Select Menu

clean-5

Wisata

Budaya

Kuliner

Kerajaan

kota

Suku

» »Unlabelled » Pelurusan Kesepuluh: Catitan/Bantahan Terhadap Buku Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah



Pelurusan Kesepuluh

إجلاس النبي على العرش مع الله

Nabi Duduk Di Atas Arasy  bersama Allah






Kaum wahabi dan pengikut Ibnu Taimiyyah membantah bahwa Ibnu Taimiyyah tidak pernah berpendapat bahwa Allah mendudukkan Nabi di atas Arsy bersama Allah, beliau hanya menukil pendapat dari ulama salaf yang mengatakan seperti itu dan didukung dengan atsar Mujahid yang sahih.


Jawaban :


Benarkah Ibnu Taimiyyah tidak berpendapat dan berkeyakinan bahwa Allah mendudukkan Nabi Muhamamd di atas Arsy bersama Allah? Mari kita perhatikan dan kita kaji ucapan-ucapan Ibnu Taimiyyah berikut ini :

إذَا تَبَيَّنَ هَذَا فَقَدْ حَدَثَ الْعُلَمَاءُ الْمَرْضِيُّونَ وَأَوْلِيَاؤُهُ الْمَقْبُولُونَ : أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجْلِسُهُ رَبُّهُ عَلَى الْعَرْشِ مَعَهُ . رَوَى ذَلِكَ مُحَمَّدُ بْنُ فَضِيلٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ مُجَاهِدٍ ؛ فِي تَفْسِيرِ : { عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا } وَذَكَرَ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ أُخْرَى مَرْفُوعَةٍ وَغَيْرِ مَرْفُوعَةٍ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ : وَهَذَا لَيْسَ مُنَاقِضًا لِمَا اسْتَفَاضَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ مِنْ أَنَّ الْمَقَامَ الْمَحْمُودَ هُوَ الشَّفَاعَةُ بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ مِنْ جَمِيعِ مَنْ يَنْتَحِلُ الْإِسْلَامَ وَيَدَّعِيه لَا يَقُولُ إنَّ إجْلَاسَهُ عَلَى الْعَرْشِ مُنْكَرًا. وَإِنَّمَا أَنْكَرَهُ بَعْضُ الْجَهْمِيَّة وَلَا ذَكَرَهُ فِي تَفْسِيرِ الْآيَةِ مُنْكَرٌ

“ Jika telah jelas hal ini, maka sungguh para ulama yang diridhai dan para wali yang diterima telah menceritakan (membawakan riwayat hadits) bahwa “ Muhammad Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam telah Allah dudukkan di atas Arsy bersama-Nya “, telah meriwayatkannya Muhamamd bin Fudhail dari Laits dari Mujahid tentang tafsir “ Semoga Allah memberikan padamu kedudukan yang terpuji “, dan menyebutkan riwayat ini dari jalan lainnya yang marfu’ dan (bukan marfu’) mauquf. Ibnu Jarir berkata : “ Ini tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa maqam Mahmud adalah syafa’at dengan kesepakatan para imam dari  seluruh orang yang mengaku Islam, tidak mengatakan bahwa riwayat Allah mendudukkan nabi di atas arsy itu hadits munkar, sesungguhnya yang mengingkarinya hanyalah sebagian dari kelompk jahmiyyah, beliaupun tidak menyebutkan munkar dalam tafsir ayat itu “.[1]


Penjelasan :


Dalam ucapan Ibnu Taimiyyah tersebut cukup jelas baik manthuq maupun mafhumnya bahwa ia mendukung keyakinan tersebut yakni nabi Muhammad didudukkan Allah di atas arsy bersama Allah. Konteks yang dilontarkan atau dinukilkan oleh Ibnu Taimiyyah ini dalam konteks iqrar (pengakuan/dukungan) bukan untuk membantah nukilan tersebut atau tidak mensetujuinya, bahkan Ibnu Taimiyyah melontarkan ucapannya ini dalam rangka berhujjah bukan menentang.


Pada intinya yang dipahami dari ucapannya itu adalah keyakinan Ibnu Taimiyyah bahwa Allah duduk di atas Arsy.


Adapun berkaitan nukilan Ibnu Jarir yang dibawakan Ibnu Taimiyyah, maka sesungguhnya Ibnu Jarir posisinya sedang membawakan beberapa pendapat tentang penafsiran ayat maqam Mahmud ini bukan mendukung atsar Mujahid.


Dalam tafsirnya (tafsir ath-Thabari) juz 15 halaman 97 mengatakan :

ثم اختلف أهل التأويـل فـي معنى ذلك الـمقام الـمـحمود، فقال أكثر أهل العلـم: ذلك هو الـمقام الذي هو يقومه صلى الله عليه وسلم يوم القـيامة للشفـاعة للناس لـيريحهم ربهم من عظيـم ما هم فـيه من شدّة ذلك الـيوم

“ kemudian ahli takwil berbeda pendapat tentang makna ayat maqam Mahmud tersbut,  mayoritas ulama memaknainya bahwa maqam itu adalah yang dididirkan oleh Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan syafa’at bagi manusia agar Allah mendamaikan rasa takut mereka dari dahysatnya bahaya saat itu “.


Kemudian beliau menyebutkan beberapa pendapat ahli takwi tentang itu.


Setelah beliau menampilkan pendapat jumhur ulama tadi , pada halaman berikutnya di halaman 18 imam Ibnu Jarir menampilkan pendapat Mujahid :


وقال آخرون: بل ذلك الـمقام الـمـحمود الذي وعد الله نبـيه صلى الله عليه وسلم أن يبعثه إياه، هو أن يقاعده معه علـى عرشه
“ Yang lain berpendapat bahwa maqam Mahmud yang Allah janjikan kepada nabi Muhammad adalah kelak Allah akan mendudukkannya di atas arys bersama-Nya “.


Setelah itu beliau mengatakan :


وأولـى القولـين فـي ذلك بـالصواب ما صحّ به الـخبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم. وذلك ما:
 حدثنا به أبو كريب، قال: حدثنا وكيع، عن داود بن يزيد، عن أبـيه، عن أبـي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عَسَى أنْ يَبْعَثَكَ رَبّكَ مَقاما مَـحْمودا سُئل عنها، قال: هِيَ الشّفـاعَةُ.

“ Pendapat yang paling benar adalah apa yang sahih dari hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tentang ini di antaranya : Telah menceritakan padaku Abu Kuraib, ia berkata : telah menceritakan padaku Waki’, dari Dawud bin Yazid dari ayahnya dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Semoga Tuhanmu membangkitkanmu dan memberikan tempat yang terpuji “, Rasul ditanya tentang itu, maka beliau menjawab : “ Itu adalah syafa’at “.


Kemjudian beliau menampilkan hadits-hadits sahih lainnya yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan maqam Mahmud adalah syafa’at.


Coba kita perhatikan ucapan dan nukilan Ibnu Jarir di atas, setelah beliau menampilkan pendapat-pendapat para ulama tentang ayat maqam Mahmud, beliau kemudian memberikan komentar pribadinya bahwa pendapat yang paling utama dibenarkan adalah maqam Mahmud bermakna syafa’at karena sesuai dengan hadits-hadits sahih dan didukung oleh jumhur (mayoritas) ulama ini merupakan tarjih dari beliau. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari Rahimahullah. Maka janganlah tertipu dengan manipulasi kaum mujassimah atas ucapan Ibnu Jarir yang diplintir sesuai hawa nafsu mereka.


Kemudian ada sebagian kaum wahabi bahkan mayoritas mereka berdalih bahwa imam Mujahid dan Ibnu Jarir ath-Thabari berkeyakinan Allah duduk di atas Arsy dengan hujjah yang dipelintir mereka berikut ini :


وهذا وإن كان هو الصحيح من القول فـي تأويـل قوله عَسَى أنْ يَبْعَثَكَ رَبّكَ مَقاما مَـحْمُودا لـما ذكرنا من الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه والتابعين، فإن ما قاله مـجاهد من أن الله يُقعد مـحمدا صلى الله عليه وسلم علـى عرشه، قول غير مدفوع صحته، لا من جهة خبر ولا نظر

“ Dan pendapat ini (maqam Mahmud bermakna syafa’at) meskipun adalah pendapat yang sahih, dalam menafsirkan ayat “ Semoga Allah membangkitkanmu dan memberikanmu maqam yang terpuji “ dari riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in, maka apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan Muhamamd Shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, asalah ucapan yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun pendapat “.


Sekarang coba kita perhatikan baik-baik ucapan Ibnu Jarir tersebut :


Apakah yang tidak boleh ditolak menurut Ibnu Jarir ? dalam ucapan beliau di atas, cukup jelas  bahwa beliau di pembahasan awal ini sedang membahas duduknya Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy bukan membahas duduknya Allah di atas Arsy. Duduknya Nabi di atas Arsy tidaklah mustahil bagi kemuliaan beliau. Inilah yang tidak boleh ditolak baik secara segi khobar maupun pendapat. Bukan duduknya Allah di atas Arsy yang tidak boleh ditolak, sebab ucapan itu sangat jelas arah maksudnya terlebih imam Ibnu Jarir ath-Thabari adalah seorang ulama yang mensucikan Allah dari sifat batasan, arah dan sifat-sifat makhluk lainnya.


Di akhir pembahasan barulah beliau menyinggung persoalan Allah duduk bersama Nabi di atas Arsy. Menurut beliau dengan menampilkan tiga pendapat kelompok Islam, tetap duduknya Nabi di atas Arsy tidaklah mustahil, meskipun Allah beristiwa di atas Arsy, namun Istiwa Allah tidklah menyentuh Arsy. Allah beristiwa sebagaimana sifat keagungan dan kemuliaan-Nya.


Adapun para ulama yang menerima riwayat atsar Mujahid, maka bukan berarti mereka menerima kandungan dari riwayat tersebut secara dhahir. Mereka menerima riwayat tersebut dalam rangka menerima keutamaan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jahmiyyah sangat anti dengan Istiwa Allah, sehingga yang menolak hadits ini divonis sebagai jahmiyyah atau kaum zindiq sebab menolak keutamaan Nabi yang mulia. Yang jelas Ibnu Jarir lebih memilih pendapat dan hadits sahih berkenaan syafaa’at bukan duduknya Nabi bersama Allah di atas Arsy. Ibnu Jarir sendiri pun memiliki keyakinan Allah beristiwa dengan istiwa yang bukan bersifat hissiyyah yang berupa perpindahan dan gerak melainkan istiwa mulk wa shulthan (istiwa kekuasaan) sebagaimana keyakinan kaum asy’ariyyah.





[1] Majmu al-Fatawa : 4/374

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Kerajaan