Bismillah walhamdulillah wash sholatu ‘alaa
Rasulillah wa shahbihi wa man waalaah, amma ba’du :
Berikut ini lanjutan jawaban saya atas
tanggapan saudara salman ali pada artikel saya sebelumnya :
Salman Ali mengatakan :
Tuduhan terhadap Ibnu
Taimiyah
Sekali lagi apabila
berbicara tentang Ibn Taimiyah, ustaz al-Katibi masih menggunakan senjata yang
sama iaitu iaitu mencedok beberapa perkataan Ibn Taimiyah lalu tanpa melihat pemahaman Ibn Taimiyah
secara menyeluruh lalu ustaz al-Katibi melukiskan kesimpulannya sendiri.
Tuduhan-tuduhan berkaitan Ibnu Taimiyah yang dijawab
dalam artikel ini ialah
Tuduhan 1: Ibn Taimiyah memahami perkataan Mujahid ini
secara zahir persis mujassimah
Tuduhan 2 : Ibn Taimiyah memahami masalah istiwa’
tidak seperti pemahaman al-asy’ariyah sebaliknya sama seperti al-mujassimah
Tuduhan 3: Ibnu Taimiyah
menyakini Allah berjisim.
Tuduhan 4:.Ibn Taimiyyah
dituduh mensahihkan dan berhujjah dengan khabar Mujahid
Kemudian akan dibahaskan kesimpulan ulama salaf
terhadap riwayat ini dan kesimpulan peribadi saya. Diharapkan pembaca dan
saya serta al-Katibi mendapat manfaat dari tulisan ini dan moga kita sentiasa
mendapat rahmat Allah. Ayuh kita mulakan perbahasan!
Tuduhan 1: Ibn Taimiyah memahami perkataan Mujahid ini secara zahir persis mujassimah
Al-Katibi berkata
1)Bukan sebagaimana
pemahaman kaum wahabi dan Ibnu Taimiyyah yang memahaminya secara dhahir.
2)Saya berani mengatakan
ucapan ini dipopulerkan kembali oleh Ibnu Taimiyyah adalah dari sudut pemahaman
Ibnu Taimiyyah terhadap perkara ini yang menimbulkan akidah tajsimnya dia.
Tiada bukti secara
langsung dari perbahasan Ibn Taimiyah berkaitan masalah ini sedangkan bukti
al-Katibi sekadar diabstrak dari perkataan umum Ibn Taimiyah dalam bab-bab
lain, Ini diakui sendiri oleh al-Katibi.
Al-Katibi berkata:
Memang Ibnu Taimiyyah pada
atsar Mujahid tidak mengomentarinya dengan komentar yang sedatil mungkin atau
penjelasan yang terperinci. Akan tetapi pemahaman terhadap duduk-Nya Allah di
atas Arsy, maka bisa kita ketahui dari ucapan-ucapan Ibnu Taimiyyah di
kitab-kitab lainnya. Dari situ akan memahami maksud Ibnu Taimiyyah mendukung
atsar Mujahid.
Saya jawab :
Memahami
pemahaman seorang ulama adalah dengan memahami manhaj dan uslubnya terlebih
dahulu. Jika kita memahami secara global, maka suatu kesalahan fatal jika
ternyata bertentangan dengan manhaj yang dipegangnya. Dan kedzhaliman terhadap
haqnya.
Ibnu Taimiyyah
pastinya membicarakan julus dan istiwa Allah sesuai dengan akidah dan manhaj
yang dbangunnya. Apakah dan bagaimanakah pemahaman Ibnu Taimiyyah dalam masalah
ini yang masih berhubungan dengan topik ini ? kita akan jelaskan sebentar
lagi...
Salman Ali mengatakan :
Saya
akan manfaatkan perkataan al-Katibi di atas iaitu ‘dari ucapan-ucapan Ibnu
Taimiyyah di kitab-kitab lainnya’. Saya akan buktikan pegangan Ibnu
Taimiyah dari kitab-kitabnya bahawa al-Katibi telah melakukan kesilapan. Adapun
jika sekadar hanya bergantung kepada kenyataan Ibn Taimiyah ini maka tidak ada
apa-bukti yang ditemui oleh ustaz al-Katibi untuk mengkritik Ibn Taimiyah.Dan
lebih menarik apabila ustaz al-Katibi mempunyai takwilan sendiri keatas ucapan
Ibn Taimiyah lalu menyandarkan tuduhan tajsim keatas Ibn Taimiyah meskipun
lafaznya tidak disebut oleh Ibn Taimiyah.
Sebagai contoh:
Ibn Taimiyah
menyebutkan
وَهَذَا
لَيْسَ مُنَاقِضًا لِمَا اسْتَفَاضَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ مِنْ أَنَّ الْمَقَامَ
الْمَحْمُودَ هُوَ الشَّفَاعَةُ بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ مِنْ جَمِيعِ مَنْ
يَنْتَحِلُ الْإِسْلَامَ وَيَدَّعِيه لَا يَقُولُ إنَّ إجْلَاسَهُ عَلَى الْعَرْشِ
مُنْكَرًا. وَإِنَّمَا أَنْكَرَهُ بَعْضُ الْجَهْمِيَّة وَلَا ذَكَرَهُ فِي
تَفْسِيرِ الْآيَةِ مُنْكَرٌ
Ini
tidaklah bertentangan dengan banyaknya hadits-hadits yang sesungguhnya
maqam Mahmud adalah syafa’at dengan kesepakatan para imam dari
seluruh orang yang mengaku Islam, tidak mengatakan bahwa riwayat Allah
mendudukkan nabi di atas arsy itu hadits munkar, sesungguhnya yang
mengingkarinya hanyalah sebagian dari kelompk jahmiyyah, beliaupun tidak
menyebutkan munkar dalam tafsir ayat itu “
al-Katibi berkata
Pada komentar
selanjutnyalah terjadi kesalah pahaman dari pihak salafi yang dipelopori oleh
Ibnu Taimiyyah.
وهذا وإن كان هو الصحيح من القول فـي تأويـل قوله عَسَى أنْ يَبْعَثَكَ رَبّكَ مَقاما مَـحْمُودا لـما ذكرنا من الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه والتابعين، فإن ما قاله مـجاهد من أن الله يُقعد مـحمدا صلى الله عليه وسلم علـى عرشه، قول غير مدفوع صحته، لا من جهة خبر ولا نظر
“ Dan pendapat ini (maqam Mahmud bermakna syafa’at) meskipun merupakan pendapat yang sahih, dalam menafsirkan ayat “ Semoga Allah membangkitkanmu
dan memberikanmu maqam yang terpuji “ dari riwayat-riwayat yang telah kami
sebutkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in, akan tetapi apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan Muhamamd Shallahu
‘alaihi wa sallam di atas Arsy, asalah ucapan yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi
khobar maupun pendapat “.
Ibnu Taimiyyah dan para
pengikutnya memahami ucapan ini : “ Bahwa apa yang diucapkan Mujahid yaitu
Allah mendudukkan Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy bersama-Nya,
tidak bisa ditolak kesahihannya baik dari sudut khobar maupun pandangan “.
Meskipun Ibn Taimiyah
tidak mengulangi dalam kesimpulannya perkataan di atas Arsy bersama-Nya dalam
kesimpulannya sama sepertimana dilakukan oleh al-At-Tabari tetapi al-Katibi
terus melompat kepada kesimpulan Ibn Taimiyah memahaminya dengan tajsim. Anehnya apabila
lafaz sama digunakan beberapa kali oleh al-At-Tabari terus ditakwil oleh
al-Katibi kepada maksud lain.
Adapun saya telah
mendatangkan bukti bahawa kedua-dua mereka Ibn Taimiyah dan al-At-Tabari dalam
konteks ini berbicara tentang keseluruhan nas ucapan Mujahid walaupun
perkataannya telah diringkaskan oleh kedua-dua mereka. Akan saya jelaskan
dengan lebih lanjut nanti
Saya jawab :
Sebagaimana
jawaban saya di artikel sebelumnya bahwa Redaksi yang ada
dalam ucapan Ibnu Taimiyyah itu ada dua konsep : pertama konsep dari pemahaman
Ibnu Taimiyyah dan konsep penukilannya. Konsep pertama merupakan konsep
pemahaman dan penyimpulan Ibnu Taimiyyah sendiri bukan konsep para ulama maupun
ath-Thabari. Yakni dalam konsep pertama :
(إذَا تَبَيَّنَ
هَذَا فَقَدْ حَدَثَ الْعُلَمَاءُ الْمَرْضِيُّونَ وَأَوْلِيَاؤُهُ
الْمَقْبُولُونَ : أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُجْلِسُهُ رَبُّهُ عَلَى الْعَرْشِ مَعَهُ . رَوَى ذَلِكَ مُحَمَّدُ
بْنُ فَضِيلٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ مُجَاهِدٍ ؛ فِي تَفْسِيرِ : { عَسَى أَنْ
يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا } وَذَكَرَ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ أُخْرَى
مَرْفُوعَةٍ وَغَيْرِ مَرْفُوعَةٍ)
maka Ibnu Taimiyyah sedang membuat
kesimpulan menurut klaimnya bahwa para ulama yang diridhoi dan wali yang
diterima membicarakan hadits duduknya Allah bersama Nabi di atas Arsy. Ini keyakinan yang dipegang oleh Ibnu
Tiamiyyah.
Adapun konsep kedua, adalah penukilan Ibnu
Taimiyyah yang menukil kalam Ibnu Jarir
walaupun sedikit ada kecurangan dari Ibnu Taimiyyah dalam menukilnya.
Dalam penukilan Ibnu Taimiyyah, seolah
ucapan Ibnu Jarir setuju dengan ucapan Mujahid yang mengatakan duduknya Allah
dengan Nabi di atas Arsy dan tidak bertentangan dengan pendapat maqam mahmud
adalah syafa’at.
Padahal setelah
diteliti dan dikaji ternyata Ibnu Jarir lebih memilih pendapat maqam mahmud
adalah syafa’at dan mentarjihnya. Artinya ia melemahkan pendapat Mujahid dalam
sisi yang lainnya, adapun sisi pendapat Mujahid tentang duduknya Nabi di atas
Arsy, maka ath-Thabari mengatakan hal itu tidaklah mustahil.
Salman Ali mengatakan :
Bagi menyokong kenyataan
dan tuduhan yang berulang-ulang dalam kesemua artikel al-Katibi, dia akhirnya
mendatangkan beberapa ‘bukti’ bagi menguatkan dakwaannya. Jika bukti-bukti ini
benar maka ternyata Ibn Taimiyah menganut madzhab tajsim justeru pemahaman
beliau terhadap atsar mujahid ini sama seperti kelompok ketiga yang disebutkan
oleh al-at-Tabari. Tapi
jika salah ternyata tuduhan al-Katibi dianggap tidak berasas melainkan dia
boleh membawakan bukti lain.
Antara bukti yang dikemukakan oleh al-Katibi
adalah seperti berikut.
وأكثر أهل الحديث يصفونه باللمس
“ Kebanyakan ulama hadits mensifati Allah dengan lams (sentuhan)
“.
2) Ibnu
Taimiyyah juga mengatakan :
وطوائف كثيرة من أهل الكلام والفقه يقولون بل هو مماس للعرش ومنهم من يقول هو مباين له ولأصحاب أحمد ونحوهم من أهل الحديث والفقه والتصوف في هذه المسألة ثلاثة أقوال منهم من يثبت المماسة كما جائت بها الآثار
“ Dan
kelompok banyak dari ahli kalam, fiqih mengatakan bahwa Allah bersentuhan
dengan Arsy, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Allah mubaayin darinya.
Dan para ulama Hanbali dan semisalnya dari ulama hadits, fiqih dan tasawwuf
dalam masalah ini memiliki tiga pendapat, di antara mereka ada yang menetapkan
persentuhan sebagaimana telah datang atsar-atsarnya “.
وليس هذا موضع الكلام في هذه الأقوال ولكن نذكر جوابا عاما فنقول كونه فوق العرش ثبت بالشرع المتواتر واجماع سلف الأمة مع دلالة العقل ضرورة ونظرا انه خارج العالم فلا يخلو مع ذلك اما أن يلزم ان يكون مماسا او مباينا اولا يلزم فان لزم احدهما كان ذلك لازما للحق ولازم الحق حق وليس في مماسته للعرش ونحوه محذور كما في مماسته لكل مخلوق من النجاسات والشياطين وغير ذلك فان تنزيهه عن ذلك انما اثبتناه لوجوب بعد هذه الاشياء وكونها ملعونة مطرودة لم نثبته لاستحالة المماسة عليه
“ Ini
bukanlah tempat pembahasannya di dalam ucapan-ucapan ini, akan tetapi kami
sebutkan jawaban secara globalnya, maka kami katakan : “ Adanya Allah di atas
Arsy adalah telah tetap dengan syare’at yang mutawatir dan kesepakatan salaf
ummat disertai dalil aqal secara pasti dan sisi pandangan bahwa Allah keluar
dari alam, maka bersama itu Allah tidaklah lepas adakalanya melazimkannya
bersentuhan dan bain atau tidak melazimkan hal itu. Jika Allah mengharuskan
terjadinya salah satu kelaziman itu, maka hal itu merupakan kelaziman yang haq,
dan kelaziman haq adalah haq. Dan di dalam bersentuhannya Allah dengan Arsy
atau semisalnya tidaklah mahdzur (bahaya) sebagaimana bersentuhannya Allah
kepada setiap makhluk dari benda-benda najis dan syaitan dan selainnya. Karena
mensucikan Allah dari itu semua, sesungguhnya kita tetapkan kewajiban
jauhnya benda-benda itu dan karena syaitan itu terlaknat terusir, maka kita
tidak menetapkannya karena mustahilnya bersentuhan dengannya “.
Komentar saya (salman ali) :
Dari kenyataan-kenyataan diatas, tuduhan penting
al-Katibi ialah
Pertama: Ibn Taimiyah berpandangan Allah mumasin
dengan sesuatu(bersentuhan)
Kedua: Menetapkan jisim bagi Allah (akan dijawab
dalam bahagian seterusnya)
Mari kita nilai
dahulu bukti-bukti yang dikemukakan oleh al-katibi.
Yang pertama perkataan al-Katibi
bahawa Ibn Taimiyahmengucapkan
وأكثر أهل الحديث يصفونه باللمس
“ Kebanyakan ulama hadits mensifati Allah dengan lams
(sentuhan) “
Jelas dari perkataan Ibn
Taimiyah ini bahawa dia sedang berbicara tentang pendirian ahli Hadith
berkaitan masalah lams (sentuh). Jika dibaca secara penuh , akan diketahui Ibn Taimiyah
sedang membahaskan pandangan mazhab kesemua madzhab tentang isu ini. Kata
beliau sepenuhnya dalam masalah ini:
وَالْقَوْلُ
الثَّالِثُ: إثْبَاتُ إدْرَاكِ اللَّمْسِ دُونَ إدْرَاكِ الذَّوْقِ؛ لِأَنَّ
الذَّوْقَ إنَّمَا يَكُونُ لِلْمَطْعُومِ فَلَا يَتَّصِفُ بِهِ إلَّا مَنْ
يَأْكُلُ وَلَا يُوصَفُ بِهِ إلَّا مَا يُؤْكَلُ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ
مُنَزَّهٌ عَنْ الْأَكْلِ بِخِلَافِ اللَّمْسِ فَإِنَّهُ بِمَنْزِلَةِ الرُّؤْيَةِ
وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْحَدِيثِ يَصِفُونَهُ بِاللَّمْسِ وَكَذَلِكَ كَثِيرٌ مِنْ
أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد وَغَيْرِهِمْ وَلَا يَصِفُونَهُ
بِالذَّوْقِ. وَذَلِكَ أَنَّ نفاة الصِّفَاتِ مِنْ الْمُعْتَزِلَةِ قَالُوا
لِلْمُثْبِتَةِ: إذَا قُلْتُمْ إنَّهُ يَرَى. فَقُولُوا إنَّهُ يَتَعَلَّقُ بِهِ
سَائِرُ أَنْوَاعِ الْحِسِّ. وَإِذَا قُلْتُمْ إنَّهُ سَمِيعٌ بَصِيرٌ فَصِفُوهُ
بِالْإِدْرَاكَاتِ الْخَمْسَةِ. فَقَالَ " أَهْلُ الْإِثْبَاتِ قَاطِبَةً
" نَحْنُ نَصِفُهُ بِأَنَّهُ يَرَى وَأَنَّهُ يُسْمَعُ كَلَامُهُ كَمَا
جَاءَتْ بِذَلِكَ النُّصُوصُ. وَكَذَلِكَ نَصِفُهُ بِأَنَّهُ يَسْمَعُ وَيَرَى.
وَقَالَ جُمْهُورُ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَالسُّنَّةِ: نَصِفُهُ أَيْضًا بِإِدْرَاكِ
اللَّمْسِ لِأَنَّ ذَلِكَ كَمَالٌ لَا نَقْصَ فِيهِ. وَقَدْ دَلَّتْ عَلَيْهِ
النُّصُوصُ بِخِلَافِ إدْرَاكِ الذَّوْقِ فَإِنَّهُ مُسْتَلْزِمٌ لِلْأَكْلِ
وَذَلِكَ مُسْتَلْزِمٌ لِلنَّقْصِ كَمَا تَقَدَّم
Dan pendapat yang ketiga: Mengithbatkan
capaian sentuhan tetapi tidak capaian rasa. Kerana capaian rasa berlaku pada
makanan dan tiidaklah disifatkan dengannya melainkan sesiapa yang makan dan
tidaklah disifatkan dengannya melainkan bagi apa yang dimakan sedangkan Allah
suci daripada makan berbeza dengan sentuhan kerana ia berada dalam kedudukan
melihat dan kebanyakan ahli hadith menyifatkan-Nya dengan sentuhan demikian
juga ramai dikalangan pengikut madzhab Maliki, syafi’e, Ahmad dan selain
sedangkan mereka tidak mensifatkan-Nya dengan merasa. Ini adalah kerana yang
menafikan sifat dikalangan muktazilah berkata kepada yang menisbatkan: Jika
kamu katakan Dia melihat, maka bersangkutan dengannya kesemua jenis deria. Jika
kamu katakan Dia mendengar dan Melihat maka sifatkanlah Ia dengan kesemua deria
yang lima. Maka berkata pula yang menisbatkan: Maka mensifatkan-Nya dengan
melihat dan didengari kalam-Nya sepertimana yang diterangkan dalam nas.
Demikian pula kami mensifatkan-Nya dengan mendengar dan melihat.Berkata jumhur
ahli Hadith dan Sunnah.Kami juga mensifatkan-Nya dengan mencapai sentuhan
kerana itu merupakan sifat yang sempurna tiada kekurangan padanya. Dan nas
telah menunjukkannya berbeza dengan capaian rasa kerana ia memerlukan kepada
makanan sepertimana yang telah diterangkan[1].
Ternyata Ibn Taimiyah sedang membicarakan pendirian
ahli hadith dan sunnah ketika menyebutkan perkataan ini. Tampak juga Ibn
Taimiyah menguatkan pandangan ahli hadith.
Saya jawab :
Argumentasi Salman tidak membuktikan
sama sekali terhdap penafian sikap tajsim Ibnu taimiyyah, justru semakin
menjelaskan dukungan Ibnu Taimiyyah terhadap akidah tajsim yang diatasnamakan oleh
Ibnu Taimiyyah sebagai pendapat jumhur ulama hadits entah keliru atau sengaja
berdusta.
Kita cuba angkat teksnya secara
penuh dan lengkap :
فَصْلٌ : وَأَمَّا قَوْلُ الْقَائِلِ :
إنَّهُ لَوْ قِيلَ لَهُمْ أَيُّمَا أَكْمَلُ ؟ ذَاتٌ تُوصَفُ بِسَائِرِ أَنْوَاعِ
الْإِدْرَاكَاتِ مِنْ الذَّوْقِ وَالشَّمِّ وَاللَّمْسِ ؟ أَمْ ذَاتٌ لَا تُوصَفُ
بِهَا ؟ لَقَالُوا : الْأَوَّلُ أَكْمَلُ وَلَمْ يَصِفُوهُ بِهَا . فَتَقُولُ
مُثْبِتَةُ الصِّفَاتِ لَهُمْ : فِي هَذِهِ الْإِدْرَاكَاتِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ
مَعْرُوفَةٍ :
“ Fashl :
Adapun pertanyaan seorang yang bertanya, jika ditanyakan kepada mereka “ Mana
yang lebih sempurna, dzat yang memiliki semua indera perasa berupa rasa, bau
dan sentuhan ? atau dzat yang tidak disifati dengannya ? maka mereka akan
menjawa : Yang pertama jelas lebih sempurna dan mereka tidak mensifatinya
dengannya. Maka kelompok penetap sifat menjawab mereka : “ Di dalam indera tiga
ini (rasa, bau dan sentuhan) ada tiga pendapat yang ma’ruf “.
Komentar saya :
Ibnu Taimiyyah menganalogikan
(mengqiyaskan) sifat kesempurnaan Allah sebagaimana sifat-sifat makhluk-Nya
secara inderawi (ihsaas). Dari hujjah Ibnu Taimiyyah di atas bisa dipahami,
bahwa jika Allah tidak disifati dengan sifat rasa (dzauq), bau (syamm) dan
sentuhan (lams), maka Dzat Allah tidak sempurna menurut Ibnu Taimiyyah. Ini
jelas qiyas yang bathil dan merupakan suatu penyerupaan Allah kepada
makhluk-Nya.
Kemudian Ibnu Taimiyyah melanjutkan
ucapannya :
( أَحَدُهَا ) : إثْبَاتُ
هَذِهِ الْإِدْرَاكَاتِ لِلَّهِ تَعَالَى كَمَا يُوصَفُ بِالسَّمْعِ وَالْبَصَرِ .
وَهَذَا قَوْلُ الْقَاضِي أَبِي بَكْرٍ وَأَبِي الْمَعَالِي وَأَظُنُّهُ قَوْلَ
الْأَشْعَرِيِّ نَفْسِهِ بَلْ هُوَ قَوْلُ الْمُعْتَزِلَةِ الْبَصْرِيِّينَ
الَّذِينَ يَصِفُونَهُ بِالْإِدْرَاكَاتِ . وَهَؤُلَاءِ وَغَيْرُهُمْ يَقُولُونَ :
تَتَعَلَّقُ بِهِ الْإِدْرَاكَاتُ الْخَمْسَةُ أَيْضًا كَمَا تَتَعَلَّقُ بِهِ
الرُّؤْيَةُ ؛ وَقَدْ وَافَقَهُمْ عَلَى ذَلِكَ الْقَاضِي أَبُو يَعْلَى فِي
" الْمُعْتَمَدِ " وَغَيْرِهِ
“ Salah satu
(dari tiga pendapat ma’ruf itu) adalah menetapkan inderawi-inderawi tersebut
bagi Allah sebagaimana Allah disifati dengan mendengar dan melihat. Ini adalah
pendapat al-Qadhi Abu Bakar dan Abul Ma’aali dan aku menyangkanya ini juga
pendapat asy’ari sendiri bahkan juga pendapat mu’tazilah bashrah yang mensifati
Allah dengan inderawi. Mereka semua dan selain mereka berkat : “ Allah juga
berhubungan dengan lima inderawi sebagaimana Allah berhubungan dengan rukyah.
Sungguh pendapat ini disepakati juga oleh qadhi Abu Ya’la di dalam al-mu’tamad
dan selainnya “.
Komentar :
Ibnu Taimiyyah menisbatkan pendapat
ini kepada Abul Ma’aali dan al-qadhi abu Bakar adalah tidak benar karena mereka
juga menafikan inderawi bagi Allah dari segi ihsaas (hal rasa atau dirasa)
apalagi menyandarkannya kepada abul hasan al-Asy’ari.
Ibnu Taimiyyah melanjutkan :
وَالْقَوْلُ الثَّانِي ) :
قَوْلُ مَنْ يَنْفِي هَذِهِ الثَّلَاثَةَ ؛ كَمَا يَنْفِي ذَلِكَ كَثِيرٌ مِنْ
الْمُثْبِتَةِ أَيْضًا مِنْ الصفاتية وَغَيْرِهِمْ . وَهَذَا قَوْلُ طَوَائِفَ
مِنْ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد وَكَثِيرٍ مِنْ أَصْحَابِ
الْأَشْعَرِيِّ وَغَيْرِهِ
.
“ Pendapat
kedua : Ucapan orang yang menafikan tiga inderawi ini, sebagaimana menafikan
hal itu banyak dari kaum penetap sifat dan selain mereka. Ini pendapat kelompok
ulama fiqih dari ashab syafi’i, Ahmad dan banyak dari ashab asy’ari dan
selainnya “.
Komentar :
Bukan hanya mereka yang menafikan
hal itu akan tetapi mayoritas muslimin pun menafikan hal ini.
Kemudian Ibnu Taimiyyah mengatakan :
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ ) : إثْبَاتُ
إدْرَاكِ اللَّمْسِ دُونَ إدْرَاكِ الذَّوْقِ ؛ لِأَنَّ الذَّوْقَ إنَّمَا يَكُونُ
لِلْمَطْعُومِ فَلَا يَتَّصِفُ بِهِ
إلَّا مَنْ يَأْكُلُ وَلَا يُوصَفُ بِهِ
إلَّا مَا يُؤْكَلُ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ مُنَزَّهٌ عَنْ الْأَكْلِ
بِخِلَافِ اللَّمْسِ فَإِنَّهُ بِمَنْزِلَةِ الرُّؤْيَةِ
“ Pendapat
ketiga : adalah menetapkan indera (capaian, bahasa melayu) sentuhan bukan
capaian rasa. Karena rasa hanya ada pada apa yang dimakan, maka tidaklah
memiliki sifat dengannya kecuali kepada yang makan dan tidaklah disifati
dengannya kecuali kepada apa yang dimakan sedangkan Allah Maha Suci dari makan
berbeda dengan sentuhan karena ia kedudukannya sama dengan rukyah...”
Komentar saya :
Dari penjabaran Ibnu Taimiyyah ini
dan dari penta’lilannya dapat dipahami dengan jelas bahwa maksud Allah boleh
disifati dengan sentuhan (lams) adalah bahwa Allah boleh disifati dengan
menyentuh makhluk-Nya dan makhluk-Nya menyentuh Allah. Oleh sebab itu Ibnu Taimiyyah tidak mau
mensifati Allah dengan sifat dzauq (rasa) karena menurutnya Allah tidak makan
dan tidak akan dimakan, maka sifat dzauq dinafikan dari Allah. Naudzu billahi
min dzaalikal fahm al-baathil...
Lalu siapakah kelompok ketiga ini
yang dinisbatkan oleh Ibnu Taimiyyah ?? kita lihat kelanjutan ucapan Ibnu Taimiyyah ini :
وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْحَدِيثِ
يَصِفُونَهُ بِاللَّمْسِ وَكَذَلِكَ كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ
وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد وَغَيْرِهِمْ وَلَا يَصِفُونَهُ بِالذَّوْقِ.
“ Dan
kebanyakan ulama hadits mensifati-Nya dengan lams (sentuhan) demikian juga
banyak dari ashab Malik, Syafi’i, Ahmad dan selainnya dan mereka tidak
mensifati-Nya dengan dzauq (rasa) “.
Komentar saya :
Maka jelas Ibnu Taimiyyah
menisbatkan ucapan ketiga ini (Allah boleh disifati dengan lams dan tidak dzauq)
adalah pendapat ulama ahli hadits dan ulama dari kalangan madzhab Syafi’i,
Malik, Ahmad dan lainnya. Penisbatan ini semua kepada mereka adalah bathil dan
kedustaan.
Ibnu Fauraq al-‘Asy’ary mengatakan :
واعلم
أنا إذا قلنا إن الله عز وجل فوق ما خلق لم يرجع به إلى فوقية المكان والارتفاع
على الأمكنة بالمسافة والإشراف عليها بالمماسة لشىء منها
“ ketahuilah
jika kita katakan Allah Ta’ala di atas segala yang diciptakan-Nya, maka bukan
kembali pada makna di atas yang bersifat tempat atau meninggi di beberapa
tempat dengan jarak dan turun atasnya dengan bersentuhan kepada sesuatu darinya
“.[1]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata :
إِنَّ اللهَ تَعَالىَ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ , مَنَزَّهٌ عَنِ
التَّجْسِيْمِ وَاْلاِنْتِقَالِ وَالتَّحّيُّزِ فيِ جِهَةِ وَعَنْ سَائِرِ صِفَاتِ
اْلمَخْلُوْقِ
“ Sesungguhnya Allah Ta’aala tidak
ada sesuatupun yang menyerupainya, Maha Suci dari tajsim (bentuk dan sifat
makhluk), berpindah dan dari terbatas dengan arah dan dari semua sifat makhluk-Nya
“[2]
Bahkan
telah dinukil oleh pemimpin Hanabilah Abul Fadhl at-Tamimi bahwasanya
imam Ahmad bin Hanbal berkata :
وَأَنْكَرَ
– يَعْنيِ أَحْمَدَ- عَلىَ مَنْ يَقُوْلُ بِاْلجِسْمِ وَقَالَ إِنَّ اْلأَسْمَاءَ
مَأْخُوْذَةٌ مِنَ الشَّرِيْعَةِ وَاللُّغَةِ ، وَأَهْلُ اللُّغَةِ وَضَعُوا هَذاَ
اْلاِسْمِ عَلىَ ذِي طُوْلٍ وَعَرْضٍ وَسَمْكٍ وَتَرْكِيْبٍ وَصُوْرَةٍ
وَتَأْلِيْفٍ وَاللهُ تَعَالىَ خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ
يُسَمِّىَ جِسْمًا لِخُرُوْجِهِ عَنْ مَعْنىَ اْلجِسْمِيَّةِ وَلَمْ يَجِئْ فيِ
الشَّرِيْعَةِ ذَلِكَ فَبَطَلَ
“
Imam Ahmad mengingkari orang yang berpendapat Allah itu berjisim dan berkata :
“ Sesungguhnya nama-nama itu diambil dari Syare’at dan bahasa. Ulama ahli
bahasa meletakkan nama (jisim) ini kepada sesuatu yang memiliki ukuran panjang,
lebar, tinggi, bagian, gambar dan susunan sedangkan Allah keluar dari itu
semua, maka tidak boleh mengatakan Allah itu jisim karena mustahilnya Allah
dari makna kejisiman dan juga tidak ada sandaran dalam Sayare’at “.[3]
Kemudian Ibnu Taimiyyah Mengatakan :
وَذَلِكَ أَنَّ نفاة
الصِّفَاتِ مِنْ الْمُعْتَزِلَةِ قَالُوا لِلْمُثْبِتَةِ : إذَا قُلْتُمْ إنَّهُ
يَرَى . فَقُولُوا إنَّهُ يَتَعَلَّقُ بِهِ سَائِرُ أَنْوَاعِ الْحِسِّ . وَإِذَا
قُلْتُمْ إنَّهُ سَمِيعٌ بَصِيرٌ فَصِفُوهُ بِالْإِدْرَاكَاتِ الْخَمْسَةِ . فَقَالَ " أَهْلُ الْإِثْبَاتِ قَاطِبَةً " :
نَحْنُ نَصِفُهُ بِأَنَّهُ يَرَى وَأَنَّهُ يُسْمَعُ كَلَامُهُ كَمَا جَاءَتْ
بِذَلِكَ النُّصُوصُ
. وَكَذَلِكَ
نَصِفُهُ بِأَنَّهُ يَسْمَعُ وَيَرَى . (وَقَالَ جُمْهُورُ أَهْلِ الْحَدِيثِ
وَالسُّنَّةِ ) : نَصِفُهُ أَيْضًا بِإِدْرَاكِ اللَّمْسِ لِأَنَّ ذَلِكَ كَمَالٌ
لَا نَقْصَ فِيهِ . وَقَدْ دَلَّتْ عَلَيْهِ النُّصُوصُ بِخِلَافِ إدْرَاكِ
الذَّوْقِ فَإِنَّهُ مُسْتَلْزِمٌ لِلْأَكْلِ وَذَلِكَ مُسْتَلْزِمٌ لِلنَّقْصِ
كَمَا تَقَدَّمَ
. وَطَائِفَةٌ
مِنْ نُظَّارِ الْمُثْبِتَةِ وَصَفُوهُ بِالْأَوْصَافِ الْخَمْسِ مِنْ
الْجَانِبَيْنِ
“ Demikian itu
sesungguhnya orang-orang yang menafikan sifat dari kalangan mu’tazilah berkata
kepada orang-orang yang menetapkan sifat : “ Jika kalian katakan Allah melihat,
maka katakanlah Dia berhubungan dengan semua jenis fisik. Dan jika kalian
katakan bahwa Dia melihat dan mendengar, maka sifatkanlah dia dengan indera
yang lima, maka orang-orang istbat seluruhnya mengatakan : “ Kami mensifati-Nya
bahwa sesungguhnya Dia melihat dan kalam-Nya dapat didengar sebagaimana banyak
nash yang menjelaskannya. Demikian juga kami mensifati-Nya bahwa Dia mendengar
dan melihat. Dan telah berkata mayoritas ahli hadits dan sunnah : “ Kami
mensifati-Nya juga dengan idrak lams (capaian sentuhan) karena yang demikian itu
adalah kesempurnaan bukan kekurangan. Nash-nash telah datang menunjukkan hal
itu berbeda dengan capaian dzauq, karena hal itu melazimkan untuk makan dan hal
itu mengharuskan kekurangan sebagaimana telah berlalu. Dan sekelompok dari
kalangan nadzhor yang istbat telah mensifati Allah dengan sifat-sifat yang lima
dari dua sisi “.
Komentar saya :
Ibnu Taimiyyah telah menisbatkan
pemahaman ini kepada mayoritas ahli hadits yang menurutnya telah meyakini sifat
idrak al-lams bagi Allah dan mengatakan para nudhor istbat mensifati kelima
sifat idrak bagi Allah dari dua sisi, sisi Allah dan sisi dari makhluk-Nya.
Artinya Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, Allah dapat melihat dan
dilihat dan seterusnya dari kelima idrak, semua itu dari sisi idrakat dan ihsas
sebagaimana manthuq dan mafhum kalam Ibnu Taimiyyah di atas. Naudzu billahi min
dzaalilkal fahm al-bathil...
Salman Ali mengatakan :
Dan disana terdapat juga hadith-hadith yang menyandarkan perkataan sentuhan kepada Allah.
1) Hadith maqtu’
yang disebutkan oleh tabi’i
عن حكيم
بن جابر قال : إن الله تبارك وتعالى لم يمس بيده من خلقه غير ثلاثة أشياء : [
الجنة ] بيده ثم جعل ترابها الورس والزعفران وجبالها المسك ، وخلق آدم بيده ، وكتب
التوراة لموسى عليه السلام.
Daripada Hakim Bin Jabir
berkata: Sesungguhnya maha suci Allah tidak menyentuh dengan tangan-Nya
melainkan 3 perkara: Syurga dengan tangannya kemudian menjadikan tanahnya waras
dan za’faran dan bukinya menjadi kasturi, menciptakan Adam dengan tangannya dan
menulis Taurat kepada Musa dengan tangannya.
Saya jawab :
Hadits ini bersumber dari riwayat
israiliyyat yang diriwayatkan Ka’ab al-Ahbar. Maka diharuskan kita untuk
berhati-hati dari kisah israiliyyat dan menelitinya, tidak serta merta
menerimanya, terlebih ‘Awamah mengatakan hadits ini ada sifat dhaifnya.
Sayyiduna Umar pernah berkata kepada
Ka’ab al-Ahbar :
لتتركن
الأحاديث أو لألحقنَّك بأرض القردة
“ Sungguh
engkau tinggalkan hadits atau aku akan menempatkanmu di bumi kera ? “[4]
Ibnu at-Tiin
mengatakan :
وهذا نحو قول
ابن عباس في حق كعب المذكور : بدل من قبله فوقع في الكذب
“
Ini semisal ucapan Ibnu Abbas pada Ka’ab tersebut : “ Dia telah merubah orang
sebelumnya lalu terjatuh pada kedustaan “.[5]
Dengan penilaian para
ulama ini, maka hadits Hakim bin Jabir ini lemah tidak bisa dijadikan hujjah
terlebih dalam masalah akidah sebab akidah harus qath’iy dilalahnya.
Salman Ali mengatakan :
2) Hadis sahih dari Umar r.a
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ عَنْهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى خَلَقَ
آدَمَ ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ بِيَمِينِهِ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً فَقَالَ
خَلَقْتُ هَؤُلَاءِ لِلْجَنَّةِ وَبِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَعْمَلُونَ ثُمَّ
مَسَحَ ظَهْرَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً فَقَالَ خَلَقْتُ هَؤُلَاءِ
لِلنَّارِ وَبِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ يَعْمَلُونَ
Umar al-Khattab: Aku mendengar Rasulullah S.A.W
ditanya tentangnya (al-A’raf: 172) lalu baginda bersabda: Sesungguhnya maha
suci Allah menciptakan Adam kemudian menyapu belakangnya dengan tangan
kanan-Nya sambil mengeluarkan darinya zuriat lalu berkata: Aku menciptakan
mereka untuk syurga dan dengan amalan penghuni syurga mereka akan beramal,
kemudian menyapu belakang Adam sambil mengeluarkan darinya zuriat lalu berkata:
Aku menciptakan mereka untuk neraka dan dengan amalan ahli neraka mereka akan
beramal.
Saya jawab :
Hadits ini pun terjadi perselisihan
di antara ulama. Ulama menilai hadits ini munqathi’ karena Muslim bin Yasar
tidak pernah bertemu dengan Umar bin Khotthob. Muslim bin Yasar pun seorang
yang majhul dan tidak dikenal sebagai pembawa ilmu dan hadits.
Abdul Warits bin Sufyan mengatakan
bahwa telah berkata padaku Qasim bin Asbagh, ia berkata telah berkata padaku
Ahmad bin Zuhair, ia berkata : “ Aku
pernah membacakan hadits Malik ini kepada Yahya bin Ma’in dari Zaid bin Abi
Anisah, lalu ia menulis Muslim bin Yasar : “ Tidak dikenal “.
Maka hadits ini dinilai lemah dari sisi sanadnya dan
tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah akidah.
Salman Ali mengatakan :
Ini adalah diantara sandaran yang digunakan oleh ahli
hadith yang menyandarkan capaian sentuhan kepada Allah (idrak al-lams). Anda
boleh katakan perkataan dalam hadith ini boleh ditakwil , tetapi yang pasti
bagi para ulama’ yang menyebut bahawa Allah menyentuh Adam , maka ini adalah
sebahagian dari sandaran mereka.
Kegagalan al-Katibi memahami isu idrak al-lams dan isu
al-lams menyebabkan kesalahan fatal. Saya akan bahaskan kesalahan ini lebih detail kemudiannya nanti dan akan
saya kaitkan ia dengan sebahagian tokoh al-Asya’irah
Saya jawab :
Justru hujjahnya menjadi bumerang
bagi dirinya, karena membantu saya semakin yakin dengan sikap tajsim Ibnu
Taimiyyah yang begitu jelas dipahami bagaikan jelasnya matahari di siang hari.
Salman Ali mengtakan :
Yang kedua berkaitan perkataan
Ibn Taimiyah ini:
وطوائف
كثيرة من أهل الكلام والفقه يقولون بل هو مماس للعرش ومنهم من يقول هو مباين له
ولأصحاب أحمد ونحوهم من أهل الحديث والفقه والتصوف في هذه المسألة ثلاثة أقوال
منهم من يثبت المماسة كما جائت بها الآثار
“ Dan
kelompok banyak dari ahli kalam, fiqih mengatakan bahwa Allah bersentuhan
dengan Arsy, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Allah mubaayin darinya.
Dan para ulama Hanbali dan semisalnya dari ulama hadits, fiqih dan tasawwuf
dalam masalah ini memiliki tiga pendapat, di antara mereka ada yang menetapkan
persentuhan sebagaimana telah datang atsar-atsarnya “.
Komentar saya (salman Ali) :
Kali ini tidak pula dipaparkan bukti jelas bahawa ini
merupakan pandangan peribadi Ibn Taimiyah ataupun pandangan yang dikuatkan oleh
Ibn Taimiyah. Manusia tidaklah boleh dianggap bertanggungjawab keatas sesuatu
perkataan kerana sekadar perkataan orang lain melainkan difahami dari konteks
bahawa penaqal berpegang dengan pandangan tersebut.
Bahkan kalau al-Katibi
boleh lanjutkan lagi maka dia akan melihat bahawa dalam konteks ini , Ibn
Taimiyah sedang bercerita tentang kesemua madzhab yang ada, maka atas dasar apa
salah satu dari pandangan yang banyak ini disandarkan kepada Ibn Taimiyah.
Ini konteks
keseluruhan Ibn Taimiyah sepertimana sebahagiannya dipetik oleh al-Katibi:
فإن قيل ما ذكره الإمام أحمد وقدَّرتموه من امتناع كونه
في العالم غير مباين ولا مماس معارضٌ بما يذكره طوائف من أهل الإثبات من أصحاب
الإمام أحمد وغيرهم القائلون بأنه فوق العرش فإنهم يقولون هو فوق العرش غير مباين
ولا مماس فما الفرق بين الموضعين قيل هؤلاء الذين يقولون هذا إنما يقولونه لأنهم
يقولون إنه فوق العرش وليس بجسم وهذا قول الكلابية وأئمة الأشعرية وطوائف ممن
اتبعهم من أهل الفقه وغيرهم وطوائف كثيرة من أهل الكلام والفقه يقولون بل هو مماس
للعرش ومنهم من يقول هو مباين له ولأصحاب أحمد ونحوهم من أهل الحديث والفقه
والتصوف في هذه المسألة ثلاثة أقوال منهم من يثبت المماسة كما جاءت بها الآثار ثم
من هؤلاء من يقول إنما أثبت إدراك اللمس من غير مماسة للمخلوق بل أثبت الإدراكات
الخمسة له وهذا قول أكثر الأشعرية والقاضي أبي يعلى وغيره فلهم في المسألة قولان
كما تقدم بيانه
Jika dikatakan, apa
yang disebutkan oleh Imam Ahmad dan pandangan yang kamu hargai daripada
mustahilnya -keberadaan (Allah) di alam dalam keadaan tidak terpisah serta
tidak pula bersentuhan- bercanggah dengan apa yang disebutkan oleh sebahagian
dari ahli itsbat dikalangan pengikut Imam Ahmad dan selainnya yang menyatakan
bahawa sesungguhnya Dia (Allah) diatas Arash. Kerana sesungguhnya mereka
menyatakan Dia diatas Arash dalam keadaan tidak terpisah tidak pula bersentuhan
maka apakah perbezaan diantara dua kedudukan.
Dikatakan: Mereka yang menyebutkan yang demikian adalah kerana mereka berpandangan Dia berada diatas arash dan bukanlah merupakan jisim. Ini merupakan pandangan Kulabiyah dan para imam aAsy’ariyah dan kelompok yang mengikut mereka dikalangan ahli fiqh dan selain mereka.Adapun kebanyakan kelompok dikalangan ahli kalam dan ahli fiqh menyatakan bahkan Allah bersentuhan dengan Arash.Diantara mereka ada yang menyatakan Dia terpisah dari Arash.Pengikut Ahmad dan yang seperti mereka dikalangan ahli Hadith, fiqh dan tasauf bagi mereka tiga pendapat tentang masalah ini. Ada diantara mereka yang menisbatkan sentuhan sepertimana yang disebut didalam atsar kemudian diantara mereka ada menisbathkan lams(sentuhan) tanpa bertempek pada makhluk bahkan mereka menisbathkan lima deria kepada-Nya. Ini merupakan pandangan kebanyakan al-Asy’ariyah.Sedangkan al-Qodi Abu Yaala serta selainnya mempunyai dua pandangan berkaitan masalah ini.[4]
Sesiapa yang membaca perkataan
Ibn Taimiyah ini sepenuhnya akan mengetahui bahawa dalam perenggan ini , beliau
sedang berbicara tentang pandangan kesemua madhzhab, maka saya tidak pasti atas
dasar apa al-Katibi mengeluarkan sedikit dari kesemua pandangan yang Ibn
Taimiyah sebutkan ini lalu dijadikan sebagai salah satu dalil menuduh Ibn
Taimiyah sebagai tajsim.
Saya Jawab :
Justru setelah membaca penuh teks penukilan Ibnu
Taimiyyah, kita semua akan semakin paham dari konteks penukilannya dan memahami
manhajnya dapat benar-benar dipahami bahwa Ibnu Taimiyyah mendukung pemahaman
tajsim di atas yang diklaim oleh Ibnu Taimiyyah sebagai pendapat ulama hadits
dari kalangan imam Ahmad dan pendapat ahil fiqih dan tasawwuf.
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa
pendapat yang menetapkan mumasah bagi Allah adalah dari sebagian ulama
ahli hadits kalangan imam Ahmad dan juga ulama fiqih serta tasawuf. Pendapat
ini menurut Ibnu Taimiyyah sesuai hadits-hadits yang telah datang (كما جاءت بها الآثار).
Maka kita tanyakan kepada taimiyyin
(para pengagum Ibnu Taimiyyah) : Apakah Ibnu Taimiyyah menolak pendapat ini ??
jika pemahahamn Ibnu Taimiyyah berbeda dengan pendapat ini, maka Ibnu Taimiyyah
telah bertentangan dengan hadits-hadit yang telah datang dan bertentangan
dengan para ulama ahli hadits dari kalangan imam Ahmad sebagaima ucapannya di
atas.
Salman Ali mengatakan :
Yang ketiga kononnya ini merupakan bukti
yang paling jelas tentang Ibn Taimiyah seorang mujassimah
وليس هذا موضع الكلام في هذه الأقوال ولكن نذكر جوابا عاما فنقول كونه فوق
العرش ثبت بالشرع المتواتر واجماع سلف الأمة مع دلالة العقل ضرورة ونظرا انه خارج
العالم فلا يخلو مع ذلك اما أن يلزم ان يكون مماسا او مباينا اولا يلزم فان لزم
احدهما كان ذلك لازما للحق ولازم الحق حق وليس في مماسته للعرش ونحوه محذور كما في
مماسته لكل مخلوق من النجاسات والشياطين وغير ذلك فان تنزيهه عن ذلك انما اثبتناه
لوجوب بعد هذه الاشياء وكونها ملعونة مطرودة لم نثبته لاستحالة المماسة عليه
“ Ini bukanlah tempat pembahasannya di dalam
ucapan-ucapan ini, akan tetapi kami sebutkan jawaban secara globalnya, maka
kami katakan : “ Adanya Allah di atas Arsy adalah telah tetap dengan syare’at
yang mutawatir dan kesepakatan salaf ummat disertai dalil aqal secara pasti dan
sisi pandangan bahwa Allah keluar dari alam, maka bersama itu Allah tidaklah
lepas adakalanya melazimkannya bersentuhan dan(perkataan yang sepatutnya adalah atau)bain(terpisah) atau tidak melazimkan hal itu. Jika Allah mengharuskan terjadinya salah
satu kelaziman itu(samada bersentuh ataupun bain), maka hal itu merupakan kelaziman yang haq, dan kelaziman
haq adalah haq. Dan di dalam bersentuhannya Allah dengan Arsy atau semisalnya
tidaklah mahdzur (bahaya) sebagaimana bersentuhannya Allah kepada setiap
makhluk dari benda-benda najis dan syaitan dan selainnya. Karena (perkataan
sepatutnya adalah:sesungguhnya)mensucikan Allah dari
itu semua, sesungguhnya kita
tetapkan kewajiban(perkataan sepatutnta adalah: kerana) jauhnya benda-benda itu dan karena syaitan itu terlaknat
terusir, maka kita tidak menetapkannya(yakni menafikan sentuhan) karena mustahilnya bersentuhan dengannya
Saya
melihat ada sedikit masalah pada terjemahan perkataan ini Saya tidak pasti
mungkin disebabkan oleh perbezaan antara Bahasa Indonesia serta bahasa
Malaysia.Ini bukan masalah yang besar. Berbalik kepada perbahasan berkaitan
ayat ini.
Saya jawab :
Silakan anda memperbesar gaya
penterjemahan bahasa Indonesia saya yang anda nilai dari gaya bahasa
penterjemahan anda (malaysia), bagi saya ini tidak akan anda temukan ksamanaan
gaya penterjemahan jika anda memaksa org lain harus sesuai gaya bhsa
penterjemahan di sana. Saya pun bisa menilai dan menemukan banyak sekali
keslahan pentrjmahan jika saya menilainya dari gaya bahasa saya di sini
(indonesia) namun saya tidak memperbesar-besarkannya. Karena bagi saya penterjemahan
yang penting benar sessuai nahwu dan mafhumnya tidak menyimpang jauh dari
keduanya.
Salman Ali mengatakan :
Ibn
Taimiyah sekali lagi menyebut beberapa kemungkinan disini tanpa menyebutkan
masa satu kemungkinan yang dipilihnya.Apakah kerana menyebut kesemua
kemungkinan ini melazimkan bahawa ini merupakan pandangan beliau sendiri??
Saya jawab :
Begitu jelas
konteks ucapan yang dilontarkan Ibnu Taimiyyah di atas, namun masih sulit
dipahami oleh salman ali ini. Baiklah saya akan menuntunnya untuk memahaminya
sesuai manthuq dan mafhumnya :
Cuba
perhatikan perenggan pertama ini :
وليس هذا موضع
الكلام في هذه الأقوال ولكن نذكر جوابا عاما
“ Ini bukanlah
tempat pembahasannya di dalam ucapan-ucapan ini, akan tetapi kami sebutkan
jawaban secara globalnya...”
Ibnu Taimiyyah posisinya sedang
menjawab pertanyaan dari penanya. Dan jawabannya secara global. Dan jawaban ini
adalah tentu jawaban yang dianggap sesuai oleh Ibnu Taimiyyah. Karena jika
tidak sesuai atau jawaban ini tidak dikehendaki atau tidak diyakini
(dianut/diiti’qadkan) oleh Ibnu Taimiyyah sendiri, maka jawaban yang akan ia lontarkan
bertentangan atau tidak disetujui oleh pemahaman Ibnu Taimiyyah dan ini jelas
tidak mungkin sebagaimana akan kita ketahui.
Ibnu
Taimiyyah melanjutkan :
فنقول كونه فوق
العرش ثبت بالشرع المتواتر واجماع سلف الأمة مع دلالة العقل ضرورة ونظرا انه خارج
العالم
“ Maka kami katakan : “ Adanya Allah di atas Arsy, telah tetap dengan dengan syare’at yang mutawatir dan kesepakatan salaf ummat disertai dalil
aqal secara pasti dan sisi pandangan bahwa Allah keluar dari alam...”
Pertama :
Akankah salman ali mengatakan : “ Ini juga kemungkinan yang tidak dipilih oleh
Ibnu Taimiyyah. Padahal salman Ali meyakini bahwa Ibnu Taimiyyah berpaham Allah
di atas Arsy.
Kedua : Ibnu
Taimiyyah mengklaim adanya Ijma’ bahwa Allah di atas Arsy. Kita katakan kepada
taimiyyin : “ Jika yang dimaksud Ibnu Taimiyyah dengan fauq (di atas) adalah di
atas secara hissiyyah dan tempat, maka jelas tidak ada ulama salaf maupun
kholaf dari kalangan Ahlus sunnah yang sepakat. Bahkan mayoritas mengatakan
bahwa Allah fauq di atas makhluk-Nya dengan fauq yang bersifat qudrah dan tadbir
bukan hissi maupun tempat.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar telah meyakini hal ini dari salaf
dan kholaf :
فَمُعْتَمَدُ سَلَفِ اْلأَئِمَّةِ وَعُلَمَاءِ السُّنَّةِ مِنَ
اْلخَلَفِ أَنَّ اللهَ مُنَزَّهٌ عَنِ اْلحَرَكَةِ وَالتَّحَوُّلِ وَاْلحُلُوْلِ،
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ
“
Keyakinan yang dipegang oleh para ulama salaf dan Ahlus sunnah dari kalangan
akhir adalah sesungguhnya Allah Maha Suci dari sifat gerak, berubah dan
bertempat, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya “.[6]
Al-Qadhi
al-Imam Abu Bakar Muhammad al-Baqilani
al-Maliki (w 403 H) berkata :
وَلاَ
نَقُوْلُ إِنَّ اْلعَرْشَ لَهُ- أَيْ اللهُ- قَرَارٌ وَلاَ مَكَانٌ، لِأَنَّ اللهَ
تَعَالىَ كَانَ وَلاَ مَكَانَ، فَلَمَّا خَلَقَ اْلمَكاَنَ لَمْ يَتَغَيَّرْ
عَمَّا كَانَ
“ Dan kami tidak mengatakan bahwasanya Arsy sebagai tempat
Allah, karena Allah Ta’aala ada (pada azali) tanpa tempat, ketika menciptakan
tempat Allah tidaklah berubah sebagaimana mulanya “.[7]
Al-Imam
al-Kabir Abu Hanifah (w 150 H) rahimahullah
berkata :
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى
العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ
عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ،
فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ
كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ
فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا
كَبِيْرًا.
“ Dan kami mengakui Bahwasannya Allah sbhanahu wa Ta’alaa
beristiwa di atas Arsy-Nya, tanpa Dia butuh (ihtiyaj) kepadanya dan Tanpa
ber-Diam / berada (istiqrar) diatasnya dan seterusnya…”.[8]
Syaikh
al-‘Arif billah Sayyid Ahmad ar-Rifa’i asy-Syafi’i
(w 578 H) berkata :
وَأَنَّهُ
مُسْتَوٍ عَلىَ اْلعَرْشِ عَلىَ اْلوَجْهِ الَّذِي قَالَهُ وَبِالْمَعْنىَ الَّذِي
أَرَادَهُ، اِسْتِوَاءً مُنَزَّهًا عَنِ اْلمُمَاسَةِ وَاْلاِسْتِقْرَارِ
وَالتَّمَكُّنِ وَالتَّحّوُّلِ وَاْلاِنْتِقَالِ، لاَ يَحْمِلُهُ اْلعَرْشُ، بَلِ
اْلعَرْشُ وَحَمَلَتُهُ مَحْمُوْلُوْنَ بِلُطْفِ قُدْرَتِهِ، وَمَقْهُوْرُوْنَ فيِ
قَبْضَتِهِ، وَهُوَ فَوْقَ اْلعَرْشِ، وَفَوْقَ كُلِّ شَىْءٍ إِلىَ تُخُوْمِ
الثَّرَى، فَوْقِيَّةٌ لاَ تَزِيْدُهُ قُرْبًا إِلىَ اْلعَرْشِ
وَالسَّمَاءِ بَلْ
هُوَ رَفِيْعُ الدَّرَجَاتِ عَنِ اْلعَرْشِ كَمَا أَنَّهُ رَفِيْعُ الدَّرَجَاتِ
عَنِ الثَّرَى
“ Dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan cara yang
Allah firmankan dan dengan makna yang Allah kehendaki, beristiwa dengan istiwa
yang suci dari persentuhan, persemayaman, pertempatan, perubahan dan
perpindahan. Tidak dibawa oleh Arsy akan tetapi Arsy dan para malaikat
pembawanya dibawa oleh kelembutan qudrah-Nya, tergenggam dalam gengaman-Nya.
Dia di atas Arsy dan di atas segala sesuatu hingga ujung angkasa dengan sifat
atas yang tidak menambahinya dekat kepada Arsy dan langit, akan tetapi Dia Maha
tinggi derajat-Nya dari Arsy sebagaimana Dia Maha tinggi derajat-Nya dari
angkasa “.[9]
Dari pemahaman para ulama ini, dapat
kita ketahui bahwa para ulama salaf memahami sifat fauq dan istiwa Allah dengan
fauq dan istiwa yang sesuai keagungan Allah, tidak fauq dan istiwa yang
bersifat dengan sifat makhluk-Nya seperti bersentuhan, menempat atau menempel.
Inilah yang disepakati oleh mayoritas ulama Islam bukan sebagaimana pemahaman
Ibnu Taimiyyah. Maka klaim Ibnu Taimiyyah adanya ijma’ Allah di atas Ary adalah
dusta dari sisi ini.
Ibnu Taimiyyah melanjutkan :
فلا يخلو مع ذلك اما أن يلزم ان يكون مماسا او مباينا اولا يلزم فان لزم
احدهما كان ذلك لازما للحق ولازم الحق حق
“ Maka bersama
itu Allah tidaklah lepas adakalanya melazimkannya bersentuhan atau bain atau
tidak melazimkan hal itu. Jika Allah mengharuskan terjadinya salah satu
kelaziman itu, maka hal itu merupakan kelaziman yang haq, dan kelaziman haq
adalah haq.
Komentar
saya :
Ketika Ibnu
Taimiyyah menjawab bahwa keberadaan Allah di atas Arsy telah ijma’ dari ulama
salaf, lalu Ibnu Taimiyyah memerinci bahwa jika Allah di luar alam maka
adakalanya mengharuskan Allah bersentuhan atau mubayin atau bisa juga
mengharuskan Allah tidak mumasin dan tidak mubayin. Di sini Ibnu Taimiyyah
menukil dua pemahaman antara Allah tidak mumasin dan tidak mubayin dan antara
Allah mumasin dan mubayin. Lalu manakah yang disetujui oleh Ibnu Taimiyyah ??
Perhatikan
jawaban berikutnya :
وليس في مماسته
للعرش ونحوه محذور كما في مماسته لكل مخلوق من النجاسات والشياطين وغير ذلك فان
تنزيهه عن ذلك انما اثبتناه لوجوب بعد هذه الاشياء وكونها ملعونة مطرودة لم نثبته
لاستحالة المماسة عليه
“ Dan di dalam
bersentuhannya Allah dengan Arsy atau semisalnya tidaklah mahdzur (bahaya)
sebagaimana bersentuhannya Allah kepada setiap makhluk dari benda-benda najis
dan syaitan dan selainnya. Karena bahwasanya mensucikan Allah dari itu semua,
hanyalah kita tetapkan keharusan jauhnya benda-benda itu dan karena
syaitan itu terlaknat terusir, maka kita tidak menetapkan (sentuhan) karena
mustahilnya bersentuhan dengannya..”
Komentar saya :
Dalam perenggan ini, Ibnu Taimiyyah
mulai menampakkan sikapnya dalam hal ini yakni bahwa jika dikatakan Allah
bersentuhan dengan Arsy atau makhluk selain Arsy, maka hal itu tidaklah
mengapa, artinya ia setuju bahwa Allah bisa saja bersentuhan dengan arsy bahkan
dengan makhluk lainnya.
Dalam perenggan berikutnya Ibnu
Taimiyyah membuat ta’lil (alasan/sebab) yakni bahwa tidak mengapa pula Allah
bersentuhan dengan benda najis atau bersentuhan dengan syaitan. Kerana
mensucikan Allah dari bersentuhan dengan benda najis dan syaitan, sesungguhnya
hanya menetapkan wajibnya Allah jauh dari benda najis dan kerana syaitan
terkutuk dan terusir, akan tetapi tidak ditetapkan kerana jauhnya Allah bersentuhan
dengan hal itu.
Ta’lil dari Ibnu Taimiyyah di atas
yakni kenapa Allah mustahil bersentuhan dengan najis dan syaitan alasannya
menurut Ibnu Taimiyyah adalah karena wajib menjauhkan Allah dari benda najis
dan kerana syaitan itu terusir dari Allah, bukan karena alasan tidak mungkinnya
Allah bersentuhan dengan itu semua.
Dengan alasan atau ta’lil yang
dibuat oleh Ibnu Taimiyyah, maka dapat dipahami bahwa Ibnu Taimiyyah setuju
dengan jawaban yang dipaparkannya itu. Artinya Ibnu Taimiyyah juga setuju bahwa
Allah bersentuhan dengan arsy karena hal ini tidak mustahil bagi Allah. Kepastian
ini kita akan semakin yakin dengan kelanjutan ucapan dari Ibnu Taimiyyah
berikut :
وتلك الأدلة
منتفية في مماسته للعرش ونحوه
“ Maka kesemua dalil itu bagi membantah menyentuh arash telah tertolak,
begitu juga dengan apa yang diriwayatkan berkaitan menyentuh adam dan
selainnya..”
Komentar saya :
Terjemahan yang benar adalah “
Dan kesemua dalil itu (yakni wajibnya menjauhkan Allah dari benda najis dan
syaitan yang terkutuk lagi terusir) telah ternafikan (ditiadakan) dalam
persentuhan Allah kepada Arsy dan semisalnya ”.
Artinya dalam persentuhan Allah
dengan arsy dan makluk selain arsy alasan wajib menjauhkan Allah dari najis dan
syaitan yang terkutuk tidaklah digunakan alias alasan seperti itu tidak dapat
diterima. Karena Arsy bukanlah benda najis dan juga bukan makhluk yang terusir,
maka boleh bagi Allah bersentuhan dengan arsy dan makhluk selain arsy.
Kemudian Ibnu Taimiyyah menguatkan pemahaman
ini dengan menyodorkan hadits riwayat Allah menyentuh Adam dan selainnya hadits
:
وتلك الأدلة
منتفية في مماسته للعرش ونحوه كما روي في مس آدم وغيره وهذا جواب جمهور أهل الحديث
وكثير من أهل الكلام وإن لم يلزم من كونه فوق العرش أن يكون مماسًّا أو مباينًا
فقد اندفع السؤال فهذا الجواب هنا قاطع من غير حاجة إلى تغيير القول الصحيح في هذا
المقام
“ Maka kesemua dalil itu bagi
membantah menyentuh arash telah tertolak, begitu juga dengan apa yang
diriwayatkan berkaitan menyentuh adam dan selainnya . Ini merupakan jawapan majoriti ahli hadith dan
kebanyakan dari ahli kalam.Jika keberadaan-Nya diatas arash tidak melazimi salah
satu samada bersentuhan ataupun terpisah maka telah tertolak soalan ini.Maka
jawapan ini adalah kata putus yang tidak memerlukan untuk mengubah perkataan
yang sahih pada kedudukan ini.
.”
Komentar saya :
Terjemahan yang benar adalah :
Maka kesemua dalil itu (yakni wajibnya
menjauhkan Allah dari benda najis dan syaitan yang terkutuk lagi terusir) bagi membantah di dalam menyentuh
arash dan (makhluk) selainnya telah
tertolak, begitu juga dengan apa yang diriwayatkan berkaitan menyentuh adam dan
selainnya. Ini merupakan jawapan majoriti ahli hadith dan kebanyakan dari ahli
kalam.Jika keberadaan-Nya diatas arash tidak melazimi salah satu samada
bersentuhan ataupun terpisah maka telah tertolak soalan ini.Maka jawapan ini
adalah kata putus yang tidak memerlukan untuk mengubah perkataan yang sahih
pada kedudukan ini.
Dari sini sangatlah diketahui bahwa
Ibnu Taimiyyah sangat mendukung pemahaman Allah bersentuhan dengan arsy,
terlebih ia mengklaim bahwa jawaban ini adalah jawaban mayoritas ahli hadits
dan ahli kalam.
Secara logika, jika Ibnu Taimiyyah
menjawab dengan jawaban akhir ini lalu kita katakan bahwa ia tidak memilih
jawaban ini, maka secara otomatis anda akan mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah
bertentangan dengan jawaban mayoritas (majoriti) ahli hadits dan
kalam...pilihan berat tentunya bagi taimiyyin.
Salman Ali mengatakan :
Sesiapa sahaja yang meneliti ucapan-ucapan ini akan mengetahui , tiada
mana-mana pandangan yang dipilih oleh Ibn Taimiyah secara jelas.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari bidasan di atas
1.
Ucapan pertama Ibn Taimiyah yang disebutkan Ibn Taimiyah berkaitan idrak
al-Lams(mencapai sentuhan) adalah pendirian ahli hadith , Ia berdasarkan
beberapa hadith yang sahih. Akan dibahaskan kemudian secara detail
2.
Ucapan kedua dan ketiga Ibn Taimiyah yang dinaqalkan oleh al-Katibi tidak
membawa apa-apa maksud untuk mempertanggungjawabkan Ibn Taimiyah kerana
kesemuanya dalam konteks Ibn Taimiyah menceritakan pandangan orang lain,
bukannya menerangkan pandangan yang dipilihnya. Manakala ucapan pertama
berkaitan dengan idrak al-lams dan bukannya al-lams
3. Ucapan kedua Ibn Taimiyah
yang dinaqal al-Katibi secara ringkasnya menyebut 3 kemungkinan serta membantah
dalil-dalil yang memustahilkan mana-mana satu diantara 3 kemungkinan ini.
4. Persoalannya adalah samada
menjadi kelaziman untuk Allah menyentuh mahkluknya ataupun tidak. Jika itu
menjadi kelaziman, tidaklah mustahil bagi Allah mengharuskan salah satu dari
kezaliman itu. Ini adalah sama seperti kelompok pertama dan ketiga yang
disebutkan oleh al-at-Tabari. Adapun jika menyentuh ataupun terpisah tidaklah
menjadi kelaziman, tertolaklah segala persoalan dalam membahaskan mana-mana
kelaziman.Ini pula merupakan pandangan kedua yang disebut oleh al-At-Tabari.
Saya jawab :
Siapa saja
yang memahami ucapan Ibnu Taimiyyah dan melihat dengan jeli konteks yang
diutarakan oleh ibnu Taimiyyah dengan pandangan netral, maka ia pasti akan
dapat memahami pemahaman dan sikap Ibnu Taimiyyah yang sebenarnya secara jelas
dan terang, bagaikan terangnya matahari di siang hari.
Kesimpulan
dari apa yang diutarakan Ibnu Taimiyyah di atas adalah :
1. Ibnu
Taimiyyah setuju dan sepakat dengan pendapat yang di klaim olehnya sebagai
pendapat mayoritas ahli hadits dan ashab imam Ahmad bahwa Allah boleh disifati
dengan lams. Artinya Allah boleh menyentuh dan boleh disentuh. Dan ini juga
merupakan pemahaman yang dipegang oleh Ibnu Taimiyyah.
2. Kedustaan
Ibnu Taimiyyah di dalam mensibatkan pemahaman itu kepada mayoritas ahli hadits
dan ashab imam Ahmad.
3. Ibnu
Taimiyyah menjawab dengan jawaban pendapat tidak mustahilnya Allah bersentuhan
dengan Arsy dan makhluk selain arsy.
4. kedustaan
Ibnu Taimiyyah yang mengatasnamakan mayoritas ahli hadits dan kalam di dalam
pemahaman bolehnya Allah bersentuhan dengan arsy dan makhluk selain arsy.
5. Pandangan
yang diutarakan dan dijadikan jawaban serta dipegang oleh Ibnu Taimiyyah dalam
bab ini, ternyata sama persis dengan pendapat kelompok ketiga yang meyakini
Allah bersentuhan dengan Arsy sebagaimana keterangan ath-Thabari yang telah
berlalu.
Bersambung
kepada pembahasan lanjutan tentang sikap asy’ariyyah dalam masalah ini dan kedustaan
klaim salman ali terhadap ulama asya’irah serta pembuktian akidah tajsim Ibnu
Taimiyyah. Pembahasan seterusnya mungkin akan panjang kerana saya akan
detailkan pembahasan manhaj dan akidah ath-Thabari, pendapat asy’airah
berkaitan idrakaat, pemahaman Ibnu Taimiyyah, pembuktian tajsim Ibnu Taimiyyah
dan kontradiksinya.
No comments: