Pelurusan Kesepuluh
إجلاس النبي على العرش مع الله
Nabi Duduk Di Atas
Arasy bersama Allah
Kaum wahabi dan pengikut Ibnu Taimiyyah
membantah bahwa Ibnu Taimiyyah tidak pernah berpendapat bahwa Allah mendudukkan
Nabi di atas Arsy bersama Allah, beliau hanya menukil pendapat dari ulama salaf
yang mengatakan seperti itu dan didukung dengan atsar Mujahid yang sahih.
Jawaban :
Benarkah Ibnu Taimiyyah tidak
berpendapat dan berkeyakinan bahwa Allah mendudukkan Nabi Muhamamd di atas Arsy
bersama Allah? Mari kita perhatikan dan kita kaji ucapan-ucapan Ibnu Taimiyyah
berikut ini :
إذَا تَبَيَّنَ هَذَا فَقَدْ حَدَثَ الْعُلَمَاءُ
الْمَرْضِيُّونَ وَأَوْلِيَاؤُهُ الْمَقْبُولُونَ : أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجْلِسُهُ رَبُّهُ عَلَى الْعَرْشِ مَعَهُ . رَوَى
ذَلِكَ مُحَمَّدُ بْنُ فَضِيلٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ مُجَاهِدٍ ؛ فِي تَفْسِيرِ : { عَسَى
أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا } وَذَكَرَ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ أُخْرَى
مَرْفُوعَةٍ وَغَيْرِ مَرْفُوعَةٍ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ : وَهَذَا لَيْسَ مُنَاقِضًا
لِمَا اسْتَفَاضَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ مِنْ أَنَّ الْمَقَامَ الْمَحْمُودَ هُوَ الشَّفَاعَةُ
بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ مِنْ جَمِيعِ مَنْ يَنْتَحِلُ الْإِسْلَامَ وَيَدَّعِيه لَا
يَقُولُ إنَّ إجْلَاسَهُ عَلَى الْعَرْشِ مُنْكَرًا. وَإِنَّمَا أَنْكَرَهُ بَعْضُ
الْجَهْمِيَّة وَلَا ذَكَرَهُ فِي تَفْسِيرِ الْآيَةِ مُنْكَرٌ
“ Jika telah jelas hal ini, maka
sungguh para ulama yang diridhai dan para wali yang diterima telah menceritakan
(membawakan riwayat hadits) bahwa “ Muhammad Rasulullah shallahu ‘alaihi wa
sallam telah Allah dudukkan di atas Arsy bersama-Nya “, telah meriwayatkannya
Muhamamd bin Fudhail dari Laits dari Mujahid tentang tafsir “ Semoga Allah
memberikan padamu kedudukan yang terpuji “, dan menyebutkan riwayat ini dari
jalan lainnya yang marfu’ dan (bukan marfu’) mauquf. Ibnu Jarir berkata : “ Ini
tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa maqam Mahmud
adalah syafa’at dengan kesepakatan para imam dari seluruh orang yang mengaku Islam, tidak
mengatakan bahwa riwayat Allah mendudukkan nabi di atas arsy itu hadits munkar,
sesungguhnya yang mengingkarinya hanyalah sebagian dari kelompk jahmiyyah,
beliaupun tidak menyebutkan munkar dalam tafsir ayat itu “.[1]
Penjelasan :
Dalam ucapan Ibnu Taimiyyah tersebut
cukup jelas baik manthuq maupun mafhumnya bahwa ia mendukung keyakinan tersebut
yakni nabi Muhammad didudukkan Allah di atas arsy bersama Allah. Konteks yang
dilontarkan atau dinukilkan oleh Ibnu Taimiyyah ini dalam konteks iqrar
(pengakuan/dukungan) bukan untuk membantah nukilan tersebut atau tidak
mensetujuinya, bahkan Ibnu Taimiyyah melontarkan ucapannya ini dalam rangka
berhujjah bukan menentang.
Pada intinya yang dipahami dari
ucapannya itu adalah keyakinan Ibnu Taimiyyah bahwa Allah duduk di atas Arsy.
Adapun berkaitan nukilan Ibnu Jarir
yang dibawakan Ibnu Taimiyyah, maka sesungguhnya Ibnu Jarir posisinya sedang
membawakan beberapa pendapat tentang penafsiran ayat maqam Mahmud ini bukan
mendukung atsar Mujahid.
Dalam tafsirnya (tafsir ath-Thabari)
juz 15 halaman 97 mengatakan :
ثم
اختلف أهل التأويـل فـي معنى ذلك الـمقام الـمـحمود، فقال أكثر أهل العلـم: ذلك هو الـمقام الذي هو يقومه صلى الله عليه وسلم
يوم القـيامة للشفـاعة للناس لـيريحهم ربهم من عظيـم ما هم فـيه من شدّة ذلك
الـيوم
“ kemudian ahli takwil berbeda pendapat
tentang makna ayat maqam Mahmud tersbut,
mayoritas ulama memaknainya bahwa maqam itu adalah yang dididirkan oleh
Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan syafa’at bagi manusia
agar Allah mendamaikan rasa takut mereka dari dahysatnya bahaya saat itu “.
Kemudian beliau menyebutkan beberapa
pendapat ahli takwi tentang itu.
Setelah beliau menampilkan pendapat
jumhur ulama tadi , pada halaman berikutnya di halaman 18 imam Ibnu Jarir
menampilkan pendapat Mujahid :
وقال
آخرون: بل ذلك الـمقام الـمـحمود الذي وعد الله نبـيه صلى الله عليه وسلم أن يبعثه
إياه، هو أن يقاعده معه علـى عرشه
“ Yang lain berpendapat bahwa maqam
Mahmud yang Allah janjikan kepada nabi Muhammad adalah kelak Allah akan
mendudukkannya di atas arys bersama-Nya “.
Setelah itu beliau mengatakan :
وأولـى
القولـين فـي ذلك بـالصواب ما صحّ به الـخبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم.
وذلك ما:
حدثنا به أبو كريب، قال: حدثنا وكيع، عن داود بن يزيد، عن أبـيه، عن أبـي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عَسَى أنْ يَبْعَثَكَ رَبّكَ مَقاما مَـحْمودا سُئل عنها، قال: هِيَ الشّفـاعَةُ.
حدثنا به أبو كريب، قال: حدثنا وكيع، عن داود بن يزيد، عن أبـيه، عن أبـي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عَسَى أنْ يَبْعَثَكَ رَبّكَ مَقاما مَـحْمودا سُئل عنها، قال: هِيَ الشّفـاعَةُ.
“ Pendapat yang paling benar adalah apa
yang sahih dari hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tentang ini di antaranya
: Telah menceritakan padaku Abu Kuraib, ia berkata : telah menceritakan padaku
Waki’, dari Dawud bin Yazid dari ayahnya dari Abu Hurairah, ia berkata :
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Semoga Tuhanmu
membangkitkanmu dan memberikan tempat yang terpuji “, Rasul ditanya tentang
itu, maka beliau menjawab : “ Itu adalah syafa’at “.
Kemjudian beliau menampilkan
hadits-hadits sahih lainnya yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan maqam
Mahmud adalah syafa’at.
Coba kita perhatikan ucapan dan nukilan
Ibnu Jarir di atas, setelah beliau menampilkan pendapat-pendapat para ulama
tentang ayat maqam Mahmud, beliau kemudian memberikan komentar pribadinya bahwa
pendapat yang paling utama dibenarkan adalah maqam Mahmud bermakna syafa’at
karena sesuai dengan hadits-hadits sahih dan didukung oleh jumhur (mayoritas)
ulama ini merupakan tarjih dari beliau. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari Rahimahullah. Maka janganlah tertipu dengan
manipulasi kaum mujassimah atas ucapan Ibnu Jarir yang diplintir sesuai hawa
nafsu mereka.
Kemudian ada sebagian kaum wahabi
bahkan mayoritas mereka berdalih bahwa imam Mujahid dan Ibnu Jarir ath-Thabari
berkeyakinan Allah duduk di atas Arsy dengan hujjah yang dipelintir mereka
berikut ini :
وهذا وإن كان هو الصحيح من القول فـي
تأويـل قوله عَسَى أنْ يَبْعَثَكَ رَبّكَ مَقاما مَـحْمُودا لـما ذكرنا من الرواية
عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه والتابعين، فإن ما قاله مـجاهد من أن
الله يُقعد مـحمدا صلى الله عليه وسلم علـى عرشه، قول غير مدفوع صحته، لا من جهة
خبر ولا نظر
“ Dan pendapat ini (maqam Mahmud
bermakna syafa’at) meskipun adalah pendapat yang sahih, dalam menafsirkan ayat “ Semoga
Allah membangkitkanmu dan memberikanmu maqam yang terpuji “ dari
riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa
sallam, para sahabat dan tabi’in, maka apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa
Allah mendudukkan Muhamamd Shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy, asalah
ucapan yang tidak boleh ditolak kesahihannya, tidak dari segi khobar maupun
pendapat “.
Sekarang coba kita perhatikan baik-baik
ucapan Ibnu Jarir tersebut :
Apakah yang tidak boleh ditolak menurut
Ibnu Jarir ? dalam ucapan beliau di atas, cukup jelas bahwa beliau di pembahasan awal
ini sedang
membahas duduknya Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam di atas Arsy bukan
membahas duduknya Allah di atas Arsy. Duduknya Nabi di atas Arsy tidaklah
mustahil bagi kemuliaan beliau. Inilah yang tidak boleh ditolak baik secara
segi khobar maupun pendapat. Bukan duduknya Allah di atas Arsy yang tidak boleh
ditolak, sebab ucapan itu sangat jelas arah maksudnya terlebih imam Ibnu Jarir
ath-Thabari adalah seorang ulama yang mensucikan Allah dari sifat batasan, arah
dan sifat-sifat makhluk lainnya.
Di akhir pembahasan barulah beliau
menyinggung persoalan Allah duduk bersama Nabi di atas Arsy. Menurut beliau
dengan menampilkan tiga pendapat kelompok Islam, tetap duduknya Nabi di atas
Arsy tidaklah mustahil, meskipun Allah beristiwa di atas Arsy, namun Istiwa
Allah tidklah menyentuh Arsy. Allah beristiwa sebagaimana sifat keagungan dan
kemuliaan-Nya.
Adapun para ulama yang menerima riwayat
atsar Mujahid, maka bukan berarti mereka menerima kandungan dari riwayat
tersebut secara dhahir. Mereka menerima riwayat tersebut dalam rangka menerima
keutamaan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jahmiyyah sangat anti dengan Istiwa
Allah, sehingga yang menolak hadits ini divonis sebagai jahmiyyah atau kaum
zindiq sebab menolak keutamaan Nabi yang mulia. Yang jelas Ibnu Jarir lebih
memilih pendapat dan hadits sahih berkenaan syafaa’at bukan duduknya Nabi
bersama Allah di atas Arsy. Ibnu Jarir sendiri pun memiliki keyakinan Allah
beristiwa dengan istiwa yang bukan bersifat hissiyyah yang berupa perpindahan
dan gerak melainkan istiwa mulk wa shulthan (istiwa kekuasaan) sebagaimana
keyakinan kaum asy’ariyyah.
No comments: