Pelurusan
kesembilan
الحركة
Pergerakan Bagi
Allah
Syaikh Murad
Syukri mengatakan :
" Sebahagian orang masa kini ada yang
membuat fitnah ke atas Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah dengan mendakwa beliau
menetapkan sifat bergerak atau pergerakan (al-Harakah) bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Untuk menjawab fitnah ini, marilah kita lihat apa perkataan sebenar Syaikh
al-Islam Ibn Taimiyyah. Dalam kitabnya Dar‘u Ta‘arudh, beliau menulis:
Para imam al-Sunnah dan al-Hadis menetapkan dua jenis
sifat bagi Allah (iaitu sifat Zatiyyah dan sifat al-Ikhtiyariyyah). Inilah yang
dinukil daripada mereka berkenaan pandangan mereka, seperti Harb bin
al-Kirmani[1], ‘Utsman bin Sa‘id al-Darimi[2] dan selain mereka. Mereka secara
nyata menyebut lafaz Pergerakan. Ini menjadi pandangan para imam al-Sunnah dan
al-Hadis dahulu dan kini.
Harb al-Kirmani menyebut bahawa ini adalah pendapat
orang-orang yang beliau jumpai daripada kalangan para imam al-Sunnah seperti
Ahmad bin Hanbal[3], Ishaq bin Ruhuyah[4], ‘Abd Allah bin al-Zubair
al-Humaidi[5] dan Sa‘id bin Manshur[6]. Berkata ‘Utsman bin Sa‘id: Pergerakan
adalah sebahagian perkara lazim dalam kehidupan dan setiap yang hidup pasti
bergerak. Hanya golongan al-Jahmiyyah yang menafikan perkara ini, padahal
golongan al-Salaf dan para imam bersepakat akan kesesatan dan kebid‘ahan
mereka.
Sementara itu sekumpulan lain daripada kalangan al-Salaf
seperti Nu‘aim bin Hammad al-Khuza‘e[7], al-Bukhari[8] – pengarang kitab
al-Shahih, Abu Bakar bin Khuzaimah[9] dan selain mereka seperti ‘Amr bin ‘Abd
al-Barr dan semisalnya, mereka menetapkan makna bagi apa yang ditetapkan oleh
kumpulan (yang menetapkan al-Harakah secara lafaz) dan mereka menyebutnya
sebagai perbuatan. Namun sebahagian daripada kalangan mereka menegah dari
penggunaan lafaz al-Harakah kerana ia tidak bersumber dari riwayat (hadis)[10].[1]
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah juga menulis dalam sebuah
kitab yang lain:
Demikianlah lafaz
al-Harakah telah ditetapkan oleh sekumpulan daripada kalangan Ahl al-Sunnah wa
al-Hadits, dan inilah yang disebut oleh Harb bin Ismail al-Kirmani dalam kitab
al-Sunnah berdasarkan apa yang diriwayatkannya daripada beberapa orang yang
ditemuinya seperti al-Humaidi dan Ahmad bin Hanbal. ……Namun ada juga sekumpulan
yang menafikan (lafaz al-Harakah) seperti Abu al-Hasan al-Tamimi[11] dan Abu
Sulaiman al-Khaththabi[12].
Jawaban :
Masalah ini
berhubungan dengan masalah hulul hawadits sebelumnya, di mana Ibnu Taimiyyah
meyakini bahwa af’aal Allah bersifat hawadits (baru) namun ia meyakini bahwa
hawadits itu berdiri pada Dzat Allah Ta’alaa. Berbeda dengan keyakinan
mayoritas umat muslim yang meyakini bahwa af’aal Allah tidak berdiri pada Dzat
Allah melainkan berdiri pada sifat Allah yang bersifat Qadim.
Makna bergerak
menurut seluruh ulama dan manusia yang berakal adalah berpindah dari satu batasan
(gerakan) kepada batasan lain. Para ulama ahli haq menafikan hal semacam ini
dari sifat Allah Ta’ala.
Al-Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata :
إِنَّ اللهَ تَعَالىَ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ , مَنَزَّهٌ عَنِ التَّجْسِيْمِ
وَاْلاِنْتِقَالِ وَالتَّحّيُّزِ فيِ جِهَةِ وَعَنْ سَائِرِ صِفَاتِ اْلمَخْلُوْقِ
“
Sesungguhnya Allah Ta’aala tidak ada sesuatupun yang menyerupainya, Maha Suci
dari tajsim (bentuk dan sifat makhluk), berpindah dan dari terbatas dengan arah
dan dari semua sifat makhluk-Nya “[2]
Al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi -semoga Allah
meridlainya- (227-321 H) berkata:
وَتَعَالَى- أَيْ اللهُ- عَنِ اْلحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأَرْكاَنِ
وَاْلأَعْضَاءِ وَاْلأَدَوَاتِ، لاَ تَحْوِيْهِ اْلجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ اْلمُبْتَدَعَاتِ
"Maha suci
Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai
ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,anggota badan yang besar (seperti
wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut,
lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).Dia tidak diliputi oleh satu
maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,kiri, depan dan belakang) tidak
seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut". (al-Aqidah
ath-Thahawiyyah)
Pandangan ulama salaf dari kalangan
imam madzhab tentang istiwa Allah subhanahu wa Ta’alaa adalah mensucikan istiwa Allah dari pemikiran
manusia berupa duduk, menetap atau bersemayam dan semisalnya. Mereka
semua mengimani istiwa Allah tanpa menyerupakaannya dengan makhluk dan tanpa
mensifatinya dengan sifat-sifat makhluk-Nya seperti duduk, bersemayam, berdiam
dan lainnya sebagaimana dikatakan oleh al-Hafidz al-Baihaqi :
فَإِنَّ اْلحَرَكَةَ وَالسُّكُوْنَ وَاْلِاسْتِقْرَارَ مِنْ
صِفَاتِ اْلأَجْسَامِ وَاللهُ تَعَالىَ أَحَدٌ صَمَدٌ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَئْ
“ Sesungguhnya
bergerak, diam dan bersemayam adalah termasuk sifat jisim sedagkan Allah
Ta’aala Dzat yang Maha Esa lagi Maha Shamad dan tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai-Nya “.[3]
Bahkan telah dinukil oleh pemimpin
Hanabilah Abul Fadhl at-Tamimi bahwasanya imam Ahmad bin Hanbal berkata :
وَأَنْكَرَ – يَعْنيِ أَحْمَدَ- عَلىَ مَنْ يَقُوْلُ بِاْلجِسْمِ
وَقَالَ إِنَّ اْلأَسْمَاءَ مَأْخُوْذَةٌ مِنَ الشَّرِيْعَةِ وَاللُّغَةِ ، وَأَهْلُ
اللُّغَةِ وَضَعُوا هَذاَ اْلاِسْمِ عَلىَ ذِي طُوْلٍ وَعَرْضٍ وَسَمْكٍ وَتَرْكِيْبٍ
وَصُوْرَةٍ وَتَأْلِيْفٍ وَاللهُ تَعَالىَ خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَلَمْ يَجُزْ
أَنْ
يُسَمِّىَ جِسْمًا لِخُرُوْجِهِ عَنْ مَعْنىَ اْلجِسْمِيَّةِ وَلَمْ يَجِئْ فيِ
الشَّرِيْعَةِ ذَلِكَ فَبَطَلَ
“ Imam Ahmad mengingkari orang yang berpendapat Allah itu
berjisim dan berkata : “ Sesungguhnya nama-nama itu diambil dari Syare’at dan
bahasa. Ulama ahli bahasa meletakkan nama (jisim) ini kepada sesuatu yang
memiliki ukuran panjang, lebar, tinggi, bagian, gambar dan susunan sedangkan
Allah keluar dari itu semua, maka tidak boleh mengatakan Allah itu jisim karena
mustahilnya Allah dari makna kejisiman dan juga tidak ada sandaran dalam
Sayare’at “.[4]
Syaikh al-‘Arif billah Sayyid Ahmad ar-Rifa’i asy-Syafi’i
(w 578 H) berkata :
وَطَهِّرُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنْ تَفْسِيْرِ مَعْنىَ اْلاِسْتِوَاءِ
فيِ حَقِّهِ تَعَالىَ بِاْلاِسْتِقْرَارِ، كَاِسْتِوَاءِ اْلأَجْسَامِ عَلىَ اْلأَجْسَامِ
اْلمُسْتَلْزَمِ لِلْحُلُوْلِ، تَعَالىَ اللهُ عَنْ ذَلِكَ. وَإِيَّاكُمْ وَاْلقَوْلَ
بِاْلفَوْقِيَّةِ وَالسُّفْلِيَّةِ وَاْلمَكاَنِ وَاْليَدِ وَاْلعَيْنِ بِالْجَارِحَةِ،
وَالنُّزُوْلِ بِاْلإِتْيَانِ وَاْلاِنْتِقَالِ، فَإِنَّ كُلَّ مَا جَاءَ فيِ اْلكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ مِمَّا يَدُلُّ ظَاِهُرُه عَلىَ مَا ذُكِرَ فَقَدْ جَاءَ فيِ اْلكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ مِثْلُهُ مِمَّا يُؤَيِّدُ
اْلمَقْصُوْدَ"
“ Sucikanlah akidah kalian dari menafsirkan istiwa Allah
dengan istiqrar (bersemayam / menetap), sebagaimana istiwanya jisim dengan
jisim yang mengharuskan hulul (menempel), Maha Luhur Allah dari yang demikian
itu. Berhati-hatilah kalian dari mengatakan arah atas, bawah, tempat, tangan
dan mata yang bersifat jarihah (organ tubuh) dan dari sifat turun, datang dan
pindah, karena setiap teks yang datang dalam kitab Allah dan hadits yang
menunjukkan literalnya atas apa yang telah disebutkan tadi, maka demikian pula
telah datang dalam kitab Allah dan sunnah teks yang menguatkan apa yang
dimaksud “.[5]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
فَمُعْتَمَدُ سَلَفِ اْلأَئِمَّةِ وَعُلَمَاءِ السُّنَّةِ مِنَ
اْلخَلَفِ أَنَّ اللهَ مُنَزَّهٌ عَنِ اْلحَرَكَةِ وَالتَّحَوُّلِ وَاْلحُلُوْلِ، لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَىْءٌ
“ Keyakinan yang dipegang oleh para ulama salaf dan Ahlus
sunnah dari kalangan akhir adalah sesungguhnya Allah Maha Suci dari sifat
gerak, berubah dan bertempat, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya “.[6]
Ibnu Taimiyyah
sebenarnya mengakui adanya ijma’ bahwa Allah tidak disifati dengan bergerak,
bahkan ia merasa heran dengan kesepakatan ini dan menolak adanya ijma’ dalam
masalah ini. Yang lebih jelas lagi ia menolak adanya ijma’ Allah tidak disifati
dengan hulul hawadits lahu (bolehnya perkara baru menempat pada Allah), dan
Ibnu Taimiyyah justru meyakini sebaliknya yakni adanya ijma’ hulul hawadits dan
harokah bagi Allah. Naudzu billahi min dzaali...
No comments: