاَ سِيَّمَا إِذَا كَانَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا
وَلاَ يُقْدَحُ فِي َذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ
وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ الْجَمَاعَةِ الْمُجْتَمِعِيْنَ كَمَا فِي حَدِيْثِ
اقْرَأُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ
يس مِنَ الْجَمَاعَةِ الْحَاضِرِيْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ
تِلاَوَةِ جَمِيْعِ الْقُرْآنِ أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ
اهـ (الرسائل
السلفية للشيخ علي بن محمد الشوكاني ص : 46)
"Tradisi
yang berlaku di sebagian negara dengan berkumpul di masjid untuk membaca
al-Quran dan dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal, begitu pula
perkumpulan di rumah-rumah, maupun perkumpulan lainnya yang tidak ada dalam
syariah, tidak diragukan lagi apabila perkumpulan tersebut tidak mengandung
maksiat dan kemungkaran, hukumnya adalah boleh. Sebab pada dasarnya
perkumpulannya sendiri tidak diharamkan, apalagi dilakukan untuk ibadah seperti
membaca al-Quran dan sebagainya. Dan tidaklah dilarang menjadikan bacaan al-Quran itu untuk orang yang
meninggal. Sebab membaca al-Quran secara berjamaah ada dasarnya seperti dalam
hadis: Bacalah Yasin pada orang-orang yang meninggal. Ini adalah hadis sahih.
Dan tidak ada bedanya antara membaca Yasin berjamaah di depan mayit atau di
kuburannya, membaca seluruh al-Quran atau sebagiannya, untuk mayit di masjid
atau di rumahnya" (Rasail al-Salafiyah, Syaikh Ali bin Muhammad as
Syaukani, 46)
Fatwa
Ibnu Hajar al-Haitami
Tradisi tahlilan dan memberi
sedekah di hari-hari tertentu setelah ditelusuri sebenarnya tidak hanya menjadi
kebiasaan umat Islam di Jawa. Jauh sebelum itu, yakni di masa Ibnu Hajar
al-Haitami al-Syafi'i (1504-1567 M dan beliau memiliki banyak pengikut di
wilayah Yaman) pernah ditanya mengenai hal diatas dan beliau memfatwakan bahwa
perbuatan itu tidak diharamkam meskipun terbilang sesuatu yang baru. Bahkan
dengan niat-niat tertentu pelakunya akan mendapatkan pahala. Berikut fatwa
beliau:
(وَسُئِلَ) أَعَادَ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ ... عَمَّا يُعْمَلُ
يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ
وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ
مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ اللاَّتِي حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ
وَلَمْ يَقْصِدُوْا بِذَلِكَ إلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ
مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَهُمْ خَسِيْسًا لاَ يَعْبَئُوْنَ
بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ اْلأَخِيرَةِ
أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ ... وَعَنْ
الْمَبِيْتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ ِلأَنَّ ذَلِكَ
عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ ؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ ما يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ
فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إلاَّ إنْ
فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ
مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ
يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوْهُ
بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ لَوِ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ
الْكَيْفِيَّةِ ... وَإِذَا كَانَ فِي الْمَبِيْتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَسْلِيَةٌ
لَهُمْ أَوْ جَبْرٌ لِخَوَاطِرِهِمْ لَمْ يَكُنْ بِهِ بَأْسٌ ِلأَنَّهُ مِنَ الصِّلاَتِ
الْمَحْمُودَةِ الَّتِي رَغَّبَ الشَّارِعُ فِيْهَا وَالْكَلاَمُ في مَبِيْتٍ لاَ يَتَسَبَّبُ
عَنْهُ مَكْرُوْهٌ وَلاَ مُحَرَّمٌ وَإِلاَّ أُعْطِيَ حُكْمَ مَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ
إذْ لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ وَاَللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
(الفتاوى الفقهية الكبرى لابن حجر الهيتمي الشافعي 2 / 7)
"(Ibnu Hajar al-Haitami) ditanya mengenai hal yang
dilakukan pada hari ketiga setelah kematian dengan menghidangkan makanan
orang-orang fakir dan lainnya, begitu pula pada hari ketujuh dan setelah
sebulan. Mereka tidak melakukan hal ini kecuali untuk mengikuti tradisi
penduduk setempat. Hingga jika ada diantara mereka ada yang tidak melakukannya,
maka mereka kurang disenangi. Apakah jika mereka yang bertujuan melakukan
tradisi dan sedekah, atau sekedar mengikuti tradisi, bagaimana tinjauan
hukumnya, boleh atau tidak? Ibnu Hajar al-Haitami juga ditanya mengenai
menginap di rumah duka hingga melewati masa satu bulan, sebab hal itu seperti
kewajiban. Apa hukumnya? (Ibnu Hajar) menjawab: Semua yang terdapat dalam
pertanyaan adalah bid'ah yang tercela tapi tidak haram. Kecuali bila dilakukan
untuk meratapi mayit. Dan seseorang yang melakukannya bertujuan untuk menghindari
ucapan orang-orang bodoh dan dapat merusak reputasinya jika meninggalkannya,
maka ada harapan dia memperoleh pahala. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah
Saw tentang seseorang yang hadats dalam salat untuk memegang hidung dengan
tangannya.[1] Para ulama mengemukakan
alasan untuk menjaga nama baiknya jika tidak melakukan cara seperti ini. Dan
jika menginap di rumah duka bisa menghibur keluarganya dan bisa
menentramkannya, maka tidak apa-apa bahkan ini bagian dari cara merajut
hubungan yang terpuji, sebagaimana dianjurkan oleh syariat. Tema ini terkait
menginap yang tidak menimulkan hal-hal makruh atau haram. Jika ini terjadi maka
berlaku hukum sebaliknya, karena sebuah sarana memiliki hukum yang sama dengan
tujuannya. Wallahu A'lam bi Shawab." (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra,
Ibnu Hajar al-Haitami, II/7)
Fatwa Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki
Syaikh Muhammad Ali bin Husain
al-Maliki, pengarang kitab Inarat al-Duja, memberi jawaban atas
pertanyaan tentang kebiasaan di Jawa saat takziyah dan tahlil pada hari-hari
tertentu, bahwa tradisi semacam itu bisa menjadi bid'ah yang diharamkan jika
bertujuan untuk meratapi mayit, dan jika tidak bertujuan seperti itu dan tidak
mengandung unsur haram lainnya, maka masuk kategori bid'ah yang diperbolehkan.
Di akhir fatwa beliau berkata:
اِعْلَمْ اَنَّ الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ لاَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ "اصْنَعُوْا لاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا" وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ وَرَجَاءَ ثَوَابِ اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ الشَّرْقَاوِيَ قَالَ فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّ سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ الْمُؤْمِنُ سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ دَفْنِهِ اهــ بِحُرُوْفِهِ (بلوغ الامنية بفتاوى النوازل العصرية مع انارة الدجى شرح نظم تنوير الحجا 215-219)
"Ketahuilah, pada umumnya orang-orang Jawa jika diantara
mereka ada yang meninggal, maka mereka datang pada keluarganya dengan membawa
beras mentah, kemudian memasaknya setelah proses serah terima, dan dihidangkan
untuk keluarga dan para pelayat, untuk mengamalkan hadis: 'Buatkanlah makanan
untuk keluarga Ja'far' dan untuk mengharap pahala sebagaimana dalam pertanyaan
(pahala tahlil untuk mayit), bahkan pahala sedekah untuk mayit. Hal ini
berdasarkan pendapat Syaikh al-Syarqawi dalam syarah kitab Tajrid al-Bukhari
yang berbunyi: Pendapat yang sahih bahwa pertanyaan dalam kubur hanya satu
kali. Ada pendapat lain bahwa orang mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7
hari dan orang kafir selama 40 hari tiap pagi. Oleh karenanya para ulama
terdahulu menganjurkan memberi makan untuk
orang mukmin selama 7 hari setelah pemakaman" (Bulugh al-Amniyah
dalam kitab Inarat al-Duja 215-219)
Fatwa Syaikh al-Thahthawi al-Hanafi
Seorang ulama dari kalangan
Hanafiyah, Syaikh al-Thahthawi (1231 H), mengutip pendapat dari Syaikh Burhan
al-Halabi yang membantah hukum makruh dalam selametan 7 hari:
قَالَ فِي الْبَزَّازِيَّةِ يُكْرَهُ اِتِّخَاذُ الطَّعَامِ
فِي اْليَوْمِ اْلأَوَّلِ وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ اْلأُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ
إِلَى الْمَقْبَرَةِ فِي الْمَوَاسِمِ وَاتِّخَاذُ الدَّعْوَةِ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
وَجَمْعِ الصُّلَحَاءِ وَالْقُرَّاءِ لِلْخَتْمِ أَوْ لِقِرَاءَةِ سُوْرَةِ اْلأَنْعَامِ
أَوِ اْلإِخْلاَصِ اهـ قَالَ الْبُرْهَانُ الْحَلَبِي وَلاَ يَخْلُوْ عَنْ نَظَرٍ
ِلأَنَّهُ لاَ دَلِيْلَ عَلَى اْلكَرَاهَةِ (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح شرح نور الإيضاح 1 / 409)
"Disebutkan dalam kitab al-Bazzaziyah
bahwa makruh hukumnya membuat makanan di hari pertama, ketiga dan setelah satu
minggu, juga memindah makanan ke kuburan dalam musim-musim tertentu, dan
membuat undangan untuk membaca al-Quran, mengumpulkan orang-orang sholeh,
pembaca al-Quran untuk khataman atau membaca surat al-An'am dan al-Ikhlas.
Burhan al-Halabi berkata: Masalah ini tidak lepas dari komentar, sebab tidak
ada dalil untuk menghukuminya makruh[2]"
(Hasyiyah al-Thahthawi I/409)
[1] HR Abdurrazzaq No 3606 dan
al-Baihaqi No 3202 Al-Hafidz al-Bushiri berkata: "Sanad hadis ini
perawinya adalah orang-orang terpercaya" (Ithaf al-Khiyarah II/72)
[2] Burhan al-Halabi
memperbolehkan hal tersebut. Ini menunjukkan bahwa di masa itu sudah ada
tradisi mengundang ulama dan orang lain untuk membaca al-Quran yang dihadiahkan
bagi para al-Marhum.
No comments: