Terima kasih atas bantahan balik
dari saudara Salman Ali, walaupun saya sangat sibuk, maka saya sempatkan
membaca dan mengkaji hujjah balasan Salman Ali atas artikel bantahan saya
terdahulu. Banyak juga argumnentasi saya yang tidak dijawab oleh salman ali,
dan saya menemukan beberapa kesilapan salman ali dalam menyimpulkan juga
terburu-buru (tergesa-gesa) menilai kesimpulan dari saya. Maka saya perlu
menjawab balik atas tuduhan dan syubhat yang diutarakan salman ali pada saya.
Bismillah, washsholaatu was salaamu‘alaa
Rasulillah, wa shohbihi ajm’aiin..
Salman Ali mengatakan :
Sebelum membahaskan artikel ini, saya ingin menarik
perhatian pembaca akan kontradiksi yang dilakukan oleh al-Katibi
Sekurang-kurangnya 2 kontradiksi yang boleh saya
simpulkan pada artikel bahagian pertama ini
Kontradiksi 1
al-Katibi berpendirian secara jelas
berpendirian at-Tabari menolak kesahihan riwayat Mujahid
“Imam
ath-Thabari sama sekali tidak mensahihkan atsar atau pendapat Mujahid, justru sebaliknya beliau mentarjih pendapat Mujahid dengan hadits sahih
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan beliau mengatakan bahwa hadits yang
menafsirkan Maqam Mahmud dengan Syafa’at adalah lebih utama untuk dibenarkan
daripada pendapat Mujahid”
Untuk menguatkan penolakan ini, al-Katibi menukil
riwayat dari ulama lain dalam sebahagian
kitab iaitu Al-Asrar al-Marfuu’ah fil Akbaar al-Maudhu’ah, Tahdzir al-Khawwash
min Ahaadits al-Qashshash dan Mu’jam al-Udabaa. Tapi dia sendiri kontradik
kerana pada kesimpulan awalnya, dia mengatakan at-Tabari tidak melemahkan
riwayat Mujahid!! Bahkan bersetuju pula dengan pandangan saya
Kedua
:Ath-Thabari memang tidak mendhaifkan ucapan Mujahid, akan tetapi ia
tidak mengambil ucapan itu melainkan lebih memilih ucapan jumhur ulama yang
mentakwil dengan syafa’at.
Saya tidak tahu apakah dia sedar akan
kesilapannya ataupun telah kembali jatuh dalam kesalahannya.
Kontradiksi 2
Al-Katibi telah mengaku
bahawa perenggan akhir yang tidak diterjemahkan pada artikel sebelumnya merujuk
kepada duduknya Allah bersama Nabi di Arash
“Kemudian
ath-Thabari menjawab orang yang menolak duduknya Nabi bersama Allah, ia
mengatakan bahwa penolakan itu keluar dari ketiga kelompok Islam yang telah
beliau sebutkan sebelumnya”
Malangnya
pada permulaanya, dia tidak sebutkan demikian sebaliknya dia katakan ia hanya
rujuk pada duduknya nabi Arash tanpa membahaskan duduknya Allah
“Dari uslub dan manhaj ath-Thabari, diawal sekali sedang membicarakan
tentang MAQAM MAHMUD (kedudukan terpuji) yang akan diperoleh oleh Nabi kelak di
akherat. Maka pembahasan tentu terfokus pada persoalan Nabi. Walaupun di
tengah-tengah pembahasan imam ath-Thabari sempat membawakan ucapan Mujahid
secara utuh bahwa Allah mendudukkan Nabi di atas Arsy bersama-Nya. Diakhir pun
beliau tetap memfokuskan pada persoalan duduknya Nabi di atas Arsy tanpa
membahas duduknya Allah”
Boleh jadi pada awalnya dia masih berpegang perbahasan itu berkisar pada
isu duduknya nabi di Arash tapi akhirnya terkejut melihat perenggan terakhir
at-Tabari yang jelas menyebutkan duduknya Nabi bersama Allah
Dengan kontradiksi ini, saya pinta kepada pembaca membuka minda
seluas-luasnya melihat kepada hujah-hujah yang akan datang
Jangan terkesima dengan nukilan ulama yang banyak tapi substansi
hujahnya salah dan kontradik.
Saya jawab :
Sering kali kaum salafi memandang hujjah orang lain silap dalam memahami,
padahal sebenarnya merekalah yang tidak memahami uslub dan manhaj seorang ulama
ketika berhujjah seperti ath-Thabari yang kali ini menjadi senjata kaum salafi
dalam menguatkan akidah tajisim yang mereka warisi dari ulama-ulama mujassimah
seperti Ibnu Utsaimin, Ibnu Bazz dan kepala mereka Ibnu Taimiyyah. Khususnya
masalah Ibnu Taimiyyah ini, salafi dibuat bingung dengan hujjah-hujjah yang
ditulis Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya yang secara zahir dan jelas saling
kontradiksi. Saya memang sengaja mengarahkan mereka supaya mengetahui adanya
kontradiksi ekstrem dalam ucapan-ucapan Ibnu Taimiyyah khususnya dalam masalah
akidah ini.
Saudara salman Ali mengira saya kontradiksi dalam berpendirian terkait
komentar saya atas hujjah ath-Thabari. Saya akan cuba jelaskan lebih panjang
lagi agar mudah dipahami oleh salman ali. Dia mengira saya di awal mengatakan
ath-Thabari mendhaifkan atasar Mujahid dan kemudian saya mngatakan ath-Thabari
mensahikan astar Mujahid, baiklah saya cuba terangkan lebih detail :
Saya katakan : Yang tidak disahihkan oleh ath-Thabari adalah riwayat
Mujahid yang menceritakan duduknya Nabi bersama Allah di atas Arsy (nash
lengkap). Dan lebih mensahihkan riwayat Abu Hurairah yang mentafsirkan maqam
mahmud dengan syafa’at.
Adapun yang disahihkan dan dibenarkan oleh ath-Thabari adalah ketidak
mustahilan duduknya Nabi di atas Arsy dalam redaksi Mujahid tersebut. Dua pembahasan
berbeda yang sedang disinggung oleh beliau.
Pentarjihan beliau adalah sebagai bukti bahwa beliau lebih mengambil hadits
sahih tentang syafa’at daripada pendapat Mujahid. Dan yang disahihkan oleh
ath-Thabari bukanlah pendapat Mujahid secara keseluruhan melainkan pendapat
Mujahid yang menyinggung duduknya Nabi Muhammad di atas Arsy. Adapun berkaitan
duduknya Nabi bersama Allah, maka sama sekali ath-Thabari tidak mensharihkan
(menentukan) sikap dan pendapatnya. Beliau hanya memberikan gambaran jawaban
saja dan menyerahkan sikap kepada pembacanya.
Namun jika kita mau melihat prinsip dan sikap ath-Thabari dalam masalah
mutaysabihat atau ayat shifat, maka beliau terkadang mentakwilnya dan terkadang
mentafwidhnya sebagaimana banyak kita temui dalam kitab tafsirnya. Ini
menunjukkan bahwa sikap atau akidah beliau dalam masalah ini sama dengan sikap
dan akidah asy’ariyyah yang selama ini dipegang oleh mayoritas umat muslim.
Khususnya dalam masalah ISTIWA, ath-Thabari berpendirian sama dengan pendirian
/ sikap asy’ariyya selama ini yang memahami ISTIWA dengan istiwa yang layak
bagi kegaungan Allah, bukan istiwa secara jismiyyah (hissiyyah) yang diyakini
oleh kaum mujassimah.
Maka demikian pula sikap beliau ketika mengomentari duduknya Allah di atas
Arys, maka beliau sudah pasti akan konsisten dengan sikapnya yang memahami
bahwa Allah tidak bersentuhan dengan Arsy dan juga tidak mubayin sebagaimana
pemahaman yang dipegang oleh kaum asy’ariyyah. Ini juga membuktikan bahwa
akidah asy’ariyyah juga sama dengan akidah para salaf shalih seperti imam
Syafi’i, ath-Thahawi, ath-Thabari, Abul Hasan dan ulama besar lainnya.
Lafazd DUDUK (قعد) tidak pernah disebutkan dalam
al-Quran maupun hadits sahih, sehingga para ulama ahlus sunnah tidak berani dan
tidak akan mau menetapkan lafadz duduk di atas Arsy. Yang disebutkan hanyalah
lafadz ISTIWA yang sangat tidak bisa ditentukan maknanya yang begitu banyak
(mutasyabih) terutama bagi keagungan Allah Ta’ala.
Maka tak heran jika di lain sisi, ath-Thabari menolak atsar JULUS bahkan
menolak pula duduknya Nabi di atas Arsy. Sebagaimana disebutkan berikut ini :
وفي
بعض المجامع أن قاصا جلس ببغداد فروى في تفسير قوله تعالى { عسى أن يبعثك ربك
مقاما محمودا } أنه يجلسه معه على عرشه فبلغ ذلك الإمام محمد بن جرير الطبري فاحتد
من ذلك وبالغ في إنكاره وكتب على باب داره سبحان من ليس له أنيس ولا له في عرشه
جليس فثارت عليه عوام بغداد ورجموا بيته بالحجارة حتى انسد بابه بالحجارة وعلت
عليه
“ Di sebagian perkumpulan,
sesungguhnya ada seorang pencerita duduk bermajlis di Baghdad, lalu ia
membawakan riwayat tafsir ayat “ Semoga Tuhanmu membangkitkanmu dengan
kedudukan yang terpuji “, sesungguhnya Allah akan mendudukkan Nabi bersamaNya
di atas Arsy-Nya. Maka kabar ini sampai didengar oleh imam ath-Thabari sangat
marah dari hal itu dan sangat mengingkarinya, maka beliau menulis di pintu
rumahnya : “ Maha Suci Dzat yang tidak memiliki
teman dekat (anis) dan tidak memiliki teman duduk di atas Arsy-Nya “. Maka
kaum awam Baghdad terprofokasi dan melempari beliau dengan batu hingga pintu
rumahnya penuh dengan batu yang menutupinya “.[1]
Kisah ini sangatlah masyhur di kalangan ulama sejarah, bahkan tak ada satu
pun ulama yang melemahkan kisah ini, semua mengakui dan menerima adanya kisah
ini. Melemahkan kisah ini, sama saja merendahkan para ulama yang menukilnya.
Melihat fakta ini, maka jelas lah bahwa imam ath-Thabari sama sekali tidak
mensahihkan atsar Mujahid dalam pentarjihannya dan lebih memilih hadits sahih
tentang syafa’at. Adapun berkenaan duduknya Nabi di atas Arsy, maka beliau
membenarkan terjadinya hal ini (tidak
mustahil terjadi). Duduknya Nabi di atas Arsy, sangatlah tidak mustahl baik dai
segi khobar maupun pendapat kelompok umat Islam. Oleh karenanya beliau
mengatakan :
لا من جهة خبر ولا
نظر وذلك لأنه لا خبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا عن أحد من أصحابه، ولا
عن التابعين بإحالة ذلك
“...tidak
dari segi khobar maupun pendapat, “ Yang demikian itu (tidak boleh ditolak)
karena tidak ada hadits dari Rasulullah, dari seorang pun sahabat maupun
tabi’in yang memustahilkan hal tersebut “.
Coba
renungkanlah, seandainya beliau ikut mensertakan pembahasan duduknya Allah
bersama Nabi, tidak mungkin beliau beralasan dengan kemustahilan, sebab secara
dharuri kita akan mengakui bahwa tidak ada yang mustahil dari apa yang Allah
perbuat. Ini menunjukkan bahwa penta’lilan itu terfokus pada perkara duduknya
Nabi di atas Arsy saja.
Adapun
diperenggan akhir, maka saya sama sekali tidak terkejut. Justru hal itu semakin
menunjukkan bahwa pembahasan sebelumnya sedang membicarakan duduknya Nabi di
atas Arsy saja. Perenggan akhir ini (فإن قال قائل : فإنا لا ننكر
إقعاد الله محمدا على عرشه ، وإنما ننكر إقعاده . ) ath-Thabari sedang membahas duduknya Allah di atas Arsy bersama Nabi.
Oleh karenanya beliau tidak mengikut sertakan pembahasan ini dengan pembahasan
duduknya Nabi di atas Arsy pada pembahasan sebelumnya.
Arti huruf fa’
jika kita mau tafsirkan adalah : “ Jika kalian tidak mengingkari duduknya Nabi
di atas Arsy dari segi khobar maupun semua pendapat, tapi kalian berkata bahwa
kalian mengingkari duduknya Allah di atas Arsy, Maka jawabannya adalah.....”.
Kemudian beliau
memerinci jawabannya : Jika menjawab Allah mendudukkan Nabi bersama-Nya, maka
jawaban ath-Thabari adalah mengambil salah satu dari pendapat kelompok pertama
(Allah mubaayin dari atas Arsy) ata memilih pendapat kelompok kedua (yaitu
Allah tidak mumaasin dan tidak mubaayin). Artinya beliau menjawab bahwa duduknya
Allah bermakna Allah mubayin dari arsy-Nya atau Allah tetap sebagaimana
wujudnya sebelum menciptakan Arsy, yaitu tidak mumaasin dan juga tidak
mubaayin. Sedangkan kelimpok kedua ini, adalah pemahaman yang selama ini
diyakini oleh kaum asy’ariyyah sejak dahulu hingga saat ini.
Jika sedikit
mau merenungi hal ini, nyatalah bahwa tidak ada yang kontradiksi sama sekali
dalam ucapan saya di atas, hanya saja kaum salafi memang sudah menjadi tabiat
mereka lemah di dalam memahami redaksi ulama terlebih redaksi ayat ataupun
hadits.
Kesimpulannya, ath-Thabari memang melemahkan atsar Mujahid dari sisi yang lainnya dengan adanya pentarjihan dan mensahihkan serta membenarkan atsar Mujahid dari sisi lainnya pula dari sisi ketidak mustahilan duduknya Nabi di atas Arsy.
Salman Ali mengatakan :
a) Pada awalnya hanya ada dua pandangan saja
yang disebutkan oleh at-Tabari iaitu pandangan berkaitan syafaat dan
pandangan berkaitan Allah mendudukkan nabi bersama-NYA. Tidak ada pandangan
ketiga berkaitan duduknya nabi di arash
b) Tidak ada pandangan at-Tabari pada
awalnya berkaitan dengan duduknya nabi di Arash. Jika kita percaya at-Tabari
mengubah subjek perbahasannya, maka itu memerlukan qarinah (petunjuk) yang kuat
c) Pernyataan ‘Allah mendudukkan nabi di
ArashNYa’ adalah ringkasan kepada pernyataan ‘Allah mendudukan nabi di Arash
bersamaNYa’. Ini dipanggil ikhtisar (ringkasan).Hujah ini tidak disinggung
dalam mana-mana tulisan ustaz al-Katibi
d) at-Tabari tidak menyebutkan redaksi
‘bersamaNYa’ bukanlah bermaksud dia sedang membicarakan konteks yang berbeza.
e) Kenyataan selepasnya oleh at-Tabari tidak
membincangkan duduknya nabi di arash sahaja sebaliknya membincangkan istiwa
Allah di arash.
f) Perenggan akhir yang jelas merujuk kepada
perbahasan Allah mendudukkan nabi bersamaNYA. Perenggan ini tidak diterjemah
oleh al-Katibi
Saya Jawab :
a) Memang ada dua pembahasan yaitu
berkenaan syafaat dan duduknya Nabi di atas Arsy. Karena di sini fokus sedang
membicarakan keutamaan Nabi. Walaupun di
akhir menjadi lebar pembahasannya tentang duduknya Allah di atas Arsy.
b) qarinah terkuat dan terbesar adalah cara
memahaminya sesuai dengan uslub nahwiyyah yang tampak jelas dalam ucapan ath-Thabari
berkenaan pembahasan dan qarinah akhir pada perenggan akhir di mana beliau
mulai membahas duduknya Allah di atas Arsy.
d) selepasnya memang beliau mulai
menyinggung duduknya Allah di atas Arsy, dan ini juga justru merupakan qarinah terkuat bahwa pembahasan
awal dan akhir berbeda.
e) ya benar, akhirnya anda mengakui bahwa
di perenggan akhir imam ath-thabari sedang menyinggung pembahasan ISTIWA Allah
yang jawabannya di pilih oleh ath-Thabari menggunakan pendapat kelompok pertama
dan kedua, dan membuang pendapat kelompok ketiga yaitu pendapat mujassimah yang
meyakini Allah mumaasin dan mubayin di Arsy sebagaimana pendapat kaum wahabi
dan Ibnu Tiamiyyah seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya.
f) perenggan akhir justru membahas topik
lain yaitu tentang duduknya Allah di atas Arsy artinya pembahasan tentang
Istiwa Allah di atas Arsy, menurut ath-Thabari jika menggabungkan pembhasan
pertama dengan pembahasan kedua ini, maka duduknya Nabi di atas Arsy pun tidak
mustahil sebab Allah tetap tidak mumasin dengan Arsy.
Salman Ali mengatakan :
Sudah dijelaskan riwayat yang dibahaskan
oleh Mujahid jelas menyebutkan redaksi ‘‘Allah mendudukan nabi di Arash
bersamaNYa’
Cuma saja ulama yang menukil kembali riwayat
ini melakukan ikhtisar (ringkasan).Hujah
ini dikuatkan dengan melihat kepada teks ulama yang membantah kesahihan riwayat
Mujahid. Rujuk saja kepada bantahan Syeikh al-Albani yang dinukil oleh
al-Katibi sendiri
Persoalan kepada al-Katibi, apakah syeikh al-Albani
sedang merujuk kepada riwayat lain atau riwayat Mujahid??? Perhatikan, walaupun
riwayat Mujahid menyebutkan ‘duduk bersamaNya’, syeikh al-Albani tetap
menukilkan sebagai ‘Duduknya di atas Arsy”
Bahkan Ibnu Taimiyah sendiri juga melakukan demikian.
Perhatikan bagaimana Ibnu
Taimiyah menyebutkan secara ringkas padahal sebelumnya dia menyebutkan secara
penuh. Jadi jelas dan nyata, samada ulama yang menerima dan menolak riwayat
tersebut, merujuk kepada riwayat Mujahid yang sama iaitu ‘Allah mendudukkan
nabi di arash bersama-Nya’. Hanya kerana ketika menukil mereka sebutkan
‘duduknya nabi Arash’ bukanlah bermaksud itu merujuk pada riwayat yang lain
atau perbahasan yang lain!!
Jadi kenapa al-Katibi
menerima al-Albani dan Ibnu Taimiyah merujuk pada teks ‘Allah mendudukan nabi
di arashnya’ tapi tidak kita menganggap perkara yang sama pada at-Tabari???
Selebihnya akan saya jelaskan
pada artikel kedua dan akan saya ajukan soalan
menarik kepada al-Katibi nanti.
Al-Katibi kemudiannya membawakan dua hujah ‘baru’
dalam bab ini yang akan saya sanggah satu persatu
Saya jawab :
Memahami ucapan Ibnu Taimiyyah saja masih
kebingungan, apalagi mehamai ucapan para ulama asy’ariyyah yang sangat jauh
berbeda dengan Ibnu Tiamiyyah.
Redaksi yang ada dalam ucapan Ibnu
Taimiyyah itu ada dua konsep : pertama konsep dari pemahaman Ibnu Tiamiyyah dan
konsep penukilannya. Konsep pertama merupakan konsep pemahaman dan penyimpulan
Ibnu Taimiyyah sendiri bukan konsep para ulama maupun ath-Thabari. Yakni dalam
konsep pertama (إذَا تَبَيَّنَ هَذَا فَقَدْ
حَدَثَ الْعُلَمَاءُ الْمَرْضِيُّونَ وَأَوْلِيَاؤُهُ الْمَقْبُولُونَ : أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجْلِسُهُ رَبُّهُ
عَلَى الْعَرْشِ مَعَهُ . رَوَى ذَلِكَ مُحَمَّدُ بْنُ فَضِيلٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ
مُجَاهِدٍ ؛ فِي تَفْسِيرِ : { عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
} وَذَكَرَ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ أُخْرَى مَرْفُوعَةٍ وَغَيْرِ مَرْفُوعَةٍ قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ)
maka Ibnu Taimiyyah sedang membuat kesimpulan menurut klaimnya bahwa para ulama
yang diridhoi dan wali yang diterima membicarakan hadits duduknya Allah bersama
Nabi di atas Arsy. Ini keyakinan yang
dipegang oleh Ibnu Tiamiyyah.
Adapun konsep kedua, adalah penukilan Ibnu
Taimiyyah yang menukil kalam Ibnu Jarir
walaupun sedikit ada kecurangan dari Ibnu Taimiyyah dalam menukilnya.
Dalam penukilan Ibnu Taimiyyah, seolah
ucapan Ibnu Jarir setuju dengan ucapan Mujahid yang mengatakan duduknya Allah
dengan Nabi di atas Arsy dan tidak bertentangan dengan pendapat maqam mahmud
adalah syafa’at. Padahal setelah
diteliti dan dikaji ternyata Ibnu Jarir lebih memilih pendapat maqam mahmud
adalah syafa’at dan mentarjihnya. Artinya ia melemahkan pendapat Mujahid dalam
sisi yang lainnya, adapun sisi pendapat Mujahid tentang duduknya Nabi di atas
Arsy, maka ath-Thabari mengatakan hal itu tidaklah mustahil.
Salman Ali mengatakan :
Pernyataan al-Katibi ini akan dibungkam dari
dua sudut iaitu kemustahilan dan kemuliaan nabi. Al-Katibi sendiri menyakini Allah tidak ada yang mustahil bagi Allah.
Bahkan al-Katibi mengakui al-asyairah boleh menyakini lebih dari itu meskipun
tidak menetapkannya!!
Dengan itu, apa yang
mustahil untuk menerima Allah mendudukkan nabi di arash bersamaNYA sedangkan
tidak ada apa yang mustahil bagiNYA??Kebersamaan
Allah sama sekali tidak sama seperti makhluk dan tidak diumpamakan.
Dari sudut aqal pula,
mendudukkan nabi bersama Allah adalah lebih mustahil berbanding mendudukkan
nabi di arash berseorangan, oleh sebab al-asyairah boleh menerima lebih dari
itu, tak salah mereka menerimanya.
Adapun saya berpendapat
at-Tabari telah menafikan bahawa nabi didudukkan Allah bersamaNYA merupakan
sesuatu yang mustahil sebagaimana tidak mustahil bagi Allah mendudukkan Nabi
diatas Arash.
Kedua, jika hujah tidak mustahil itu
berkenaan dengan duduknya nabi di arash, kenapa al-Katibi sendiri menukil
ulama-ulama yang menolaknya dari sudut matan?? Al-Katibi tahu hakikat ini
dan cuba menjawab persoalan ini. Malangnya tidak dijawab sebaliknya,tiba-tiba
pula dikaitkan dengan isu jahmiyyah (akan dibahaskan dalam artikel kedua)
Saya jawab :
Ketidak mustahilan Nabi yang lebih dari itu
adalah ketidak mustahilan yang tidak berkaitan dengan sifat Allah sekiranya
dapat mengurangi sifat kelayakan dan kesempurnaan Allah. Jika seandainya Allah
duduk bersama Nabi sebagaimana sifat makhluk-Nya (seperti pemahaman wahabi
Mujassimah ), maka hal ini sungguh disucikan dari Allah. Dan hal ini ini
sungguh ditolak oleh ath-Tthabari sendiri sebagaimana nanti akan saya jelaskan.
Maka secara akal sehat dan naql pemahaman
duduknya Allah sebagaimana duduknya makhkuk seperti bersentuhan dan bertempat,
sangatlah dijauhkan dari sifat-sifat Allah. Rupanya wahabi dan Salman Ali menyamakan Allah
dan makhluk, sehingga sifat Allah dan makhluk tidak berbeda dalam pandangan
Salman Ali dan kaum wahabi lainnya. Naudzu billahi, itulah koensekuensi dari
pemahaman Salman Ali, samaada disadari atau tidak.
Berkaitan matan-matan penolakn yang saya
sebutkan, lagi-lagi kurang cermat dipahami salman ali. Saya akan detailkan
penjelasannya nanti.
Salman Ali mengatakan :
Apakah al-Katibi tidak mampu menjawab sebaliknya
memutar pula isu jahmiyyah?
Ini
sekaligus membatalkan dakwaan al-Katibi kemustahilan itu merujuk pada nabi
duduk di arash dan tidak pada duduknya nabi di Arash bersama Allah.
Logik yang lebih sihat dan waras menerima adalah lebih
mustahil bagi nabi untuk duduk bersama Allah di arash hingga memerlukan
penafian oleh at-Tabari. Bukti kemustahilan itu terserlah bila ada ulama yang
menolak matan riwayat Mujahid
Dan jika alasan tidak ada yang mustahil bagi Allah,
sudah tentu mendudukkan nabi bersamanya juga tidak mustahil bagi Allah.
Dari
sudut kemuliaan pula, sudah tentulah duduknya nabi bersama Allah lebih mulia
berbanding hanya duduk berseorangan!!
Saya jawab :
Penolakan para ulama terhadap atsar Mujahid
adalah bekenaan pemahaman duduknya Allah, bukan duduknya Nabi sebagaimana telah
saya jelaskan di awal artikel (namun sulit dipahami Salman Ali). Terbukti tak
ada satupun ulama asy’ariyyah yang mengingkari duduknya Nabi di atas Arsy,
namun mereka tidak berani menetapkannya maupun menafikannya disebabkan tidak
adanya nash shahih tentang ini. Adapun duduknya Allah di atas Arsy sebagaimana
pemahaman kaum mujassimah dan Ibnu Taimiyyah yang duduknya Allah dengan adanya
mumasah dan mubayanah, maka hal ini ditolak oleh kaum asy’ariyyah dan kaum
mujassimah yang menafikan lawazim jismiyyah seprti az-Zhaghuni dan Abul Ya’la. Inilah
pemahaman ulama yang menolaknya bukan sebagaimana pemahaman kaum mujassimah.
Adapun jika menghubungkan atsar ini dengan
persoalan Istiwa Allah, maka hal ini ulama memahaminya sebagaimana pemahaman
yang selama ini dipahami oleh kaum asy’ariyyah. Jika memahami ucapan ini dengan
Istiwa yang dipahami kaum asy’ariyyah yakni tanpa mumasin, maka jelas yang
menolaknya disebut atau dicurigai berpaham jahmiyyah. Sebab kaum jahmiyyah
menolak Istiwa Allah di atas Arsy-Nya.
Mungkinkah para ulama besar ahlis sunnah
saling menuding dan memvonis jahmiyyah,
saling menyesatkan dan saling menyalahkan ?? maka solusi terbaik adalah
mengihtimalkan persoalan yang masing-masing memiliki tempatnya. Bukan mengadu
dan membenturkan pendapat para ulama besar ahlus sunnah. Dan hal ini pun sesuai fakta dengan qarinah
yang ada.
Jika menuruti pemahaman Salman Ali dan kaum
wahabi lainnya, maka secara langsung atu pun tidak, mereka setuju dan menuduh
bahwa ulama yang menentangnya seperti al-Wahidi, Fathur Razi, adz-Dzahabi,
Ibnul Mmu’allim al-Qurasyi, as-Suyuthi, Albani, bahkan ath-Thabari sendiri
sebagai jahmiyyah. Inikah sikap Ahlus sunnah ???
Salman Ali mengatakan :
Hujah ini sebenarnya hujah
yang membantu saya dan saya tidak perlukan rujukan kitab nahu untuk
menjawabnya. Oleh kerana duduknya nabi bersama Allah sesuatu yang mustahil,
maka penjelasan (bayan) lebih diperlukan berbanding hanya duduknya nabi di
arash.
Inilah lebih tepat dan
sesuai dengan konteks. Jika penjelasan hanya pada duduknya nabi sahaja maka
ternyata telah cacat konteksnya sama sekali. Lebih-lebih lagi al-Katibi sendiri
beranggapan duduknya nabi di Arash tidak mustahil. Kenapa perkara yang kurang
mustahil memerlukan lebih penjelasan berbanding perkara yang lebih mustahil???
Saya jawab :
Seandainya ath-Thabari juga menyinggung
duduknya Allah, maka tidak perlu adanya MIN sebagai BAYAN dalam kalam beliau.
Sebab MIN berfungsi sebagai pemfokus dari topik kalam yang diperbincangkan. Hal
ini sudah ma’ruf di kalangan nahwiyyin. Ketidak mustahilan dalam kalam
ath-Thabari berkaitan erat dengan duduknya Nabi, oleh sebab itu kalimat setelah
MIN hanya menampilkan duduknya Nabi di ats Arsy, menunjukkan fokus pembicaraan
ath-Thabari adalah tentang hal ini bukan tentang duduknya Allah. Maka MIN dalam
ucapan beliau tersebut merupakan BAYAN untuk lebih memfokuskan masalah
tersebut. Ini lebih logik dan sesuai funsgi MIN ketimbang alasan yang dibangun
salman Ali di atas.
Salman Ali mengatakan :
Sudah tentu saya akan menjadi kaget sekiranya riwayat-riwayat ini sahih sanadnya. Malangnya tidak kelihatan apa-apa sanadnya disini. Lalu bagaimana hendak diutamakan riwayat-riwayat ini dengan riwayat dari kitab at-Tabari sendiri?? Bagaimana satu khabar yang tidak bersambung sanadnya dijadikan hujah melampaui tulisannya sendiri?
Hanya kerana ia disebutkan dalam kitab-kitab ulama, bukan beerti ia mesti sahih!! Selagi tidak dipaparkan sanad yang lengkap, maka ia tidak menjadi hujah. Kalau anda boleh bawakan kisah bersanad serta dibuktikan kesemua rawinya adalah tsiqah sekalipun, maka penglibatan al-Tabari dalam kisah ini akan menjadi sesuatu yang munkar sebab bercanggah dengan tulisan al-Tabari sendiri yang diterima ummah, jadi bagaimana pula jika kisah itu tiada sanad.
Manakala kronologi yang
disebutkan Ibnu Kathir jelas menunjukkan sekumpulan ulama hanabilah menyakini
riwayat Mujahid sekaligus membuktikan hujah saya bahawa ada sekumpulan ulama
memang menyakini keshahihan riwayat tersebut. Dan dalam teks tersebut tidak
disebutkan at-Tabari
Saya Jawab :
Sanad yang tidak disebutkan oleh para ulama
yang membawakan kisah ath-Thabari tersebut, bukan lantas menjatuhkan hujjah
tersebut dan mendhaifkan kisah tersebut. Ini alasan yang mengada-ngada. jIka Salman Ali mengatakan bahwa tak ada satu
pun ulama salaf menolak atsar Mujahid hanya karena diterima dan dibawakan para
ulama (talaqatthu bilqabuul) walaupun sanadnya dhaif, maka kenapa menolak kisah
ath-Thabari yang juga diterima dan dibawakan oleh para ulama ??
Penerimaan banyak para ulama khususnya
ulama ahli sejarah terhadap kisah pilu ath-Thabari tersebut berkenaan
penolakannya tentang hadits julus dalam kitab-kitab mereka, merupakan bukti
adanya kisah tersebut.
Yaqut al-Hamawi menyebutkan kisah itu dalam
kitab tarikhnya Mu’jam al-Udaba : 6/2450. Ibnu Atsir menyebutkannya dalam
kitabnya al-Kamil, as-Subuki menyebutkannya di ath-Thabaqat, Ibnu Katsir
menyebutkannya di kitab Tarikhnya Al-Bidayah : 11/146, as-Suyuthi menyebutkan
di Tahdzir al-Khawwash min Ahaadits al-Qashshash : 1/161 dan lainnya. Semua
ulama tak ada satupun yang mengatakan kisah ini dhoif namun isyarah menunjukkan
adanya kisah ini fakta karena kisah ini begitu terkenal dan masyhur.
Dan hujjah ath-Thabari dalam kisah itu yang
mengatakan :
وأما
حديث الجلوس على العرش فمحال، ثم أنشد: سبحان من ليس له أنيس, ولا له في عرشه جليس
“ Adapun hadits julus (duduk) di atas Arsy, maka itu
adalah mustahil, kemudian beliau menyennadungkan syair : “ Maha Suci Dzat yang
tidak memiliki teman dekat dan tidak memiliki teman duduk di atas Arsy-Nya “
Jelas menunjukkan keyakinan ath-Thabari
yang bertentangan dengan kaum hanabilah yang mujassimah. Karena dalam konteks
ini, ath-Thabari menolak pemahaman yang selama ini dipegang oleh hanabilah yang
mujassimah bahwa Allah bersentuhan dengan Arsy sebagaimana pemahaman Ibnu
Taimiyyah dalam beberapa redaksinya. Dan semakin membuktikan akidah tanzih
beliau dalam penjelasan dalam kitab
tafsir beliau tentang maqam Mahmud tersebut sebelumnya. Artinya sikpa pilihan
beliau yang dipaparkan dalam kitab tafsirnya itu berkenaan maqam mahmud adalah
sebagaimana sikap ulama sunnah yaitu tanzihullah anil jihah, makan dan
jismiyyah. Dan inilah pemahaman yang dipegang oleh pemahaman asy’ariyyah yang
merupakan mayoritas umat muslim selama ini. Dengan ini semakin jelas bahwa akidah
ath-thabari jauh berbeda dengan akidah Ibnu Taimiyyah.
Salman Ali mengatakan :
Sebelum saya mengulas lanjut , ingin saya menarik perhatian al-Katibi
sedikit, anda tidak perlu segan silu menisbahkan pendapat ini kepada Ibn
Taimiyah sebagaimana anda nisbahkan pendapat kedua kepada al-asy’ariyah kerana
teks Ibn Taimiyah jelas menunjukkan yang beliau berpegang dengan pendapat ini.
Buktinya adalah kritikan
Ibn Taimiyah kepada jahmiyah. Kata Ibn Taimiyah:
وَإِذَا
أَرَدْت أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ الجهمي كَاذِبٌ عَلَى اللَّهِ حِينَ زَعَمَ أَنَّهُ
فِي كُلِّ مَكَانٍ وَلَا يَكُونُ فِي مَكَانٍ دُونَ مَكَانٍ فَقُلْ لَهُ :
أَلَيْسَ اللَّهُ كَانَ وَلَا شَيْءَ ؟ فَيَقُولُ : نَعَمْ . فَقُلْ لَهُ : حِينَ
خَلَقَ الشَّيْءَ خَلَقَهُ فِي نَفْسِهِ أَوْ خَارِجًا عَنْ نَفْسِهِ ؟ فَإِنَّهُ
يَصِيرُ إلَى " ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ " : وَاحِدٌ مِنْهَا : إنْ زَعَمَ
أَنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ فِي نَفْسِهِ قَدْ كَفَرَ حِينَ زَعَمَ أَنَّهُ
خَلَقَ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ وَالشَّيَاطِينَ فِي نَفْسِهِ . وَإِنْ قَالَ :
خَلَقَهُمْ خَارِجًا مِنْ نَفْسِهِ ثُمَّ دَخَلَ فِيهِمْ : كَانَ هَذَا أَيْضًا
كُفْرًا حِينَ زَعَمَ أَنَّهُ دَخَلَ فِي مَكَانٍ رِجْسٍ وَقَذِرٍ رَدِيءٍ .
وَإِنْ قَالَ : خَلَقَهُمْ خَارِجًا عَنْ نَفْسِهِ ثُمَّ لَمْ يَدْخُلْ فِيهِمْ
رَجَعَ عَنْ قَوْلِهِ أَجْمَعَ وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ السُّنَّة[1]ِ
Jika
kamu ingin ketahui habawa Jahmi berdusta keatas Allah apabila apabila berkata Dia
berada dimana-mana bukannya di suatu tempat bukan ditempat lain, maka
katakanlah kepadanya: Bukankah Allah wujud sedangkan tiada sesuatupun
selainnya?. Dia akan katakan: benar. Maka katakanlah kepadanya: Apabila Allah
menciptakan sesuatu , Dia menciptakan itu didalam dzat-Nya atau diluar
dari-Nya. Maka dia akan pasti berralih kepada (salah satu dari)tiga pendapat.
Jika dia katakan: Allah menciptakan makhluk didalam dzat-Nnya maka dia telah
kafir apabila berkata bahawa Allah telah menciptakan jin, manusia dan syaitan
dalam dzat-Nya. Jika dia katakan Allah menciptakan mereka diluar dzat-Nya
kemudian Dian masuk kepadam mereka. Ini juga merupakan kufur apabila dia
mendakwa Allah amsuk kedalam tempat yang kotor dan buruk. Jika dia katakan:
Allah menciptakan mereka diluar dzat-Nya kemudia Dia tidak masuk kedalamnya ,
maka dia telah kembali meninggalkan perkataannya( yang berupa Allah berada
dimana-mana). Dan ini juga merupakan qaul Ahli Sunnah (yakni Allah menciptakan
makhluk diluar dzat-Nya dan tidak masuk kedalam makhluk-Nya
Dalam perenggan
seterusnya, Ibn Taimiyah menguatkan pendapat ini dengan sandaran dari Imam
Ahmad dan selainnya
Nukilan Abu Ya’ala
sekaligus membuktikan perbahasannya berkenaan duduknya nabi Muhammad bersama
Allah di arash. Takwilan Abu Ya’ala tidak mengubah argument ini sebaliknya
menguatkannya dimana dekatnya nabi dengan Dzat Allah s.w.t
Lihat pada teks tersebut
“ Mendudukan Nabi di atas
Arsynya bermakna mendekatkan Nabi dari Dzat-Nya
Dan perbahasan kelompok
pertama jelas mengaitkan Allah s.w.t dan bukannya berkenaan duduknya nabi
semata-mata. Saya tak perlu memanjangkannya, cukup saja saya bawakan
pernyataan al-Katibi sendiri
“Ath-Thabari menampilkan pendapat pertama yang memiliki keyakinan bahwa
Allah juga memiliki had dan bainunah, akan tetapi kelompok ini terlepas dari
lawazim jismiyyah (sifat-sifat lazim jasad)”
Jelas lagi bersuluh ia
berkaitan dengan Allah bersama nabinya yang duduk di Arash. Cuma saja at-Tabari
membahaskan Allah tidak bersentuhan dengan makhluk dan terpisah sekaligus tidak
memustahilkan duduknya nabi di Arash.
Saya jawab :
Apa hubungannya salman Ali membawakan ucapan Ibnu Taimiyyah tentang jahmiyyah
itu ?? mungkin dia ingin membuktkan kesesuaian pendapat pertama dengan pendapat
Ibnu Taimiyyah dengan cara menampilkan komentar Ibnu Taimiyyah terhadap
jahmiyyah. Tapi sungguh jauh api dari kompornya, karena kalam Ibnu Taimiyyah di
atas sama sekali tidak membuktikan hal itu.
Justru sebaliknya, dibanyak tempat
terdapat kalam-kalam Ibnu Taimiyyah yang menetapkan lawazim jismiyyah dan
condong terhadp akidah tajsim sebagaimana akan saya jelaskan nanti. Yang
semakin membuktikan kesesuaian pendapat ketiga dengan pendapat Ibnu Taimiyyah.
Salman Ali mengatakan :
At-Tabari
menyatakan Allah tidak bain dan tidak mumaasin (bersentuhan),
tetap tidak memustahilkan terjadinya duduknya Nabi di atas Arsy. Dan Dzat Allah
tetap sebagaimana sedia kala. Ini sekali lagi menjadi bukti perbahasan
at-Tabari berkisarkan duduknya nabi bersama Allah di Arash-Nya.
Kalau
sekadar mendudukkan Nabi diatas Arash semata, tidak perlu dibahaskan tentang
dzat Allah kerana samada antara Rasulullah S.A.W dan Arash , kedua-duanya
makhluk , maka apa tujuannya menceritakan dzat Allah dalam konteks hubunagn
antara dua makhluk ini. Tidak lain lagi , yang cuba dijustifikasikan oleh
al-Tabari disini adalah Allah mendudukkan Muhammad disisi-Nya diatas Arash ,
maka mengikut kelompok kedua Allah mendudukkan Muhammad diatas disisi-Nya
Arash adalah dengan cara Allah tidak bersentuhan serta tidak berpisah dari Muhammad
dan juga Arash. Tidak berubah Allah sepertimana sebelum penciptaan.
Al-Katibi
sendiri mengakui secara tidak langsung dan menisbatkan itu kepada pandangan
asyairah.
Saya jawab :
Sebenarnya mudah sekali memahami konteks
kalam yang diutarakan ath-Thabari, namun begitu sulitnya salman Ali
memahaminya. Sekali lagi saya katakan bahwa ath-Thabari sedang membuktikan
ketidak mustahilan Nabi duduk di atas Arsy dari sudut pendapat beberapa
kelompok umat Islam.
Artinya pendapat siapapun dari semua
pemahaman kelompok umat Islam, tetap tidak bisa dikatakan mustahil duduknya
Nabi di atas Arsy, walaupun ada pendapat Allah mubayin atau tidak mumasin dan
tidak mubayin dengan arsy.
Maka dari sudut semua pemahaman kelompok
Islam tentang Dzat Allah dalam ber-ISTIWA, tidaklah mustahil terjadinya
duduknya Nabi di atas Arsy. Yang mustahil adalah duduknya Allah di atas Arsy
dengan besentuhan dengan Arsy, sebab Allah mustahil disifati dengan sifat-sifat
jismiyyah speerti makhluk-Nya. Dan
ath-Thabari pun menolak pemahaman ini dalam kisah pilunya nya bersama Hanabilah
yang mujassimah, di saat ath-Thabari
menolak duduknya Allah di atas Arsy. Bahkan ath-Thabari pun memaknai sifat tinggi
Allah dengan sifat Tinggi yang bukan jismiyyah, sayangnya Salman Ali
menyembunyikan kalam ath-Thabari ini. Sebagaimana akan saya paparkan nanti...
Salman Ali mengatakan :
Setelah
menyebutkan ketiga-tiga pandangan, perenggan seterusnya paling jelas
membicarakan berkenaan duduknya nabi bersama Allah s.w.t
فإن قال قائل : فإنا لا ننكر إقعاد الله محمدا على عرشه ، وإنما ننكر إقعاده .
حدثني عباس بن عبد العظيم ، قال : ثنا يحيى بن كثير ، عن الجريري ،
عن سيف السدوسي ، عن عبد الله بن سلام ، قال : إن
محمدا صلى الله عليه وسلم يوم القيامة على كرسي الرب بين يدي الرب تبارك وتعالى ،
وإنما ينكر إقعاده إياه معه ، قيل : أفجائز عندك أن يقعده عليه لا معه . فإن أجاز
ذلك صار إلى الإقرار بأنه إما معه ، أو إلى أنه يقعده ، والله للعرش مباين ، أو لا
مماس ولا مباين ، وبأي ذلك قال كان منه دخولا في بعض ما كان ينكره وإن قال : ذلك
غير جائز ؛ كان منه خروجا من قول جميع الفرق التي حكينا قولهم ، وذلك فراق لقول
جميع من ينتحل الإسلام ، إذ كان لا قول في ذلك إلا الأقوال الثلاثة التي حكيناها ،
وغير محال في قول منها ما قال مجاهد في ذلك .
“
Jika ada orang yang menyatakan: Kami tidak mengingkari Allah mendudukkan
Muhammad diatas arash-Nya tetapi yang kami mungkiri adalah duduknya Allah.
Telah
menceritkan padaku Abbas bin Abdul Azim, dari Yahya bin Katsir , dari al-Jariri
dari saif al-Sadusi dari Abdullah bin Salam berkata: Sesungguhnya Muhammad
S.A.W pada hari kiamat diatas kursi Tuhan dihadapannya Tuhan maha suci lagi
maha tinggi. Sedangkan yang diingkari adalah mendudukkan Muhammad disi-Nya. Maka dikatakan :Apakah dibolehkan disisi kamu Allah mendudukkannya
diatas (Arash) bukannya disis-Nya. Jika itu dibolehkan maka terjadikah
pengakuan samada Allah mendudukkannya disisi-Nya ataupun kepada Allah
mendudukkannya (semata). Allah terpisah dari Arash ataupun tidak bersentuhan ,
tidak pula terpisah. Andaikata kamu mengikut mana-mana tafsiran maka terjadi
kemasukan kepada sesuatu yang asalnya dinafikan. Jika dia katakan (Allah
mendudukkan Muhammad diatas Arash bukan bersama-Nya) tidak harus berlaku , maka
itu adalah terkeluar dari pandangan kesemua kumpulan. Dan itu adalah
percanggahan dengan perkataan kesemua kumpulan yang menganut Islam. Apabila
tiada pandangan selain dari ketiga-tiga pandangan yang telah kami sebutkan dan
ucapan Mujahid ini tidaklah mustahil berdasarkan mana-mana tafsiran.”
Inilah sejelas-jelas
tafsiran at-Tabari berkaitan duduknya nabi bersama Allah di arash. Ini sekaligus
menafikan sekeras-kerasnya bahawa hanya perbahasan duduk nabi di Arash sahaja
yang disebutkan at-Tabari
Al-Katibi pada awalnya
tidak menterjemahkan perenggan ini. Lebih parah dia sanggup berbohong
mengatakan perenggan ini telah dibahaskan dulu padahal dia sendiri tidak
menterjemahkannya!!
Saya jawab :
Di atas sebelumnya telah saya jelaskan
bahwa justru perenggan akhir ini ath-Thabari mencoba untuk menyinggung
persoalan duduknya Allah di atas Arsy. Ini pun semakin menunjukkan bahwa
pembahsan sbelumnya dan pembahasan akhir sangatlah berbeda artinya ada dua
konteks dalam ucapan ath-thabari. Artinya
perenggan akhir ini justru membahas topik lain yaitu tentang duduknya Allah di
atas Arsy artinya pembahasan tentang Istiwa Allah di atas Arsy, menurut ath-Thabari
jika menggabungkan pembhasan pertama dengan pembahasan kedua ini, maka duduknya
Nabi di atas Arsy pun tidak mustahil sebab Allah tetap tidak mumasin dengan
Arsy.
Tuduhan salman Ali bahwa saya berbohong,
saya maafkan sebab mungkin dia lagi-lagi salah memahami interaksi bahasa yang
saya utarakan atau mungkin sengaja memuter belitkan ucapan saya di hadapan
pembacanya ? wa Allahu A’lam...
Perhatikan dan coba pahami ucapan saya ini
yang dituduh dusta oleh salman Ali :
Di
mana bentuk dusta saya ???
Mohon anda pahami dengan baik ucapan saya
ini...ucapan saya itu mengomentari ucapan salman ali berikut ini :
“ Maka dikatakan:(Sila bagi perhatian kepada jawapan al-tabari sejak lebih 1000
tahun dahulu terhadap cubaan ustaz al-katibiy mengatasnamakan al-Tabari) “.
Artinya salman Ali mengatakan bahwa jawapan
ath-Thabari adalah jawapan ath-thabari sejak dahulu terhadap cubaan saya yang
mengatasnamakan ath-thabari.
Inilah yang saya maksud dengan ucapan saya
di atas, sehingga saya katakan :
Artinya salman Ali merasa yakin sekali
bahwa jawapan ath-tahabri itu adalah jawapan ath-thabari sejak lebih 1000 tahun
dahulu terhadap jawapan ath-thabari terhadap cubaan saya yang mengatasnamakan
ath-thabari. Padahal tidak demikian pemahaman nyatanya dan realitanya.
Salman Ali mengatakan :
Ada dua
isu yang dipermasalahkan disini iaitu masalah kebingungan dan sejarah
al-Asyai’rah
Saya
bukanlah bingung seperti yang dikatakan al-Katibi. Sepatutnya al-Katibi perlu
faham apa yang saya maksudkan. Kegagalan al-Katibi memahami kenyataan saya
bukan saja membuat saya tersenyum bahkan ketawa J. Saya tidak menolak kesamaaan pandangan antara
tokoh asya’ari terkemudian dengan pandangan yang disebutkan oleh at-Tabari.
Atas
dasar itulah saya sebutkan dalam artikel lalu,
‘Mungkin ada benarnya ini juga merupakan pandangan madzhab al-asy’ari
berdasarkan beberapa perkataan tokoh madzhab al-Asyari”
Yang saya
bantah ialah pernyataan at-Tabari mengakui mazhab ini sebagai mazhab asyairah
kerana komposisi mazhab asyairah hanya muncul kemudiannya
Itulah
maksud saya kemudiannya
“tetapi mustahil al-Tabari merujuk kepada madzhab ini sebagai kelompok
kedua kerana ketika tafsir al-tabari ditulis madzhab al-asyari belum lagi
wujud”
Hanya
asyairah seperti anda yang mengakui pandangan at-Tabari itu milik anda.
At-Tabari tidak menyebutkannya
Bahkan
akan saya buktikan di artikel kedua dimana tidak ada mana-mana tokoh asyairah
yang saya tahu memaksudkan riwayat Mujahid sebagai ‘duduknya nabi di Arash’
sebagaimana yang al-Katibi dakwakan
Saya jawab :
Subhanallah, penjelasan artikel saya yang
pertama berkaitan dengan ini, masaih saja tidak dipahami oleh salman ali.
Saya sama sekali tidakmengatakan bahwa
ath-thabari menukil pendapat asy’ariyyah saya hanya mengatakan bahwa apa yang
dikatakan oleh ath-thabari adalah pendapat asy’ariyyah dikemudian hari. Masih
kurang jelas ucapan saya ini :
(Madzhab yang kedua ini sangat jelas adalah madzhab
Ahlus sunnah dari Asy’ariyyah dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka. Atas
dasar ini, Asy’ariyyah tidak menolak duduknya Nabi di atas Arsy, sebab bagi
kelompok ini, sama saja mau Nabi Muhammad duduk di atas Arsy atau di bumi,
Allah tetap seperti sedia kala yang tidak menyentuh sesuatu dan tidak butuh
(bain) terhadap sesuatu. Diakui oleh ath-Thabari bahwa kelompok ini tidak
menolak duduknya Nabi di atas Arsy. Adapun yang kelompok ini tolak adalah
duduknya Allah di atas Arsy.)
Lihat, adakah di situ saya mengatasnamakan
ath-thabari telah berpegang dengan madzhab asy’ariyyah dalam hal ini ?? tidak
sama sekali, akan tetapi saya ingin menjelaskan (mengkhithab) kepada pembaca bahwa
apa yang dikatakan ath-thabari tentang
pendapat kelompok kedua adalah juga pendapat yang selama ini dipegang kuat oleh
asy’ariyyah meskipun asy’ariyyah muncul setelah ath-thabari. Dan saya ingin
membuktikan kepada pembaca bahwa madzhab asy’ariyyah adalah pemahaman yang
bersumber dari pemahaman para ulama salaf baik masa sahabat, tabi’in maupun
tabi’it tabi’in.
Sungguh lemah sekali daya pikiran salman
ali di dalam hal remeh semacam ini.
Salman Ali mengatakan :
Ada dua
isu yang dipermasalahkan disini iaitu masalah kebingungan dan sejarah
al-Asyai’rah
Saya
bukanlah bingung seperti yang dikatakan al-Katibi. Sepatutnya al-Katibi perlu
faham apa yang saya maksudkan. Kegagalan al-Katibi memahami kenyataan saya
bukan saja membuat saya tersenyum bahkan ketawa J. Saya tidak menolak kesamaaan pandangan antara
tokoh asya’ari terkemudian dengan pandangan yang disebutkan oleh at-Tabari.
Atas
dasar itulah saya sebutkan dalam artikel lalu,
‘Mungkin ada benarnya ini juga merupakan pandangan madzhab al-asy’ari
berdasarkan beberapa perkataan tokoh madzhab al-Asyari”
Yang saya
bantah ialah pernyataan at-Tabari mengakui mazhab ini sebagai mazhab asyairah
kerana komposisi mazhab asyairah hanya muncul kemudiannya
Itulah
maksud saya kemudiannya.
“tetapi mustahil al-Tabari merujuk kepada madzhab ini sebagai kelompok
kedua kerana ketika tafsir al-tabari ditulis madzhab al-asyari belum lagi
wujud”
Hanya
asyairah seperti anda yang mengakui pandangan at-Tabari itu milik anda.
At-Tabari tidak menyebutkannya
Saya jawab :
Jika tidak bingung dan tidak mengerti atas pemahaman
asy’ariyyah, kenapa pula anda menolak di awal dan kemudian mengakuinya namun
masih bingung dan ragu sehingga anda mengatakan : “‘Mungkin ada benarnya ini juga
merupakan pandangan madzhab al-asy’ari berdasarkan beberapa perkataan tokoh
madzhab al-Asyari”
Apakah saat itu anda baru mengkaji dan langsung melihat kitab refrensinya tapi masih ragu mengakuinya ?? jika tidak bingung kenapa masih ragu dengan mengatakan MUNGKIN ??
Ini menunjukkan anda tidak paham dengan akidah
asy’ariyyah yang disebabkan kurangnya memahami sejarah asy’ariyyah.
Memang itulah madzhab asy’ariyyah selama
ini, mereka memahami Istiwa Allah sebagaimana yang layak bagi keagungan dan
kesempurnaan Allah tanpa memperumakan dengan sifat-sifat makhluk seperti
jismiyyah. Ini metode salah satunya, ada metode lainnya yaitu dengan mentakwil
yang sesuai dengan keagungan Allah yang tidak menyerupakannya dengan sifat-sifat
makhluk-Nya.
sebagaimana Al-Imam
Abu Ishaq asy-Syairazi (w 476 H) mengatakan :
وَاِنَّ اِسْتِوَاءَهُ لَيْسَ بِاسْتِقْرَارٍ وَلاَ مُلاَصَقَةٍ
لِأَنَّ اْلاِسْتِقْرَارَ وَاْلمُلاَصَقَةَ صِفَةُ اْلأَجْسَامِ اْلمَخْلُوْقَةِ،
وَالرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ قَدِيْمٌ أَزَلِيٌّ، فَدَلَّ عَلىَ أَنَّهُ كَانَ وَلاَ
مَكاَنَ ثُمَّ خَلَقَ اْلمَكاَنَ وَهُوَ عَلىَ مَا عَلَيْهِ كَانَ
“
Dan sesungguhnya istiwa Allah tidaklah dengan istiqrar (bersemayam / menetap)
dan mulasaqah (menempel), karena istiqrar dan mulasaqah adalah sifat jisim
makhluk sedangkan Allah Ta’aala Maha Dahulu lagi Maha Azali. Maka hal ini
menunjukkan bahwa Allah itu ada tanpa tempat kemudian menciptakan tempat dan
Allah masih tetap seperti semula, ada tanpa tempat “.[2]
Syaikh
al-‘Arif billah Sayyid Ahmad ar-Rifa’i asy-Syafi’i
(w 578 H) berkata :
وَأَنَّهُ
مُسْتَوٍ عَلىَ اْلعَرْشِ عَلىَ اْلوَجْهِ الَّذِي قَالَهُ وَبِالْمَعْنىَ الَّذِي
أَرَادَهُ، اِسْتِوَاءً مُنَزَّهًا عَنِ اْلمُمَاسَةِ وَاْلاِسْتِقْرَارِ
وَالتَّمَكُّنِ وَالتَّحّوُّلِ وَاْلاِنْتِقَالِ، لاَ يَحْمِلُهُ اْلعَرْشُ، بَلِ
اْلعَرْشُ وَحَمَلَتُهُ مَحْمُوْلُوْنَ بِلُطْفِ قُدْرَتِهِ، وَمَقْهُوْرُوْنَ فيِ
قَبْضَتِهِ، وَهُوَ فَوْقَ اْلعَرْشِ، وَفَوْقَ كُلِّ شَىْءٍ إِلىَ تُخُوْمِ
الثَّرَى، فَوْقِيَّةٌ لاَ تَزِيْدُهُ قُرْبًا إِلىَ اْلعَرْشِ
وَالسَّمَاءِ بَلْ
هُوَ رَفِيْعُ الدَّرَجَاتِ عَنِ اْلعَرْشِ كَمَا أَنَّهُ رَفِيْعُ الدَّرَجَاتِ
عَنِ الثَّرَى
“ Dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan cara yang
Allah firmankan dan dengan makna yang Allah kehendaki, beristiwa dengan istiwa
yang suci dari persentuhan, persemayaman, pertempatan, perubahan dan
perpindahan. Tidak dibawa oleh Arsy akan tetapi Arsy dan para malaikat
pembawanya dibawa oleh kelembutan qudrah-Nya, tergenggam dalam gengaman-Nya.
Dia di atas Arsy dan di atas segala sesuatu hingga ujung angkasa dengan sifat
atas yang tidak menambahinya dekat kepada Arsy dan langit, akan tetapi Dia Maha
tinggi derajat-Nya dari Arsy sebagaimana Dia Maha tinggi derajat-Nya dari
angkasa “.[3]
Mereka semua adalah para ulama besar
ay’ariyyah dan mewakili madzhab asy’ariyyah secara keseluruhan.
Salman Ali mengatakan :
Tertinggal perkataan
‘sekalipun’ dan ‘maka sesungguhnya’. Bandingkan terjemahan beliau dan saya seperti yang disebutkan sebelumnya
Beliau
menyebutkan :
“ Dan
pendapat ini (maqam Mahmud bermakna syafa’at) adalah pendapat yang sahih, dalam
menafsirkan ayat “ Semoga Allah membangkitkanmu dan memberikanmu maqam yang
terpuji “ dari riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah
shallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in, maka apa yang dikatakan
oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan Muhamamd Shallahu ‘alaihi wa sallam di atas
Arsy, asalah ucapan yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi
khobar maupun pendapat “.
Sedangkan
terjemahan yang sepatutnya adalah:
“ Dan
pendapat ini (maqam Mahmud bermakna syafa’at) sekalipun ia adalah
pendapat yang sahih, dalam menafsirkan ayat “ Semoga Allah membangkitkanmu dan
memberikanmu maqam yang terpuji “ dari riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan
dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in,Maka
sesungguhnya maka apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan
Muhamamd Shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, adalah ucapan yang tidak
boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun pendapat “.
Ustaz al-Katibi tidak mengaku atas kesalahan
terjemahan yang dia lakukan. Sebaliknya dia berhujah, dia tidak menterjemahkan
dengan penuh dan itu tidak menghilangkan substansi. Bahkan dia kata anak ibtida
pun faham maksudnya.
Kata beliau
“Sekarang bandingkan dengan terjemahan saya di atas
dan terjemahan salmanali...adakah terjemahan saya menyimpangkan dari makna yang
sesungguhnya?? Tidak sama sekali, walaupun saya tidak menterjemahkannya secara
lengkap (hanya global saja), namun sama sekali tidak menghilangkan subtansinya.
Saya rasa, anak ibtida pun paham maksudnya.
Komentar saya (salman ali) :
Telah dibandingkan
dan ternyata tidak sama, apabila perkataan ‘sekalipun’ dibuang, maka konteksnya
berbeza. Gaya bahasa seperti itu menunjukkan seolah-olah hanya pandangan
pertama saja yang benar dan yang kedua salah.
Bahkan al-Katibiy telah menambah perisa dengan berkata
bahawa al-Tabari tidak mensahihkan riwayat Mujahid ini. Jadi saya kira ,
mengekalkan uslub: meskipun…(premis 1) namun begitu …(premis 2) ….sebagai
penting untuk memberi gambaran bahawa (premis kedua) tidak ipinggirkan walaupun
(premis pertama) lebih kuat
saya jawab :
saya jawab :
Apakah subtansi yang saya terjemahkan
walaupun saya tidak menampilkan terjemahan secara penuh akan hilang?? Tidak
sama sekali, sebab subtansinya adalah pendapat maqam mahmud adalah pendapat
yang sahih dan pendapat Mujahid tisak bisa ditolak. Ini subtansinya, dan telah
saya sebutkan keduanya meskipun tidak secara penuh, perhatikan kembali
terjemahan global saya berikut ini :
“ Dan pendapat ini
(maqam Mahmud bermakna syafa’at) adalah pendapat yang sahih, dalam menafsirkan
ayat “ Semoga Allah membangkitkanmu dan memberikanmu maqam yang terpuji “ dari
riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa
sallam, para sahabat dan tabi’in, maka apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa
Allah mendudukkan Muhamamd Shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, asalah
ucapan yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun
pendapat “.
Seubtansinya tetap masih ada dan tidak
hilang. Adapun yang dikira salman ali kurang yaitu terjemahan “ Maka sesungguhnya
“, bagi saya dan orang Indonesia, justru terjemahan itu menjadi bahasa yang
tidak indah sebab ada pengulangan kata “maka”, adapun kalimat “ sesungguhnya”
dalam bahsa Indonesia sering kali kalimat INNA terjemahannya tidak dibaca demi
untuk memperindah bahasa. Ini sudah maklum dalam dunia penterjemahan menurut
gaya interaksi bahasa Indonesia. Jika salman Ali memaksakan terjemahan saya
sesuai dengan terjemahan orang malaysia, maka ini namanya lucu dan tidak logik
serta memaksakan kehendak. Masalah remeh
yang tidak sepatutnya dan tidak etis dibesar-besarkan..
Salman Ali mengatakan :
Pertamanya Jadi hujah saya
sebelumnya masih sama dan cubaan ustaz al-katibi untuk mengubah kefahaman
at-Tabari masih gagal
Persoalan kedua, kenapa saja tidak dia bantah contoh-contoh
yang saya berikan sebaliknya mengubah pula kepada perkataan at-Tabari yang
lainnya??
Dalam artikel sebelumnya, saya sebutkan dengan jelas
contoh2 dan ia masih kekal sebagai hujah. Rujuk kepada contoh-contoh berkaitan
qiraat dan selainnya yang saya sebutkan.
Al-Tabari mempunya uslub yang berbeza.
1)Apabila dia mengkritik dua pandangan yang berlawanan
dengan cara menolak salah satu dari dua pandangan tersebut uslubnya berbeza
dengan
2) Apabila dia hanya mentarjih pandangan kedua tanpa
melemahkan pandangan pertama.
Ternyata dalam kes ucapan Mujahid ini, al-Tabari
mentarjih pandangan pertama dalam keadaan dia tidak melemahkan pandangan kedua.
Saya kira ini juga telah difahami oleh al-Katibiy apabila dia mengakui
Saya jawab :
Uslub ath-Thabari dalam bab ini memuat pendapat-pendapat para ulama dan membanding
pendapat sebagian mereka dengan pendapat sebagian yang lain. Terkadang beliau
juga menggunakan metode Tafsir Tahlili yaitu menggunakan orientasi penafsiran
bi al-ma'sur dan bi ar-ra'yi. Jika di dalam ayat terdapat qiroaat yang
berlainan versinya, maka beliau elanjutkannya dengan menjelaskan
qira'at-qira'atnya dengan menunjukkan qira'at yang kuat dan mengingatkan akan
qira'at yang tidak benar. Dan dalam masalah maqam mahmud, ath-Tabari tidak
memaparkan metode qiroaatnya, maka argumntasi salman Ali memaksakan dengan
metode qiroaat sangat mengada-ngada dan menunjukkan ketidak pahamannya terhadap
uslub dan metode ath-Thabari dalam menafsirkan ayat al-Quran.
Perlu salman
Ali pahami tentang Gaya Metode Penafsiaran (Uslub) ath-Thabari adalah :
al-Tabari Dalam menafsirkan, menempuh langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Mengawali penafsiran ayat dengan mengatakan: "Pendapat tentang takwil firman Allah" begini.
b. Kemudian menafsirkan ayat dan menguatkan pendapatnya dengan apa yang diriwayatkannya dengan sanadnya sendiri dari para sahabat atau tabi'in.
c. Menyimpulkan pendapat umum dari nash al-Qur'an dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
d. Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dart Rasulullah saw., sa-habat dan tabi'in dengan menuturkan sanad-sanadnya, dimulai dari sanad yang paling kuat dan paling shahih.
e. Menguatkan pendapat yang menurutnya kuat dengan menye-butkan alasan-alasannya.
f. Melanjutkannya dengan menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan.
g. Melanjutkannya dengan menjelaskan qira'at-qira'atnya dengan menunjukkan qira'at yang kuat dan mengingatkan akan qira'at yang tidak benar.
h. Menyertakan banyak syair untuk menjelaskan dan meng¬ukuhkan makna nash.
i. Menuturkan I'rab dan pendapat para ahli nahwu untuk men-jelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan I'rab.
j. Memaparkan pendapat-pendapat Fiqih ketika menjelaskan ayat-ayat hukum, mendiskusikannya dan menguatkan penda¬pat yang menurutnya benar.
k. Kadang-kadang la menuturkan pendapat para ahli kalam -dan menjuluki mereka dengan ahli jadal (ahli teologi dialektis)-, mendiskusikannya, kemudian condong kepada pendapat Ahli Sunnah wal Jama'ah.
l. Memberikan tempat yang tinggi kepada ijma' umat ketika memilih suatu
pendapat.
Sebagai orang yang berpegang pada tafsir bil ma’sur, konsekuensinya tafsir Ibnu Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri. Sebagaimana disebutkan oleh Shidqy al ’Athar dalam muqaddimah tafsir ibnu Jarir sebagai berikut :
a. Mengikuti jalan sanad dalam silsilah riwayat.
b. Menjauhi tafsir bil ra’yi.
c. Apik dalam menyampaikan sanad.
d. Berpegang pada ilmu bahasa.
e. Banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabawiyyah.
f. Memperkuat dengan syair dalam menjelaskan maksud kalimat
.
g. Perbendaharaan qira’at.
g. Perbendaharaan qira’at.
h. Mengkomprontirkan dan mengkompromikan pandangan-pandangan fiqhiyyah.
i. Menghimpun dalam tafsirnya antara riwayat dan dirayat.
Inilah
karakteristik utama metode tafsir Ibn Jarir. Namun demikian, ada sejumlah
kritikan dari ulama lainnya, antara lain:
a. la menyebutkan sejumlah Isra'iliyyat dalam tafsirnya. meski ia sering memberikan komentar terhadap lsra'iliyyat itu, tetapi sebagian tidak dikomentarinya. karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membedakan yang baik dari yang buruk. Alasan yang bisa membelanya adalah bahwa ia menuturkan sanadnya secara lengkap. Ini memudahkan peneliti terhadap hal-ihwal para periwayatnya dan memberikan penilaian. Karena itu kita harus mengkaji sanadnya agar kita bisa mengetahui yang shahih dari yang dla'if. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa orang yang menuturkan sanadnya kepada anda berarti telah memberi kesempatan kepada anda untuk menilainya.
a. la menyebutkan sejumlah Isra'iliyyat dalam tafsirnya. meski ia sering memberikan komentar terhadap lsra'iliyyat itu, tetapi sebagian tidak dikomentarinya. karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membedakan yang baik dari yang buruk. Alasan yang bisa membelanya adalah bahwa ia menuturkan sanadnya secara lengkap. Ini memudahkan peneliti terhadap hal-ihwal para periwayatnya dan memberikan penilaian. Karena itu kita harus mengkaji sanadnya agar kita bisa mengetahui yang shahih dari yang dla'if. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa orang yang menuturkan sanadnya kepada anda berarti telah memberi kesempatan kepada anda untuk menilainya.
b. Umumnya la tidak menyertakan penilaian shahih atau dla’if terhadap sanad-sanadnya, meski kadang-kadang la memposisi¬kan diri sebagai seorang kritikus yang cermat.
kesimpulan bantahan saya ini adalah :
1. Tidak ada
yang kontradiksi dalam argumentasi saya sebelumnya. Karena masing-masing
memiliki pembahsan tersendiri. Ini yang sejak awal sulit dipahami oleh salman
Ali dan kaum wahabi lainnya.
2. tidak ada
kedustaan dalam argumetasi saya. Kenapa salman ali menyimpulkan saya berdusta ?
ada dua kemungkinan : Pertama ia salah memahami gaya interaksi bahasa indonesia
saya yang membuatnya salah memahaminya. Kedua : sengaja membuat penyimpulan
dusta agar pembaca mempercayai hujjah-hujjahnya.
3. Salman Ali
tidak pandai memahami fungsi MIN LIL BAYAN dalam kalimat ath-Thabari yang berfungsi
sebagai fokus pembahasan dalam satu masalah yaitu duduknya Nabi di atas Arsy.
5. Pembahasan
ah-Thabari : Pertama beliau mengunggulkan pendapat maqam mahmud adalah syafa’at
dan mentarjihnya dari atsar Mujahid. Artinya beliau melemahkan pendapat
Mujahid. Kedua : beliau menerima pendapat Mujahid dari sudut lainnya yaitu
ketika mengatakan duduknya Nabi di atas Arsy. Pendapat ini tidak bisa ditolak
dari sudut khobar maupun pandangan. Ketiga : ath-Thabari menyinggung persoalan
duduknya nabi bersama Allah di atas Arsy, dan beliau menerimanya dengan
pemahaman bahwa Nabi tetap tidak mustahil duduk di atas Arsy dan Allah mubayin
atau tidak mubayin dan tidak mumaasin dengan arsy-Nya.
6. ath-Thabari
memahami istiwa Allah sebagaimana pemahaman yang selama ini dipegang oleh ulama
asy’ariyyah bahwa Allah tidak mubayin dan tidak mumasin dengan arsy.
7. Penolakan
dan vonis jahmiyyah ulama yang membela astar Mujahid, adalah berkaitan kepada
kaum jahmiyyah yang mengingkari istiwa Allah dan kaum zanadiqah yang
mengingkari keutamaan Nabi.
8. Salman Ali
masih gagal memahami hujjah ath-Thabari dan manhaj Ibnu Taimiyyah.
9. Salman Ali
masih gagal memahami manhaj asya’riyyah dan sejarahnya.
Berlanjut pada
artikel seterusnya yang akan menjelaskan dan membuktikan adanya talbis (penyamaran
makna) dan dusta Salman Ali di dalam menterjemahkan kalam Ibnu Taimiyyah.
No comments: